“Terima wanita itu sebagai madu atau bercerai!” Kalimat bagai sambaran petir di siang bolong yang dilontarkan Arman. Aisyah, wanita sederhana rela berkorban demi menikahi Arman. Namun, kebahagiaannya diuji ketika ibu mertua dan iparnya, terus merendahkannya karena dianggap tidak bisa memberikan keturunan. Bahkan menuduhnya sebagai pelacur. Tidak berhenti di situ, Aisyah semakin terpuruk dalam pengkhianatan dan penghinaan dengan kehadiran Farah, wanita licik yang menjadi pelakor, memperburuk keadaan. Dengan tipu daya dan manipulasi, Farah berusaha merebut Arman. Aisyah dihadapkan dalam perceraian, lalu beberapa mobil menghampiri dan orang-orang berjas hitam memberi hormat pada Aisyah. Siapa orang-orang itu? Apakah Aisyah akan merebut Arman kembali atau memilih melepasnya?
Lihat lebih banyakBab1. Bercerai
Bu Ratna mendengus. "Rencana? Lima tahun adalah rencana? Kalau kamu nggak bisa kasih anak, mungkin suami kamu butuh... ya, bantuan dari orang lain."
Malam itu di meja makan, Aisyah hanya bisa menunduk, berusaha menahan air mata yang menggumpal di pelupuk. Kata-kata Bu Ratna tadi terasa seperti belati yang terus-menerus menusuk hatinya. Sudah lima tahun dia mencoba segalanya demi impian memiliki anak, tapi usahanya seolah tak pernah cukup. Sementara di sekelilingnya, pandangan sinis dan tatapan tajam dari mertuanya tak henti menghakimi.
Setiap bisikan dan lirikan dari mereka seperti menuntut penjelasan, seakan-akan kekurangannya adalah kesalahan yang tak termaafkan. Mertuanya terus mengkritik dan menghina, sementara suaminya hanya diam, membiarkan Aisyah menanggung semuanya sendiri. Rasa sakit itu kian menyesakkan, membuat hatinya tergores semakin dalam tiap kali ia menyaksikan kekecewaan mereka yang tak kunjung berhenti.
"Aku tahu kamu dengar semuanya, Man," Bu Ratna melanjutkan. "Kamu sebagai suami harus mulai mikirin solusi. Jangan biarin pernikahan kamu hancur cuma karena satu masalah ini. Apalagi kalau kamu ada opsi lain."
Aisyah melirik Arman, berharap suaminya membela. Namun, yang dia dapatkan hanyalah anggukan pelan dari Arman. "Ibu benar, Yah. Mungkin sudah waktunya kita pertimbangkan hal lain."
"Apa maksudmu, Mas?" Aisyah mencoba menahan getaran di suaranya. "Kita masih berusaha, kan? Aku masih berusaha..."
Arman menghela napas panjang. "Aku nggak mau bohong lagi, Yah. Ada seseorang... dan aku mau dia tinggal di sini. Dia bisa memberikan aku apa yang selama ini kita nggak punya."
Dunia Aisyah serasa runtuh. Tubuhnya gemetar, matanya terasa panas. "Apa? Kamu serius? Kamu mau bawa wanita lain ke rumah ini?"
"Dia... bisa kasih aku anak," jawab Arman tanpa perasaan. "Aku butuh itu, dan kita sudah mencoba terlalu lama."
Malam yang kelam tidak memberikan Aisyah ketenangan. Percakapan mengerikan di meja makan. Pikiran tentang Arman yang akan membawa wanita lain ke rumah menghantui, membuat hatinya semakin terkoyak.
"Mas, kita harus bicara berdua-"
Arman menatapnya dengan tatapan kosong, seakan semua masalah sudah tak lagi penting. "Apa yang mau dibicarakan? Aku sudah bilang ini keputusan terbaik untuk kita semua."
"Untuk kita semua? Atau cuma untuk kamu?" Aisyah mendesak, suaranya bergetar. "Aku istrimu, Mas. Bagaimana bisa kamu berpikir membawa wanita lain ke rumah ini adalah solusi?"
Arman menoleh, ekspresinya datar. "Aku nggak punya pilihan lain. Kita sudah mencoba segalanya, tapi kamu ... nggak bisa kasih aku anak."
"Jadi, karena itu, kamu berpikir selingkuh adalah solusinya?" Aisyah menatapnya, air matanya mulai mengalir. "Aku selalu setia sama kamu, mendukung kamu di saat-saat sulit. Sekarang kamu malah memilih jalan ini?"
"Aisyah, kenapa kamu nggak bisa terima kenyataan? Arman butuh anak, dan kamu jelas-jelas nggak mampu. Jangan bikin masalah ini lebih rumit dari yang sudah ada." Bu Ratna ibu mertuanya mencebik.
"Dasar gadis miskin, memang salah kamu memilih gadis yang tidak tahu asal usulnya Arman. Sudah beban, mandul pula." Kali ini kata-kata Rina yang menusuk hati Aisyah.
Aisyah merasakan amarahnya perlahan muncul, namun ia mencoba meredamnya. "Mas, bagaimana mungkin kamu tega melakukan ini padaku? Kita suami-istri, kita harusnya-"
Bu Ratna mendengus sinis. "Kamu harus sadar diri, Aisyah. Terima wanita itu dan perlakukan dengan baik!" Bu Ratna bangkit dari duduk lalu mengambil kertas yang ada di atas lemari pendingin. Dengan sombong wanita itu melempar lembaran kertas ke wajah Aisyah. "Terima dia atau bercerai dengan Arman."
Tangan Aisyah gemetar ketika membaca lembaran kertas itu. "Ini, surat cerai?" Seakan dia tidak percaya dengan apa yang dilihat.
Aisyah merasa dadanya sesak, selama lima tahun menikah, Aisyah merelakan semuanya demi mengabdi pada keluarga suaminya. Dibenci, dihina, dicaci oleh mertua dan iparnya. Bahkan wanita cantik itu diperlakukan seperti pembantu gratisan di rumah. Namun, Aisyah berusaha sabar karena dia melihat cinta Arman. Akan tetapi, setelah percakapan makan malam penuh emosi, Aisyah sadar, Arman tidak benar-benar mencintainya. Jika dia mencintai, tidak mungkin ada niatan lelaki itu membawa wanita lain ke dalam rumah. Terlebih surat cerai sudah disiapkan dan Arman sudah membubuhkan tanda tangan.
Belum hilang rasa terkejut menerima surat cerai. Terdengar entakkan suara hells yang semakin mendekat ke arah ruang makan, mereka semua menoleh ke arah pintu. Sekilas Aisyah dapat melihat binar bahagia dari raut suami dan keluarganya.
Di ambang pintu, berdiri seorang wanita muda yang cantik dan menawan, tampak begitu percaya diri. Rambutnya tertata rapi, bibirnya merah sempurna, dan wangi parfumnya menguar kuat memenuhi ruangan. Wanita itu mengenakan gaun elegan, sepatu hak tinggi yang mengkilap, serta tas tangan bermerek. Ia tampak berbeda dari apa yang biasa Aisyah bayangkan-terlalu sempurna untuk berada di rumah yang selama ini penuh dengan kekecewaan dan penghinaan.
Arman tersenyum lebar melihat wanita itu, seolah menemukan kebahagiaan baru yang selama ini ia cari-cari. "Aisyah, kenalkan ini... Farah," katanya, tanpa sedikit pun rasa bersalah di wajahnya.
Aisyah hanya bisa terdiam, memandang wanita di depannya dengan pandangan kosong. Ketika ia melirik ke arah penampilannya sendiri, kesedihan semakin merasuki hatinya. Ia mengenakan baju rumah yang kusam, sisa noda masakan yang tak bisa hilang, apron usang yang sudah robek di beberapa bagian, dan rambutnya hanya disanggul seadanya. Tubuhnya masih tercium aroma bawang dan minyak-bau yang sehari-hari melekat padanya karena pekerjaan rumah tangga yang tak pernah henti ia kerjakan.
Farah meliriknya sekilas, senyum mengejek muncul di wajahnya. Ia tahu betul peran Aisyah di rumah ini, dan ia tampak menikmati kenyataan bahwa kini ia akan menggantikannya. Bu Ratna yang berdiri di samping Arman tampak puas. "Nah, Aisyah. Lihat, wanita ini adalah masa depan keluarga kami. Seseorang yang bisa memberikan keturunan untuk Arman, tidak seperti kamu," ujarnya tanpa rasa iba.
"Seperti yang sudah aku katakan, terima Farah sebagai madumu, atau ceraikan suamimu!" imbuh Bu Ratna.
'Sepertinya mereka memang telah menyiapkan sebelumnya.' Aisyah membatin dengan menahan sejuta rasa sakit yang seolah menjadi satu.
Aisyah terdiam, pandangannya tertuju pada pena yang diulurkan oleh Bu Ratna.
Dengan napas gemetar, Aisyah mengambil pena itu. Seketika, tangannya berhenti tepat di atas kertas. Kenangan lima tahun yang penuh air mata, pengorbanan, dan usaha demi membahagiakan keluarga ini terlintas di benaknya. Bagaimana ia bekerja tanpa lelah, mengurus rumah, melayani Arman, bahkan mengabaikan dirinya sendiri demi menjadi istri yang baik. Semua itu kini terasa sia-sia.
"Aku akan tanda tangan," suara Aisyah terdengar lirih namun tegas, "tapi aku ingin kalian tahu, aku bukan wanita lemah yang akan terus kalian injak-injak."
Aisyah menunduk, menahan air mata yang mulai jatuh di pipinya. Dengan tangan yang masih gemetar, ia akhirnya menuliskan tanda tangannya di atas surat cerai itu.
Selesai. Semua sudah berakhir.
Bu Ratna tersenyum puas. Ia meraih surat itu, memastikan tanda tangan Aisyah sudah lengkap, lalu menyimpannya di dalam tasnya. "Bagus. Sekarang, tinggalkan rumah ini."
"Baiklah," kata Aisyah dengan suara yang mulai mantap. "Aku akan pergi dari rumah ini.
"Aku yakin dia akan menjadi gelandangan setelah bercerai!" ejek mantan iparnya, Rina.
Tawa riang dari dalam itu terdengar tumpang tindih dengan retaknya hati Aisyah yang melangkah keluar rumah tanpa membawa apa-apa kecuali ponsel yang dia miliki sebelum menikah.
"Aku tidak akan memaafkan kalian semua!" Wanita itu menggerutu, setelah berjalan cukup jauh, Aisyah lalu menghubungi nomor tanpa nama di ponselnya. "Aku sudah bercerai, jemput aku!" Selang tidak lama, mobil hitam beriringan memasuki kawasan perkampungan tersebut, orang-orang berjas hitam turun lalu menundukkan kepala seolah memberi penghormatan. Dan Aisyah, dibawa masuk ke salah satu mobil.
Bab 44. Rencana Penculikan AisyahFarah, Arman dan Hendra sedang berdiskusi di rumah Farah. Mereka semua merencanakan cara untuk menculik Aisyah. "Paman sudah yakin akan melakukan hal itu?" tanya Farah kembali memastikan."Apa kamu tidak yakin?" Hendra membalikkan pertanyaan itu pada keponakannya."Bukan begitu, Paman ... aku hanya takut ...." Farah terlihat cemas."Apa yang kamu takutkan, Sayang?" tanya Arman."Ahhh, lupakan saja. Aku setuju juga kok dengan usulan Paman. Jadi kapan kita akan melangsungkan rencana itu?""Lebih cepat lebih baik. Paman sudah sangat muak dengan tingkah dia, dan kalau kita menunda waktu memangnya kalian punya uang untuk membayar kerugian yang diminta wanita sialan itu?""Justru itu, Paman. Aku sangat tidak rela jika uang hasil jerih payahku diberikan begitu saja padanya.""Nah, betul itu. Jadi paman rasa, rencana ini harus berjalan dalam waktu dekat.""Aku setuju. Bila perlu kita harus turun tangan untuk menyiksa dia," ujar Arman menggebu-gebu. Arman adal
Bab 43. Konsekuensi Sebuah KebohonganBella mendengus kasar. Sungguh bukan ini yang ia harapkan. "Kamu jahat Rendra!" pekik Bella. "Dan kamu!" Tunjuknya pada Aisyah, "aku tidak yakin ternyata sekarang selera Rendra sepertimu. Sangat rendahan!" cibirnya lagi."Tutup mulutmu Bella, Anda tidak berhak menghakimi pilihan saya. Dan mulai sekarang saya harap Anda sadar diri dan menjaga sikap Anda terhadap saya!" jawab Rendra membuat Bella terdiam. "Silakan pergi sekarang juga, sebelum saya kehilangan kesabaran melihat tingkahmu yang sangat menyebalkan.""Rendra kam---""Pergi!" usirnya dengan cepat.Bella menatap sinis ke arah Aisyah, ia juga menghentak-hentakkan kakinya saat pergi dari hadapan mereka berdua."Hufttttttt ...." Rendra menghembuskan napas lega melihat kepergian Bella."Sudah selesai?" tanya Aisyah tiba-tiba mengejutkannya."Sepertinya sudah. Saya harap dia kapok setelah ini," jawabnya dengan wajah datar."Sampai lupa menawarkan Anda duduk." Rendra terkekeh pelan, kemudian ia
Bab 42. Tunangan PalsuRupanya Bella tidak menyerah begitu saja meskipun ia sudah berkali-kali ditolak Rendra. "Aku tidak yakin dia memiliki kekasih, bahkan sudah bertunangan. Itu pasti hanya alibinya saja untuk menjauhiku," gumamnya sebelum turun dari mobil mewahnya."Selamat pagi, Nona. Maaf Anda tidak diperkenankan masuk ke dalam perusahaan ini lagi," sapa resepsionis dengan ramah, begitu melihat Bella mulai melangkahkan kaki menuju tempat di mana Rendra berada."Heh! Anda siapa berani-beraninya mengatur saya?" skak Bella dengan nada angkuh."Saya hanya menjalankan tugas, Nona. Jika ingin bertemu silakan tunggu di sana." Resepsionis itu kemudian melakukan tugasnya yang lain.Bella melihat sekelilingnya, ada dua bodyguard yang berjaga di sana."Sialan sekali. Awas yah kamu Rendra. Semakin kamu jual mahal, semakin aku gencar ingin memilikimu."Bosan. Itulah yang sekarang Bella rasakan, ia memainkan gawainya. "Kalau bukan karena Rendra, aku tak sudi menunggu seperti ini."Sedangkan di
Bab 41. Rencana Jahat Hendra"Akhirnya aku bisa mengambil keputusan besar ini. Terima kasih Ya Tuhan karena engkau sudah mempermudah segala jalannya," gumam Aisyah pelan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi. Padahal hari masih pagi, tapi masalah sudah muncul tanpa permisi."Aku sangat yakin ada dalang di balik semua kejadian ini. Tapi siapa?" Ia mencoba memejamkan matany sebentar untuk menghilangkan penat. Namun, belum sempat terpejam di luar sudah terdengar suara keributan antara Rani dan seseorang. Karena penasaran akhirnya Aisyah membuka pintu ruangannya."Maafkan saya, Bu. Pak Hendra sedari tadi memaksa bertemu Ibu, padahal saya sudah menjelaskan baik-baik Ibu sedang tidak bisa diganggu," jelas Rani."Tidak apa, Rani. Itu bukan salahmu," jawab Aisyah. "Silakan masuk Pak Hendra, barangkali ada hal penting yang ingin Anda sampaikan kepada saya," lanjutnya sambil membuka pintu lebih lebar lagi. Dengan angkuh Hendra melanglang masuk begitu saja."Anda tidak bisa berbuat seenaknya, Bu A
Bab 40. Pemecatan dan Pengungkapan"Apa, Paman?! Bagaimana bisa?" teriak Farah di ujung telepon.'Paman juga tidak tahu. Kamu lihat sendiri saja di media sosial,' ujar Hendra. Ya, ia memberi tahu Farah tentang video yang tersebar luas."Dasar brengsek! Paman lakukan sesuatu. Makin ke sini, dia semakin berbuat semaunya."'Kamu yakin pelakunya Aisyah?'"Kalau bukan dia lalu siapa lagi? Yang tahu video itu cuma dia seorang, Paman."'Baiklah. Besok pagi kita bicarakan hal ini. Jika benar dia, paman akan melaporkan tindakan ini pada papanya.'"Aku tidak mau tahu. Pokonya aku mau wanita sialan itu dipecat!" Klik! Farah mematikan telepon itu secara sepihak. Dengan segera ia membuka link yang diberikan Hendra, dan ternyata benar saja video itu sudah viral di mana-mana dan mendapatkan ribuan like dan komen."Akhhhhhh ... ini benar-benar gila! Bagaimana mungkin dalam hitungan menit seviral ini?!" teriak Farah. Sungguh ia sangat malu. "Apa yang akan terjadi selanjutnya. Akhhhhhhh ...." Ia melem
Bab 39. Aisyah dan Pusaran KonspirasiMeta berjalan dengan anggun menuju ruangan Aisyah. Namun, langkahnya harus terhenti ketika Rani menodongnya."Jangan bilang itu ulahmu juga, Bu Meta?" "Memangnya kenapa? Toh mereka selama ini jahat menghasut karyawan di sini. Aku tidak berbuat curang ataupun menuduh tanpa bukti. Semua yang aku perlihatkan pada mereka adalah sesuatu yang benar adanya.""Tapi, Bu. Saya merasa bersalah, karena saya yang mengirimkan video itu pada mereka.""Kamu tenang saja. Saya yang akan bertanggungjawab semuanya, karena kamu mengirimkan video itu atas saran saja. Sudah ya, saya mau ke ruangan Bu Aisyah dulu."Meta berlalu dari hadapan Rani, tak lupa ia mengetuk pintu ruangan Aisyah. Saat sudah terdengar suara pemilik ruangan mengizinkan masuk, Meta segera masuk dan duduk di depan Aisyah."Ada apa? Sepertinya terjadi keributan lagi?" tanya Aisyah."Begitulah, Bu. Semua karyawan di sini sudah mengetahui semua kebusukan mereka," jawab Meta dengan santai."Bagaimana
Bab 38. Vidio SkandalJam pulang kantor telah tiba. Semua karyawan telah pulang, tapi anehnya mereka tidak pulang ke rumah masing-masing melainkan berkumpul di depan pos satpam dengan tatapan yang sulit diartikan."Bu Meta, di luar ada apa rame-rame?" tanya Aisyah, melihat dari cctv."Saya tidak tahu, Bu.""Aduh ...," keluh Aisyah. "Apa ada gosip miring lagi tentang saya?" Wajahnya mulai terlihat cemas."Hmmm, baiknya Bu Aisyah tunggu di sini saja dulu. Biar saya pastikan ke depan." Meta memberikan usulan."Terima kasih, Bu Meta." Aisyah menghembuskan napas penuh kelegaan."Saya permisi dulu, Bu," pamit Meta keluar dari ruangan Aisyah.Di dalam ruangannya Aisyah terus memantau kerumunan orang-orang di luar. "Sampai kapan karyawan ini merubah sikap, supaya tidak mudah terprovokasi oleh gosip Ya Tuhan?" gumamnya mulai lelah melihat tingkah bawahnya yang mudah terbawa arus.****Farah dan Arman berjalan bergandengan tangan dengan sangat mesra, mereka memang terbiasa pulang terakhir. "Ma
Bab 37. Perubahan Sikap di Lingkungan Kerja. [Jangan melupakan janji temu kita. Sore nanti saya jemput.]"Aduh!" Aisyah menepuk jidatnya. Saking sibuknya mengurus masalah Arman dan Farah, ia sampai melupakan janjinya dengan Rendra.[Kita mau ke mana?] Aisyah membalas pesan itu.[Bertemu dengan wanita yang mengejar-ngejar aku. Ingat misi kita.]"Ya Allah ... bagaimana ini?" Mendadak Aisyah menjadi panik, ia tidak mungkin tampil biasa saja. "Dia pasti menginginkan aku tampil beda, tapi ...'' Aisyah mengigit kukunya.[Jam berapa acaranya?][Jam 3 sore aku jemput.]"Tidak! Satu jam lagi dong. Aduh!" Aisyah langsung panik banget. "Aku belum nyalon, belum memilih baju, belum ... ahhh, aku tidak bisa prepare dalam waktu satu jam."[Dua jam ya. Aku perlu bersiap-siap dulu.] Aisyah mencoba bernegosiasi pada Rendra.[Tidak bisa. Satu jam lagi aku sudah sampai di kantormu.]"Astaghfirullah. Rani, ahh, iya, Rani." Aisyah setengah berlari keluar memanggil Rani."Ada apa, Bu. Kenapa Ibu panik sep
Bab 36. Sistem Keamanan"Dasar bodoh!" Hendra memaki Arman dan Farah. Saat ini ketiganya sudah berada di ruangan Hendra. "Apa yang kalian pikirkan.Hah?""Paman, maafkan aku," ujar Farah terisak pilu."Kalau sudah seperti ini kalian bisa apa? Kamu juga Arman, harusnya sebagai laki-laki kamu bisa menahan nafsumu.""Tapi Farah yang sudah menggoda saya, Paman." Arman membela diri, ia tak ingin disalahkan sendiri."Kalian berdua sama-sama bodoh.""Paman maafkan aku," rengek Farah."Sudahlah, untuk ke depannya kalian lebih wasapada lagi.""Baik, Paman," jawab Farah dan Arman secara bersamaan. "Paman, aku ingin kita melakukan sesuatu.""Sesuatu apa, Farah?!""Kita laporkan saja tindakan ini ke polisi, Paman. Ini kan sudah termasuk pencemaran nama baik dan juga melanggar kode etik privasi orang lain.""Kamu pikir polisi sebodoh itu? Kalian melakukan hal gila itu di ruangan kantor di jam kantor dan juga Arman__" Hendra menjeda ucapannya. "Kalau sampai kasus ini tembus ke polisi, kalian berdua
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen