Arum berjalan menyusuri lorong fakultasnya dengan perasaan yang masih kacau. Ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang perjodohan yang dibicarakan dengan ayah kemarin. Di tengah rasa kalut itu, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki yang selama ini telah mengisi hatinya sedang berdiri tak jauh darinya, lelaki itu terlihat sedang mengobrol bersama beberapa teman sekelasnya. Jantung Arum berdegup dengan kencang, sakit sekali jika memikirkan bahwa mustahil untuk bisa bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pasalnya, kali ini pun ia tak akan bisa menolak perintah dari ayahnya.
Arum mengusap air mata yang tanpa disadari mengalir tanpa izin menuruni pipinya, lalu berbalik dan segera pergi dari sana, tak ingin jika harus menatap wajah Sekala dan bicara dengan lelaki itu. Sesampainya di kelas, Arum duduk di kursinya dan menatap papan tulis dengan tatapan kosong. Kata-kata ayahnya terus berputar-putar di kepala, memantul tanpa henti. Hatinya berdegup cepat, seolah dunia yang selama ini dia kenal mulai runtuh begitu saja. Dia meremas jemarinya, rasanya seperti ada yang menekan dadanya dengan keras. Apa ini lelucon? Kenapa mereka memutuskan untuk menjodohkannya dengan orang yang bahkan belum pernah Arum kenal? Bahkan dengan seseorang yang bahkan usianya terpaut jauh dengan Arum. Lagi dan lagi, Arum menghela napas berat, mencoba menenangkan diri. Arum tersentak ketika seseorang menepuk pundaknya, lamunannya buyar seketika saat Sekala kini sudah berdiri tepat di sampingnya. Lagi-lagi lelaki itu tersenyum dengan manis membuat perasaan Arum kini kian kalut. "Tumben ke kelas duluan, biasanya kan bareng? Tadi aku liat lho waktu kamu puter balik di koridor, tapi ga bisa langsung nyamperin karena masih bahas proker sama anak-anak," jelas Sekala. Lelaki itu memerhatikan raut wajah Arum yang nampak tak baik-baik saja. "Kamu kenapa sih? Lagi sakit?" Tanya Sekala seraya menyentuh kening Arum dengan punggung tangannya. Segera, Arum menghindar agar Sekala tak menyentuhnya. Melihat itu, membuat Kala semakin yakin ada sesuatu yang terjadi pada gadis di hadapannya. "Maaf, Kala... Tapi aku lagi pengen sendiri. Boleh tinggalin aku dulu?" Mendengar permintaan itu, Kala diam selama beberapa saat lalu mengangguk mengiyakan perkataan Arum. Lelaki itu tersenyum tipis lalu berbalik menuju bangkunya. Meski berat, namun Arum harus membuat jarak dengan Sekala mulai saat ini, agar hatinya tak semakin terluka ketika harus menerima kenyataan bahwa Sekala memang bukanlah takdirnya. Ia memasang earphone di telinganya lalu menunduk. Sekala benar-benar mengikuti perkataan Arum, lelaki itu tak menghampiri Arum bahkan hingga jam istirahat telah tiba. Kini, perempuan itu berjalan keluar dari kelas dengan lemas, rasanya sudah tak ada semangat sama sekali. Di luar, udara terasa dingin entah mengapa, namun hati Arum jauh lebih dingin dari itu. Pikiran itu terus menghantui: "Bagaimana bisa aku menerima ini?" Arum duduk di bangku taman, matanya terpejam berusaha meredam semua pikiran yang sedari tadi mengganggunya. Ketenangan di siang hari itu berubah ketika suara seorang perempuan yang terasa tak asing memanggilnya. "Hai, Rum! Kamu ga papa? Aku perhatiin kayanya lagi badmood?" tanya Maya, bestie yang selalu ada di setiap momen Arum. Arum hanya tersenyum pahit, lalu menggeleng pelan. "Ah, ayolah! Kamu ga mau cerita sama aku?? Kenapa sih? Cemburu lagi sama Sekala??" Tebak Maya yang dengan cepat dibalas gelengan kepala oleh Arum. "Ya terus apaa?" Tanya Maya lagi. Setelah berpikir sebentar, Arum memutuskan untuk menceritakan semua yang menggangu pikirannya pada sahabatnya, berharap setelah ini bisa merasa sedikit lega. Setelah mendengar apa yang Arum ceritakan, sontak membuat Maya memasang raut wajah tak percaya lalu tertawa kecil. Namun, ada nada yang sedikit asing dari tawa itu. "Wah! Seru juga ya, Rum. Tapi, kamu tau kan, hidup memang penuh kejutan." Mendengar tanggapan itu, entah mengapa Arum merasa ada yang aneh, namun ia hanya bisa tersenyum lelah. Bukan itu reaksi yang ia inginkan. "Oh yaa, kalau gitu sekarang Sekala free dong?" Arum tertegun ketika mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Maya. Apa maksud sahabatnya itu? "Berarti sekarang gue ga papa kan kalau mau deket sama dia? Secara lo bakal segera nikah sama om-om itu," sambung Maya membuat air mata jatuh begitu saja dari pelupuk mata Arum. Dengan cepat ia memalingkan wajahnya dan menghapus sisa air mata yang tersisa dan mengangguk pada Maya. Seketika itu pula, Maya bersorak senang. Dan Arum, ia hanya bisa tersenyum pahit memikirkan bahwa keputusan ini ternyata dapat membawa kebahasaan bagi beberapa orang. Arum menarik napas panjang lalu bangkit dari duduknya. "Gue ke toilet dulu ya," pamit Arum sebelum akhirnya melenggang menjauh dari Maya. Air mata tak dapat ia bendung lagi, ia berjalan dengan cepat sembari terus menerus menghapus air matanya yang terus saja mengalir dengan deras. Hingga tanpa sengaja, ia menabrak bahu seseorang membuat langkahnya sedikit terhuyung saat itu. "Maaf, saya ga sengaja!" Ucap Arum dengan panik. Arum mengangkat kepalanya, menatap sosok yang baru saja ia tabrak. Arum diam memerhatikan sosok laki-laki yang terasa asing baginya, laki-laki dewasa yang jika dilihat mungkin berumur sekitar 26 tahun itu terkesan tenang dan penuh wibawa. Membuat nyali Arum rasanya ciut seketika. Lelaki itu tersenyum tipis ketika matanya bertemu dengan Arum. Ia memutar badannya dan berhadapan dengan Arum sepenuhnya. Dengan nada yang sedikit dingin namun penuh wibawa, ia memulai pembicaraan. "Jadi kamu yang namanya Arum? Saya Saka," terkejut dan bingung mendengar perkenalan lelaki itu, Arum hanya bisa terdiam dan membeku. Bagaimana bisa lelaki itu mengetahui namanya? Arum mengedipkan matanya beberapa kali dengan cepat lalu kembali menatap wajah tampan Saka. Dengan kaku ia menjawab, "Oh... Iya, saya Arum." Saka mendelik sedikit, ia menyadari gadis yang ada di hadapannya saat ini tengah merasa bingung dan sedikit tegang. Saka tersenyum lagi, meskipun masih ada sedikit ketegangan di udara. Kini dengan nada yang sedikit santai, Saka tersenyum lebar pada Arum. “Senang bertemu dengan kamu, Arum. Ngomong-ngomong, kamu ga usah merasa takut sama saya. Saya donatur yang biasanya emang rutin datang ke sini," jelas Saka mendapat balasan anggukan kepala dari Arum. Tapi tetap saja, bagaimana laki-laki ini bisa mengetahui namanya?? Saka menyeringai lalu melanjutkan perkataannya, "Kalau kamu perlu bantuan, kamu bisa hubungi saya di nomor ini," ucap Saka seraya memberikan gulungan kertas kecil pada Arum. Masih merasa aneh dengan situasi saat itu, perlahan Arum meraih gulungan yang Saka berikan lalu tersenyum kecil pada lelaki itu. "Terima kasih." Tak menanggapi lagi, lelaki itu melenggang meninggalkan Arum sendiri. Pikiran Arum kembali terbang, memikirkan bagaimana lelaki itu bisa tahu akan dirinya dan dengan sukarela memberikan nomor ponselnya. Lamunan itu seketika berakhir ketika Maya menghampirinya sembari menepuk bahunya. "Hey, gue liat lo abis ngobrol sama tuan Saka. Ngomongin apaan? Iss kok bisa sih," tanya Maya. Terdengar sedikit kekesalan pada nada bicaranya. "Tuan... Saka?" Tanya Arum, merasa heran dengan panggilan itu. "Lo ga tau? Sumpah ga tau? Dia itu tuan saka, donatur utama kampus kita ini! Harusnya dia itu galak banget, bahkan dia juga bakal marah kalau dia dipanggil dengan panggilan selain tuan. Pernah tuh ada yang manggil dia pake pak, ngamuk loh! Kok Lo bisa sih ngobrol sama dia? Ih iri deh~" Ledek Maya seraya menyenggol lengan Arum. "Haduhh pengen banget bisa punya cowok kaya tuan Saka, udah ganteng, keren, banyak uangnya lagi! Duhh Lo sih ga mungkin ya kan dapet yang modelan tuan Saka? Lo kan nikahnya sama om-om, ups!" Tak menanggapi ocehan Maya, Arum hanya tersenyum tipis lalu menatap arah lain, sambil memikirkan apakah benar lelaki itu tak ada maksud terselubung padanya. Arum membiarkan kehidupannya berjalan layaknya air yang mengalir. Ia tak ingin memikirkan hal tak penting dan hanya fokus pada apa yang bisa ia perbaiki, tentunya bukan nasib perjodohannya yang mengerikan. Bahkan hingga saat ini pun, ketika ia sudah duduk di ruang tamu bersama keluarga calon suaminya, ia hanya bisa pasrah dan menerima takdirnya. Matanya naik menatap sosok lelaki paruh baya yang terasa sangat asing baginya, ditemani oleh seorang perempuan paruh baya yang sepertinya adalah istri pertama dari lelaki tersebut. Ingin sekali rasanya menangis, namun apalah daya, Arum hanya bisa meremas roknya dan menahan agar air mata itu tak sampai jatuh. "Ah, maaf sebelumnya," dengan cepat pandangan Arum naik menatap lelaki bernama Bima itu. Sesekali ia melirik pada Dewi, wanita paruh baya yang duduk di samping Bima. "Tiba-tiba saja Saka mengabari kalau dia tidak bisa ikut hadir hari ini karena ada meeting mendadak dan urgent. Jadi bagaimana kalau kita bicarakan saja semuanya tanpa Saka hari ini?" Jelas Bima, membuat kening Arum mengerut penuh tanya. ".. Saka?" Tanya Budi ingin diperjelas. "Kenapa bingung seperti itu, Bud?" Tanya Bima. "Um, apa kita harus menyertakan Saka juga dalam persiapan pernikahan ini?" Tanya Budi memastikan, nada bicaranya terdengar ragu. "Seharusnya sih begitu, baiknya kan kedua mempelai memang mempersiapkan," mendengar jawaban itu sontak membuat Arum dan keluarganya terkejut. Bukankah mempelainya ada di hadapan mereka saat ini? "Ah oke, jadi... Saka adalah calon suami Arum, benar begitu ya?" Tanya Budi kembali memastikan. "Iya, dari awal kan memang begitu. Kamu ini bagaimana sih, haha! Sudahlah ayo kita tentukan tanggal dan lain-lainnya," Budi mengangguk seraya tertawa canggung kemudian melihat daftar persiapan pernikahan yang sudah Bima siapkan. Arum diam, mengucap syukur karena ternyata Bima bukanlah orang yang harus menikah dengannya. Namun Saka, siapa lelaki ini? Bukan lelaki yang dulu pernah bertemu dengannya, kan? Pasti bukan, batin Arum. Selama persiapan pernikahan, lelaki bernama Saka ini sekalipun tak pernah menunjukkan batang hidungnya pada Arum. Setiap kali ada pertemuan, lelaki itu selalu beralasan dan tak bisa hadir menemani. Dari yang awalnya penasaran, kini Arum sudah biasa saja dan terkesan tak peduli pada sosok calon suaminya itu. Mengetahui bukan lelaki dengan umur yang terpaut jauh darinya saja, itu sudah cukup baginya. Malam ini pun, Arum yakin lelaki itu tak akan hadir menemaninya untuk mencoba gaun pengantin. Ia mendengus kesal dan mulai mengganti pakaiannya. Gaun pengantin yang dikenakan Arum tampak seperti ciptaan dari mimpi, memeluk tubuhnya dengan sempurna. Bahan sutra halus dan lembut berkilau di bawah cahaya lampu, memberi kesan elegan yang tak berlebihan. Bagian atas gaun itu berbentuk strapless, menonjolkan bahunya yang ramping dan lehernya yang jenjang, dengan detail bordir halus di sepanjang pinggiran. Di bagian pinggang, gaun itu terikat dengan sabuk tipis yang mempertegas lekuk tubuhnya, sementara rok gaun tersebut mengembang perlahan ke bawah, seolah menyatu dengan angin yang berhembus lembut. Di bawahnya, lapisan tulle memberikan volume yang dramatis tanpa terlihat berat, menciptakan gerakan yang mengalir seperti air setiap kali Arum bergerak. Di bagian belakang gaun, terdapat detail punggung terbuka dengan renda yang menyilang membentuk pola yang rumit namun tetap memberi kesan seksi namun anggun. Gaun itu tidak hanya memperlihatkan kecantikan fisik Arum, tetapi juga aura misterius dan kemewahan yang memancar dari dalam dirinya. Ia tak bisa menampik betapa sempurnanya gaun ini membalut tubuhnya. Suara sepatu pantofel yang memasuki ruangan sontak membuat semua perhatian segera tertuju pada seseorang yang sedang berjalan hendak memasuki ruangan. Tak lama muncul sosok lelaki tinggi dengan perawakan gagah menatap keadaan dalam ruangan dengan wajah datar dan dinginnya. Arum membeku melihat sosok itu, sosok yang saat ini tengah berjalan mendekatinya. ".. Kamu..."Langkah Saka berhenti sekitar 100 meter di depan Arum. Mata tajam itu kini menatap para pegawai yang sedari tadi membantu Arum mengenakan gaun pengantinnya. "Bisa tinggalkan saya berdua dengan calon istri saya?" Mengangguk paham, semua pegawai di ruangan itu keluar, meninggalkan Saka dan Arum di ruangan dalam hening. Arum berbalik ke arah cermin, tak siap rasanya menatap mata tajam lelaki itu. Saka melangkah perlahan mendekati Arum, matanya tajam memandang gadis itu dengan sedikit senyum nakal. “Jadi, akhirnya... Ini yang jadi pilihannya? Dress yang bikin saya semakin yakin kalau pernikahan ini bukan sekedar formalitas," bisik Saka tepat di telinga Arum, suaranya terkesan santai namun penuh makna. Arum sedikit bergeser, tak nyaman dengan apa yang Saka lakukan barusan. Ia menatap lelaki itu melalui kaca dengan perasaan sedikit tegang. “Kenapa... Kenapa tuan ada di sini? Apa tuan ga sibuk?” Tanya Arum gugup. Mendengar itu, Saka tersenyum simpul. "Kamu udah ngerti sendiri rupanya, har
Hari berganti menjadi malam, pesta pernikahan yang melelahkan telah usai. Saka membawa perempuan yang kini baru saja menjadi istrinya pulang ke rumah baru mereka. Setelah membersihkan diri, Arum masuk ke kamar utama. Ia menghembuskan napas lega karena akan segera beristirahat. Langsung saja, ia merebahkan tubuhnya di kasur tanpa menunggu Saka yang masih berada di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, sosok Saka yang sudah mengenakan piyama mengerutkan keningnya, lalu berjalan cepat menuju kasur. Saka menarik pergelangan tangan Arum membuat perempuan itu membuka matanya dan terduduk. “K-kenapa, tuan?” tanya Arum takut-takut. “Kenapa? Kenapa, kamu bilang? Berani-beraninya kamu tidur di kasur! Siapa yang mengizinkan kamu tidur di kasur?!” bentak Saka membuat Arum tertegun, masih tak mengerti dengan perlakuan Saka yang jadi kasar seperti ini. “Saya ga sudi tidur di bekas kamu! Ganti sprei sama bedcovernya, sekarang! Ambil yang baru di lemari.” Saka mendorong Arum menuju lemari, mem
Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya. “Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu. Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?” “Tadinya mau nganterin tuan makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum. “Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang sudah berjalan lebih dulu di depan Arum. Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap untuk makan. “Ngomong-
Di Selasa pagi, Budi tengah sibuk mengerjakan beberapa dokumen penting di ruang kerjanya. Sekretaris barunya, Diana, yang biasanya hanya menemaninya bekerja di kantor, akhir-akhir ini datang ke rumah Budi untuk membawakan beberapa dokumen penting untuk Budi tandatangani. Sesampainya di depan pintu kerja Budi, dengan perlahan Diana memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya. Kaki jenjangnya perlahan melangkah dan sampai di depan meja Budi dengan senyum ramahnya. "Pak Budi, ini dokumennya ya. Seperti biasa saya bawa langsung ke rumah supaya nggak perlu repot-repot ke kantor." Budi yang tengah sibuk berhenti sejenak dan melihat berkas yang Diana bawa. Tak lupa ia pun membalas senyuman manis Diana. "Ah, terima kasih, Diana. Kamu selalu siap siaga ya, haha. Bener-bener nggak nyangka kerja sama kamu bisa semudah ini." Diana yang merasa puas dengan pujian itu, tersenyum lebih lebar dan sedikit mendekatkan dirinya pada Budi. Jemarinya bergerak perlahan dan mengelus tangan Budi dengan jema
Saka yang sudah berada di cafe itu sejak dua jam yang lalu kembali menyeruput kopi susu yang kini sudah mulai mendingin. Matanya kini terfokus pada sosok perempuan muda yang duduk sendirian tak jauh dari mejanya. Saka menyeringai pelan setelah melihat perempuan itu nampak seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dengan langkah mantap, Saka berdiri dan berjalan menuju meja Sarah. Begitu tiba, ia berhenti sejenak, menatap Sarah yang sedang memejamkan matanya. ".. Hai? Sarah, ya?" Sapa Saka, membuat Sarah membuka matanya dan menatap sosok itu. "O-oh... Kak Saka? Kok ada di sini?" Tanya Sarah antusias. Ia segera menegakkan duduknya dan merapikan rambut yang dirasa kurang rapi. "Habis ada meeting nih. Boleh saya duduk di sini?" Tak mungkin menolak, Sarah mengangguk mengiyakan perkataan Saka. "Sendirian aja? Udah pesan makan?" Tanya Saka seraya meraih buku menu dan membukanya. Sarah tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Mba!" Panggil Saka pada sala
Saka yang sudah rapi dengan setelan jas katornya melangkah menuruni anak tangga. Langkahnya sempat terhenti sesaat, dengan ekspresi datar, matanya menilai setiap sudut ruang tamu yang terlihat rapi. Namun, pandangannya terhenti pada Arum yang baru saja memasuk rumah. Ia mengenakan baju yang terlihat lebih sederhana dari biasanya, kaos polos dan celana jeans panjang yang sedikit pudar warnanya. Rambutnya yang biasanya tertata rapi sekarang hanya diikat seadanya.Saka melangkah mendekati Arum lalu menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Saka menghela napas, tak habis pikir dengan sosok Arum yang saat ini berdiri di hadapannya. “Dari mana kamu?" Tanya Saka dengan nada sedikit meninggi."Saya... Dari supermarket depan, tuan," jawab Arum takut-takut."Terus apa maksud kamu keluar dengan pakaian seperti ini?" Saka menunjuk apa yang sedang Arum kenakan dengan dagunya.Arum menunduk, memperhatikan setiap bagian dari pakaian yang ia kenakan. "Memangnya kenapa, tuan?" Tanya Arum bingung."K
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup
Arum sempat terkejut mendengar ajakan tak terduga dari Saka itu, dengan cemas ia menjawab dengan sedikit berbisik. "Tapi tuan, saya ga bisa dansa." Saka menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya, sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ga masalah, kamu tinggal ikutin saya," jawabnya namun masih dengan nada dingin khas milik lelaki itu. Mereka berdua berjalan ke lantai dansa, di tengah kerumunan yang sedang menonton. Saka memegang tangan Arum dengan agak kuat, namun seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin lembut. Arum yang semula canggung mulai merasa nyaman, walaupun masih terlihat sedikit kikuk. ".. Tuan, kenapa tuan mengajak saya berdansa?" Tanya Arum yang sedari tadi penasaran, membuat Saka kini meliriknya tak santai. "Ga usah kegeeran kamu. Saya ngajak kamu dansa, supaya orang-orang liat dan percaya kalau kita menikah bukan untuk tujuan lain," balas Saka ketus. "Tujuan... Lain?" Saka memutar mata malas setelah Arum membeo ucapannya. "Kenapa sih
Arum sempat terkejut mendengar ajakan tak terduga dari Saka itu, dengan cemas ia menjawab dengan sedikit berbisik. "Tapi tuan, saya ga bisa dansa." Saka menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya, sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ga masalah, kamu tinggal ikutin saya," jawabnya namun masih dengan nada dingin khas milik lelaki itu. Mereka berdua berjalan ke lantai dansa, di tengah kerumunan yang sedang menonton. Saka memegang tangan Arum dengan agak kuat, namun seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin lembut. Arum yang semula canggung mulai merasa nyaman, walaupun masih terlihat sedikit kikuk. ".. Tuan, kenapa tuan mengajak saya berdansa?" Tanya Arum yang sedari tadi penasaran, membuat Saka kini meliriknya tak santai. "Ga usah kegeeran kamu. Saya ngajak kamu dansa, supaya orang-orang liat dan percaya kalau kita menikah bukan untuk tujuan lain," balas Saka ketus. "Tujuan... Lain?" Saka memutar mata malas setelah Arum membeo ucapannya. "Kenapa sih
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup
Saka yang sudah rapi dengan setelan jas katornya melangkah menuruni anak tangga. Langkahnya sempat terhenti sesaat, dengan ekspresi datar, matanya menilai setiap sudut ruang tamu yang terlihat rapi. Namun, pandangannya terhenti pada Arum yang baru saja memasuk rumah. Ia mengenakan baju yang terlihat lebih sederhana dari biasanya, kaos polos dan celana jeans panjang yang sedikit pudar warnanya. Rambutnya yang biasanya tertata rapi sekarang hanya diikat seadanya.Saka melangkah mendekati Arum lalu menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Saka menghela napas, tak habis pikir dengan sosok Arum yang saat ini berdiri di hadapannya. “Dari mana kamu?" Tanya Saka dengan nada sedikit meninggi."Saya... Dari supermarket depan, tuan," jawab Arum takut-takut."Terus apa maksud kamu keluar dengan pakaian seperti ini?" Saka menunjuk apa yang sedang Arum kenakan dengan dagunya.Arum menunduk, memperhatikan setiap bagian dari pakaian yang ia kenakan. "Memangnya kenapa, tuan?" Tanya Arum bingung."K
Saka yang sudah berada di cafe itu sejak dua jam yang lalu kembali menyeruput kopi susu yang kini sudah mulai mendingin. Matanya kini terfokus pada sosok perempuan muda yang duduk sendirian tak jauh dari mejanya. Saka menyeringai pelan setelah melihat perempuan itu nampak seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dengan langkah mantap, Saka berdiri dan berjalan menuju meja Sarah. Begitu tiba, ia berhenti sejenak, menatap Sarah yang sedang memejamkan matanya. ".. Hai? Sarah, ya?" Sapa Saka, membuat Sarah membuka matanya dan menatap sosok itu. "O-oh... Kak Saka? Kok ada di sini?" Tanya Sarah antusias. Ia segera menegakkan duduknya dan merapikan rambut yang dirasa kurang rapi. "Habis ada meeting nih. Boleh saya duduk di sini?" Tak mungkin menolak, Sarah mengangguk mengiyakan perkataan Saka. "Sendirian aja? Udah pesan makan?" Tanya Saka seraya meraih buku menu dan membukanya. Sarah tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Mba!" Panggil Saka pada sala
Di Selasa pagi, Budi tengah sibuk mengerjakan beberapa dokumen penting di ruang kerjanya. Sekretaris barunya, Diana, yang biasanya hanya menemaninya bekerja di kantor, akhir-akhir ini datang ke rumah Budi untuk membawakan beberapa dokumen penting untuk Budi tandatangani. Sesampainya di depan pintu kerja Budi, dengan perlahan Diana memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya. Kaki jenjangnya perlahan melangkah dan sampai di depan meja Budi dengan senyum ramahnya. "Pak Budi, ini dokumennya ya. Seperti biasa saya bawa langsung ke rumah supaya nggak perlu repot-repot ke kantor." Budi yang tengah sibuk berhenti sejenak dan melihat berkas yang Diana bawa. Tak lupa ia pun membalas senyuman manis Diana. "Ah, terima kasih, Diana. Kamu selalu siap siaga ya, haha. Bener-bener nggak nyangka kerja sama kamu bisa semudah ini." Diana yang merasa puas dengan pujian itu, tersenyum lebih lebar dan sedikit mendekatkan dirinya pada Budi. Jemarinya bergerak perlahan dan mengelus tangan Budi dengan jema
Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya. “Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu. Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?” “Tadinya mau nganterin tuan makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum. “Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang sudah berjalan lebih dulu di depan Arum. Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap untuk makan. “Ngomong-
Hari berganti menjadi malam, pesta pernikahan yang melelahkan telah usai. Saka membawa perempuan yang kini baru saja menjadi istrinya pulang ke rumah baru mereka. Setelah membersihkan diri, Arum masuk ke kamar utama. Ia menghembuskan napas lega karena akan segera beristirahat. Langsung saja, ia merebahkan tubuhnya di kasur tanpa menunggu Saka yang masih berada di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, sosok Saka yang sudah mengenakan piyama mengerutkan keningnya, lalu berjalan cepat menuju kasur. Saka menarik pergelangan tangan Arum membuat perempuan itu membuka matanya dan terduduk. “K-kenapa, tuan?” tanya Arum takut-takut. “Kenapa? Kenapa, kamu bilang? Berani-beraninya kamu tidur di kasur! Siapa yang mengizinkan kamu tidur di kasur?!” bentak Saka membuat Arum tertegun, masih tak mengerti dengan perlakuan Saka yang jadi kasar seperti ini. “Saya ga sudi tidur di bekas kamu! Ganti sprei sama bedcovernya, sekarang! Ambil yang baru di lemari.” Saka mendorong Arum menuju lemari, mem
Langkah Saka berhenti sekitar 100 meter di depan Arum. Mata tajam itu kini menatap para pegawai yang sedari tadi membantu Arum mengenakan gaun pengantinnya. "Bisa tinggalkan saya berdua dengan calon istri saya?" Mengangguk paham, semua pegawai di ruangan itu keluar, meninggalkan Saka dan Arum di ruangan dalam hening. Arum berbalik ke arah cermin, tak siap rasanya menatap mata tajam lelaki itu. Saka melangkah perlahan mendekati Arum, matanya tajam memandang gadis itu dengan sedikit senyum nakal. “Jadi, akhirnya... Ini yang jadi pilihannya? Dress yang bikin saya semakin yakin kalau pernikahan ini bukan sekedar formalitas," bisik Saka tepat di telinga Arum, suaranya terkesan santai namun penuh makna. Arum sedikit bergeser, tak nyaman dengan apa yang Saka lakukan barusan. Ia menatap lelaki itu melalui kaca dengan perasaan sedikit tegang. “Kenapa... Kenapa tuan ada di sini? Apa tuan ga sibuk?” Tanya Arum gugup. Mendengar itu, Saka tersenyum simpul. "Kamu udah ngerti sendiri rupanya, har
Arum berjalan menyusuri lorong fakultasnya dengan perasaan yang masih kacau. Ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang perjodohan yang dibicarakan dengan ayah kemarin. Di tengah rasa kalut itu, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki yang selama ini telah mengisi hatinya sedang berdiri tak jauh darinya, lelaki itu terlihat sedang mengobrol bersama beberapa teman sekelasnya. Jantung Arum berdegup dengan kencang, sakit sekali jika memikirkan bahwa mustahil untuk bisa bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pasalnya, kali ini pun ia tak akan bisa menolak perintah dari ayahnya. Arum mengusap air mata yang tanpa disadari mengalir tanpa izin menuruni pipinya, lalu berbalik dan segera pergi dari sana, tak ingin jika harus menatap wajah Sekala dan bicara dengan lelaki itu. Sesampainya di kelas, Arum duduk di kursinya dan menatap papan tulis dengan tatapan kosong. Kata-kata ayahnya terus berputar-putar di kepala, memantul tanpa henti. Hatinya berdegup cepat, seolah dunia yang selama