Hayana yang selama ini selalu menerima uang lima belas ribu per hari dari suaminya kini mulai berubah. Tersebab Hayana mengetahui gaji suaminya yang lumayan tinggi. Selain itu, Hayana pun menemukan bukti perselingkuhan Arik— suaminya. Perempuan yang mandiri itu memilih mundur dari perkawinannya. Di tengah kemelut rumah tangganya, Hayana dinyatakan hamil. Namun, berita kehamilan Hayana tidak disambut baik oleh Arik. Lelaki itu menuduh Hayana hamil dengan selingkuhannya. Hayana yang memang sudah sakit hati terhadap Arik pun berjanji tidak akan pernah memperkenalkan anaknya pada bapak biologis. Baginya, Arik telah mati sehingga anaknya tak perlu tahu siapa bapaknya.
view moreWanita yang Kau Sakiti
"Nasi goreng lagi. Lagi, lagi, nasi goreng. Memangnya Kamu tidak bisa masak menu lainnya untuk sarapan? Aku bosan tahu!" Arik menatap malas nasi goreng yang masih mengepul.
"Kalau mau makan enak kasih uang yang banyak!" bantah Hayana sambil menyendok nasi tersebut.
"Kalau cuman beli sayuran lima belas ribu juga cukup!" Arik tak terima dibantah istrinya.
"Mas, coba sehari saja jadi bapak rumah tangga, biar tahu pusingnya ngatur uang belanja lima belas ribu perhari. Kamu pikir yang dibeli itu hanya sayurannya doang? Bumbunya minta orang? Aku sangat pandai masak menu lainnya.
Sayangnya, duitmu tidak mampu membeli bahan makanan yang lain! Memangnya kamu sendiri yang bosan? Aku sangat bosan dengan semua ini!" sahut Hayana panjang kali lebar kali tinggi. Dia membalas tatapan nyalang suaminya. Nasi dalam piringnya diabaikan begitu saja.
"Masih bagus aku kasih nafkah segitu, daripada tidak sama sekali. Tidak bersyukur! Seharusnya segitu cukup untuk biaya dapur. Kamu itu belum ada anak saja boros, gimana kalau sudah punya anak pasti tambah boros lagi!" umpat Arik.
"Lima belas ribu kamu bilang boros? Kupingku tidak salah dengarkan? Mulai besok kamu belanja sendiri semua kebutuhan dapur!" Hayana sudah hilang kesabarannya. Suaranya meninggi, emosinya sudah memuncah di pagi hari.
"Ogah! Kamu pikir aku pria macam apa suruh belanja sendiri? Memangnya aku duda? Bisa turun harga diriku, tahu!" tolak Arik.
"Memangnya kamu masih punya harga diri? Dengan memberi nafkah lima belas ribu per hari sudah hilang harga dirimu di hadapanku! Paham!"
Hayana yakin suaminya pasti tidak suka mendengar ucapannya itu, karena harga diri pria itu merasa diinjak-injak egonya merasa tersakiti. Namun, Hayana tak peduli, sudah cukup dirinya diam saja selama ini.
"Kamu, ya! Membantah terus sama suami. Mau jadi istri durhaka? Ingat kunci surgamu itu ada di tangan suami. Paham?"
Hayana terdiam. Dia merasa mati kutu oleh ucapan suaminya.
"Kamu itu harus bersyukur. Di luaran sana banyak istri yang mencari nafkah sendiri, sedangkan suaminya memilih jadi pengangguran." Bu Sastro tiba-tiba masuk rumah mereka dan ikut campur urusan mereka.
"Bu. Kalau mau membandingkan itu dengan orang yang lebih baik dari Mas Arik, bukan dengan orang yang pemalas dan tidak bertanggung jawab!" sergah Hayana.
"Dasar menantu nggak punya sopan santun! Mertua ngomong dijawab terus! Wajar kalau tidak bisa punya anak. Sama orang tua aja ngelawan terus! Ya Allah ... apa salahku? Sampai punya menantu seperti dia? Coba saja dulu kamu mau menikah dengan Diana pasti sudah punya anak. Dia kan anaknya sopan!" cicit ibunya Arik.
