“Ga mau, pah. Udah berapa kali aku bilang, aku ga mau! Aku mau menikah sama orang yang aku cintai!” tegas Kala, bersikukuh menolak tawaran perjodohan dari papah.
“Kala, papah kan sudah jelaskan tadi, rasa cinta akan timbul seiring berjalannya waktu,” sahut Dewa, lelaki berusia 58 tahun yang Kala panggil dengan sebutan papah.“Engga! Aku sudah punya orang yang mau aku nikahi, dan aku sangat mencintai dia! Aku akan kenalkan sama papah secepatnya!” bantah Kala membuat Dewa menggelengkan kepala lelah.“Kenapa sih ribut pagi-pagi??” Kala dan kedua orang tuanya menoleh pada sumber suara, suara milik seorang pria dengan perawakan tinggi yang baru memasuki ruang keluarga.“Putri sulung keluarga Wicaksono?” tanya Saka memastikan, setelah mendengar penjelasan dari Dewa. “Biar aku yang menikah dengan perempuan itu!” ucap Saka dengan tegas, membuat semua orang yang berada di ruangan tercengang mendengar ucapannya.***Lelaki dingin yang baru saja pulang dari luar negeri itu kembali, hanya untuk membalaskan dendamnya pada orang yang sudah menghancurkan keluarganya. Mereka akan mendapatkan balasan setimpal atas semuanya. Dia tak akan diam saja setelah menyaksikan semua itu. Semua hal yang selama ini telah menyiksanya.“Sebentar lagi, kalian akan hancur! Aku pastikan itu. Tak akan kubiarkan kalian menghirup udara ini dengan tenang. Kalian harus menerima ganjarannya,” ucap Saka di kesendiriannya. Terlihat sebuah foto yang terlihat sudah tak berbentuk lagi, berada di tangannya.“Kita mulai dari perempuan ini,” ucap Saka seraya melihat foto seorang wanita yang sebentar lagi akan menikah dengannya, dia adalah, Arum.Waktu berjalan begitu cepat, saat yang Saka tunggu sejak lama telah tiba. Hari ini, perempuan yang ingin sekali ia hancurkan duduk di sampingnya. Saka mengulurkan tangannya pada penghulu, lalu mengucapkan janji suci, membuat keduanya menjadi pasangan suami istri yang sah.Setelah proses akad nikah selesai, kini semua tamu, tak lupa dengan pengantin, menikmati alunan musik yang diputar, tak sedikit pula yang berdansa dengan pasangan masing-masing. Saka melingkarkan tangan kanannya di pinggang mungil Arum, mendekat pada Arum siap membisikkan sesuatu. Tangan kirinya memegang bahu perempuan itu dan mencengkeramnya dengan kuat.“Siap-siap, Arum. Pembalasan saya akan segera kamu rasakan,” bisik laki-laki itu membuat Arum bergidik, ia diam tak menanggapi, masih memikirkan apa maksud laki-laki ini.Hari berganti menjadi malam, setelah pesta pernikahan, Saka membawa perempuan yang kini menjadi istrinya pulang ke rumah baru mereka. Setelah membersihkan diri, Arum masuk ke kamar utama. Ia menghembuskan napas lega karena akan segera beristirahat. Langsung saja, ia merebahkan tubuhnya di kasur tanpa menunggu Saka yang masih berada di kamar mandi.Pintu kamar mandi terbuka, sosok Saka yang sudah mengenakan piyama mengerutkan keningnya, lalu berjalan cepat menuju kasur. Saka menarik pergelangan tangan Arum membuat perempuan itu membuka matanya dan terduduk. “K-kenapa, mas?” tanya Arum takut-takut.“Kenapa? Kenapa, kamu bilang? Berani-beraninya kamu tidur di kasur! Siapa yang mengizinkan kamu tidur di kasur?!” bentak Saka membuat Arum tertegun, masih tak mengerti dengan perlakuan Saka yang jadi kasar seperti ini.“Saya ga sudi tidur di bekas kamu! Ganti sprei sama bedcovernya, sekarang! Ambil yang baru di lemari.” Saka mendorong Arum menuju lemari, membuat perempuan itu terhuyung dan hampir terjatuh. Mematuhi perkataan Saka, Arum segera mengambil sprei dan bedcover baru lalu mengganti yang lama dengan yang baru.“Bagus. Sekarang kamu keluar, terserah mau tidur di mana. Ah, tapi... Saya ga mau kamu tidur di kamar tamu, atau di sofa, karena saya ga mau tamu saya gatel-gatel nanti. Kamu paham, kan?” Arum diam dengan kepalanya yang menunduk, membuat Saka geram dan menoyor kepalanya.