Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya.
“Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu.Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?”“Tadinya mau nganterin mas makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum.“Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang terus berjalan di depan Arum.Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap makan. “Ngomong-ngomong, papah sama mamah ada apa ke sini?” tanya Saka.“Tadi papah sama mamah habis jalan-jalan, terus karena dekat sama rumah kamu, jadi mampir dulu sebentar. Oh ya, besok kalian bisa ke rumah, kan? Omah sama adik kamu datang,” tutur papah mendapat anggukan paham dari Saka.“Tapi seperti yang papah tahu, aku kerja, dan Arum juga harus kuliah dulu, jadi mungkin malamnya baru bisa ke rumah,” jelas Saka. Dewa mengerti dan tidak mempermasalahkan hal tersebut.Arum memakan makanannya perlahan sembari memperhatikan Dewa dan Rosa yang nampak romantis meski usianya sudah tak muda lagi, keduanya saling menyuapi dan memberikan perhatian. Berbeda sekali dengan Saka yang justru kasar padanya. Keromantisan itu tidak pudar, bahkan hingga saat ini, ketika Arum sedang duduk di ruang keluarga di kediaman Dewa, keduanya tetap menempel bak perangko. Arum hanya bisa tersenyum sambil membayangkan dirinya bisa merasakan menjadi seperti Rosa suatu saat nanti.“Loh? Arum?” Mendengar suara yang terasa familiar itu, Arum segera menoleh menatap sumber suara. “Beneran Arum, kan?” Laki-laki dengan mata berbinar itu berjalan cepat dan duduk di samping Arum.“Kamu ada urusan apa ke sini? Kenalan mamah? Eh tadi naik apa ke sini? Udah makan belum? Mau makan apa? Tadi mamah masak ayam kecap sih, kalau kamu ga mau kita makan di luar aja, gimana?” ajak Kala setelah pertanyaan beruntunnya.Biasanya dengan mendengar suara dan celotehan lelaki ini, akan membuat Arum senang sepanjang hari, namun kali ini berbeda, justru rasa sakit dan sesak entah kenapa yang sekarang Arum rasakan. Perempuan itu menurunkan pandangannya tak ingin menatap Kala.Tangan Kala bergerak, menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Arum dari pandangannya. “Hey... Kenapa? Dimarahin sama ketua bidang?” tebak Kala seraya tersenyum manis, membuat Arum salah tingkah dan kembali menurunkan pandangannya.“Lagi badmood, ya? Nih, dimakan.” Dengan nada bicara yang terdengar senang, Kala kali ini memberikan sebatang coklat pada Arum, laki-laki itu tau jika perempuan di hadapannya menyukai hal manis.Perlahan jemari Arum naik hendak mengambil coklat itu, namun Kala menarik tangannya dan mengangkat coklat itu tinggi-tinggi. “Ayo ambil” Arum cemberut mendengar perintah itu, namun tetap bergerak dan berusaha meraih coklat yang ada di tangan Kala. Ketika badannya maju untuk meraih coklat, Kala bergerak dengan cepat dan mengecup pipi Arum, membuat perempuan itu terkejut. “Kala! Kamu ngapain sih?! Jangan pernah kayak gitu lagi! Aku.. Aku ini-“Menyadari perempuan yang baru saja ia cium merasa tak nyaman, Kala menghembuskan napas lelah dan menggeser posisi duduknya, sedikit menjauh dari perempuan itu. Dan dengan cepat pula, ia memotong perkataan Arum. “Maaf, habis kamu lucu banget, aku ga tahan buat cium,” jelas Kala, ia kemudian memberikan coklat di tangannya pada Arum. “Aku ga tau urusan kamu apa di sini, tapi kebetulan banget kamu ke sini, aku mau kenalin kamu ke orang tua ak-““Hey, Kala! Jangan digangguin dong kakaknya!” tegur Rosa yang melangkah perlahan memasuki ruang keluarga, dengan dua cangkir teh hangat yang ia bawa menggunakan nampan.“Mamah kenal Arum di mana? Ada urusan apa sama Arum?” tanya Kala antusias, hatinya senang karena sepertinya Arum sudah cukup dekat dengan ibunya.“Oh, kamu belum pernah ketemu, ya? Ini kakak ipar kamu, sengaja ke sini karena hari ini kamu sama omah dateng. Oh ya, mamah denger kamu ke sini naik ojol? Aduh, kenapa ga diantar supir aja?? Dasar Saka,” omel Rosa seraya mengelus-elus punggung tangan Arum, tanpa menyadari ekspresi putranya sudah berubah dan pucat.“Tunggu, ipar?” tanya Kala yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.“Hm? Iya, kamu tau artinya ipar, kan? Kok kayak kaget bingung gitu?” sahut Rosa.“Istri... Kak Saka?” Suara Kala kini terdengar lirih. Rosa berdeham lalu membuka tutup toples biskuit yang ada di meja, mencelupnya ke teh dan memakannya.“Oh, oh iya ya, waktu itu aku ga dateng di pernikahan kakak karena harus jemput omah.” Kala menatap Arum dengan tatapan kecewa, laki-laki itu memalingkan wajahnya yang sudah mulai memerah, menatap dinding putih dengan tangan yang mengepal, sebelum akhirnya bangkit dari sofa dan melenggang keluar dari ruang keluarga.“Kamu tau, hari ini mamah minta si bibi buat libur dan masak semua makanan, karena kamu mau datang, haha.” Rosa meletakkan gelasnya di atas meja lalu diam, sedang mengingat sesuatu yang sepertinya ia lupakan. “Astaga! Mamah lagi goreng ayam tadi! Sebentar ya” Cepat-cepat Rosa bergegas dan berlari menuju dapur.Setelah menyeruput teh hangat buatan Rosa, mata Arum tertuju pada sosok wanita yang berjalan perlahan mendekatinya. Wanita itu terlihat lebih tua dari Rosa. “Jadi kamu yang namanya Arum?” Arum menelan salivanya ketika pertanyaan itu dilontarkan wanita yang kini duduk di sampingnya. Dengan cepat, Arum mengangguk.“Jangan kaku begitu, santai aja. Kenalan dulu dong kita... Kamu bisa panggil saya omah Risma, ya?” tutur Risma membuat senyum di wajah Arum mengembang. Perempuan itu mengangguk paham.“Maaf ya omah ga dateng di pernikahan kalian. Gimana sejauh ini sama Saka? Dia memperlakukan kamu dengan baik?” Arum sempat diam sebentar, lalu mengiyakan pertanyaan omah.“Saka itu orangnya cuek, keras, tertutup bahkan sama keluarganya sendiri. Omah harap kamu bisa mengerti dan memaklumi sikap Saka ya... Sebenarnya dia anak yang baik dan manis, tapi semenjak kejadian itu, dia jadi sedikit berubah.” Risma menatap lurus ke depan, lalu tersenyum pahit.“.. Kejadian itu?” Arum membeo ucapan Risma, mulai penasaran dengan maksud dari perkataan wanita itu.Saka yang baru memasuki rumah menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Kala. “Omah mana?”“Ga tau!” balas Kala acuh, laki-laki itu berjalan dengan kesal dan dengan sengaja menabrak bahu kakaknya. Saka menoleh, menatap adiknya yang akhirnya masuk ke dalam kamar. “.. Apasih?” gumam Saka seraya berbalik dan mencari keberadaan sosok omah.***“Waktu usia Saka masih 6 tahun, dia kehilangan ibu kandungnya dengan cara yang ga wajar,” ucap Risma membuat Arum sempat loading, bukankah Rosa adalah ibu Saka? Apa maksudnya kehilangan.“Kamu pasti bingung... Keluarga kita ini bukan keluarga sempurna seperti yang orang-orang bicarakan, kita juga pernah berada di bawah dan terpuruk. Jadi sebenarnya, Rosa itu ibu tirinya Saka, dulu Dewa menikah lagi setelah satu tahun kepergian ibu Saka, dan satu tahun kemudian lahirlah Kala.” Risma menjeda ceritanya, menyeruput secangkir teh hangat lalu menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan cerita.“Dulu, ada yang menuduh Dewa melakukan korupsi, sehingga banyak harta keluarga yang disita, bahan Dewa sempat ditahan untuk waktu yang cukup lama. Di saat itu, hal buruk juga terjadi pada kakak Saka, namanya Raka, anak itu diculik ketika sedang bermain bersama Saka di taman. Saka yang masih kecil saat itu tidak bisa melakukan banyak hal, dia dipukuli saat berusaha menyelamatkan kakaknya.”