"Memangnya aku seperti apa, Bu? Ibu berharap punya menantu yang baik? Ibu sendiri sudah menjadi mertua yang baik belum?" jawab Hayana tenang, tapi ucapannya sangat menjengkelkan bagi mertua dan suaminya.
"Haya! Berani kurang ajar kamu sama ibuku. Rasakan ini!" Arik mengangkat tangannya ke udara bersiap melayangkan tamparan.
"Memangnya kenapa? Nggak terima ibumu disebut mertua tidak baik? Mertua yang baik tidak akan mengatakan menantunya mandul pada orang lain! Mau tampar aku? Ini tampar!" Hayana memberikan pipinya. "mau yang kiri atau yang kanan?"
Arik terkesiap mendengar ucapan istrinya. Tangannya segera diturunkan, Arik melayangkan pandangan ke arah ibunya.
"Benar yang dikatakan Haya, Bu?"
"Memangnya ibu salah kalau bilang istrimu mandul? Tersinggung? Sakit hati? Memangnya kenyataan dia mandul! Buktinya sudah lima tahun pernikahan belum ada tanda-tanda kehamilan!" nyinyir Bu Sastro tanpa merasa bersalah.
"Ibu, tahu kan aku sudah berapa kali melakukan pemeriksaan? Mereka semua bilang aku baik-baik saja. Memang belum dikasih saja sama Allah, Bu. Jadi tolong jangan pernah mengatakan aku mandul!" tegas Hayana.
"Halah! Kalau kamu baik-baik saja tidak mungkin sudah lima tahun tapi masih kosong," bantah Bu Sastro.
"Bu. Jangan pernah mengungkit lagi tentang anak. Semua itu hak prerogatif Allah." Arik menjadi penengah.
"Haya! Puas kamu melihat Arik memarahi aku? Puas? Dia sudah mulai berani, itu semua gara-gara kamu! Dasar menantu kurang ajar!" oceh Bu Sastro sambil menunjuk muka Hayana sebelum melangkah pulang ke rumahnya.
Sakit hati karena ditunjukkan mukanya itu tak seberapa, dibandingkan mandul yang disematkan oleh mertuanya.
Kata itu bagai sembilu yang menusuk kalbunya. Sehingga menorehkan luka yang dalam di hati Hayana. Namun, dia berusaha terlihat baik-baik saja. Hayana tidak ingin terlihat lemah di depan mereka
Rasa lapar yang tadi menguasai perut Arik dan Hayana kini telah menguap. Nasi goreng sudah tidak lagi menggugah selera Hayana.
Wanita itu memilih pergi ke kamarnya, kemudian menghubungi nomor temannya.
~~~~~~
"Mas. Mulai hari Senin besok aku mau kerja," ucap Hayana sebelum tidur.
"Aku tidak mengizinkan kamu kerja."
"Aku sedang tidak minta izin. Aku hanya memberitahu saja."
"Kamu itu istriku kalau mau bekerja itu harus atas izinku."
"Baiklah kalau itu maumu. Izinkan aku bekerja. Aku bosan dijatah lima belas ribu setiap harinya."
"Itu alasanmu bekerja? Aku tidak mengizinkan! Kamu itu tidak boleh kecapean biar cepat hamil," sergah Arik.
"Kamu pikir orang yang bekerja itu tidak bisa hamil? Banyak teman-temanku yang hamil ketika masih bekerja. Itu artinya kecapean tidak mempengaruhi kehamilan."
"Pokoknya kamu tidak boleh bekerja! Ini perintah yang tidak boleh dibantah!"
"Kalau begitu kasih aku uang lima puluh ribu sehari! Ini permintaan yang tidak boleh ditolak!" tegas Hayana.
"Kamu gila, ya? Kira- kira dong masak minta lima puluh ribu sehari. Memangnya gajiku sebulan itu berapa? Gajiku itu hanya UMR."
"Aku tidak bodoh, ya, Mas! Kamu lupa kalau aku ini bekas Admin di tempatmu bekerja. Kamu pikir aku tidak tahu posisimu sekarang adalah seorang supervisor? Seharusnya uang lima puluh ribu itu kecil bagimu."
"Ka –kamu tahu dari mana kalau aku menjadi supervisor?" Arik gelagapan mendengar pengakuan istrinya.
