"Apa kamu mau jadi ibu susu bayiku?" Pernyataan Hans tiba-tiba membuat Ashley terkejut. Setelah diusir ibu mertua karena dianggap pembawa sial atas kematian suami dan bayinya yang belum sempat melihat dunia. Ashley dipertemukan dengan Hans dengan cara yang unik, di mana ketika wanita itu ingin mengakhiri hidupnya. Namun, pertemuan itu membuat Ashley terus terhubung dengan benang merah yang seolah tak pernah putus dari takdirnya, hingga ia menjadi ibu susu Baby Neul. Bagaimana takdir menjungkir balikkan kehidupan Ashley yang sangat pelik? Ikuti dan temukan jawabannya!
View MoreHans baru saja selesai mengenakan baju dan melangkah keluar dari kamar mandi. Begitu sampai di tangga, ia mendengar suara kegaduhan yang datang dari arah depan rumah. Alisnya mengernyit. Suara itu terdengar semakin jelas, seperti ada orang yang sedang berteriak-teriak.Tanpa pikir panjang, Hans turun dengan cepat. Hatinya mulai tidak tenang. Ketika sampai di ruang tamu dan membuka pintu depan, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir.“Ashley!” serunya panik.Tubuh sang istri tergeletak di lantai, dengan darah segar mengalir dari pelipisnya. membasahi lantai keramik.Hans segera berlutut, tangannya gemetar saat menyentuh wajah Ashley yang pucat. “Sayang … astaga …,” gumamnya cemas.Hans menekan pelipis Ashley dengan telapak tangannya, mencoba menghentikan darah yang terus keluar.Hans meraih ponsel dari saku celananya, nyaris menjatuhkannya karena panik. Namun sebelum sempat menekan tombol d
Hans memutar kepala, matanya menyapu sekitar taman yang remang. Sorot matanya waspada. Ia merasa seperti ada yang mengawasinya.Ashley refleks mundur satu langkah, menyembunyikan dirinya di balik tirai. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya ditahan, seolah suara helaan kecil saja bisa membuatnya ketahuan.Di luar sana, Hans berdiri beberapa detik lebih lama, matanya mengarah ke pintu yang setengah terbuka. Ia lalu menurunkan ponsel dari telinganya, menekan tombol untuk mengakhiri sambungan telepon, lalu menyelipkan ponsel ke dalam saku celana dengan cepat. Kemudian, tanpa menoleh lagi, ia berjalan kembali ke dalam rumah lewat pintu samping.Ashley melangkah tergesa menaiki tangga. Ia tidak tahu Hans melihatnya atau tidak, tapi ia tidak berani ambil risiko. Sesampainya di kamar, Ashley masuk dan langsung duduk di depan meja rias, lalu mulai mengeringkan rambut.Beberapa menit kemudian, Hans masuk. “Kamu dari mana, Ko?” Ashl
Di ruang kunjungan tahanan, suasana terasa sunyi dan dingin. Riana duduk di kursi besi, tangannya menggenggam tas kecil erat-erat di pangkuannya. Begitu Doni muncul dari balik pintu besi dengan seragam tahanan dan wajah kusam, Riana langsung berdiri.“Doni,” panggil Riana pelan, suaranya bergetar.Doni melihat ibunya, wajah Doni yang tadinya datar langsung berubah. Ia mempercepat langkahnya, dan sesaat kemudian, tubuh mereka saling berpelukan di tengah ruang kunjungan itu. Riana menangis tersedu, membenamkan wajahnya di dada Doni.“Maafkan Mama, Nak … Mama telat datang. Mama enggak sanggup lihat kamu di tempat begini,” isak Riana pelan.Doni mengusap punggung ibunya. “Sudah, Ma. Aku yang bodoh. Tapi, sumpah … semua ini gara-gara dua baj*ngan itu.”Riana melepaskan pelukan, menatap tajam ke mata anaknya. “Ashley sama Hans, maksudmu?”“Iya!” desis Doni, rahangnya mengeras. “Kalau bukan karena dua orang brengs*k itu, aku enggak
Setelah puas bermain dengan Haneul, Ashley mengajak Hans masuk ke kamar untuk istirahat. Bayi mungil itu kini tertidur pulas dalam gendongan Winda. “Aku bawa Ko Hans ke kamar dulu, ya, Bu,” ucap Ashley sambil tersenyum pada Winda. Winda mengangguk. “Iya, Bu. Nanti kalau butuh sesuatu, panggil saya aja.” Ashley berjalan ke arah kursi roda. Liam yang sedari tadi berdiri di sisi Hans langsung bergerak, siap mendorong. “Biar saya bantu dorong, Bu.” Namun tangan Ashley langsung menahan pegangan kursi roda. "Nggak usah, Liam. Biar aku saja," kata Ashley dengan senyum ramah. "Aku yang dorong." Liam sedikit terkejut, tapi mengangguk sopan. “Baik, Bu.” Ashley tersenyum kecil, lalu mulai mendorong kursi roda perlahan menuju kamar mereka. Hans menoleh sedikit, menatap wajah istrinya dari bawah. “Kamu yakin kuat dorong aku sendirian?”
Tiga hari telah berlalu sejak Hans membuka matanya. Meski hanya sehari tidak sadarkan diri, bagi Ashley rasanya seperti waktu berhenti. Kecemasan yang sempat menyesakkan dadanya perlahan memudar, tergantikan oleh rasa syukur yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Ruang perawatan yang dulu terasa dingin dan mencekam kini dipenuhi harapan. Suara monitor yang semula terdengar seperti ancaman kini terdengar biasa saja, tidak lagi menakutkan. Wajah Hans pun tidak lagi pucat seperti saat pertama kali dilarikan ke rumah sakit.Pagi ini, Hans sudah diperbolehkan pulang.Ashley berdiri di sisi ranjang, membereskan tas kecil berisi pakaian dan perlengkapan Hans. Sesekali ia melirik suaminya yang tengah duduk bersandar di ranjang, menatap keluar jendela dengan mata yang lebih hidup. Senyum tidak pernah benar-benar lepas dari wajah Ashley sejak suara Hans kembali menyapanya tiga hari lalu.Setelah memastikan semua barang sudah masuk ke dalam tas,
Suasana di ruang perawatan Hans terasa sunyi. Hanya suara alat bantu pernapasan dan detak monitor yang terus berdetak pelan, seperti mengiringi denyut jantung Ashley yang belum juga tenang.Setelah Naomi dan Candra pamit pulang, Ashley kini sendirian di dalam ruangan itu. Ia duduk di kursi di sisi ranjang Hans, menggenggam tangan suaminya yang masih belum sadar. Cahaya lampu di sudut langit-langit ruangan membuat wajah Hans tampak pucat, jauh berbeda dari biasanya.Ashley menyandarkan dagunya di tangan Hans, memejamkan mata sejenak. Hatinya masih dihantui rasa bersalah. Berkali-kali ia berbisik dalam hati, menyalahkan dirinya sendiri.Ashley mengusap punggung tangan Hans dengan lembut. “Ko, bangunlah. Aku di sini. Kamu nggak sendiri.”Ponsel Ashley yang sejak tadi diam di atas meja kecil tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan video masuk.Ashley cepat-cepat mengangkat panggilan itu. Di layar, tampak wajah mungil Haneul, dengan pipi tem
Naomi dan Candra saling pandang. Ekspresi mereka berubah tegang, seperti sedang menimbang apakah ini saat yang tepat untuk bicara.Ashley memperhatikan dengan cemas. “Jadi … kalian memang tahu?” tanyanya pelan. “Kalian tahu soal transplantasi jantung itu?”Naomi menatap Ashley lekat-lekat, lalu mengangguk perlahan. “Kami tahu, Ashley. Karena kami orang tuanya.”Ashley terdiam. Ia menunggu, sementara Naomi mulai menjelaskan.“Sejak kecil, Hans memang memiliki kelainan pada jantungnya. Kami baru tahu saat usianya menginjak tiga tahun. Sejak itu, kami harus rutin membawanya kontrol. Ia tumbuh seperti anak normal, tapi tetap ada batasan.”Candra melanjutkan, “Sekitar setahun yang lalu, kondisinya mulai memburuk. Sebelumnya sempat stabil, tapi waktu itu, keluhannya makin sering muncul. Dokter bilang transplantasi adalah satu-satunya jalan.”Naomi mengangguk. “Iya. Kami sangat bersyukur, delapan bulan lalu Hans mendapat donor