“Mandi sana, habis itu makan bareng,” titah Kala seraya mengusap kepala Arum lembut, lelaki itu akhirnya kembali tersenyum manis setelah cukup lama murung.Setelah menginap selama beberapa hari di kediaman Dewa alias mertuanya, Arum mulai merasa nyaman dan betah, setidaknya ia tidak merasa kesepian. Orang-orang di rumah itu juga memperlakukannya dengan baik. Ia menutup pintu kamar, bersiap untuk segera tidur. Namun sebelum tidur, ia berdiri dan tersenyum menatap pemandangan langit malam yang indah melalui jendela kamar.Arum menoleh ketika mendengar suara pintu yang dibuka, diiringi suara Saka yang tertawa kecil setelahnya. “Saya ga nyangka, keluarga kamu emang se mata duitan itu, ya?” ejek Saka.“Maksudnya?” Tanya Arum tak mengerti.“Kamu ga tau, atau pura-pura ga tau? Adanya kamu di sini kan juga karena uang, mereka butuh uang buat manjain adik kamu yang manja itu.” Saka tersenyum puas melihat wajah kesal Arum.“Orang tua kamu tadi nemuin saya, mereka minta uang. Menurut kamu, saya
“Ga ada apa-apa kok, omah. Cuma ada sedikit salah paham aja,” balas Arum, namun tetap tak menghilangkan khawatir dari raut wajah Risma.“Beneran ga papa? Kamu sampai nangis begini... Mana Saka? Biar omah marahi dia!” ucap Risma seraya mengintip ke dalam kamar.“Jangan omah, Arum beneran ga papa kok, omah.” Setelah penjelasan yang Arum berikan dapat diterima oleh Risma, akhirnya Arum menutup pintu kamar ketika Risma sudah tak lagi di sana.Ketika pagi hari tiba, Arum menghampiri Saka yang berada di depan lemari, lelaki itu nampak kesal dan kebingungan. “Kenapa, mas?” tanya Arum.“Nyari dasi! Dasi merah!” sahut Saka ketus. Sorot mata Arum mencari ke beberapa arah, dan menemukan apa yang Saka cari. Ia meraih dasi itu dan menunjukkannya pada Saka.“Mau dipasangin?” Saka meraih dasi itu dengan kasar dan melangkah mendekati cermin.“Ga usah, saya bisa sendiri!” Mendengar itu, Arum berbalik dan keluar dari kamar. Saka hanya bisa mendengus kesal melihatnya.Setelah selesai bersiap, Saka kelua
Suara ricuh seketika memenuhi ruang kelas ketika jam kuliah berakhir, diikuti dosen yang meninggalkan ruangan. Masing-masing sibuk merapikan barang mereka untuk kemudian meninggalkan lingkungan kampus. Sama halnya dengan seorang gadis berusia 20 tahun yang duduk di kursi depan, sembari sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, dengan terburu-buru ia memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas, yang tanpa disengaja membuat salah satu pulpennya terjatuh ke lantai. Belum sempat tangannya meraih pulpen hitam yang tergeletak di lantai, sebuah tangan yang lebih besar darinya meraih pulpen itu dan meletakkannya di atas meja. "Buru-buru banget, santai aja dulu" Ucap Sekala, laki-laki berwajah teduh dengan mata coklat dan rambut comma hair nya. "Ga bisa, Kal! Rapatnya jam 3 dan sekarang udah jam 14.50... Aku duluan ya" Pamit Arum yang sudah selesai merapikan barang-barangnya. "Bentar..." Panggil Sekala dengan suara lembut, tangannya meraih pergelangan tangan A
“Ga ada apa-apa kok, omah. Cuma ada sedikit salah paham aja,” balas Arum, namun tetap tak menghilangkan khawatir dari raut wajah Risma.“Beneran ga papa? Kamu sampai nangis begini... Mana Saka? Biar omah marahi dia!” ucap Risma seraya mengintip ke dalam kamar.“Jangan omah, Arum beneran ga papa kok, omah.” Setelah penjelasan yang Arum berikan dapat diterima oleh Risma, akhirnya Arum menutup pintu kamar ketika Risma sudah tak lagi di sana.Ketika pagi hari tiba, Arum menghampiri Saka yang berada di depan lemari, lelaki itu nampak kesal dan kebingungan. “Kenapa, mas?” tanya Arum.“Nyari dasi! Dasi merah!” sahut Saka ketus. Sorot mata Arum mencari ke beberapa arah, dan menemukan apa yang Saka cari. Ia meraih dasi itu dan menunjukkannya pada Saka.“Mau dipasangin?” Saka meraih dasi itu dengan kasar dan melangkah mendekati cermin.“Ga usah, saya bisa sendiri!” Mendengar itu, Arum berbalik dan keluar dari kamar. Saka hanya bisa mendengus kesal melihatnya.Setelah selesai bersiap, Saka kelua
