Bab 5. Manipulatif
Farah menggebrak meja kecil di ruangannya dengan keras. Suara hantaman itu memantul di dinding ruang kerja yang dihiasi lukisan abstrak berwarna gelap. Matanya memerah, napasnya tersengal, sementara dada naik-turun seperti sedang membakar emosi yang tak tertahan.
“Kenapa dia selalu mendapatkan perhatian? Bahkan setelah semua penghinaan tadi, dia masih diperlakukan seperti seorang ratu!” Suaranya nyaring, menggema, hingga membuat Hendra, pamannya, yang duduk santai di sofa kulit hitam di sudut ruangan, menoleh dengan alis terangkat.
Hendra hanya menyeringai kecil, seolah menikmati pemandangan kemarahan Farah. Ia mengangkat cangkir kopinya dengan gerakan tenang, menyeruput sedikit, lalu meletakkannya kembali di meja kecil di hadapannya. “Tenang, Farah. Tidak ada yang abadi. Bahkan perhatian seorang Hermawan bisa kita belokkan.”
Farah menoleh tajam. Matanya menyipit, kilatan penuh rasa ingin tahu muncul di balik amarahnya. “Apa maksud Paman?” tanyanya, suaranya lebih rendah tetapi bergetar dengan emosi tertahan.
Hendra menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke sofa. Senyumnya melebar, menampilkan kepercayaan diri yang membuat darah Farah semakin mendidih. “Istrinya, Farah. Kau lupa siapa wanita itu? Ibu rumah tangga kaya yang selalu merasa terancam oleh bayang-bayang perempuan lain.”
Sesaat, ruangan itu hening. Hanya terdengar suara detik jam dinding dan bunyi samar mesin pendingin ruangan. Perlahan, senyum tipis mulai terbentuk di bibir Farah. Ia duduk kembali, menyilangkan kaki dengan gerakan anggun, tetapi matanya menunjukkan kilatan siasat yang mulai terbentuk.
“Kau mau bilang, kita manfaatkan istrinya untuk menyerang Aisyah?” tanyanya dengan nada penuh antusiasme yang dingin.
Hendra tertawa kecil, suaranya dalam, bergema pelan di ruangan itu. Ia meraih ponselnya dari meja, memutarnya di antara jari-jarinya seperti seorang pemain kartu yang sedang bersiap melancarkan trik andalannya. “Lebih dari itu. Kita buat Hermawan terlihat seperti pria tak setia. Kau tahu kan, gosip kecil bisa menjadi bom besar jika kita tahu bagaimana menyebarkannya.”
Farah mengangguk pelan, tangannya menyisir rambutnya yang tergerai dengan gerakan gemas. “Tapi bagaimana caranya? Kita bahkan tidak punya bukti.”
Hendra meletakkan ponselnya dengan tenang, menatap ke arah Farah seperti seorang guru yang sedang menjelaskan rencana besar. “Bukankah itu sebabnya aku di sini? Semua bukti bisa dibuat, Farah. Yang perlu kita lakukan hanyalah memastikan gosip ini sampai ke telinga orang yang tepat.”
Di ruang perawatan
Aisyah duduk di kursi besi dingin, menatap kakinya yang diperban dengan pandangan kosong. Suara alat medis di sekelilingnya—bunyi detak mesin tekanan darah dan langkah perawat yang lalu lalang—terasa samar di telinganya. Ia menghela napas panjang, mengingat semua penghinaan yang baru saja diterimanya. Sesuatu di dadanya terasa berat, seperti beban yang tak mampu ia singkirkan.
“Apakah kau baik-baik saja, Bu?” tanya perawat yang membantunya dengan lembut, senyumnya penuh perhatian.
Aisyah mengangguk pelan, tetapi bibirnya tetap terkatup rapat. “Hanya lelah,” jawabnya singkat, suaranya hampir tak terdengar.
Namun, suasana tenang itu berubah ketika suara langkah berat terdengar di lorong. Pintu ruang perawatan terbuka, dan Pak Hermawan masuk dengan langkah cepat, wajahnya terlihat tegang. “Bagaimana kondisinya?” tanyanya langsung pada perawat, tanpa menoleh ke arah Aisyah.
Perawat tersenyum sopan. “Lukanya tidak parah, hanya perlu istirahat.”
Di balik pintu yang sedikit terbuka, seorang asisten kantor berdiri dengan tubuh menempel ke dinding, mendengarkan setiap kata. Tatapannya penuh perhatian, dan bibirnya melengkung kecil seolah sudah mendapatkan informasi berharga. Tanpa suara, ia menyelinap pergi, meninggalkan lorong dengan langkah cepat untuk menyampaikan kabar kepada Farah.
“Paman, aku punya ide!” seru Farah dengan mata berbinar setelah mendengar laporan itu. Ia berdiri dari kursinya dengan penuh semangat, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Bagaimana jika kita buat seolah-olah Aisyah sedang mencoba merayu Pak Hermawan?”
Hendra tertawa terbahak-bahak, tangannya menepuk paha dengan penuh kepuasan. “Sekarang kau mulai berpikir seperti aku! Bagus, Farah. Tapi ingat, jangan terlalu tergesa-gesa. Kita butuh momen yang tepat untuk melancarkan serangan ini.”
Farah mengangguk, senyum puas terpampang di wajahnya. “Aku akan pastikan dia tidak pernah muncul lagi di sini.”
Suasana di ruangan itu berubah. Bayangan rencana jahat mereka seolah memenuhi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang dingin dan mengancam. Hendra meletakkan ponselnya di tengah meja, jarinya mengetuk-ketuk layar seolah-olah sedang menunggu saat yang tepat.
“Sekarang saatnya kita membawa Mirna istri Pak Hermawan ke permainan ini,” ujar Hendra, suaranya rendah namun penuh keyakinan.
“Pastikan nada bicaramu lembut, penuh keprihatinan,” bisiknya kepada Farah.
Farah menarik napas panjang, mengatur emosi. “Tenang saja, Paman. Aku tahu cara membuat seorang wanita merasa terancam tanpa terlihat jahat.”
Ketika panggilan tersambung, "Halo, selamat siang dengan Ibu Mirna, Nyonya Herman."
"Halo, iya saya sendiri." suara tegas namun halus penuh keibuan terdengar dari ujung telepon. “Ada yang bisa saya bantu?" Layaknya seorang Nyonya sejati nada bicaranya tegas, tapi membuat segan yang mendengar.
Farah segera memasang nada khawatir yang dibuat-buat. “Halo, Bu Mirna. Ini Farah, asisten kantor Pak Hermawan. Saya mohon maaf mengganggu waktu Ibu, tapi ada sesuatu yang sepertinya perlu Ibu ketahui.”
“Halo, Bu Mirna. Ini Farah, asisten kantor Pak Hermawan. Saya mohon maaf mengganggu waktu Ibu, tapi ada sesuatu yang sepertinya perlu Ibu ketahui,” ujar Farah dengan nada lembut namun penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang sedang berbagi rahasia besar.
Di seberang telepon, terdengar jeda sejenak sebelum Mirna merespons. “Ada apa, Mbak Farah?"
Farah menarik napas, memberikan jeda dramatis sebelum berbicara lagi. “Begini, Bu. Sebenarnya saya cukup ragu untuk menyampaikan ini karena saya tidak ingin mencampuri urusan pribadi. Tapi… saya merasa ini penting untuk Ibu ketahui."
Mirna menghela napas pelan. “Langsung saja, Mbak. Saya tidak suka bertele-tele.”
Farah tersenyum kecil, memastikan nada suaranya tetap penuh perhatian. “Di kantor ada sedikit keributan, ada seorang wanita datang membuat kegaduhan dan sekarang wanita itu tengah menggoda Pak Hermawan."
Kedua alis Mirna terangkat. "Maksud Anda, dia mencoba mendekati suami saya?”
"Wanita itu bahkan mengaku-ngaku sebagai kepala Direktur yang baru." Farah menambahi.
"Astaga, benarkah?" Suara terkejut Ibu Mirna semakin membuat Farah tersenyum menyeringai.
Farah cepat-cepat melanjutkan, mempertegas dugaannya tanpa terlihat terlalu menuduh. “Namun, saya tidak mau berprasangka, Bu."
Di ujung telepon, Mirna terdiam. “Baik, Mbak Farah. Terima kasih atas informasinya."
Bab1. BerceraiBu Ratna mendengus. "Rencana? Lima tahun adalah rencana? Kalau kamu nggak bisa kasih anak, mungkin suami kamu butuh... ya, bantuan dari orang lain."Malam itu di meja makan, Aisyah hanya bisa menunduk, berusaha menahan air mata yang menggumpal di pelupuk. Kata-kata Bu Ratna tadi terasa seperti belati yang terus-menerus menusuk hatinya. Sudah lima tahun dia mencoba segalanya demi impian memiliki anak, tapi usahanya seolah tak pernah cukup. Sementara di sekelilingnya, pandangan sinis dan tatapan tajam dari mertuanya tak henti menghakimi.Setiap bisikan dan lirikan dari mereka seperti menuntut penjelasan, seakan-akan kekurangannya adalah kesalahan yang tak termaafkan. Mertuanya terus mengkritik dan menghina, sementara suaminya hanya diam, membiarkan Aisyah menanggung semuanya sendiri. Rasa sakit itu kian menyesakkan, membuat hatinya tergores semakin dalam tiap kali ia menyaksikan kekecewaan mereka yang tak kunjung berhenti."Aku tahu kamu dengar semuanya, Man," Bu Ratna me
Bab 2. Cantik Setelah Bercerai"Bu Aisyah," salah seorang pria berjas hitam yang duduk di depannya angkat bicara. "Kami sudah mengatur semuanya sesuai perintah Anda. Rapat dengan dewan direksi akan dimulai besok pagi pukul sembilan. Apakah Anda ingin mengubah jadwal atau menambah permintaan?"Malam itu, mobil hitam melaju perlahan meninggalkan perkampungan kecil yang selama lima tahun menjadi tempat Aisyah mencoba bertahan. Perjalanan terasa sunyi, hanya suara roda yang berputar di atas aspal yang terdengar. Aisyah duduk diam di kursi belakang, tatapannya kosong, tetapi di dalam dadanya menyala sesuatu—amarah yang ia tahan selama bertahun-tahun kini mencari jalan keluar.Aisyah memandang pria itu dengan mata yang tajam, seolah menunjukkan sisi dirinya yang selama ini terkubur. "Tidak perlu. Pastikan semua berjalan sesuai rencana. Aku ingin ini selesai secepatnya.""Baik, Bu."Mobil berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang megah di pusat kota. Dengan gerakan anggu
Bab 3. Pertemuan yang Membuka LukaArman maju beberapa langkah, mengabaikan kehadiran Farah yang mengekor di belakangnya. “Jangan main-main, Aisyah. Kamu datang ke sini untuk apa? Menguntitku? Atau kamu sengaja ingin mencari masalah?”Mata mereka bertemu. Ada luka yang tersembunyi dalam tatapan, tapi bibir Aisyah berhasil melengkung dalam senyum tipis yang dingin. “Aku di sini bukan urusanmu, Arman. Tidak perlu khawatir, lagipula ini kantor orang tua__""Pergilah, Aisyah. Jangan mempermalukan diriku." Arman memotong kalimat Aisyah yang belum selesai. Aisyah terpaksa mengatupkan kembali bibirnya. "Farah, sudah berusaha keras agar aku diterima bekerja di tempat ini. Jangan membuatku terlibat masalah karena dirimu!" Arman menuding. "Apa maksudmu?" Rasanya Aisyah ingin tertawa mendengar pernyataan konyol Arman. Bahkan saat wanita itu menoleh ke arah Farah, wajah wanita yang sudah merebut suaminya itu tampak congkak. "Kau benar-benar tidak tau apa-apa, Arman." Suara tawa Aisyah terdenga
Bab 4. Pengungkapan yang Menggetarkan"Apa yang kau icarakan, bodoh. Wanita macam apa yang berani mengklaim hal konyol seperti itu?" Suara tawa Farah menggema di pelataran kantor, memancing lebih banyak bisik-bisik dari kerumunan yang sudah berkumpul.Aisyah menelan rasa sakit di kakinya, berusaha keras untuk tetap berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki. Mata-mata penuh ejekan dari orang-orang di sekitarnya membuat dadanya terasa sesak."Berhenti menertawakanku!" Aisyah berteriak, suaranya pecah oleh emosi.Namun, bukannya berhenti, Farah justru melangkah mendekat dengan tatapan penuh cemooh. "Kau ini apa? Mau mencoba membuktikan sesuatu? Hei, lihatlah dirimu! Bahkan berjalan saja kau kesulitan."Aisyah menatap Farah dengan mata berkaca-kaca, namun tak ada air mata yang ia biarkan jatuh. "Kau pikir kau sudah menang, Farah?" katanya dengan suara gemetar.Arman menyeringai. "Kau sudah kalah, Aisyah. Jangan membuat dirimu semakin menyedihkan."Aisyah ingin melawan, tetapi rasa sakit d
Bab 5. ManipulatifFarah menggebrak meja kecil di ruangannya dengan keras. Suara hantaman itu memantul di dinding ruang kerja yang dihiasi lukisan abstrak berwarna gelap. Matanya memerah, napasnya tersengal, sementara dada naik-turun seperti sedang membakar emosi yang tak tertahan.“Kenapa dia selalu mendapatkan perhatian? Bahkan setelah semua penghinaan tadi, dia masih diperlakukan seperti seorang ratu!” Suaranya nyaring, menggema, hingga membuat Hendra, pamannya, yang duduk santai di sofa kulit hitam di sudut ruangan, menoleh dengan alis terangkat.Hendra hanya menyeringai kecil, seolah menikmati pemandangan kemarahan Farah. Ia mengangkat cangkir kopinya dengan gerakan tenang, menyeruput sedikit, lalu meletakkannya kembali di meja kecil di hadapannya. “Tenang, Farah. Tidak ada yang abadi. Bahkan perhatian seorang Hermawan bisa kita belokkan.”Farah menoleh tajam. Matanya menyipit, kilatan penuh rasa ingin tahu muncul di balik amarahnya. “Apa maksud Paman?” tanyanya, suaranya lebih r
Bab 4. Pengungkapan yang Menggetarkan"Apa yang kau icarakan, bodoh. Wanita macam apa yang berani mengklaim hal konyol seperti itu?" Suara tawa Farah menggema di pelataran kantor, memancing lebih banyak bisik-bisik dari kerumunan yang sudah berkumpul.Aisyah menelan rasa sakit di kakinya, berusaha keras untuk tetap berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki. Mata-mata penuh ejekan dari orang-orang di sekitarnya membuat dadanya terasa sesak."Berhenti menertawakanku!" Aisyah berteriak, suaranya pecah oleh emosi.Namun, bukannya berhenti, Farah justru melangkah mendekat dengan tatapan penuh cemooh. "Kau ini apa? Mau mencoba membuktikan sesuatu? Hei, lihatlah dirimu! Bahkan berjalan saja kau kesulitan."Aisyah menatap Farah dengan mata berkaca-kaca, namun tak ada air mata yang ia biarkan jatuh. "Kau pikir kau sudah menang, Farah?" katanya dengan suara gemetar.Arman menyeringai. "Kau sudah kalah, Aisyah. Jangan membuat dirimu semakin menyedihkan."Aisyah ingin melawan, tetapi rasa sakit d
Bab 3. Pertemuan yang Membuka LukaArman maju beberapa langkah, mengabaikan kehadiran Farah yang mengekor di belakangnya. “Jangan main-main, Aisyah. Kamu datang ke sini untuk apa? Menguntitku? Atau kamu sengaja ingin mencari masalah?”Mata mereka bertemu. Ada luka yang tersembunyi dalam tatapan, tapi bibir Aisyah berhasil melengkung dalam senyum tipis yang dingin. “Aku di sini bukan urusanmu, Arman. Tidak perlu khawatir, lagipula ini kantor orang tua__""Pergilah, Aisyah. Jangan mempermalukan diriku." Arman memotong kalimat Aisyah yang belum selesai. Aisyah terpaksa mengatupkan kembali bibirnya. "Farah, sudah berusaha keras agar aku diterima bekerja di tempat ini. Jangan membuatku terlibat masalah karena dirimu!" Arman menuding. "Apa maksudmu?" Rasanya Aisyah ingin tertawa mendengar pernyataan konyol Arman. Bahkan saat wanita itu menoleh ke arah Farah, wajah wanita yang sudah merebut suaminya itu tampak congkak. "Kau benar-benar tidak tau apa-apa, Arman." Suara tawa Aisyah terdenga
Bab 2. Cantik Setelah Bercerai"Bu Aisyah," salah seorang pria berjas hitam yang duduk di depannya angkat bicara. "Kami sudah mengatur semuanya sesuai perintah Anda. Rapat dengan dewan direksi akan dimulai besok pagi pukul sembilan. Apakah Anda ingin mengubah jadwal atau menambah permintaan?"Malam itu, mobil hitam melaju perlahan meninggalkan perkampungan kecil yang selama lima tahun menjadi tempat Aisyah mencoba bertahan. Perjalanan terasa sunyi, hanya suara roda yang berputar di atas aspal yang terdengar. Aisyah duduk diam di kursi belakang, tatapannya kosong, tetapi di dalam dadanya menyala sesuatu—amarah yang ia tahan selama bertahun-tahun kini mencari jalan keluar.Aisyah memandang pria itu dengan mata yang tajam, seolah menunjukkan sisi dirinya yang selama ini terkubur. "Tidak perlu. Pastikan semua berjalan sesuai rencana. Aku ingin ini selesai secepatnya.""Baik, Bu."Mobil berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang megah di pusat kota. Dengan gerakan anggu
Bab1. BerceraiBu Ratna mendengus. "Rencana? Lima tahun adalah rencana? Kalau kamu nggak bisa kasih anak, mungkin suami kamu butuh... ya, bantuan dari orang lain."Malam itu di meja makan, Aisyah hanya bisa menunduk, berusaha menahan air mata yang menggumpal di pelupuk. Kata-kata Bu Ratna tadi terasa seperti belati yang terus-menerus menusuk hatinya. Sudah lima tahun dia mencoba segalanya demi impian memiliki anak, tapi usahanya seolah tak pernah cukup. Sementara di sekelilingnya, pandangan sinis dan tatapan tajam dari mertuanya tak henti menghakimi.Setiap bisikan dan lirikan dari mereka seperti menuntut penjelasan, seakan-akan kekurangannya adalah kesalahan yang tak termaafkan. Mertuanya terus mengkritik dan menghina, sementara suaminya hanya diam, membiarkan Aisyah menanggung semuanya sendiri. Rasa sakit itu kian menyesakkan, membuat hatinya tergores semakin dalam tiap kali ia menyaksikan kekecewaan mereka yang tak kunjung berhenti."Aku tahu kamu dengar semuanya, Man," Bu Ratna me