“Kamu punya kuping ga, sih? Ngerti, ga?!” tanya Saka sekali lagi. Arum mengangkat kepalanya lalu mengangguk.“Bagus. Keluar sana!” Tanpa mengatakan apapun, Arum berbalik dan keluar dari kamar utama.“Kalau ga boleh tidur di sofa, terus di mana?? Di lantai?” gerutu Arum dengan langkah kakinya yang berat. Karena sudah lelah dan malas untuk memikirkan tempat untuk tidur, Arum merebahkan tubuhnya di karpet yang ada di ruang keluarga. Besok ia akan pikirkan lagi tempat yang lebih nyaman. Matanya perlahan terpejam lalu tertidur.Waktu berlalu dengan cepat, matahari mulai naik menandakan hari berganti menjadi pagi. Mata Arum perlahan terbuka ketika merasakan sesuatu mengenai kakinya, rupanya itu adalah kaki Saka yang menendang-nendangnya. “Heh, bangun!”“Bisa cepet, ga?!” bentak Saka membuat Arum segera berdiri dan berhadapan dengannya.“Dasar pemalas! Udah jam setengah enam dan kamu masih tidur dengan nyenyak? Perempuan macam apa kamu?” omel Saka seraya berjalan menuju dapur, Arum dengan wajah cemberutnya mengekor di belakang Saka.“Memangnya mas sudah kerja? Ga ada cuti nikah?” tanya Arum.“Kerja! Buat apa juga saya di rumah sama kamu?” balas Saka segera, membuat Arum semakin heran dan bertanya, apakah selama ini sifat suaminya memang kasar.“Yasudah aku buatin sarapan dulu, sebentar ya.” Arum berjalan cepat mendului Saka, ingin segera melihat isi kulkas.“Ga perlu! Saya ga mau makan masakan kamu. Saya cuma mau ngambil air,” cegah Saka membuat Arum menghentikan langkahnya dan menatap laki-laki itu bingung.Setelah mengambil segelas air putih, Saka kembali masuk ke kamarnya dan keluar saat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh untuk berangkat ke kantor. Suasana ini benar-benar membuat Arum bingung, ada apa sebenarnya, kenapa Saka terlihat membencinya. Membuang semua pikiran itu, Arum menutup pintu depan dan bersiap untuk berangkat kuliah.Setibanya di kelas dan memulai pelajaran, Arum kehilangan fokusnya karena bayang-bayang Saka yang terus terlintas di pikirannya, berulang kali ia mencoba untuk tidak memikirkannya, namun sia-sia, Saka selalu saja mengganggu pikirannya. Dan itu sangat mengganggu dirinya. Tanpa terasa, waktu telah menunjukkan jam pulang, dan semua kegiatan panjang di kampus hari ini selesai. Arum mengeluarkan ponselnya dan segera memesan ojek online, untuk mengantarnya pulang ke rumah.Setibanya di rumah, Arum berjalan lesu menuju pintu masuk, tenaganya terkuras cukup banyak hari ini. Ketika hendak pergi ke dapur, langkah Arum terhenti ketika menyadari ada seseorang di ruang keluarga, ia menoleh dan mendapati sosok Saka yang sedang duduk santai di sofa, bersama seorang wanita yang memeluknya.“Akhirnya datang juga, sini!” panggil Saka membuat Arum yang masih tertegun berjalan perlahan mendekatinya.“Beliin saya makanan, saya mau ayam sama burger. Kamu mau apa, sayang?” tanya Saka pada perempuan di pelukannya, membuat Arum membelalakkan matanya, merasa ada yang janggal.“Pizza!” sahut perempuan di samping Saka dengan senang.“Kamu dengar, kan? Jangan lupa beli pizza. Ayo cepet beli, kasihan pacar saya udah lapar,” titah Saka, kali ini entah mengapa air mata jatuh begitu saja dari pelupuk mata Arum.“Malah nangis... Ayo cepet berangkat!” bentak Saka membuat Arum segera berbalik dan berjalan cepat menuju pintu keluar.Arum mengeluarkan ponselnya dan memesan apa yang Saka perintahkan tadi, supaya ia tidak perlu jauh-jauh pergi ke restoran. Ia akan menunggu di depan rumah. Belum sempat meraih pegangan pintu, Arum tersentak ketika seseorang mengetuk pintu. Setelah menghapus air mata di pipinya, Arum segera membuka pintu dan mendapati sosok Dewa dan Rosa berdiri di depan pintu.