“Mandi sana, habis itu makan bareng,” titah Kala seraya mengusap kepala Arum lembut, lelaki itu akhirnya kembali tersenyum manis setelah cukup lama murung.Setelah menginap selama beberapa hari di kediaman Dewa alias mertuanya, Arum mulai merasa nyaman dan betah, setidaknya ia tidak merasa kesepian. Orang-orang di rumah itu juga memperlakukannya dengan baik. Ia menutup pintu kamar, bersiap untuk segera tidur. Namun sebelum tidur, ia berdiri dan tersenyum menatap pemandangan langit malam yang indah melalui jendela kamar.Arum menoleh ketika mendengar suara pintu yang dibuka, diiringi suara Saka yang tertawa kecil setelahnya. “Saya ga nyangka, keluarga kamu emang se mata duitan itu, ya?” ejek Saka.“Maksudnya?” Tanya Arum tak mengerti.“Kamu ga tau, atau pura-pura ga tau? Adanya kamu di sini kan juga karena uang, mereka butuh uang buat manjain adik kamu yang manja itu.” Saka tersenyum puas melihat wajah kesal Arum.“Orang tua kamu tadi nemuin saya, mereka minta uang. Menurut kamu, saya
“Waktu usia Saka masih 6 tahun, dia kehilangan ibu kandungnya dengan cara yang ga wajar,” ucap Risma membuat Arum sempat loading, bukankah Rosa adalah ibu Saka? Apa maksudnya kehilangan.“Kamu pasti bingung... Keluarga kita ini bukan keluarga sempurna seperti yang orang-orang bicarakan, kita juga pernah berada di bawah dan terpuruk. Jadi sebenarnya, Rosa itu ibu tirinya Saka, dulu Dewa menikah lagi setelah satu tahun kepergian ibu Saka, dan satu tahun kemudian lahirlah Kala.” Risma menjeda ceritanya, menyeruput secangkir teh hangat lalu menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan cerita.“Dulu, ada yang menuduh Dewa melakukan korupsi, sehingga banyak harta keluarga yang disita, bahan Dewa sempat ditahan untuk waktu yang cukup lama. Di saat itu, hal buruk juga terjadi pada kakak Saka, namanya Raka, anak itu diculik ketika sedang bermain bersama Saka di taman. Saka yang masih kecil saat itu tidak bisa melakukan banyak hal, dia dipukuli saat berusaha menyelamatkan kakaknya.”
Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya.“Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu.Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?”“Tadinya mau nganterin mas makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum.“Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang terus berjalan di depan Arum.Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap makan. “Ngomong-ngomong, papah sama ma
Suara ricuh seketika memenuhi ruang kelas ketika jam kuliah berakhir, diikuti dosen yang meninggalkan ruangan. Masing-masing sibuk merapikan barang mereka untuk kemudian meninggalkan lingkungan kampus. Sama halnya dengan seorang gadis berusia 20 tahun yang duduk di kursi depan, sembari sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, dengan terburu-buru ia memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas, yang tanpa disengaja membuat salah satu pulpennya terjatuh ke lantai. Belum sempat tangannya meraih pulpen hitam yang tergeletak di lantai, sebuah tangan yang lebih besar darinya meraih pulpen itu dan meletakkannya di atas meja. "Buru-buru banget, santai aja dulu" Ucap Sekala, laki-laki berwajah teduh dengan mata coklat dan rambut comma hair nya. "Ga bisa, Kal! Rapatnya jam 3 dan sekarang udah jam 14.50... Aku duluan ya" Pamit Arum yang sudah selesai merapikan barang-barangnya. "Bentar..." Panggil Sekala dengan suara lembut, tangannya meraih pergelangan tangan A