Wanita yang Kau Sakiti
Bab 5
Salah satu alasan Hayana tidak betah tinggal di dekat mertuanya, adalah tidak adanya kebebasan pergi berdua dengan kekasih halalnya.
Hayana merasa tak tenang setiap mau bepergian.
Wanita yang bergelar ibu mertua itu seolah selalu menghalangi kebebasan mereka.
Hayana masih berusaha bersabar dengan semua itu, bukan tanpa sebab. Ada beberapa alasan yang membuat dia masih bersabar. Hayana berjanji pada dirinya sendiri, bila memang sudah benar-benar tidak sanggup, maka dia akan mengambil tindakan tegas.
"Bu. Arik sama Haya saja, ya. Nggak lama, kok. Setelah itu nanti Arik antar, Ibu, belanja. Janji," rayu Arik.
"Kamu pasti bohong? Mau kemana, sih, sampai ibu nggak boleh ikut?" Bu Sastro manyun.
"Masa iya, mau ikut. Nggak muatlah, Bu."
"Makanya cepat beli mobil biar ibu bisa ikut kalian."
"Doakan secepatnya, Bu."
"Percuma ibu doakan setiap hari kalau hanya kamu saja yang cari uang. Uangmu kan hanya cukup untuk makan. Mana bisa untuk beli mobil. Tidak akan cukup." Mata Bu Sastra melirik Hayana yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Mas. Itu ibu menyuruh aku kerja lagi. Izinkan aku kerja lagi! Makanya biar bisa beli mobil ibu jangan minta jatah banyak- banyak! Udah tuju ratus ribu aja sebulan dari Mas Arik! Gaji anaknya naik, ibunya juga ikutan minta jatahnya naik! Gimana mau bisa nabung buat beli mobil!" ketus Hayana.
"Haya! Kurang ajar kamu!" Bu Sastro ingin sekali menjambak kerudung menantunya itu!
"Kami pacaran dulu, ya, Bu. Ibu nggak usah ikut. Dada, Ibu. Muaah." Hayana memperagakan gaya anak kecil yang sedang kiss bye, sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Dasar menantu kurang ajar. Awas saja kamu!" ancam Bu Sastro, sayangnya sudah tidak didengar oleh mereka. Motor sudah meninggalkan pekarangan rumah.
Wanita paruh baya itu gegas masuk ke dalam rumah, mencari HP jadul miliknya. Ponsel merk ternama pada jamannya itu, tergeletak di depan TV
"Awas kamu, Haya!" Tangan yang mulai berkerut itu memencet angka pada keyboard. Bu Sastro ingin menghubungi anak pertamanya yang tinggal di daerah Cianjur.
Nomor itu terhubung, tak lama kemudian terdengar suara dari seberang sana. Bu Sastro langsung mengadukan sesuatu sama anaknya tersebut.
~~~~~~~~~
"Dek, pulang, yuk! Sudah mau magrib," ajak Arik setelah di tengah perjalanan.
"Memangnya tidak jadi beli telur dadar?"
"Sudah mau magrib! Lain kali, ya!"
"Memangnya kalau sudah magrib kenapa? Bukankah di dekat kecamatan ada Masjid besar? Kan bisa sholat di sana." Haya menahan geram.
"Aku kan janji sama Ibu untuk mengajaknya belanja. Nanti kemalaman."
"Ibu lagi. Ibu lagi. Ya sudah sana pulang! Bahagiakan ibumu nggak usah pikirkan aku! Sana pulang!" usir Hayana. Dadanya sesak. Mengapa hanya ibunya yang dia pikirkan? Apa istrinya tidak berhak dibahagiakan?
"Pulang bareng. Beli telur dadarnya besok saja, ya!" rayu Arik dengan suara lembut.
"kamu membawa aku ke sawah untuk menukar dengan telur dadar yang dihabiskan ibumu? Iya? Dasar pelit! Aku bisa beli sendiri. Sana pulang! Aku pikir kamu sudah benar-benar berubah. Tidak hanya ibumu saja yang kamu pikirkan. Ternyata aku salah kamu tak pernah berubah! Tidak pernah memikirkan perasaan aku! Aku bisa pergi sendiri!"
Hayana emosi. Wanita itu pun langsung berjalan ke arah kecamatan tanpa menoleh ke belakang. Arik yang menyadari istrinya marah langsung mengikuti dari belakang. Membawa motor pelan-pelan.
"Ayo naik!" titahnya Sambil menepuk jok belakang. Arik berhenti di depan Haya.
"Nggak mau! Pulang sendiri sana! Ibumu sudah menunggu di rumah!" Haya terus berjalan. Adzan Maghrib telah berkumandang dari toa masjid tak menghentikan langkah wanita itu.
"Ayo naik! Kita ke arah kecamatan!" Haya hanya melengos sebentar ke arah suaminya, kemudian melanjutkan aksinya berjalan kaki.
"Sudah sana pulang! Aku tidak butuh tebengan dan uangmu!" tegas Haya.
"Ini sudah magrib. Ayo, naik! Aku antarkan ke rumah makan Padang. Kalau kamu nekat jalan kaki keburu habis waktu sholat Maghrib."
Haya sudah merasa pegal kakinya, padahal baru jalan berapa ratus meter. Ia pun memutuskan untuk naik motor. Ada benarnya ucapan suaminya, waktu Magrib yang sempit kalau mau maksa jalan kaki ke buru habis waktunya.
"Awas kalau bohong!" ancam Hayana.
"Nggak. Takut kalau kamu marah. Bisa runtuh duniaku," jawab Arik sambil menunggu istrinya naik ke atas motor.
"Gombal! Kamu sendiri yang selalu membuatku marah! Dasar laki-laki egois! Nunggu istrinya marah baru nurut!" tegas Hayana di atas boncengan.
~~~~~~~~~
Rumah makan nasi Padang pada tutup semua, padahal di sana ada tiga rumah makan Padang. Mereka kompakan tidak ada satupun yang buka. Mungkin sedang mudik semua. Sebagai gantinya wanita itu hanya minta mi ayam, yang terkenal enak tak jauh dari masjid tempat mereka sholat Magrib tadi.
Sebenarnya Haya sudah tak menggebu untuk makan telur dadar Padang. Namun, dia ingin suaminya bertanggung jawab atas perbuatan ibunya. Memberi pelajaran pada suaminya.
Hayana sudah ke luar dari kedai mi ayam. Tiga bungkus sudah ada di tangan. Siap untuk pulang.
Arik sudah di atas motor siap untuk pulang. Tiba-tiba ponselnya berdering, ada panggilan masuk. Pria itu pun merogoh saku celananya.
"Dari Teh Maya? Tumben?" gumam Arik.
Arik pun segera mengangkat panggilan tersebut. Membuka salam dan sedikit berbasa-basi menanyakan kabar. Setelahnya mimik wajah pria itu menegang mendengar suara dari seberang sana.
Hayana menautkan kedua alisnya. Heran. Kenapa? Apa yang dibicarakan kakak iparnya?
Wanita yang Kau SakitiBab 6"Iya, Teh. Nanti Arik sampaikan. Salam untuk yang di Cianjur." Arik memberikan salam penutup sebelum mengakhiri panggilannya."Haya, ayo, segera pulang!" Arik naik ke atas motor sudah siap menstaternya."Pak Arik?" sapa seorang wanita yang sedang melintasi mereka berdua. Wanita itu memarkirkan motor tak jauh dari motor Arik.Arik pun menengok ke arah gadis tersebut, kemudian tersenyum saat melihat gadis itu. Dia pun urung menstater motor."Pak Arik, kok ada di sini?" tanya seorang gadis yang tadi menyapa Arik. Wanita tersebut berjalan ke arah Arik yang sudah di atas motornya."Eh, ada Hani. Kamu sama siapa?" tanya Arik dengan kikuk. Seolah maling yang sedang ketahuan mencuri."Sendiri, Pak. Bapak sama siapa?" tanya Hani sambil tersenyum sumringah. Haya mengamati wajah gadis tersebut. Terlihat salah tingkah ketika bersirobok dengan mata Arik."Sama ini." Jari telunjuk Arik mengarah ke Haya. Haya mengernyitkan dahinya. "Aku i — " ucapan Haya dipotong Arik.
Kartini telah mengirimi foto Arik sama perempuan lain. "Ini bukan Hani. Aku tidak menyangka kamu suka tebar pesona, Mas! Baru aja jadi supervisor sudah berlagak!" umpat Hayana dengan hati perih.Gemuruh dalam dadanya tak terelakan lagi. Tak pernah terpikirkan sama sekali suaminya akan mendua. Sakit sekali Hatinya melihat foto itu.Tak terasa bulir bening pun luruh begitu saja. Dia kira hanya dirinya yang bertahta dalam hati suaminya. Namun, itu hanya khayalan saja, nyatanya ada wanita lain yang sering menemaninya makan siang, bahkan wanita itu yang diajak ke swalayan."Jangan-jangan kamu melarang aku kerja supaya aku tidak tahu kelakuanmu, Mas! Bisa jadi kamu melarang aku memajang foto di media sosial, itu bukan karena takut dayyuts melainkan takut ketahuan statusmu! Karena kamu takut suatu saat aku akan memajang foto kita berdua. Jangan-jangan uang gajimu bukan buat Ibu tapi untuk perempuan itu!" Hayana bergumam sendiri."Mengapa kamu pura-pura membela aku di depan ibumu, Mas? Menga
"Bang, kamu jangan pulang, ya! Aku tidak mau sendirian. Takut kalau dia akan datang lagi." Arik terlihat gelisah, hatinya tak tenang. Antara tak tega meninggalkan dan takut ketahuan. Lelaki itu sedang menimbang keputusan. Apakah pulang ke rumah atau menemani orang tersebut? "Bang, diminum dulu jusnya." Arik mengangguk, kemudian menyeruput jus jeruk kesukaannya hingga tandas. Jus yang telah diberi obat tidur.Arini – wanita yang menahan Arik pulang. Wanita yang tadi sore menelpon Arik. Wanita yang nomornya diberi nama Teh Maya. Arik sengaja memberi nama itu agar Hayana tak curiga."Bang, tidur sini, ya. Aku janji tidak akan menggoda, Abang. Aku hanya butuh ditemani." Arini memasang wajah melas. Tidak akan menggoda? Ucapan dan tindakan wanita itu tidak selaras sama sekali. Nyatanya, Arik berusaha keras menelan ludah saat menatap lekuk tubuh Arini, yang dibalut baju berbahan transparan. Wanita itu sengaja mengenakan baju berbahan transparan, setelah sebelumnya bajunya dirobek orang."
Setelah kepergian Arik dari kostnya Arini, wanita itu segera menghubungi suaminya.Ya, Arini adalah wanita yang masih berstatus istri dari Sanjaya. Lelaki yang katanya mau menodai Arini.Sanjaya masuk ke kamar Arini sepuluh menit setelah ditelpon istrinya."Gimana rencana kita, Sayang?" tanya Sanjaya ketika sudah berada di kamar istrinya."Berjalan sesuai rencana, Bang." Arini tersenyum bangga."Semoga apa yang kita inginkan tercapai. Eh, tapi kamu benar-benar tidak disentuh pria itu kan?" tanya Sanjaya mulai tak tenang."Tenang, Abang. Istrimu ini sama sekali tidak disentuh Supervisor itu. Dia keburu tepar duluan. Lagian mana mau aku disentuh lelaki lain. Aku hanya mau melakukan itu sama Abang," ujar Arini menyakinkan suaminya."Tapi abang butuh bukti. Siapa tahu kamu menikmati disentuh lelaki setampan dia.""Nih, buktinya." Arini menyodorkan handphonenya pada Sanjaya. Lelaki itu melihat video Arini yang sedang melucuti pakaian Arik satu persatu saat suami Hayana sedang tertidur. Art
"Bu. Ibu." Arik memanggil-manggil ibunya sambil mengetuk pintu.Bu Sastra yang sudah mulai tidur terpaksa turun dari ranjangnya, berjalan menuju pintu dengan."Ada apa, Rik? Mengganggu ibu saja!" Bu Sastra membetulkan tali rambut yang sudah mau lepas."Bu. Ada makanan nggak? Arik lapar." Pria yang masih berseragam pabrik itu memegangi perutnya."Kamu baru pulang? Belum makan? Istrimu nggak masak? Istrimu ngapain nggak masak?" tanya wanita yang melahirkan Arik tanpa jeda. Banyak bener pertanyaannya."Ya, Arik baru pulang. Nggak ada makanan di meja makan." Suami Hayana itu berjalan menuju meja makan ibunya."Rik. Haya tadi kelayapan seharian. Berangkat dari pagi pulang menjelang magrib. Makanya kamu tidak dimasakkan," ungkap Bu Sastra sambil membuka tudung saji. Terlihat ada ayam goreng sama sambal tomat serta sisa lalapan. Tangan keriput itu pun mengambilkan nasi untuk anak bungsunya."Yang benar saja, Bu? Dari mana memangnya? Kurang ajar! Pantas saja rumahnya terlihat berantakan dan t
Wanita yang sedang marah itu berjalan ke arah keranjang baju kotor. Dia mengambil baju yang dikenakan Arik tadi malam."Jelaskan padaku semuanya! Ini bau parfum siapa? Ini bekas lipstik siapa? Dan ini bekas bon belanjaan untuk siapa?" Hayana melemparkan baku itu tepat di muka suaminya.Arik terdiam seribu bahasa. Mulutnya terkatup rapat. Wajahnya terlihat gelagapan. Sebelum menemui Arini, kemarin malam Arik sempat membelanjakan beberapa barang di minimarket indojuli."Seumur-umur kita menikah, belum pernah kamu mau belanja sendiri untuk kebutuhan kita. Namun, dengan suka rela kamu membelanjakan orang lain seharga dua ratus ribu! Sedangkan aku hanya kamu jatah lima belas ribu sehari. Suami macam apa kamu, Mas?" Wanita berbaju tidur itu benar-benar meluapkan emosinya. "Siapa yang kamu belanjakan? Pacar kamu kan? Selingkuhan kamu? Jujur, Mas!""Dia itu hanya teman biasa. Sungguh. Kalau masalah lipstik dan bau parfum itu hanya ngetes kamu. Apakah cemburu atau tidak? Itu sengaja." Arik be
Arik membolak-balikkan kunci motor yang ada di genggaman tangannya. Pria itu tampak kesal sekali. Sejurus kemudian dia teringat sesuatu, karena penasaran dia pun segera membuka dompet mencari STNK motor. Arik membelalakan matanya, tatkala melihat isi dompetnya. Seharusnya di sana ada STNK motor NMax. Namun, surat itu pun telah berganti menjadi STNK motor Revo."Dasar wanita licik!" umpatnya sambil membanting kunci motor yang masih dipegang ke atas kasur tak jauh dari tempatnya berdiri. Pria itu menjambak rambutnya frustasi, kemudian meraup mukanya dengan kasar."Argh, sialan! Bisa-bisanya Haya menukar ini! Aku tidak kepikiran wanita pendiam itu akan melakukan hal ini." Arik hanya bisa mengumpat. Memang, Hayana dulu adalah seorang istri yang pendiam, tidak banyak bicara. Namun, itu dulu. Seiring berjalannya waktu Hayana berubah menjadi wanita cerewet bagi Arik. Kelakuan suaminya lah yang membuat perempuan itu berubah.Pagi-pagi Arik sudah dibuat emosi oleh Hayana. Bagaimana tidak? Ken
"Kenapa memangnya?" tanya Bu Karya penasaran. Ibu-ibu yang lainnya pun ikut penasaran. Mereka memasang wajah serius menunggu jawaban Bu Sastra."Kalian penasaran? Sebenarnya ini aib saya malu mau mengatakannya? tapi kalau kalian ingin tahu saya bisa apa? Cuman, jangan bilang siapa-siapa, ya!" Bu Satra menarik napas dalam-dalam sebelum bercerita. Didramatisir sekali."Iya, ada apa, sih, Ceu, membuat kami tambah penasaran. Cepat dong cerita," desak Bu Neneng. Wanita yang terkenal biang gosip di lingkungan itu.'Wah, berita ini bakal digoreng oleh Bu Neneng ini. Tapi nggak papa biar Hayana tahu rasa! Salah siapa berani macam-macam!' Monolog Bu Sastra dalam hati."Hayana … kabur dari rumah." Bu Sastra terlihat tambah sedih menundukkan kepalanya, agar mengundang simpati yang lainnya."Hah! Kabur dari rumah? Apa masalahnya?""Nggak tahu apa masalahnya. Arik hanya bilang kabur dengan selingkuhannya. Hiks hiks." Tiba-tiba mertua Hayana menangis. Pandai sekali wanita itu bersandiwara. Bu ib
"Diana. Tolong cari ke dalam atau belakang!" Hai ... lancang sekali manusia satu itu. "Anda siapa? Berani menggeledah rumah orang? Mau saya laporkan polisi?" Diana tidak mengindahkan ancaman suamiku. Begitu pun dengan Bu Sastra yang terlihat meremehkan Mas Bas.Aku tersenyum kecil saat melihat Diana hendak berjalan ke arah dalam. Kamu jual aku borong! Lihat apa yang akan aku lakukan"Diana. Bukankah kamu itu seorang guru?" tanyaku sinis. Sengaja untuk memancingnya. Setidaknya aku berusaha menggagalkan rencananya untuk masuk kedalam belakang.Diana menghentikan langkahnya. Menatap aku dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada."Iya, aku seorang pendidik. Makanya percayakan anakmu padaku. Jangankan mendidik anak tiri, mendidik anak orang saja aku tidak keberatan," jawabnya dengan pongah. Jelas sanggup karena waktumu bersama mereka tidak banyak, belum lagi kamu itu dibayar. Kerja!Aku tersenyum kecil mendengarnya. Begitu pun dengan mas Bas."Benar itu, Haya. Govind lebih pantas di
"Bukankah itu Arik, Sayang? Dia tahu rumah kita dari mana?" tanya suamiku sambil menunggu gerbang dibuka oleh mbok Tum. "Aku juga tidak tahu, Mas." "Sejak kapan berdiri di situ?" gumam mas Bas. Aku mengangkat bahu. Siapa orang yang telah membocorkan alamat kami pada Arik? "Haya. Apa kabar?" sapa Arik setelah kami turun dari mobil. "Seperti yang kamu lihat. Tidak hanya baik, sekarang aku sangat-sangat bahagia." Sengaja aku tekankan kata bahagia. Memang, kenyataan sekarang aku bahagia setelah melewati masa-masa sulit dalam pernikahan kedua ini. Limpahan kasih sayang dan cinta dari suami membuatku hari-hari lebih indah. "Ternyata anak kita sudah besar, ya. Boleh aku menggendongnya?" Arik sudah mengulurkan tangannya hendak menggendong. Namun, aku mengabaikannya. Memangnya dia siapa?"Percaya diri sekali kamu! Memangnya kamu punya anak? Ini anakku dengan Mas Baskoro. Bukankah kamu tidak mempunyai anak denganku?" tukasku, lantang. Seandainya saja waktu itu mulutnya tidak mengeluarka
Mas Baskoro tak melepaskan pandangannya ke Arini. Apa yang ada dalam pikiran suamiku?"Aduh. Tolong aku, Pak. Mbak Haya tiba-tiba melemparkan gelas ke arahku?" Arini memasang muka sedih. "Kenapa kamu tega melakukan semua ini, Mbak?"Rabb. Tolong lindungi hamba dari fitnah Arini. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Mas Bas dengan wajah datar. Tidak terpancing sama sekali dengan kelakuan Arini."Pak, tolong. Aku takut. Mbak Haya pasti ingin mencelakai anak kita." "Anak kita?" tanyaku dan suami secara bersamaan.Arini mengangguk wajahnya terlihat puas."Aku lupa belum memberitahumu, Mbak, Pak." Arini segera membuka tas dan mengambil tes pack."Lihat! Inilah alasan aku ingin menjadi madumu, Mbak. Suamimu telah menodai aku ketika menginap di konveksi waktu itu!" Dadaku bergemuruh hebat. Bukan karena aku percaya dengan alat itu, tapi marah dengan kelakuan Arini. Dia tega melakukan apa pun demi mendapatkan incarannya. Aku percaya itu bukan benih suamiku. Namun, tidak mungkin Arini nekat mengatak
POV HayanaAku mematung beberapa saat di ambang pintu. Aku kaget saat melihat siapa yang datang. Ada keperluan apa dia datang ke rumah ini? Kenapa Mbok Tum bilang tidak tahu siapa yang datang? Bukankah wanita ini pernah datang kemari saat diminta untuk menolong Mas Bas waktu itu? Aku semakin dibuat kaget saat menatap wajah Arini. Mengapa dandanannya kini seperti ondel-ondel? Sangat berlebihan. Pipinya dipoles blush on hingga memerah seperti habis ditonjok istri sah. Bibirnya pun diberi warna teramat mencolok seperti habis makan darah. Bulu matanya dipasang anti topan. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah drastis begini. Aku seperti tak mengenali pribadi Arini lagi. Tidak bertemu beberapa hari mengapa dia menjadi seperti ini? Biasanya dia selalu tampil dengan polesan sederhana sehingga cantiknya alami. Apa yang membuatnya berubah? Aku sengaja menjaga jarak dengannya setelah kejadian itu. Hati ini semakin tidak ingin mengenalnya kembali.Ini pertama kalinya Arini datang ke ru
"Ini untuk yang —""Bu, Pak, maaf saya mengganggu. Nak Govind sudah bangun dan menangis." Baskoro tersenyum saat melihat Mbok Tum menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Sebelah tangan perempuan berumur itu membopong balita yang sedang mencari ibunya."Nggak papa, Mbok. Kami sudah selesai, kok." Baskoro menjawab dengan santainya. Lelaki itu merasa terselamatkan dari pertanyaan istri yang menurutnya adalah sebuah jebakan."Aku masuk dulu, ya, Mas." Haya menarik kursi kemudian bangkit meninggalkan suaminya. Lelaki yang mengenakan tuxedo hitam itu mengangguk. Dia merasa lega saat ini."Mas juga mau ke ruang kerja, ya?" Kini Basko meminta izin pada istrinya. Haya pun membalas dengan anggukan."Gantengnya bunda sudah bangun rupanya. Maaf, ya, tadi ditinggal sama bunda." Istrinya Baskoro menciumi anak yang sudah berada dalam gendongannya.Haya telah mengambil Govind dari tangan Mbok Tum. Anak lelaki itu dibawanya ke kamar."Mbok, tolong bereskan ini, ya." Baskoro pun segera menyusul
Istriku menatap kotak kado itu dengan raut penuh keheranan. "Aku kan sedang tidak ulang tahun. Kenapa dikasih hadiah segala?" tanyanya polos. Namun, sorot matanya berbinar."Memberikan hadiah tidak harus menunggu ulang tahun, Sayang." "Mbok, tolong Govind bawa sini!" Perempuan yang telah bekerja di keluarga Eyang itu segera memberikan bayi yang umurnya kurang dari satu tahun ini.Aku mencium pipinya sembari menjatuhkan bobot tubuh di samping perempuanku. Aku tidak tahu bagaimana pernikahan Haya yang terdahulu. Toh, aku memang tidak ingin tahu masa lalunya. Akan tetapi, mudah untuk ditebak bahwa, suaminya jarang memberikan hadiah. Istriku memang aneh malah memasang wajah bingung, setelah menerima hadiah. Tangannya seolah sedang menimbang berat kotak tersebut. Aku mengulas senyum melihat tingkahnya. Kenapa tidak langsung dibuka? "Nak, Bunda aneh, ya, mendapatkan hadiah malah seperti orang yang bengong." Aku mengajak ngobrol Govind yang ada dalam pangkuan.Haya hanya mencebik."
"Hentikan. Aku akan mengabulkan permintaanmu, Andini!" Aku sengaja mengucapkan itu. Aku tak mau orang suruhan Andini memberikan minuman beracun itu pada istriku."Serius kamu, Mas?" Aku mengangguk walaupun hati menolaknya. Maafkan aku harus berbohong padamu, Andini. Hanya ini jalan yang ada di kepalaku. Aku pun melemparkan pandangan pada istriku yang membuang muka. Pasti dia menyangka ini sungguhan. Aku yakin dia merasa sangat sakit hati. 'Ini hanya strategi saja, Sayang. Jangan marah. Aku hanya tak mau kehilanganmu.' Seandainya dia bisa bahasa telepati pasti Haya mengerti apa yang aku ucapkan dalam hati. Benarkah aku menuruti kemauan Andini untuk menceraikan Haya? Tentu tidak. Aku tidak akan melakukan hal sebodoh itu, yang dapat merusak kebahagiaan kami. Ini hanya salah satu caraku dalam mengulur waktu.Aku memang turun dari mobil seorang diri, sesuai permintaan Andini. Agar datang tanpa membawa teman. Aku tidak sekonyol itu yang benar-benar menuruti kemauannya.Aku harus terli
"Sayang kok kamu seperti sedang tidak tenang. Ada apa, Sayang?" Aku mulai khawatir dengan istri dan anakku. Sepertinya dia sedang tertekan."Po — pokoknya harus pulang sekarang!" Haya bersuara sangat ketakutan.Aku segera memutar arah. Kembali pulang ke rumah. Takziah bisa aku lakukan besok-besok. Aku harus segera pulang. Memastikan keselamatan istriku.Di saat aku ingin buru-buru sampai rumah, jalan menjadi macet. Padahal tadi berangkat masih lengang. Di depanku, kendaraan sudah mengular.Aku segera melakukan panggilan untuk istri. Aktif, tapi tidak diangkat. Angkat dong Sayang, batinku.Pikiranku sudah mulai nggak karuan. Aku pun sebentar-sebentar melirik arloji yang melingkari tangan. Sudah sepuluh menit berlalu. Namun, belum ada tanda-tanda mobil di depanku mau jalan. Bakal lama ini.Ya Allah, lindungilah istri dan anak hamba. Saat ini aku hanya bisa berdoa untuk keselamatan mereka. Dering ponsel kembali menggema semoga panggilan dari Haya. Aku segera mengambil benda tersebut
Aku mengambil bungkusan kado yang dihiasi pita. Jiwa kepoku sudah mendominasi sehingga ingin membukanya. Aku segera duduk di kursi kayu yang berada di teras. Tangan ini mulai membuka bungkus tersebut. Ternyata buat Govind. Ada sepasang sepatu, kemeja, topi serta celana yang semua bermerek. Ini adalah barang untuk ekspor. Dulu saya biasa mengirimnya ke beberapa negara — waktu masih menjadi manejer.Bagi sebagian masyarakat akan sayang membeli barang ini. Harganya tidak murah. Kualitas pakaian pun memang tidak diragukan lagi. Hanya orang-orang berkantong tebal yang sanggup membeli ini. Namun, siapa?Aku segera masuk menemui istri yang sedang sibuk di dapur. Barangkali dia tahu siapa pengirimnya? "Sayang. Ini ada yang mengirim kado buat Govind, tapi nggak tahu dari siapa?"Haya menghentikan aktivitasnya. Menatapku penuh keheranan."Kado? Sepagi ini sudah ada yang mengirimkan kado? Mas, nggak tanya dari siapa?"Haya menatap jam yang ditempelkan pada dinding dapur. Masih pukul enam pagi.