“Malam Arum, maaf ya papah sama mamah datang malam-malam. Boleh papah masuk?” Dewa melenggang masuk ketika Arum menganggukkan kepalanya.“Arum, kamu nangis? Kenapa? Kamu diapain sama Saka?” Arum menoleh dengan cepat ketika Rosa menyentuh lengannya, ia menggeleng tak ingin mertuanya tahu apa yang terjadi.Seketika Arum teringat pada Saka yang ada di ruang keluarga, bagaimana jika papah melihatnya sedang bersama dengan seorang perempuan. Arum menggandeng lengan Rosa dan berjalan menuju ruang keluarga dengan perasaan gelisah.Dan benar saja, Saka dan kekasihnya yang masih sibuk bermesraan terkejut bukan main ketika Dewa tiba-tiba memasuki ruangan. Keduanya dengan cepat duduk dengan tegak dan berjauhan. Tak lama, keduanya berdiri dan berjalan menghampiri Dewa. “Ada apa, pah? Tumben malam-malam ke rumah,” tanya Saka lalu menyengir, jujur saja saat ini jantungnya berdegup dengan kencang, takut dengan ekspresi Dewa yang sedang menatapnya dengan curiga.“Kalian abis ngapain? Kenapa panik gitu papah ke sini?” tanya Dewa curiga.“Panik? Hahaha, siapa yang panik pah? Aku cuma kaget aja papah tiba-tiba masuk. Biasalah, aku lagi bahas kerjaan sama sekretaris aku. Ya kan, Din?” Saka berbalik dan menatap Nadine, setelah saling bertukar pandang, Nadine menatap Dewa lalu mengangguk setuju.“Ngapain sampai datang ke rumah? Ga bisa dibahas besok saja di kantor? Ini juga sudah malam,” cecar Dewa.“Ga bisa pah, ini penting buat meeting besok,” sahut Saka. Mata laki-laki itu naik menatap Arum yang baru saja memasuki ruangan dengan kesal.“Saka, siapa yang kamu lihat dengan tatapan seperti itu? Kamu ga boleh seperti itu,” tegur Dewa membuat Saka memutar mata malas dan menatap lantai.“Nadine, saya rasa kamu bisa pulang, hari sudah semakin malam, berbahaya kalau terlalu larut.” Mendengar ucapan Dewa, Nadine mengangguk lalu berpamitan pada yang ada di ruangan, perempuan itu melenggang keluar dari rumah.Arum yang sedang membuatkan minuman merintih kesakitan ketika Saka tiba-tiba datang dan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. “Kenapa kamu ga cepet-cepet nyamperin saya waktu papah datang? Sengaja biar saya ketahuan sama papah? Iya?” bisik Saka. Cengkeramannya pada kedua tangan Arum menguat, membuat perempuan itu kembali merintih kesakitan.Fokus Arum kini bukan pada Saka, melainkan pada orang tua Saka yang sedang berjalan menuju dapur. Tak ingin mertuanya berpikir macam-macam, Arum memutar otak dan berpikir, bagaimana caranya agar mertuanya berpikir ini adalah pernikahan yang harmonis.Arum berjinjit dan mengecup bibir Saka, membuat laki-laki itu membelalak dan menatapnya tak santai. “Maaf... Ada papah sama mamah,” bisik Arum membuat Saka segera menoleh, menatap orang tuanya yang tersipu malu melihat keduanya.Keheningan yang ada di ruangan itu berakhir ketika seseorang tiba-tiba menekan bel, membuat semua menoleh ke arah pintu depan. “Biar papah yang buka,” ucap Dewa seraya melangkah untuk membukakan pintu.Tak lama, papah kembali dengan makanan yang Arum pesan tadi. “Kalian pesan makanan?” tanya Dewa seraya meletakkan makanan di meja makan.“Ah, iya... Itu, Arum ga sempet masak, terus Arum lagi kepengen banget makan ayam katanya. Karena aku ga bisa masak, jadi kita pesen,” sahut Saka membuat Dewa dan Rosa saling menatap sebentar, lalu kembali menatap Saka dan Arum.“Jangan-jangan.. Arum udah isi?? Wah, cepet banget! Kamu langsung gaspoll? Kasian Arum nya, Ka,” celetuk Dewa membuat Saka menaikkan satu alisnya.“Dulu mamah ngidam waktu hamil tua sih, kamu langsung ngidam ya, hihi,” tambah Rosa seraya tertawa kecil.“Engga, engga... Bukan begitu.” Saka mengangkat kedua tangannya di depan dada, tidak ingin orang tuanya salah paham.“Ah, jangan malu-malu! Kabar baik itu harus segera diberitahukan,” sahut papah.“Tapi memang engga, pah! Hentikan. Lagian nikah juga belum tiga hari.” Saka melenggang melewati orang tuanya dan masuk ke kamar, enggan mendengar apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Dewa dan Rosa.***Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya.“Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu.Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?”“Tadinya mau nganterin mas makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum.“Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang terus berjalan di depan Arum.Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap makan. “Ngomong-ngomong, papah sama ma
“Waktu usia Saka masih 6 tahun, dia kehilangan ibu kandungnya dengan cara yang ga wajar,” ucap Risma membuat Arum sempat loading, bukankah Rosa adalah ibu Saka? Apa maksudnya kehilangan.“Kamu pasti bingung... Keluarga kita ini bukan keluarga sempurna seperti yang orang-orang bicarakan, kita juga pernah berada di bawah dan terpuruk. Jadi sebenarnya, Rosa itu ibu tirinya Saka, dulu Dewa menikah lagi setelah satu tahun kepergian ibu Saka, dan satu tahun kemudian lahirlah Kala.” Risma menjeda ceritanya, menyeruput secangkir teh hangat lalu menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan cerita.“Dulu, ada yang menuduh Dewa melakukan korupsi, sehingga banyak harta keluarga yang disita, bahan Dewa sempat ditahan untuk waktu yang cukup lama. Di saat itu, hal buruk juga terjadi pada kakak Saka, namanya Raka, anak itu diculik ketika sedang bermain bersama Saka di taman. Saka yang masih kecil saat itu tidak bisa melakukan banyak hal, dia dipukuli saat berusaha menyelamatkan kakaknya.”
“Mandi sana, habis itu makan bareng,” titah Kala seraya mengusap kepala Arum lembut, lelaki itu akhirnya kembali tersenyum manis setelah cukup lama murung.Setelah menginap selama beberapa hari di kediaman Dewa alias mertuanya, Arum mulai merasa nyaman dan betah, setidaknya ia tidak merasa kesepian. Orang-orang di rumah itu juga memperlakukannya dengan baik. Ia menutup pintu kamar, bersiap untuk segera tidur. Namun sebelum tidur, ia berdiri dan tersenyum menatap pemandangan langit malam yang indah melalui jendela kamar.Arum menoleh ketika mendengar suara pintu yang dibuka, diiringi suara Saka yang tertawa kecil setelahnya. “Saya ga nyangka, keluarga kamu emang se mata duitan itu, ya?” ejek Saka.“Maksudnya?” Tanya Arum tak mengerti.“Kamu ga tau, atau pura-pura ga tau? Adanya kamu di sini kan juga karena uang, mereka butuh uang buat manjain adik kamu yang manja itu.” Saka tersenyum puas melihat wajah kesal Arum.“Orang tua kamu tadi nemuin saya, mereka minta uang. Menurut kamu, saya
“Ga ada apa-apa kok, omah. Cuma ada sedikit salah paham aja,” balas Arum, namun tetap tak menghilangkan khawatir dari raut wajah Risma.“Beneran ga papa? Kamu sampai nangis begini... Mana Saka? Biar omah marahi dia!” ucap Risma seraya mengintip ke dalam kamar.“Jangan omah, Arum beneran ga papa kok, omah.” Setelah penjelasan yang Arum berikan dapat diterima oleh Risma, akhirnya Arum menutup pintu kamar ketika Risma sudah tak lagi di sana.Ketika pagi hari tiba, Arum menghampiri Saka yang berada di depan lemari, lelaki itu nampak kesal dan kebingungan. “Kenapa, mas?” tanya Arum.“Nyari dasi! Dasi merah!” sahut Saka ketus. Sorot mata Arum mencari ke beberapa arah, dan menemukan apa yang Saka cari. Ia meraih dasi itu dan menunjukkannya pada Saka.“Mau dipasangin?” Saka meraih dasi itu dengan kasar dan melangkah mendekati cermin.“Ga usah, saya bisa sendiri!” Mendengar itu, Arum berbalik dan keluar dari kamar. Saka hanya bisa mendengus kesal melihatnya.Setelah selesai bersiap, Saka kelua