Dengan cekatan Ashley langsung menutup tubuh Baby Haneul dengan selimut, menyadari kehadiran sang majikan. Wanita itu bangkit dari duduknya, mendekap sang anak dengan erat.
"Maaf, saya pikir sinar matahari pagi baik untuk kesehatan bayi," balas Ashley menerangkan sembari membawa Baby Neul masuk. "Tapi bukan sekarang, Ash!" Lagi-lagi Risma memprotes. Hans melihat kemarahan Risma semakin menjadi. Pria itu lantas melangkah maju di antara Risma dan Ashley. "Tidak apa, Sus. Toh, ruam pada Haneul juga sudah membaik, biarkan Ashley yang mengurusnya. Dia mungkin lebih tau kondisi Baby Neul," ucap Hans menghentikan pertikaian. Ashley meletakkan Baby Neul di atas kasur besar, lalu merapikan lagi baju sang anak, kemudian melihat ke arah Hans, "Haneul sudah minum asi pagi ini, Pak. Jadi dia lebih tenang sekarang. Anda mau menggendongnya?" Hari pertama Ashley bekerja, Hans bisa melihat kelembutannya merawat sang anak. Tentu saja wanita itu lebih mendalami perannya sebagai seorang ibu dibandingkan perawat. "Hm, tidak perlu. Biarkan Haneul tidur, aku hanya akan menciumnya saja." Hans langsung mencondongkan badan, menciumi wajah sang bayi yang tertidur pulas. "Papa kerja dulu ya sayang, Baby Neul sama Ibu Ash ya ... Jangan rewel ya, nak." Wajah tenang dan menggemaskan sangat membuat sang ayah tidak sabar ingin mengajak bermain. Namun Hans sadar, bila bayi Haneul butuh waktu tidur lebih banyak. Seusai mencium serta berpamitan, Hans menegakkan badan, lalu menatap ibu susu sang anak, "Ashley, aku titip Haneul. Jaga dia baik-baik. Oh, ya satu lagi. Jangan lupa kamu harus makan makanan yang bergizi. Asi-mu akan berpengaruh." "Baik, Pak," balas Ashley mengangguk lirih, meskipun sedikit malu. Kehadiran Risma seolah diabaikan keduanya. Hans dan Ashley tampak terlihat seolah keluarga kecil yang bahagia hingga membuat sang perawat semakin geram. "Semakin kurang ajar dia!" kesal Risma mengepalkan tangan. Sepeninggal Hans, Ashley memindahkan Baby Haneul ke dalam box bayi. "Aku mau turun dulu, Ris. Kamu tidak mau sekalian makan?" Namun, Risma menolak ajakan Ashley. "Kamu duluan saja. Aku mau cuci botol susu semalam." "Oh, ya sudah." Ashley langsung keluar dari kamar Baby Haneul, meninggalkan Risma begitu saja. "Aku harus melakukan sesuatu secepatnya! Atau ... Aku pasti yang akan disingkirkannya!" gumam Risma merencanakan sesuatu. ** Sementara di tempat lain, Riana senang setelah kepergian Ashley, namun ia juga dibuat penasaran ke mana menantu sialannya itu sekarang tinggal. "Gak mungkin kan dia bisa neduh sekarang? Mana ada yang mau nampung wanita sialan kayak dia!" maki Riana seolah kekesalannya sudah mendarah daging. Wanita paruh baya yang kini sedang duduk di sofa ruang tamu, melihat sekitar ruangan itu. Hening. Tak ada siapapun di rumah tersebut. "Ke mana lagi nih Sandra," gerutunya sambil melihat jam dinding, "jam segini belum pulang juga! Mana semalaman dia juga gak pulang?" Riana terus mengomel kesal entah dengan siapa. Wanita itu kemudian berjalan ke arah salah satu dinding di ruang tamu itu. Tangannya mengambil bingkai foto pernikahan sang anak yang sangat dibanggakannya selama ini. Namun sayang, Tuhan telah mengambil nyawanya lebih dulu. "Andai kamu mau menuruti omongan mama sebelumnya, kamu gak akan kayak gini, Soni ..." Riana mengeluh, namun sesaat kemudian ekspresinya sangat senang, "Tapi ada bagusnya juga sih, dengan kematianmu, aku bisa mengusir wanita itu!" Gerutuan Riana ternyata membuat wanita muda yang baru saja masuk ke rumah pagi itu mengacak rambut, "Kenapa lagi sih Mama, masih pagi ngomel-ngomel ...!" Dengan langkah sempoyongan, Sandra masuk ke dalam kamarnya. Namun, baru saja ia hendak menutup pintu kamarnya. Sebuah kaki menahan, serta diiringi sebuah teriakan. "Berhenti, Sandra!" bentak Riana dari balik pintu. "Dari mana kamu, hah? Perempuan, pulang pagi! Memang kamu gak kerja?" "Aku cuti, Ma! Ngapain sih pake teriak-teriak? Gak bisa ya omong pelan!" Sandra pun ikut kesal karena sang ibu yang terus mengomel, "Ngerusak mood aja deh!" "Heh, kamu tau gak? Si Ashley udah mama usir dari rumah ini!" Mendengar penjelasan sang ibu, Sandra justru mendengus, "Bukannya lebih bagus. Sudah lama kan mama mau mengusirnya!" Riana menatap tak percaya pada anak bungsunya. "Heh, kamu itu ya!" Menyentil kening Sandra membuat wanita muda itu melayangkan protes. "Aduh! Sakit!" "Dengerin!" Riana menarik lengan Sandra hingga wajahnya mendekat ke telinga sang anak, lalu berbisik, "Kalau kemarin dia setuju menikah dengan Doni, mama gak mungkin mengusirnya. Kita kan bisa dapatkan uang lagi. Kita bisa meraup keuntungan lebih banyak!" Sandra mencebik malas. Ia menarik diri sedikit menjauh. "Mama urus saja sendiri. Aku gak ikutan!" "Eeh ..., enak saja! Ingat Sandra, mobil yang kamu pakai juga uang dari itu!" Mengeram kesal, Sandra mendorong sang ibu agar sedikit menjauh, "Minggir!" Brak! Suara dentuman pintu yang ditutup dengan kasar begitu memekakkan telinga. Riana ternganga melihat tingkah anak perempuannya hingga wajahnya terlihat marah, kedua matanya seolah hendak keluar. "SANDRRRRAA ....!!" ***Di perusahaan besar LuminaTech. Pria yang duduk di balik meja kerja besar tampak berpikir keras hingga keningnya berkerut. Hans mengetuk-ngetuk meja kerja beberapa kali kemudian mengangkat gagang telepon. "Hallo Liam, ke ruanganku sekarang!" Sang CEO memeriksa kembali beberapa email, dan cctv dalam kamar Baby Neul yang terhubung ke ponselnya. "Ternyata dia sedang menyusui Haneul ..." batin Hans tetap memastikan sang anak dengan baik. Dalam lamunan itu ... Tak berselang lama, terdengar ketukan pintu sekilas, lalu nampak sang asisten melangkah masuk ke dalam dengan membawa iPad, "Anda mencari saya, Pak?" "Hm, duduklah." "Pak, Anda sudah periksa catatan yang dikirim sekretaris?" tanya Liam tiba-tiba. "Ekhem ..." Hans berdehem kecil, kemudian mengembalikan ekspresinya cepat, "hm ... sudah, aku sudah periksa tadi." "Lalu, bagaimana tanggapan Anda, Pak? Apa Anda juga setuju?" "Lanjutkan saja dulu, akan aku tambahi setelah pertemuan nanti," jawab Hans, "Oh ya, katakan pa
Mendengar suara bariton yang mereka kenali, Ashley dan Risma seketika menoleh dengan wajah cemas.Ashley mendongak terkejut. Sementara Risma menoleh, namun dengan batin tertawa. "Rasakan kamu, masuk jebakanku!" "Ma-maaf, Pak, bukan maksud kami begitu," ucap Ashley terbata."I-iya Pak, maaf saya terpaksa mengatakannya karena Ashley mendesaknya," alibi Risma membuat Ashley menoleh dengan tercengang."Tidak, Pak. Bu—""Diam!" Hans melangkahkan kaki masuk lebih dalam ke kamar itu, "Sekali lagi aku mendengar kalian bicara sembarangan, aku tidak akan memaafkannya!"Ashley hanya bisa tertunduk dalam, dan merasa kesal karena Risma sudah mengambinghitamkannya.Walaupun Hans melihat sang bayi tampak riang disertai berceloteh ria, tapi ia tidak bisa membiarkan siapapun membicarakan tentang istrinya. Tak terkecuali, termasuk para pelayan.Setelahnya, pria itu langsung berbalik badan, meninggalkan Ashley yang