"Kenapa mukanya jadi pucat pasi begitu? Kamu kaget? Jujur aku juga kaget dan tak percaya mendengar penjelasan seseorang tadi. Namun, yang lebih membuatku kaget itu ketika mengetahui gaji kamu, Mas. Gaji lima juta, tapi hanya mampu memberiku nafkah lima belas ribu sehari. Selebihnya kamu kasihkan ke siapa? Ke mantanmu itu? Heh?"
"Ka –kamu jangan ngasal nuduh, ya. Mana ada aku selingkuh." Arik terlihat gugup. Hayana mengangkat kedua alisnya.
"Yakin? Percuma kamu bohong sama aku, Mas. Ingat cepat atau lambat pasti akan kebongkar semuanya sama aku!" ancam Hayana.
~~~~~~~~
"Apa ini, Mas?" Hayana yang sedang menyapu lantai teras kaget saat diberi uang dua lembar sepuluh ribuan.
"Uanglah, masak daun! Segitu aja dulu kan belum gajian," jawab Arik.
"Uang untuk apa maksudku?"
"Untuk belanjaan kamu lah!"
"Mas. Tunggu di sini. Sebentar lagi tukang sayur lewat. Sekalian belanjain, ya. Aku mau nyuci dulu. Terserah mau beli apa saja. Yang penting cukup uangnya segitu."
"Hay! Yang benar aja kamu! Masak aku disuruh belanja!"
"Kalau tidak mau belanja jangan harap aku akan masak!" ancam Hayana dari dalam rumah.
"Diana. Tolong cari ke dalam atau belakang!" Hai ... lancang sekali manusia satu itu. "Anda siapa? Berani menggeledah rumah orang? Mau saya laporkan polisi?" Diana tidak mengindahkan ancaman suamiku. Begitu pun dengan Bu Sastra yang terlihat meremehkan Mas Bas.Aku tersenyum kecil saat melihat Diana hendak berjalan ke arah dalam. Kamu jual aku borong! Lihat apa yang akan aku lakukan"Diana. Bukankah kamu itu seorang guru?" tanyaku sinis. Sengaja untuk memancingnya. Setidaknya aku berusaha menggagalkan rencananya untuk masuk kedalam belakang.Diana menghentikan langkahnya. Menatap aku dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada."Iya, aku seorang pendidik. Makanya percayakan anakmu padaku. Jangankan mendidik anak tiri, mendidik anak orang saja aku tidak keberatan," jawabnya dengan pongah. Jelas sanggup karena waktumu bersama mereka tidak banyak, belum lagi kamu itu dibayar. Kerja!Aku tersenyum kecil mendengarnya. Begitu pun dengan mas Bas."Benar itu, Haya. Govind lebih pantas di
"Bukankah itu Arik, Sayang? Dia tahu rumah kita dari mana?" tanya suamiku sambil menunggu gerbang dibuka oleh mbok Tum. "Aku juga tidak tahu, Mas." "Sejak kapan berdiri di situ?" gumam mas Bas. Aku mengangkat bahu. Siapa orang yang telah membocorkan alamat kami pada Arik? "Haya. Apa kabar?" sapa Arik setelah kami turun dari mobil. "Seperti yang kamu lihat. Tidak hanya baik, sekarang aku sangat-sangat bahagia." Sengaja aku tekankan kata bahagia. Memang, kenyataan sekarang aku bahagia setelah melewati masa-masa sulit dalam pernikahan kedua ini. Limpahan kasih sayang dan cinta dari suami membuatku hari-hari lebih indah. "Ternyata anak kita sudah besar, ya. Boleh aku menggendongnya?" Arik sudah mengulurkan tangannya hendak menggendong. Namun, aku mengabaikannya. Memangnya dia siapa?"Percaya diri sekali kamu! Memangnya kamu punya anak? Ini anakku dengan Mas Baskoro. Bukankah kamu tidak mempunyai anak denganku?" tukasku, lantang. Seandainya saja waktu itu mulutnya tidak mengeluarka
Mas Baskoro tak melepaskan pandangannya ke Arini. Apa yang ada dalam pikiran suamiku?"Aduh. Tolong aku, Pak. Mbak Haya tiba-tiba melemparkan gelas ke arahku?" Arini memasang muka sedih. "Kenapa kamu tega melakukan semua ini, Mbak?"Rabb. Tolong lindungi hamba dari fitnah Arini. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Mas Bas dengan wajah datar. Tidak terpancing sama sekali dengan kelakuan Arini."Pak, tolong. Aku takut. Mbak Haya pasti ingin mencelakai anak kita." "Anak kita?" tanyaku dan suami secara bersamaan.Arini mengangguk wajahnya terlihat puas."Aku lupa belum memberitahumu, Mbak, Pak." Arini segera membuka tas dan mengambil tes pack."Lihat! Inilah alasan aku ingin menjadi madumu, Mbak. Suamimu telah menodai aku ketika menginap di konveksi waktu itu!" Dadaku bergemuruh hebat. Bukan karena aku percaya dengan alat itu, tapi marah dengan kelakuan Arini. Dia tega melakukan apa pun demi mendapatkan incarannya. Aku percaya itu bukan benih suamiku. Namun, tidak mungkin Arini nekat mengatak
POV HayanaAku mematung beberapa saat di ambang pintu. Aku kaget saat melihat siapa yang datang. Ada keperluan apa dia datang ke rumah ini? Kenapa Mbok Tum bilang tidak tahu siapa yang datang? Bukankah wanita ini pernah datang kemari saat diminta untuk menolong Mas Bas waktu itu? Aku semakin dibuat kaget saat menatap wajah Arini. Mengapa dandanannya kini seperti ondel-ondel? Sangat berlebihan. Pipinya dipoles blush on hingga memerah seperti habis ditonjok istri sah. Bibirnya pun diberi warna teramat mencolok seperti habis makan darah. Bulu matanya dipasang anti topan. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah drastis begini. Aku seperti tak mengenali pribadi Arini lagi. Tidak bertemu beberapa hari mengapa dia menjadi seperti ini? Biasanya dia selalu tampil dengan polesan sederhana sehingga cantiknya alami. Apa yang membuatnya berubah? Aku sengaja menjaga jarak dengannya setelah kejadian itu. Hati ini semakin tidak ingin mengenalnya kembali.Ini pertama kalinya Arini datang ke ru
"Ini untuk yang —""Bu, Pak, maaf saya mengganggu. Nak Govind sudah bangun dan menangis." Baskoro tersenyum saat melihat Mbok Tum menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Sebelah tangan perempuan berumur itu membopong balita yang sedang mencari ibunya."Nggak papa, Mbok. Kami sudah selesai, kok." Baskoro menjawab dengan santainya. Lelaki itu merasa terselamatkan dari pertanyaan istri yang menurutnya adalah sebuah jebakan."Aku masuk dulu, ya, Mas." Haya menarik kursi kemudian bangkit meninggalkan suaminya. Lelaki yang mengenakan tuxedo hitam itu mengangguk. Dia merasa lega saat ini."Mas juga mau ke ruang kerja, ya?" Kini Basko meminta izin pada istrinya. Haya pun membalas dengan anggukan."Gantengnya bunda sudah bangun rupanya. Maaf, ya, tadi ditinggal sama bunda." Istrinya Baskoro menciumi anak yang sudah berada dalam gendongannya.Haya telah mengambil Govind dari tangan Mbok Tum. Anak lelaki itu dibawanya ke kamar."Mbok, tolong bereskan ini, ya." Baskoro pun segera menyusul
Istriku menatap kotak kado itu dengan raut penuh keheranan. "Aku kan sedang tidak ulang tahun. Kenapa dikasih hadiah segala?" tanyanya polos. Namun, sorot matanya berbinar."Memberikan hadiah tidak harus menunggu ulang tahun, Sayang." "Mbok, tolong Govind bawa sini!" Perempuan yang telah bekerja di keluarga Eyang itu segera memberikan bayi yang umurnya kurang dari satu tahun ini.Aku mencium pipinya sembari menjatuhkan bobot tubuh di samping perempuanku. Aku tidak tahu bagaimana pernikahan Haya yang terdahulu. Toh, aku memang tidak ingin tahu masa lalunya. Akan tetapi, mudah untuk ditebak bahwa, suaminya jarang memberikan hadiah. Istriku memang aneh malah memasang wajah bingung, setelah menerima hadiah. Tangannya seolah sedang menimbang berat kotak tersebut. Aku mengulas senyum melihat tingkahnya. Kenapa tidak langsung dibuka? "Nak, Bunda aneh, ya, mendapatkan hadiah malah seperti orang yang bengong." Aku mengajak ngobrol Govind yang ada dalam pangkuan.Haya hanya mencebik."
"Hentikan. Aku akan mengabulkan permintaanmu, Andini!" Aku sengaja mengucapkan itu. Aku tak mau orang suruhan Andini memberikan minuman beracun itu pada istriku."Serius kamu, Mas?" Aku mengangguk walaupun hati menolaknya. Maafkan aku harus berbohong padamu, Andini. Hanya ini jalan yang ada di kepalaku. Aku pun melemparkan pandangan pada istriku yang membuang muka. Pasti dia menyangka ini sungguhan. Aku yakin dia merasa sangat sakit hati. 'Ini hanya strategi saja, Sayang. Jangan marah. Aku hanya tak mau kehilanganmu.' Seandainya dia bisa bahasa telepati pasti Haya mengerti apa yang aku ucapkan dalam hati. Benarkah aku menuruti kemauan Andini untuk menceraikan Haya? Tentu tidak. Aku tidak akan melakukan hal sebodoh itu, yang dapat merusak kebahagiaan kami. Ini hanya salah satu caraku dalam mengulur waktu.Aku memang turun dari mobil seorang diri, sesuai permintaan Andini. Agar datang tanpa membawa teman. Aku tidak sekonyol itu yang benar-benar menuruti kemauannya.Aku harus terli
"Sayang kok kamu seperti sedang tidak tenang. Ada apa, Sayang?" Aku mulai khawatir dengan istri dan anakku. Sepertinya dia sedang tertekan."Po — pokoknya harus pulang sekarang!" Haya bersuara sangat ketakutan.Aku segera memutar arah. Kembali pulang ke rumah. Takziah bisa aku lakukan besok-besok. Aku harus segera pulang. Memastikan keselamatan istriku.Di saat aku ingin buru-buru sampai rumah, jalan menjadi macet. Padahal tadi berangkat masih lengang. Di depanku, kendaraan sudah mengular.Aku segera melakukan panggilan untuk istri. Aktif, tapi tidak diangkat. Angkat dong Sayang, batinku.Pikiranku sudah mulai nggak karuan. Aku pun sebentar-sebentar melirik arloji yang melingkari tangan. Sudah sepuluh menit berlalu. Namun, belum ada tanda-tanda mobil di depanku mau jalan. Bakal lama ini.Ya Allah, lindungilah istri dan anak hamba. Saat ini aku hanya bisa berdoa untuk keselamatan mereka. Dering ponsel kembali menggema semoga panggilan dari Haya. Aku segera mengambil benda tersebut
Aku mengambil bungkusan kado yang dihiasi pita. Jiwa kepoku sudah mendominasi sehingga ingin membukanya. Aku segera duduk di kursi kayu yang berada di teras. Tangan ini mulai membuka bungkus tersebut. Ternyata buat Govind. Ada sepasang sepatu, kemeja, topi serta celana yang semua bermerek. Ini adalah barang untuk ekspor. Dulu saya biasa mengirimnya ke beberapa negara — waktu masih menjadi manejer.Bagi sebagian masyarakat akan sayang membeli barang ini. Harganya tidak murah. Kualitas pakaian pun memang tidak diragukan lagi. Hanya orang-orang berkantong tebal yang sanggup membeli ini. Namun, siapa?Aku segera masuk menemui istri yang sedang sibuk di dapur. Barangkali dia tahu siapa pengirimnya? "Sayang. Ini ada yang mengirim kado buat Govind, tapi nggak tahu dari siapa?"Haya menghentikan aktivitasnya. Menatapku penuh keheranan."Kado? Sepagi ini sudah ada yang mengirimkan kado? Mas, nggak tanya dari siapa?"Haya menatap jam yang ditempelkan pada dinding dapur. Masih pukul enam pagi.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments