Suara ricuh seketika memenuhi ruang kelas ketika jam kuliah berakhir, diikuti dosen yang meninggalkan ruangan. Masing-masing sibuk merapikan barang mereka untuk kemudian meninggalkan lingkungan kampus. Sama halnya dengan seorang gadis berusia 20 tahun yang duduk di kursi depan, sembari sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, dengan terburu-buru ia memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas, yang tanpa disengaja membuat salah satu pulpennya terjatuh ke lantai. Belum sempat tangannya meraih pulpen hitam yang tergeletak di lantai, sebuah tangan yang lebih besar darinya meraih pulpen itu dan meletakkannya di atas meja.
"Buru-buru banget, santai aja dulu" Ucap Sekala, laki-laki berwajah teduh dengan mata coklat dan rambut comma hair nya. "Ga bisa, Kal! Rapatnya jam 3 dan sekarang udah jam 14.50... Aku duluan ya" Pamit Arum yang sudah selesai merapikan barang-barangnya. "Bentar..." Panggil Sekala dengan suara lembut, tangannya meraih pergelangan tangan Arum yang sudah berdiri hendak meninggalkan tempat itu. "Bawa ini, makan di sana" Ucap Sekala seraya memberikan sebuah roti dengan selai coklat kesukaan Arum di tangan gadis itu. Arum terdiam sebentar menatap mata coklat Sekala yang menatapnya dengan hangat, lalu tersenyum manis membalas tatapan hangat itu. "Makasih, Kala" Balas Arum sebelum melangkah meninggalkan kelas, serta Sekala di dalamnya. Arum berlari kecil menuruni anak tangga menuju ruang 2.9, tempat rapat besar dilaksanakan. Setibanya di depan ruangan, ia memutar kenop pintu dan menyapa teman-teman sekaligus para junior yang sudah lebih dulu sampai. Setelah duduk, ia kembali melirik jam tangannya dan tersenyum karena waktu istirahat baginya masih tersisa 5 menit. Tak menunggu lama, Arum membuka bungkus roti pemberian Sekala dan memakannya. Hampir tiga jam berlalu sejak rapat dimulai, kini Arum bisa menghirup napas dengan lega karena semua divisi telah menyampaikan progres mereka dan semua berjalan dengan lancar. Setelah menyampaikan beberapa pesan untuk para panitianya, dan memastikan lcd serta proyektor sudah dirapikan dengan baik, satu per satu keluar meninggalkan ruangan. Setelah kakinya melangkah keluar dari ruangan, Arum menoleh ke arah kiri setelah ujung matanya menangkap sosok seseorang. Di sana berdiri Sekala yang sedang menatapnya dengan tatapan hangat dan tersenyum. Entah mengapa setiap kali Sekala menatapnya dengan tatapan seperti itu, ia merasa seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya, rasanya sungguh membahagiakan. "Capek?" Arum menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Sekala. Lelaki itu tersenyum, tangannya bergerak meraih jemari Arum dan menggandengnya. "Ayo pulang? Aku anter sampai rumah" Ajak Sekala yang dengan segera mendapat persetujuan Arum dengan anggukan kepala dari gadis itu. Sesampainya di parkiran, Sekala mengambil helm yang sudah ia siapkan lalu memakaikannya pada Arum. Setelah Arum menaiki motor, Saka meraih tangan Arum dan meletakkannya ke dalam saku jaketnya, menjaga agar tangan gadis itu tetap hangat. Merasa yakin gadis di belakangnya sudah merasa aman dan nyaman, Sekala melajukan motornya menuju kediaman Arum. Selama perjalanan, Arum tersenyum seraya menatapi gedung serta pemandangan yang mereka lewati. Angin sore yang menyibak rambutnya membuat mood perempuan itu sedikit membaik, rasanya energinya kembali sedikit demi sedikit. Namun senyum yang terukir di wajahnya itu perlahan memudar ketika sesuatu mulai mengganggu pikirannya. Pikiran mengenai hubungannya dengan Sekala yang menggantung entah apa artinya dan akan dibawa kemana. Sebab, hubungan mereka yang begitu dekat saat ini tidak terjadi karena mereka adalah sepasang remaja yang tengah merajut kasih atau semacamnya. Siapa yang tidak berdebar jika terus-menerus mendapat perhatian serta perlakuan spesial dari seseorang seperti Sekala, begitu batin Arum. Laki-laki yang menjadi incaran banyak gadis di kampus itu memang dikenal sebagai laki-laki yang ramah, namun perlakuannya pada Arum jelas berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Terkadang terlintas di pikiran Arum untuk menanyakan terkait maksud perlakuan Sekala padanya, namun ia takut jika ia hanya menyimpan rasa seorang diri, ia pun mengurungkan niat itu. Perlahan motor berhenti di kediaman Arum. Tak membiarkan gadis itu melepaskan helm dengan tangannya sendiri, tangan Sekala bergerak untuk melepaskan helm yang masih terpasang di kepala Arum. Lagi-lagi pikiran mengenai kejelasan hubungannya dengan Sekala kembali terlintas di kepalanya. Tanpa kejelasan itu, Sekala bisa kapan saja meninggalkannya dan berpacaran dengan wanita lain, atau bisa saja selama ini Sekala hanya menganggapnya sebagai adik perempuan karena lelaki itu tak memiliki saudara perempuan. Di tengah lamunannya, ia tersadar ketika tangan Sekala melambai di depan wajahnya. "Rum? Kenapa? Ada yang sakit?" Tanya Sekala memastikan, ada kekhawatiran yang terlihat dari raut wajah lelaki itu. Arum menggeleng pelan lalu tersenyum pada Sekala. "Aku ga papa kok" Diam sebentar, Arum kembali membuka pembicaraan. "Kala" Panggilnya sedikit ragu. Sekala menyauti dengan dehaman. "Kita ini... Apa?" *** "... Rum?" Panggil Sekala membuat lamunan Arum kembali buyar. Rupanya pertanyaannya barusan hanyalah ada di dalam pikirannya. Arum menggelengkan kepalanya lalu tersenyum kecil pada Sekala. "Kamu hati-hati pulangnya ya, makasih udah nganterin pulang" Sekala mengangguk lalu kembali menyalakan mesin motornya. Setelah menyempatkan untuk mengelus lembut puncak kepala Arum, Sekala menarik gas dan meninggalkan kediaman Arum. Setelah Sekala hilang sepenuhnya dari pandangan, Arum berbalik dan masuk ke dalam rumah. Setelah mengasah otak sejak pagi di kampus, ditambah rapat organisasi yang memuakkan, akhirnya Arum kembali menginjakkan kakinya di rumah. Ia melepas sepatu dan kaos kaki yang sudah seharian ia gunakan kemudian menatanya dengan rapi ke dalam rak sepatu. Langkahnya kini terhenti di ruang tamu, lebih tepatnya di hadapan orang tuanya yang sedang duduk di sofa untuk mencium punggung tangan keduanya. "Akhirnya kamu pulang juga, ayo cepet bantu ibu beresin rumah. Piring di dapur belum dicuci, makan malamnya juga habis, kamu bisa masak sendiri kan? Ada telur tuh di lemari" Ucap Ratna setelah Arum mencium punggung tangannya. Sembari berusaha tetap tersenyum, Arum mengiyakan perkataan ibu tirinya dan melangkahkan kakinya menuju kamar untuk berganti pakaian sekaligus membersihkan dirinya. Setelah selesai, Arum pergi menuju dapur dan membuka lemari yang biasa digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti telur, mie instan, dan lain-lain. Ia mengambil sebutir telur dan menggorengnya. Sambil menggoreng, sesekali matanya melirik pada Sarah, adik tirinya yang kini ada di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Mereka sedang melihat pakaian-pakaian baru yang kemarin baru saja mereka beli di mall. "Oh ya, baju buat Arum mana?" Tanya Budi, ayah Arum. Tangannya bergerak mencari sesuatu di tumpukan baju. Melihat itu, Ratna meliriknya dengan tatapan sinis. "Ga ada! Lagian bajunya Arum kan udah banyak!" Sahut Ratna dengan ketus. "Bukan gitu, Arum kan mau ketemu calonnya, masa ga pakai baju baru" Timpal Budi membuat Ratna menghembuskan napas kesal. "Duh! Udah deh, mas! Arum itu cuma ketemu sama calon suaminya, ga perlu lah pakai baju yang bagus! Lebay banget! Udah ah, ayo sayang kita lihat bajunya di kamar aja" Ajak Ratna pada putrinya Sarah, mereka mengambil pakaian yang berserakan lalu membawanya ke kamar. Arum yang dapat mendengar percakapan tersebut menghentikan aktivitasnya yang sedang menuangkan kecap ke atas nasi. Ia berjalan perlahan menghampiri ayahnya lalu duduk di samping pria paruh baya itu. “Ayah, aku salah denger, kan? Apa maksud dengan calon suami?” tanya Arum dengan penuh penekanan, ia tidak ingin jika hal itu adalah benar. “Iya, Rum. Ayah belum sempat bilang sama kamu, ini rencananya ayah mau ngasih tau kamu. Begini... Um,” ucapan Budi terjeda, raut wajahnya nampak bingung hendak menjelaskan mulai dari mana. “Kenapa, yah?” Arum menyentuh lengan Budi, membuat pandangan lelaki paruh baya itu kini sepenuhnya menatap dirinya. “Kamu tahu, kan? Kalau dalam beberapa bulan terakhir perusahaan lagi dalam masalah dan kita hampir bangkrut?” Arum mengangguk dengan raut wajah serius, ingin tahu apa kalimat berikutnya yang akan Budi ucapkan. “Beberapa hari lalu lawan bisnis kita tiba-tiba menghubungi ayah, dia menawarkan bantuan berupa modal untuk memperbaiki masalah kita ini, dan dia juga mengatakan akan menganggap lunas semua hutang yang pernah ayah pinjam dari dia. Tapi...” Arum mengerutkan keningnya, mulai menebak alur cerita berikutnya. “.. Dia ingin ayah menyerahkan salah satu putri ayah untuk dijadikan sebagai istri keduanya,” Arum melepas pegangan tangannya pada Budi, ia menggelengkan kepalanya pelan dengan tatapan mata tak percaya mendengar apa yang Budi katakan barusan. “.. Jadi maksudnya, ayah jual aku?” Arum diam sebentar memperhatikan wajah panik Budi, lalu beranjak hendak meninggalkan lelaki itu. Tak ingin Arum pergi tanpa persetujuan, Budi memegang tangan Arum dan menahan gadis itu untuk pergi. “Dengar ayah dulu, Rum. Ga ada yang salah dengan sebuah perjodohan, banyak kok yang berakhir bahagia, walau usia yang terpaut jauh sekalipun. Percaya sama ayah, kamu akan bahagia dengan calon kamu ini. Selain itu, masalah ayah juga jadi berkurang, kan? Lakukan ini demi ayah, ya?” Bujuk Budi dengan raut wajah memelas. “Ayah juga ga bisa membiarkan Sarah yang menikah dengan lelaki tua itu, Rum. Dia baru lulus SMA dan masih sangat muda, kasihan dia,” lanjut Budi membuat Arum membulatkan matanya, lalu apa bedanya dengan Arum yang hanya berbeda dua tahun dengan Sarah, begitu pikir Arum. Mau dipikir dan ditolak berapa kalipun, Arum tau, ia tak akan bisa menolak atau lari dari masalah ini. Mau tidak mau, ia harus mengiyakan apa yang Budi inginkan. Dengan terpaksa, Arum mengangguk mengiyakan permintaan Budi. Melihat itu lantas membuat senyuman terukir lebar di wajah Budi. Tanpa memastikan bagaimana perasaan putri sulungnya setelah pembicaraan itu, Budi berdiri dan meraih ponselnya yang berada di atas meja lalu menelepon seseorang dengan girang, sepertinya itu adalah pihak yang akan segera memberinya uang dalam jumlah besar. Arum tersenyum pahit lalu berlalu meninggalkan Budi menuju kamar miliknya. Sesampainya di dalam kamar, Arum mengunci pintu dan merebahkan dirinya di atas kasur. Moodnya hancur seketika memikirkan apa yang baru saja ia bicarakan dengan ayahnya, bahkan nasi yang sudah ia siapkan di dapur pun ia tinggal begitu saja. Matanya terpejam, lalu bulir air mata jatuh begitu saja. Pikirannya berkecamuk membayangkan harus menghabiskan sisa hidupnya bersama orang asing yang bahkan mungkin sebaya dengan ayahnya. “.. Kala...” Gumam Arum semakin terisak.Arum berjalan menyusuri lorong fakultasnya dengan perasaan yang masih kacau. Ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang perjodohan yang dibicarakan dengan ayah kemarin. Di tengah rasa kalut itu, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki yang selama ini telah mengisi hatinya sedang berdiri tak jauh darinya, lelaki itu terlihat sedang mengobrol bersama beberapa teman sekelasnya. Jantung Arum berdegup dengan kencang, sakit sekali jika memikirkan bahwa mustahil untuk bisa bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pasalnya, kali ini pun ia tak akan bisa menolak perintah dari ayahnya. Arum mengusap air mata yang tanpa disadari mengalir tanpa izin menuruni pipinya, lalu berbalik dan segera pergi dari sana, tak ingin jika harus menatap wajah Sekala dan bicara dengan lelaki itu. Sesampainya di kelas, Arum duduk di kursinya dan menatap papan tulis dengan tatapan kosong. Kata-kata ayahnya terus berputar-putar di kepala, memantul tanpa henti. Hatinya berdegup cepat, seolah dunia yang selama
Langkah Saka berhenti sekitar 100 meter di depan Arum. Mata tajam itu kini menatap para pegawai yang sedari tadi membantu Arum mengenakan gaun pengantinnya. "Bisa tinggalkan saya berdua dengan calon istri saya?" Mengangguk paham, semua pegawai di ruangan itu keluar, meninggalkan Saka dan Arum di ruangan dalam hening. Arum berbalik ke arah cermin, tak siap rasanya menatap mata tajam lelaki itu. Saka melangkah perlahan mendekati Arum, matanya tajam memandang gadis itu dengan sedikit senyum nakal. “Jadi, akhirnya... Ini yang jadi pilihannya? Dress yang bikin saya semakin yakin kalau pernikahan ini bukan sekedar formalitas," bisik Saka tepat di telinga Arum, suaranya terkesan santai namun penuh makna. Arum sedikit bergeser, tak nyaman dengan apa yang Saka lakukan barusan. Ia menatap lelaki itu melalui kaca dengan perasaan sedikit tegang. “Kenapa... Kenapa tuan ada di sini? Apa tuan ga sibuk?” Tanya Arum gugup. Mendengar itu, Saka tersenyum simpul. "Kamu udah ngerti sendiri rupanya, har
Hari berganti menjadi malam, pesta pernikahan yang melelahkan telah usai. Saka membawa perempuan yang kini baru saja menjadi istrinya pulang ke rumah baru mereka. Setelah membersihkan diri, Arum masuk ke kamar utama. Ia menghembuskan napas lega karena akan segera beristirahat. Langsung saja, ia merebahkan tubuhnya di kasur tanpa menunggu Saka yang masih berada di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, sosok Saka yang sudah mengenakan piyama mengerutkan keningnya, lalu berjalan cepat menuju kasur. Saka menarik pergelangan tangan Arum membuat perempuan itu membuka matanya dan terduduk. “K-kenapa, tuan?” tanya Arum takut-takut. “Kenapa? Kenapa, kamu bilang? Berani-beraninya kamu tidur di kasur! Siapa yang mengizinkan kamu tidur di kasur?!” bentak Saka membuat Arum tertegun, masih tak mengerti dengan perlakuan Saka yang jadi kasar seperti ini. “Saya ga sudi tidur di bekas kamu! Ganti sprei sama bedcovernya, sekarang! Ambil yang baru di lemari.” Saka mendorong Arum menuju lemari, mem
Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya. “Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu. Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?” “Tadinya mau nganterin tuan makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum. “Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang sudah berjalan lebih dulu di depan Arum. Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap untuk makan. “Ngomong-
Di Selasa pagi, Budi tengah sibuk mengerjakan beberapa dokumen penting di ruang kerjanya. Sekretaris barunya, Diana, yang biasanya hanya menemaninya bekerja di kantor, akhir-akhir ini datang ke rumah Budi untuk membawakan beberapa dokumen penting untuk Budi tandatangani. Sesampainya di depan pintu kerja Budi, dengan perlahan Diana memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya. Kaki jenjangnya perlahan melangkah dan sampai di depan meja Budi dengan senyum ramahnya. "Pak Budi, ini dokumennya ya. Seperti biasa saya bawa langsung ke rumah supaya nggak perlu repot-repot ke kantor." Budi yang tengah sibuk berhenti sejenak dan melihat berkas yang Diana bawa. Tak lupa ia pun membalas senyuman manis Diana. "Ah, terima kasih, Diana. Kamu selalu siap siaga ya, haha. Bener-bener nggak nyangka kerja sama kamu bisa semudah ini." Diana yang merasa puas dengan pujian itu, tersenyum lebih lebar dan sedikit mendekatkan dirinya pada Budi. Jemarinya bergerak perlahan dan mengelus tangan Budi dengan jema
Saka yang sudah berada di cafe itu sejak dua jam yang lalu kembali menyeruput kopi susu yang kini sudah mulai mendingin. Matanya kini terfokus pada sosok perempuan muda yang duduk sendirian tak jauh dari mejanya. Saka menyeringai pelan setelah melihat perempuan itu nampak seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dengan langkah mantap, Saka berdiri dan berjalan menuju meja Sarah. Begitu tiba, ia berhenti sejenak, menatap Sarah yang sedang memejamkan matanya. ".. Hai? Sarah, ya?" Sapa Saka, membuat Sarah membuka matanya dan menatap sosok itu. "O-oh... Kak Saka? Kok ada di sini?" Tanya Sarah antusias. Ia segera menegakkan duduknya dan merapikan rambut yang dirasa kurang rapi. "Habis ada meeting nih. Boleh saya duduk di sini?" Tak mungkin menolak, Sarah mengangguk mengiyakan perkataan Saka. "Sendirian aja? Udah pesan makan?" Tanya Saka seraya meraih buku menu dan membukanya. Sarah tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Mba!" Panggil Saka pada sala
Saka yang sudah rapi dengan setelan jas katornya melangkah menuruni anak tangga. Langkahnya sempat terhenti sesaat, dengan ekspresi datar, matanya menilai setiap sudut ruang tamu yang terlihat rapi. Namun, pandangannya terhenti pada Arum yang baru saja memasuk rumah. Ia mengenakan baju yang terlihat lebih sederhana dari biasanya, kaos polos dan celana jeans panjang yang sedikit pudar warnanya. Rambutnya yang biasanya tertata rapi sekarang hanya diikat seadanya.Saka melangkah mendekati Arum lalu menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Saka menghela napas, tak habis pikir dengan sosok Arum yang saat ini berdiri di hadapannya. “Dari mana kamu?" Tanya Saka dengan nada sedikit meninggi."Saya... Dari supermarket depan, tuan," jawab Arum takut-takut."Terus apa maksud kamu keluar dengan pakaian seperti ini?" Saka menunjuk apa yang sedang Arum kenakan dengan dagunya.Arum menunduk, memperhatikan setiap bagian dari pakaian yang ia kenakan. "Memangnya kenapa, tuan?" Tanya Arum bingung."K
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup
Arum sempat terkejut mendengar ajakan tak terduga dari Saka itu, dengan cemas ia menjawab dengan sedikit berbisik. "Tapi tuan, saya ga bisa dansa." Saka menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya, sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ga masalah, kamu tinggal ikutin saya," jawabnya namun masih dengan nada dingin khas milik lelaki itu. Mereka berdua berjalan ke lantai dansa, di tengah kerumunan yang sedang menonton. Saka memegang tangan Arum dengan agak kuat, namun seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin lembut. Arum yang semula canggung mulai merasa nyaman, walaupun masih terlihat sedikit kikuk. ".. Tuan, kenapa tuan mengajak saya berdansa?" Tanya Arum yang sedari tadi penasaran, membuat Saka kini meliriknya tak santai. "Ga usah kegeeran kamu. Saya ngajak kamu dansa, supaya orang-orang liat dan percaya kalau kita menikah bukan untuk tujuan lain," balas Saka ketus. "Tujuan... Lain?" Saka memutar mata malas setelah Arum membeo ucapannya. "Kenapa sih
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup
Saka yang sudah rapi dengan setelan jas katornya melangkah menuruni anak tangga. Langkahnya sempat terhenti sesaat, dengan ekspresi datar, matanya menilai setiap sudut ruang tamu yang terlihat rapi. Namun, pandangannya terhenti pada Arum yang baru saja memasuk rumah. Ia mengenakan baju yang terlihat lebih sederhana dari biasanya, kaos polos dan celana jeans panjang yang sedikit pudar warnanya. Rambutnya yang biasanya tertata rapi sekarang hanya diikat seadanya.Saka melangkah mendekati Arum lalu menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Saka menghela napas, tak habis pikir dengan sosok Arum yang saat ini berdiri di hadapannya. “Dari mana kamu?" Tanya Saka dengan nada sedikit meninggi."Saya... Dari supermarket depan, tuan," jawab Arum takut-takut."Terus apa maksud kamu keluar dengan pakaian seperti ini?" Saka menunjuk apa yang sedang Arum kenakan dengan dagunya.Arum menunduk, memperhatikan setiap bagian dari pakaian yang ia kenakan. "Memangnya kenapa, tuan?" Tanya Arum bingung."K
Saka yang sudah berada di cafe itu sejak dua jam yang lalu kembali menyeruput kopi susu yang kini sudah mulai mendingin. Matanya kini terfokus pada sosok perempuan muda yang duduk sendirian tak jauh dari mejanya. Saka menyeringai pelan setelah melihat perempuan itu nampak seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dengan langkah mantap, Saka berdiri dan berjalan menuju meja Sarah. Begitu tiba, ia berhenti sejenak, menatap Sarah yang sedang memejamkan matanya. ".. Hai? Sarah, ya?" Sapa Saka, membuat Sarah membuka matanya dan menatap sosok itu. "O-oh... Kak Saka? Kok ada di sini?" Tanya Sarah antusias. Ia segera menegakkan duduknya dan merapikan rambut yang dirasa kurang rapi. "Habis ada meeting nih. Boleh saya duduk di sini?" Tak mungkin menolak, Sarah mengangguk mengiyakan perkataan Saka. "Sendirian aja? Udah pesan makan?" Tanya Saka seraya meraih buku menu dan membukanya. Sarah tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Mba!" Panggil Saka pada sala
Di Selasa pagi, Budi tengah sibuk mengerjakan beberapa dokumen penting di ruang kerjanya. Sekretaris barunya, Diana, yang biasanya hanya menemaninya bekerja di kantor, akhir-akhir ini datang ke rumah Budi untuk membawakan beberapa dokumen penting untuk Budi tandatangani. Sesampainya di depan pintu kerja Budi, dengan perlahan Diana memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya. Kaki jenjangnya perlahan melangkah dan sampai di depan meja Budi dengan senyum ramahnya. "Pak Budi, ini dokumennya ya. Seperti biasa saya bawa langsung ke rumah supaya nggak perlu repot-repot ke kantor." Budi yang tengah sibuk berhenti sejenak dan melihat berkas yang Diana bawa. Tak lupa ia pun membalas senyuman manis Diana. "Ah, terima kasih, Diana. Kamu selalu siap siaga ya, haha. Bener-bener nggak nyangka kerja sama kamu bisa semudah ini." Diana yang merasa puas dengan pujian itu, tersenyum lebih lebar dan sedikit mendekatkan dirinya pada Budi. Jemarinya bergerak perlahan dan mengelus tangan Budi dengan jema
Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya. “Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu. Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?” “Tadinya mau nganterin tuan makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum. “Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang sudah berjalan lebih dulu di depan Arum. Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap untuk makan. “Ngomong-
Hari berganti menjadi malam, pesta pernikahan yang melelahkan telah usai. Saka membawa perempuan yang kini baru saja menjadi istrinya pulang ke rumah baru mereka. Setelah membersihkan diri, Arum masuk ke kamar utama. Ia menghembuskan napas lega karena akan segera beristirahat. Langsung saja, ia merebahkan tubuhnya di kasur tanpa menunggu Saka yang masih berada di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, sosok Saka yang sudah mengenakan piyama mengerutkan keningnya, lalu berjalan cepat menuju kasur. Saka menarik pergelangan tangan Arum membuat perempuan itu membuka matanya dan terduduk. “K-kenapa, tuan?” tanya Arum takut-takut. “Kenapa? Kenapa, kamu bilang? Berani-beraninya kamu tidur di kasur! Siapa yang mengizinkan kamu tidur di kasur?!” bentak Saka membuat Arum tertegun, masih tak mengerti dengan perlakuan Saka yang jadi kasar seperti ini. “Saya ga sudi tidur di bekas kamu! Ganti sprei sama bedcovernya, sekarang! Ambil yang baru di lemari.” Saka mendorong Arum menuju lemari, mem
Langkah Saka berhenti sekitar 100 meter di depan Arum. Mata tajam itu kini menatap para pegawai yang sedari tadi membantu Arum mengenakan gaun pengantinnya. "Bisa tinggalkan saya berdua dengan calon istri saya?" Mengangguk paham, semua pegawai di ruangan itu keluar, meninggalkan Saka dan Arum di ruangan dalam hening. Arum berbalik ke arah cermin, tak siap rasanya menatap mata tajam lelaki itu. Saka melangkah perlahan mendekati Arum, matanya tajam memandang gadis itu dengan sedikit senyum nakal. “Jadi, akhirnya... Ini yang jadi pilihannya? Dress yang bikin saya semakin yakin kalau pernikahan ini bukan sekedar formalitas," bisik Saka tepat di telinga Arum, suaranya terkesan santai namun penuh makna. Arum sedikit bergeser, tak nyaman dengan apa yang Saka lakukan barusan. Ia menatap lelaki itu melalui kaca dengan perasaan sedikit tegang. “Kenapa... Kenapa tuan ada di sini? Apa tuan ga sibuk?” Tanya Arum gugup. Mendengar itu, Saka tersenyum simpul. "Kamu udah ngerti sendiri rupanya, har
Arum berjalan menyusuri lorong fakultasnya dengan perasaan yang masih kacau. Ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang perjodohan yang dibicarakan dengan ayah kemarin. Di tengah rasa kalut itu, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki yang selama ini telah mengisi hatinya sedang berdiri tak jauh darinya, lelaki itu terlihat sedang mengobrol bersama beberapa teman sekelasnya. Jantung Arum berdegup dengan kencang, sakit sekali jika memikirkan bahwa mustahil untuk bisa bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pasalnya, kali ini pun ia tak akan bisa menolak perintah dari ayahnya. Arum mengusap air mata yang tanpa disadari mengalir tanpa izin menuruni pipinya, lalu berbalik dan segera pergi dari sana, tak ingin jika harus menatap wajah Sekala dan bicara dengan lelaki itu. Sesampainya di kelas, Arum duduk di kursinya dan menatap papan tulis dengan tatapan kosong. Kata-kata ayahnya terus berputar-putar di kepala, memantul tanpa henti. Hatinya berdegup cepat, seolah dunia yang selama