Sandra seketika mendapat lirikan tajam dari pria yang duduk di sisi ujung meja dalam rapat itu.Liam merasa geram karena bisa-bisanya sekretarisnya itu telat dalam menghadiri rapat penting pagi ini.Wanita itu berjalan santai meski sudah mendapat tatapan tajam, "Maaf Pak, macet di jalan."Itu hanyalah alibi Sandra demi menghindari amarah dari sang CEO. Padahal, bukan itu yang sebenarnya terjadi.Setelahnya, selama hampir kurang satu jam, rapat tersebut berakhir. Hans bangkit dari duduknya, kemudian melangkah menuju ruangannya yang diikuti Liam. "Semua sudah siap, Liam?" tanya Hans tanpa menoleh."Sudah, Pak." Liam langsung paham dengan pertanyaan sang CEO yang membahas tentang perjalanan bisnisnya nanti sore.Sementara Sandra, memandang heran pada dua lelaki itu yang tidak menggubrisnya. "Apaan sih, masak iya mereka gak liat aku di sini!" gerutu Sandra seraya memberesi berkas-berkas rapat tadi.Di dalam ruang s
Jadwal penerbangan Hans dan Liam sekitar dua setengah jam lagi, namun kedua pria itu sudah bersiap untuk menuju ke bandara."Winda, sementara aku tidak ada di rumah, kamu bantu mereka dan jaga anakku dengan baik," pesan Hans sebelum melanjutkan langkahnya, "Kabari aku langsung kalau ada apa-apa dengan Baby Neul."Hans bertemu dengan Winda saat wanita paruh baya itu keluar dari kamar sang bayi. Sementara Hans baru saja menutup pintu kamarnya dan ingin berpamitan pada Haneul.Wanita paruh baya itu mengangguk lirih, "Baik, Pak. Tanpa Anda berkata begitu, sudah menjadi tugas saya.""Aku juga sudah pesan pada Ashley beberapa hal, tinggal kamu pantau saja kegiatannya. Dan satu lagi, gizi makanan Ashley jangan kamu abaikan. Itu juga berpengaruh pada anakku.""Selalu Pak, untuk makanan Ibu Ashley, Pak hans tenang saja."Hans mengangguk yakin, "Baik, aku percaya itu.""Jika tidak ada yang ingin Pak Hans sampaikan lagi, saya permi
Pagi itu memang pemandangan yang sangat menyenangkan. Meskipun tidak ada Hans di rumah itu, namun Ashley sangat bertanggung jawab atas tugasnya dalam mengurus Baby Neul. Eugh ... Erangan kecil kemudian disusul dengan rengekan Haneul membuat Ashley melihat ke dalam box bayi. Dengan sigap Ashley membopong tubuh Baby Neul, lalu menggendongnya, "Emmm, Sayang ... Baby Neul haus? Mau nenen ...?" Jiwa ke-ibuan Ashley berjalan begitu saja. Ia langsung memposisikan Haneul dengan tepat, sehingga sang bayi dapat nyaman menyerap asupan makanan dari dalam tubuhnya. Setelah kejadian kemarin pun Ashley tetap baik terhadap Risma. Selain menganggap sama-sama pekerja di rumah itu, Ashley memang memiliki hati yang lembut. Setelah memasukkan baju dan selimut kotor sang bayi ke dalam keranjang. Kemudian melihat Ashley sedang menyusui Haneul, Risma menepuk lengan Ashley lalu berkata, "Aku tinggal dulu ya, Ash. Ada kerjaan di bawah," pamitnya. "Hm." Ashley mengulas senyum kecil, membiarkan Ris
Di dalam mall besar, Risma dan Ashley tampak senang mendorong kereta bayi. Sementara Baby Neul pun tertidur pulas, menghiraukan kebisingan sekelilingnya, seolah telinga Haneul merasakan penyesuaian dengan dunia luar. "Wah ..., ternyata begini dalam isi mall," seloroh Ashley memandang pertokoan dengan mata binar. Mengernyit heran, Risma menoleh sekilas, "Memangnya kamu gak pernah masuk mall?" Ashley menggeleng, "Jarang untuk belanja, Ris. Mendingan juga ke pasar, harganya jauh lebih murah. Apalagi bisa ditawar juga." Memang benar, demi menjaga pengeluaran keluarga tetap stabil, Ashley tidak pernah belanja di mall. Mengingat gaji Soni yang waktu itu hanya seorang pekerja bengkel. Hampir setiap toko di dalam mall tersebut keduanya lalui hanya untuk melihat-lihat. Namun tiba-tiba ... "Lihat Ris, itu ada Diskon!" seru Ashley melihat tumpukan baju murah dalam keranjang display. Ia siap mengarahkan langkah menuju ke toko itu. Risma terbeliak melihat banyaknya orang berjejal dan
Meskipun langkah kaki keduanya sempat terhenti sejenak karena seruan Doni. Akan tetapi, Ashley menarik lengan Risma agar cepat mengikuti langkahnya lagi. Mereka mengabaikan panggilan Doni."Biarin aja, Ris! Cepetan kita pergi dari sini!"Dengan langkah menahan sakit, Ashley terus membawa langkahnya keluar mall itu, walaupun ada rasa penasaran dalam diri Risma.Beruntungnya, mobil yang dikemudikan sang supir terparkir tidak jauh dari pintu keluar. Dibantu sang supir memasukkan kereta dorong ke dalam bagasi belakang, kemudian Ashley memberi perintah. "Buruan jalan, Pak!"Kedua tangan Ashley tampak sedikit gemetaran saat menggendong Baby Neul, membuat Risma penasaran, "Kamu gak papa, Ash?"Entah, apa yang di rasakan Ashley saat ini. Padahal, jikalau dilihat dengan situasi saat tadi, Doni tampak seperti pria baik."Hmm." Ashley menyembunyikan keresahan.Setiba di rumah Hans, Risma membantu menggendong Baby Neu
Risma pikir setelah kejadian di mall Ashley akan mendapat masalah dengan Winda. Nyatanya, ibu susu Haneul hanya diperingatkan saja oleh kepala pelayan tersebut."Sialan banget sih, kenapa dia cuma ditegur doang!" kesal Risma secara tidak sengaja menguping pembicaraan keduanya.Perawat itu sedang berpura-pura hendak ke dapur sehingga ia bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Sangat jelas jika Winda tidak memecat Ashley.Sementara Ashley sudah menuju kamar Baby Neul. Winda bangkit dari duduknya, kemudian melangkah menuju meja makan. Di sana ia melihat Risma sedang membuka lemari pendingin."Risma," panggil Bi Winda.Sang perawat menoleh, "Ya, Bu.""Lain kali kamu juga harus waspada terhadap Baby Neul, jangan sampai kejadian ini terulang lagi."Meski tidak secara langsung menegur Risma, namun Risma merasa dia juga terkena akibat dari ajakan Ashley."Sialan! Ini semua gara-gara ide konyol si Ashley, aku jadi kena
Sandra terbangun dengan kepala yang Mata Sandra membelalak. Napasnya tercekat.Pikiran Sandra langsung melayang ke kejadian semalam. Tangan-tangan kasar itu memperlakukannya dengan brutal—menarik, mencengkeram, dan merenggut harga dirinya tanpa ampun, seolah ia bukan manusia. Semua itu terjadi diiringi desahan dan tawa menjijikkan.Suara mereka masih terngiang di telinga Sandra. Mereka mengolok-olok, menyebutnya murahan, lalu tertawa puas sambil mengatakan betapa mereka menikmati saat Sandra memohon, menangis, meronta sekuat tenaga, dan berteriak ketakutan."Tidaaaak!"Sandra menjerit histeris, tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. Ia ingin menyangkal apa yang terjadi, tapi rasa sakit di tubuhnya berkata lain. Ia merasa jijik. Marah dan hancur.Emosi yang membuncah membuatnya meraih gelas kaca di atas meja dan melemparkannya ke dinding. "Bajingan!!!""Bangsat! Hendrik brengsek!!"Sandra bangkit dengan tubuh geme
Hans memang memberi waktu bagi Ashley untuk menyesuaikan diri sebagai istrinya. Ia tidak memaksanya untuk segera menjalankan peran sebagai istri sepenuhnya. Baginya, sudah cukup jika Ashley tidak melupakan tugasnya sebagai seorang ibu. Pria itu menatap Ashley dengan lembut, membiarkan keheningan di antara mereka sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Apa yang kamu inginkan dariku sebagai suamimu, Ash?" Terdiam sejenak, Ashley menatap Hans dengan sorot mata ragu. Mereka kini berbaring saling berhadapan. Kedua bola mata saling menyelami perasaan masing-masing. Begitu pula Hans, menatap teduh sang istri. Ashley tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia mengangkat wajah, menatap suaminya dengan ragu. "Aku ... aku bersyukur," katanya pelan. "Aku gak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua mertuaku sebelumnya, tapi di sini, aku merasakannya. Aku gak butuh apa-apa lagi." Hans menggeleng kecil, tersenyum hangat. "Bukan itu maksudku, sayang." Ia mendekat, menggenggam tangan Ashley dengan
Setelah acara pesta barbeque usai pada malam itu, Naomi langsung membawa Haneul ke kamarnya. Sementara Hans dan Candra masih berbincang di ruang keluarga. Perbincangan yang santai diselingi tawa dan canda dari anak mantu keluarga Lee.Baru kali pertama Ashley merasakan kehangatan di dalam lingkungan keluarga mertuanya, dan sambutan mereka yang begitu hangat."Ash, kamu jangan sungkan-sungkan kalau di rumah ini ya. Ini rumah masa kecil Hans, jadi kamu pun juga harus merasa nyaman di sini," kata Candra membuat suasana semakin hangat."Mmm, iya, Pi. Aku akan membiasakan diri," balas Ashley terdengar kaku.Pasangan muda itu duduk berdampingan di sofa, sementara Candra duduk tak jauh dari mereka. Setelah mendengar lagi ucapan sang menantu, Candra tersenyum tipis, "Ya ya ya, itu akan jadi lebih baik. Jadi, kapan kalian bulan madu?"Hans dan Ashley saling berpandangan. Ashley menundukkan wajah, tersipu malu, sementara Hans menggar
Entah mimpi apa Sandra hingga terjebak ke dalam permainan Hendrik yang sangat panas. Pria yang memiliki studio itu biasanya menghasilkan gambar-gambar para model untuk cover atau iklan tertentu.Namun, di balik semua itu, ternyata Hendrik memiliki bisnis kotor. Ia memproduksi film porno dengan korban yang ia ancam akan disebar video yang ia rekam.Plak!"Diam dan patuh, Sandra. Atau kamu tiba-tiba jadi artis viral!" bentak HendrikPipi Sandra seketika menjadi panas. Wajahnya langsung memerah marah. Detik itu juga sesuatu terasa keras masuk ke dalam intinya. Dirinya merasa terbelah. Sandra sontak mendongak. "Argh ...!"Hendrik mendorong kuat miliknya yang sudah mengeras dengan sekali hentakan. Sedikit sulit, dan sesuatu yang basah ia rasakan."Hmmm ... Ternyata kamu masih perawan juga ya?" desis Hendrik sambil menarik miliknya sedikit.Sekali lagi, ia hentakkan kuat hingga terdengar jeritan dari wanita yang ada di b
Hendrik mulai melumat bibir Sandra. Perlahan, bibirnya menjelajah leher jenjang Sandra. Sementara kedua tangannya bergerilya menjelajahi tubuh halus Sandra tanpa menghentikan aksinya menciumi leher Sandra. Bahkan pria itu meninggalkan tanda merah yang dalam di kulit putih Sandra.Tiba-tiba Hendrik menghentikan aksinya dan berdiri. Ia memperhatikan tubuh Sandra yang masih terkulai tak sadarkan diri. Sesaat, ia terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya."Gini gak seru," gumam Hendrik. "Kalau dia sadar, reaksinya pasti lebih menarik."Dua teman Hendrik, Riki dan Anton, saling pandang."Maksudnya gimana?" tanya Anton, pria bertubuh besar dengan perut buncit."Bangunin dulu," Hendrik melirik ke wastafel di sudut ruangan. "Ambilin air, Rik."Riki, pria berkepala plontos, mengangkat bahu sebelum akhirnya berjalan ke wastafel. Sementara itu, Anton melipat tangan di dada, wajahnya masih penuh keraguan."Terus kalau
Sandra yang sudah dalam keadaan tak sadarkan diri pun tengah digerayangi dua pria di sekelilingnya. Sementara Hendrik sedang menyiapkan kamera yang tepat dengan tempat yang akan dijadikan membuat video mereka. "Gimana bro, kita mulai sekarang aja, ntar keburu dia sadar?" tanya satu rekan Hendrik. Sementara satu pria lain pun menyahut, "Benar katanya. Kalau kita gak segera, mungkin kita akan gagal semuanya." "Oke, oke, tenang. Sebentar aku siapin lampu sorotnya." Setelah memastikan semuanya sempurna, Sandra yang sudah tak memakai sehelai pakaian pun tersorot kamera dengan sangat jelas. Bentuk tubuh setiap inci wanita itu terekspos melalui lensa kamera Hendrik. "Yuk, kita mulai," kata Hendrik yang mulai menyalakan lampu serta tombol power. Kamera menyala, merekam setiap detiknya tubuh wanita itu. Bagaimana pula Hendrik mendekatkan kamera itu merekam pada bagian tubuh Sandra yang paling inti. "Wow," gumam Hendrik sangat bergairah meskipun hanya melihat melalui lensa kame
Jika Hans dan Ashley dalam keharmonisan keluarga, berbeda dengan Sandra yang semakin terpuruk. Wanita itu benar-benar frustasi akibat tertampar oleh kenyataan yang begitu getir.Malam pun semakin larut, Sandra duduk di meja bar, menatap kosong ke gelas minumannya yang sudah hampir habis. Musik yang keras, lampu yang berkedip, dan keramaian di sekitarnya hanya membuatnya semakin merasa terasing.Dia seharusnya merasa bahagia, atau setidaknya merasa lebih baik setelah mencoba melupakan kenyataan yang pahit. Tapi kenyataan itu terus menghantuinya, seperti bayangan yang tak bisa hilang."Mengapa seolah takdir pun juga tidak memihakku ...?" gumamnya mengangkat gelas, meneguk habis isinya. Sesaat, rasa pahitnya menyeruak, mengingatkan pada betapa pahitnya kenyataan yang dia hadapi. Dia selalu bermimpi menikah dengan Hans, membangun keluarga kecil yang bahagia. Tapi kini, impian itu hancur berantakan."Sandra," bisik suara tiba-tiba dari s
Suasana sore semakin hangat di taman samping rumah orang tua Hans, dipenuhi tawa dan kebersamaan. Hans, Ashley, dan kedua orang tuanya sedang duduk bersama di sekitar meja makan. Terlihat Candra sudah menyiapkan alat bakar dan menyalakan api lebih dulu. Sementara Hans dan Ashley juga membantu."Kalian ambil daging, serta alat makan saja," pinta Candra agar kedua pengantin baru sedikit menjauh.Ashley menggangguk, "biar aku yang ambil sayur dan dagingnya, Mas."Namun, Hans juga tak mau kalah, ia juga ingin membantu dalam acara pesta barbeque ini, "Jangan, biarkan aku bantu juga."Keduanya langsung masuk ke dapur, Ashley membuka lemari pendingin, sementara Hans melangkah mengambil alat makan. Mereka sepakat bekerja sama."Aduh, sudah besar banget Neul, ya? Kayak papa banget,” kata Naomi, yang tiba-tiba muncul dari balik pilar sambil memeluk Baby Neul dengan lembut.Wanita paruh baya itu baru saja bermain dengan cucu kesay
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Hans dan Ashley, bersama dengan Baby Neul, sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk menginap di rumah Oma dan Opa. Setelah Candra dan Naomi memutuskan untuk pulang lebih dulu setelah berakhirnya pesta. Meskipun mereka berdua tampak santai, ada sedikit kecemasan di wajah Ashley. Ini adalah pertama kalinya mereka menginap di sana, dan pastinya ada banyak hal yang ingin ia pastikan. "Ayo, Ash. Apa semua sudah siap?" tanya Hans menghampiri Ashley yang hendak Menggendong Haneul. "Hem, sudah Pak," sahut Ashley tanpa menoleh. Panggilan Ashley ternyata belum juga berubah hingga membuat Hans sedikit gemas. Namun, tangan pria itu tetap terulur membantu sang istri mengaitkan kunci di balik punggung hingga terdengar bunyi 'klik!' "Mau sampai kapan kamu gak merubah panggilan untukku itu, Sayang," bisiknya tepat di telinga Ashley hingga bibir serta embusan napas sang suami membuat wajahnya bersemu merah. Ashley tersipu malu mengalihkan pandanga