"Tidak ada tapi-tapian, Ash." Hans menyanggah penolakan Ashley, kemudian bangkit dari duduknya, "Ayo, aku tunjukkan di mana kamar Haneul. Mungkin saja dia sudah tidur, tapi tidak apa, yang penting kamu sudah tau kamarnya."Ashley mengangguk pelan, seraya mengikuti langkah sang majikan menuju lantai dua. Di mana kamar Haneul bersebelahan dengan kamar Hans.Sang CEO membuka pintu sangat pelan hingga hampir tidak terdengar suara apapun. Keduanya melangkah masuk lebih dalam.Pandangan Ashley langsung tertuju pada bayi laki-laki yang tertidur pulas dengan posisi miring. Tampak tenang dan menggemaskan. Sebulir air tanpa sengaja menerobos keluar sudut matanya."Benarkan, dia sudah tidur." Seutas senyum kecil pun tergambar pada bibir Hans yang langsung mendapat anggukan sang wanita.Suara bisik-bisik itu ternyata membangunkan perawat khusus menjaga Baby Neul selama ini. "Eugh ... Pak Hans ...?" sapa perawat sedikit terkejut.Sang perawat berusaha memulihkan kesadaran, namun Hans melarangnya.
Dengan cekatan Ashley langsung menutup tubuh Baby Haneul dengan selimut, menyadari kehadiran sang majikan. Wanita itu bangkit dari duduknya, mendekap sang anak dengan erat."Maaf, saya pikir sinar matahari pagi baik untuk kesehatan bayi," balas Ashley menerangkan sembari membawa Baby Neul masuk."Tapi bukan sekarang, Ash!" Lagi-lagi Risma memprotes.Hans melihat kemarahan Risma semakin menjadi. Pria itu lantas melangkah maju di antara Risma dan Ashley. "Tidak apa, Sus. Toh, ruam pada Haneul juga sudah membaik, biarkan Ashley yang mengurusnya. Dia mungkin lebih tau kondisi Baby Neul," ucap Hans menghentikan pertikaian.Ashley meletakkan Baby Neul di atas kasur besar, lalu merapikan lagi baju sang anak, kemudian melihat ke arah Hans, "Haneul sudah minum asi pagi ini, Pak. Jadi dia lebih tenang sekarang. Anda mau menggendongnya?"Hari pertama Ashley bekerja, Hans bisa melihat kelembutannya merawat sang anak. Tentu saja wanita itu lebih mendalami perannya sebagai seorang ibu dibandingkan
Di perusahaan besar LuminaTech. Pria yang duduk di balik meja kerja besar tampak berpikir keras hingga keningnya berkerut. Hans mengetuk-ngetuk meja kerja beberapa kali kemudian mengangkat gagang telepon. "Hallo Liam, ke ruanganku sekarang!" Sang CEO memeriksa kembali beberapa email, dan cctv dalam kamar Baby Neul yang terhubung ke ponselnya. "Ternyata dia sedang menyusui Haneul ..." batin Hans tetap memastikan sang anak dengan baik. Dalam lamunan itu ... Tak berselang lama, terdengar ketukan pintu sekilas, lalu nampak sang asisten melangkah masuk ke dalam dengan membawa iPad, "Anda mencari saya, Pak?" "Hm, duduklah." "Pak, Anda sudah periksa catatan yang dikirim sekretaris?" tanya Liam tiba-tiba. "Ekhem ..." Hans berdehem kecil, kemudian mengembalikan ekspresinya cepat, "hm ... sudah, aku sudah periksa tadi." "Lalu, bagaimana tanggapan Anda, Pak? Apa Anda juga setuju?" "Lanjutkan saja dulu, akan aku tambahi setelah pertemuan nanti," jawab Hans, "Oh ya, katakan pa
Mendengar suara bariton yang mereka kenali, Ashley dan Risma seketika menoleh dengan wajah cemas.Ashley mendongak terkejut. Sementara Risma menoleh, namun dengan batin tertawa. "Rasakan kamu, masuk jebakanku!" "Ma-maaf, Pak, bukan maksud kami begitu," ucap Ashley terbata."I-iya Pak, maaf saya terpaksa mengatakannya karena Ashley mendesaknya," alibi Risma membuat Ashley menoleh dengan tercengang."Tidak, Pak. Bu—""Diam!" Hans melangkahkan kaki masuk lebih dalam ke kamar itu, "Sekali lagi aku mendengar kalian bicara sembarangan, aku tidak akan memaafkannya!"Ashley hanya bisa tertunduk dalam, dan merasa kesal karena Risma sudah mengambinghitamkannya.Walaupun Hans melihat sang bayi tampak riang disertai berceloteh ria, tapi ia tidak bisa membiarkan siapapun membicarakan tentang istrinya. Tak terkecuali, termasuk para pelayan.Setelahnya, pria itu langsung berbalik badan, meninggalkan Ashley yang
Sandra seketika mendapat lirikan tajam dari pria yang duduk di sisi ujung meja dalam rapat itu.Liam merasa geram karena bisa-bisanya sekretarisnya itu telat dalam menghadiri rapat penting pagi ini.Wanita itu berjalan santai meski sudah mendapat tatapan tajam, "Maaf Pak, macet di jalan."Itu hanyalah alibi Sandra demi menghindari amarah dari sang CEO. Padahal, bukan itu yang sebenarnya terjadi.Setelahnya, selama hampir kurang satu jam, rapat tersebut berakhir. Hans bangkit dari duduknya, kemudian melangkah menuju ruangannya yang diikuti Liam. "Semua sudah siap, Liam?" tanya Hans tanpa menoleh."Sudah, Pak." Liam langsung paham dengan pertanyaan sang CEO yang membahas tentang perjalanan bisnisnya nanti sore.Sementara Sandra, memandang heran pada dua lelaki itu yang tidak menggubrisnya. "Apaan sih, masak iya mereka gak liat aku di sini!" gerutu Sandra seraya memberesi berkas-berkas rapat tadi.Di dalam ruang s
Jadwal penerbangan Hans dan Liam sekitar dua setengah jam lagi, namun kedua pria itu sudah bersiap untuk menuju ke bandara."Winda, sementara aku tidak ada di rumah, kamu bantu mereka dan jaga anakku dengan baik," pesan Hans sebelum melanjutkan langkahnya, "Kabari aku langsung kalau ada apa-apa dengan Baby Neul."Hans bertemu dengan Winda saat wanita paruh baya itu keluar dari kamar sang bayi. Sementara Hans baru saja menutup pintu kamarnya dan ingin berpamitan pada Haneul.Wanita paruh baya itu mengangguk lirih, "Baik, Pak. Tanpa Anda berkata begitu, sudah menjadi tugas saya.""Aku juga sudah pesan pada Ashley beberapa hal, tinggal kamu pantau saja kegiatannya. Dan satu lagi, gizi makanan Ashley jangan kamu abaikan. Itu juga berpengaruh pada anakku.""Selalu Pak, untuk makanan Ibu Ashley, Pak hans tenang saja."Hans mengangguk yakin, "Baik, aku percaya itu.""Jika tidak ada yang ingin Pak Hans sampaikan lagi, saya permi
Pagi itu memang pemandangan yang sangat menyenangkan. Meskipun tidak ada Hans di rumah itu, namun Ashley sangat bertanggung jawab atas tugasnya dalam mengurus Baby Neul. Eugh ... Erangan kecil kemudian disusul dengan rengekan Haneul membuat Ashley melihat ke dalam box bayi. Dengan sigap Ashley membopong tubuh Baby Neul, lalu menggendongnya, "Emmm, Sayang ... Baby Neul haus? Mau nenen ...?" Jiwa ke-ibuan Ashley berjalan begitu saja. Ia langsung memposisikan Haneul dengan tepat, sehingga sang bayi dapat nyaman menyerap asupan makanan dari dalam tubuhnya. Setelah kejadian kemarin pun Ashley tetap baik terhadap Risma. Selain menganggap sama-sama pekerja di rumah itu, Ashley memang memiliki hati yang lembut. Setelah memasukkan baju dan selimut kotor sang bayi ke dalam keranjang. Kemudian melihat Ashley sedang menyusui Haneul, Risma menepuk lengan Ashley lalu berkata, "Aku tinggal dulu ya, Ash. Ada kerjaan di bawah," pamitnya. "Hm." Ashley mengulas senyum kecil, membiarkan Ris
Di dalam mall besar, Risma dan Ashley tampak senang mendorong kereta bayi. Sementara Baby Neul pun tertidur pulas, menghiraukan kebisingan sekelilingnya, seolah telinga Haneul merasakan penyesuaian dengan dunia luar. "Wah ..., ternyata begini dalam isi mall," seloroh Ashley memandang pertokoan dengan mata binar. Mengernyit heran, Risma menoleh sekilas, "Memangnya kamu gak pernah masuk mall?" Ashley menggeleng, "Jarang untuk belanja, Ris. Mendingan juga ke pasar, harganya jauh lebih murah. Apalagi bisa ditawar juga." Memang benar, demi menjaga pengeluaran keluarga tetap stabil, Ashley tidak pernah belanja di mall. Mengingat gaji Soni yang waktu itu hanya seorang pekerja bengkel. Hampir setiap toko di dalam mall tersebut keduanya lalui hanya untuk melihat-lihat. Namun tiba-tiba ... "Lihat Ris, itu ada Diskon!" seru Ashley melihat tumpukan baju murah dalam keranjang display. Ia siap mengarahkan langkah menuju ke toko itu. Risma terbeliak melihat banyaknya orang berjejal dan
Ashley mengerutkan kening. Ia perlahan turun dari gendongan Hans, berdiri di samping suaminya yang masih mematung, menatap ke arah sosok asing yang berdiri di ruang tamu. "Siapa perempuan itu? Kenapa Ko Hans terlihat begitu tegang?" batin AshleyPerempuan itu tampak anggun, dengan senyum lebar yang seolah tidak menyadari keterkejutan yang mengisi udara di sekitar mereka. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya dilukis merah muda, dan matanya bersinar—seolah kedatangannya adalah kabar baik.Belum sempat Ashley bertanya, perempuan itu tiba-tiba melangkah cepat dan langsung memeluk Hans begitu saja, tanpa ragu.Ashley tersentak. Ia berdiri terpaku, matanya membelalak. Dadanya sesak seketika, jantungnya berdegup keras. Sedetik tadi, malam terasa hangat. Kini, ia seperti dilempar ke dalam kolam es.Sementara Hans juga tampak terkejut. Tubuhnya menegang beberapa detik, sebelum akhirnya ia mendorong perempuan itu perlahan, menjauh dari dirinya.
Setelah makan sore yang hangat dan sederhana, Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk pulang. Hari mulai gelap, dan suasana di antara mereka dipenuhi dengan kehangatan yang masih membekas dari obrolan-obrolan kecil selama makan tadi. Di dalam mobil, Ashley memegang kotak kecil berisi kalung itu erat-erat di pangkuannya. Jemarinya sesekali menyentuh liontin bintang di dalamnya, seolah memastikan hadiah itu nyata dan bukan sekadar khayalan."Aku masih nggak percaya kamu melakukan ini," katanya pelan, masih menatap kotak itu. “Kupikir kita cuma mau makan aja.”Hans melirik sekilas sambil tersenyum. "Kamu suka?" Ashley mengangguk, senyumnya melebar. "Iya, aku sangat suka."Beberapa saat mereka diam. Musik lembut mengisi keheningan, menemani pemandangan lampu-lampu jalan yang melintas perlahan di balik kaca jendela.Tidak lama kemudian, Hans menepikan mobil ke bahu jalan yang cukup sepi, lalu mematikan mesin.As
Sore harinya, dokter akhirnya masuk dengan senyum hangat di wajahnya. Setelah memeriksa hasil tes dan kondisi fisik Ashley, ia memberikan keputusan yang dinanti-nanti."Semua hasilnya baik. Tidak ada indikasi komplikasi. Jadi, Bu Ashley sudah boleh pulang sore ini, ya. Tapi tetap harus banyak istirahat di rumah."Ashley nyaris melompat dari tempat tidur kalau saja Hans tidak langsung menahan bahunya. Senyum lebarnya tidak luntur sedikit pun sejak dokter mengucapkan kata “boleh pulang.”“Terima kasih banyak, Dok!” ucap Ashley semangat.Hans mengangguk sopan. Setelah proses administrasi dan pengambilan obat selesai, mereka pun meninggalkan rumah sakit.Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Ashley nyaris tak berhenti tersenyum. Ia duduk dengan tubuh condong ke depan, memeluk tas kecilnya, sementara pandangannya sesekali melongok keluar jendela.Hans yang menyetir di sebelahnya melirik beberapa kali, lalu tersenyum tipi
Pagi menjelang dengan langit yang perlahan berubah cerah, cahayanya menyusup masuk lewat tirai kamar rumah sakit. Ashley duduk di tepi ranjang, mengenakan sweater tipis dan celana panjang yang dibawakan Hans semalam. Rambutnya tergerai seadanya, luka di kepalanya sudah dibalut rapi. Meski nyut-nyutan masih terasa, wajahnya terlihat jauh lebih segar daripada malam sebelumnya.Hans mondar-mandir di kamar, membereskan tas kecil yang berisi barang-barang Ashley. Sesekali ia melirik istrinya, memastikan semuanya baik-baik saja.Ashley menggeser selimutnya pelan dan menurunkan kaki ke lantai. Dengan hati-hati, ia berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah kamar mandi.Hans yang sedang membereskan tas langsung menghentikan gerakannya. “Mau ke mana?” tanyanya cepat.“Mau ke kamar mandi,” jawab Ashley tanpa menoleh.“Biar aku antar,” ucap Hans, sudah melangkah mendekat.Ashley menoleh sebentar. “Nggak usah, Ko. Aku bisa sendiri.”Ha
Lampu kamar menyala temaram. Dari balik tirai jendela besar, langit malam tampak gelap tanpa bintang. Ruangan sunyi, hanya suara hembusan pelan AC yang terdengar.Hans kembali duduk di kursi, sementara Ashley masih bersandar lemah di ranjang. Mereka terus mengobrol, seolah tidak ingin malam cepat berlalu.“Tadi kamu bilang darahku banyak sekali?” tanya Ashley sambil memutar tubuhnya sedikit ke arah Hans.Hans mengangguk. “Iya, aku bener-bener panik. Rasanya mau teriak minta tolong ke seluruh dunia.”Ashley tertawa kecil, tapi langsung meringis karena kepalanya masih nyut-nyutan. “Jangan lebay, Ko.”“Aku serius,” ucap Hans cepat. “Saat kamu nggak sadarkan diri, aku sangat khawatir. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan jika kamu sampai ....”Ashley menyentuh tangan Hans, menggenggamnya erat. “Aku masih di sini.”Hans mengangguk, menatap mata istrinya lama.Beberapa menit mereka terdiam. Lalu Ashley menguap
Suara pintu yang berderit pelan memecah keheningan kamar rumah sakit. Hans melangkah masuk, perlahan menutup pintu di belakangnya. Di ranjang, Ashley terbaring dengan wajah pucat. Matanya tertutup, nafasnya pelan tapi teratur. Perban membalut dahinya, dan selang infus menancap di tangannya.Perlahan, Hans mendekat dan duduk di kursi di samping ranjang. Ia menggenggam tangan Ashley, menatap wajah pucat itu dalam diam sejenak, lalu menunduk, mengecup jemari istrinya.“Ash …,” bisiknya pelan. “Bangun, ya. Aku di sini.”Beberapa detik berlalu. Lalu, pelan-pelan, mata Ashley terbuka. Pandangannya masih kabur, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri sebelum akhirnya menangkap sosok Hans yang duduk di sisinya.“… Ko?” suara Ashley serak, nyaris tidak terdengar.Hans mengangkat kepala, bibirnya membentuk senyum lega. “Ya, aku di sini, Sayang.”Ashley memutar pandangannya, mencoba mengenali tempat itu. “Aku … di mana?”
Naomi datang dengan napas sedikit terengah, wajahnya penuh kecemasan saat melihat Winda membuka pintu.“Gimana? Sudah ada kabar?” tanya Naomi cepat begitu masuk, matanya langsung menatap ke arah Haneul yang ada dalam pelukan Winda.Winda menggeleng pelan. “Belum, Bu. Pak Hans belum hubungi saya lagi. Saya juga udah coba nelpon, tapi belum diangkat.”Naomi mengangguk sambil menarik napas panjang, lalu mengulurkan tangannya. “Sini, saya gendong Haneul.”Winda menyerahkan bayi itu dengan hati-hati. “Dia masih sesekali menangis, Bu. Tapi sudah nggak sekencang tadi. Namun masih gelisah.”Naomi langsung memeluk tubuh mungil itu erat-erat. Ia duduk di sofa, mengayun perlahan sambil mengelus punggung Haneul. “Haneul …” ucapnya lembut. “Kamu kenapa, Nak? Kamu tahu ya Mama kamu lagi sakit?”Haneul masih sesenggukan kecil di pelukan Naomi. Kepalanya menyandar di bahu sang nenek, matanya setengah terpejam.“Mama kamu orang
Hans membuka pintu mobil dengan cepat dan dengan hati-hati meletakkan tubuh Ashley di jok penumpang. Tangannya masih gemetar, ia lalu masuk ke kursi pengemudi, menekan tombol start engine, dan mobil langsung menyala. Tanpa buang waktu, Hans melajukan mobil keluar dari halaman rumah.“Sayang, kamu dengar aku?” Hans melirik ke arah Ashley yang masih tak sadarkan diri. “Kamu harus bertahan. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit. Aku nggak mau kehilangan kamu."Mobil melaju kencang, melibas jalanan pagi yang masih lengang. Hans tidak peduli pada rambu-rambu. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, sementara sesekali ia menepuk pipi Ashley pelan.“Ashley, coba buka mata kamu. Sedikit saja,” ucap Hans pelan, suaranya parau. “Aku tahu kamu dengar. Kamu kuat, kan? Kamu selalu kuat.”Tidak ada respons. Napas Ashley lemah, wajahnya pucat, darah masih tampak mengalir meski tidak sederas sebelumnya.“Jangan buat aku takut begini, Sayang,” lanju
Hans baru saja selesai mengenakan baju dan melangkah keluar dari kamar mandi. Begitu sampai di tangga, ia mendengar suara kegaduhan yang datang dari arah depan rumah. Alisnya mengernyit. Suara itu terdengar semakin jelas, seperti ada orang yang sedang berteriak-teriak.Tanpa pikir panjang, Hans turun dengan cepat. Hatinya mulai tidak tenang. Ketika sampai di ruang tamu dan membuka pintu depan, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir.“Ashley!” serunya panik.Tubuh sang istri tergeletak di lantai, dengan darah segar mengalir dari pelipisnya. membasahi lantai keramik.Hans segera berlutut, tangannya gemetar saat menyentuh wajah Ashley yang pucat. “Sayang … astaga …,” gumamnya cemas.Hans menekan pelipis Ashley dengan telapak tangannya, mencoba menghentikan darah yang terus keluar.Hans meraih ponsel dari saku celananya, nyaris menjatuhkannya karena panik. Namun sebelum sempat menekan tombol d