Ashley menatap Bram tanpa berkedip. Kata-kata dokter itu masih bergema di telinganya—transplantasi jantung?Namun sebelum Ashley sempat bertanya lebih lanjut, Liam tiba-tiba melangkah cepat mendekat.“Dok, kalau boleh tahu, kapan Pak Hans bisa dipindahkan ke ruang perawatan?” tanya Liam cepat, seolah berusaha mengalihkan.Bram menoleh ke Liam dan mengangguk kecil. “Sebentar lagi. Kami pastikan dulu tekanan darahnya stabil. Tapi beliau masih belum sadar.”Ashley ikut mendekat. “Kalau sudah di ruang intensif, saya boleh masuk, kan?”“Boleh. Nanti perawat akan panggil Ibu kalau sudah dipindahkan,” jawab Bram.Ashley menunduk, mencoba menahan perasaan yang campur aduk di dalam dadanya. Tapi pertanyaan tadi masih terus mengganggu pikirannya. Perlahan, ia mendongak lagi."Dok …." Suara Ashley pelan, tampak ragu. “Tadi Dokter bilang soal transplantasi jantung. Maksudnya, Ko Hans pernah—”“Kita bahas nanti, Bu. Sek
Jeritan Ashley menggema di tengah kerumunan yang mulai bubar. Petugas keamanan kini menahan Doni yang terus melawan, sementara beberapa staf mall sibuk merapikan kursi dan meja yang berserakan.Ashley masih duduk di lantai, memangku kepala Hans yang napasnya berat. Mata Ashley basah, tangannya gemetar saat membelai wajah suaminya."Ko, bangun, jangan diam saja seperti ini. Aku takut." Suara Ashley gemetar.Sirine ambulance terdengar mendekat.Beberapa detik kemudian, tim medis berlari masuk membawa tandu.“Cepat! Pasien pingsan,” teriak Liam sambil menunjuk ke arah Hans yang sudah terkulai lemas di pangkuan Ashley.Ashley masih memangku kepala Hans. "Tolong ... tolong dia, cepat."Ashley menyingkir perlahan saat petugas mengangkat Hans ke atas tandu. Tanpa perlu diminta, ia ikut naik ke dalam ambulans dan duduk di samping tubuh suaminya yang kini sudah dipasangi selang oksigen.Liam hanya bisa menatap saat
"Masih kayak mimpi kamu pergi secepat ini, Mas ... Aku sekarang sendirian di sini ..." Langit seakan senang menertawakannya menangis. Tuhan seolah belum bosan memberinya hukuman. Awan hitam pun tetap enggan pergi dalam diri seorang Ashley. Wanita itu belum bisa menerima kenyataan sebulan lalu, di mana kecelakaan membuat sang suami luka berat, dan bayinya yang belum sempat melihat dunia ini wafat. "Ya Tuhan ..., terangkan alam kubur suamiku. Aku sangat mencintainya. Izinkan aku hanya berjodoh dengan suamiku dunia akhirat ...." ratap Ashley. Hatinya begitu hancur. Dipandanginya lagi dua batu nisan mendiang suami dan bayinya di pemakaman yang sunyi di bawah guyuran hujan. Tak peduli basah dan kotor, tangannya terulur mengusap pelan pusara Soni. "Aku gak akan bisa hidup tanpamu, Mas .... Aku kangen kamu, suamiku ... Kangen semua moment kebersamaan kita ..." Seakan ia belum bisa menerima kenyataan, membuat Ashley menangis tersedu meratapi nasib. Dadanya bahkan terasa sesak, hin...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments