Bab 3. Pertemuan yang Membuka Luka
Arman maju beberapa langkah, mengabaikan kehadiran Farah yang mengekor di belakangnya. “Jangan main-main, Aisyah. Kamu datang ke sini untuk apa? Menguntitku? Atau kamu sengaja ingin mencari masalah?”
Mata mereka bertemu. Ada luka yang tersembunyi dalam tatapan, tapi bibir Aisyah berhasil melengkung dalam senyum tipis yang dingin. “Aku di sini bukan urusanmu, Arman. Tidak perlu khawatir, lagipula ini kantor orang tua__"
"Pergilah, Aisyah. Jangan mempermalukan diriku." Arman memotong kalimat Aisyah yang belum selesai.
Aisyah terpaksa mengatupkan kembali bibirnya.
"Farah, sudah berusaha keras agar aku diterima bekerja di tempat ini. Jangan membuatku terlibat masalah karena dirimu!" Arman menuding.
"Apa maksudmu?" Rasanya Aisyah ingin tertawa mendengar pernyataan konyol Arman. Bahkan saat wanita itu menoleh ke arah Farah, wajah wanita yang sudah merebut suaminya itu tampak congkak. "Kau benar-benar tidak tau apa-apa, Arman." Suara tawa Aisyah terdengar.
"Hei, kau menertawakan diriku?" Farah merasa tersindir dengan tatapan dan tawa Aisyah yang dianggap meremehkannya.
"Peselingkuh dan juga perebut suami orang. Kalian benar-benar pasangan pembohong yang serasi." Suara lantang Aisyah mengatakan hal itu hingga membuat beberapa orang berlalu lalang dan berbisik-bisik langsung menjadi diam dan menyaksikan kejadian hal tersebut.
Farah tersentak mendengar sindiran itu. Dengan cepat, ia melangkah maju. “Berani sekali kamu bicara seperti itu padaku!"
Aisyah tidak gentar. “Astaga, kau tersindir?” Matanya melirik Farah, yang wajahnya memerah menahan amarah.
Arman mencoba menahan Farah yang tampak kehilangan kendali, tapi wanita itu terlanjur terbakar emosi. “Dasar wanita jelek, bodoh!” Farah berteriak, lalu dengan kasar mendorong Aisyah hingga jatuh ke lantai.
Tubuh Aisyah terbanting keras di atas lantai marmer lobi yang dingin. Suara jatuhnya menarik perhatian beberapa karyawan dan tamu yang sedang berlalu lalang. Keributan pagi itu membuat suasana lobi berubah tegang.
“Nona, Anda baik-baik saja?” Seorang pria berjas hitam, yang sedari tadi berdiri tak jauh dari sana, segera menghampiri. Ia membungkuk untuk membantu Aisyah berdiri.
Aisyah mengangguk pelan, meski tangannya bergetar menahan sakit. “Terima kasih,” gumamnya pelan sambil menyeka debu di roknya.
Namun, sebelum ia sempat mengatur napas, suara Arman kembali membahana. “Siapa dia?! Apa dia juga salah satu pelangganmu?!”
Aisyah membelalak, terkejut dengan tuduhan keji itu. “Arman, apa maksudmu?”
Arman mendekat, wajahnya penuh kemarahan. “Jangan berpura-pura bodoh! Kamu muncul di sini dengan penampilan seperti itu, dan sekarang ada laki-laki lain yang langsung membelamu? Jangan-jangan dia salah satu dari mereka yang membayar tubuhmu?!”
Kata-kata itu seperti pukulan telak di wajah Aisyah. Ia menatap Arman dengan tatapan tak percaya. Sementara itu, kerumunan yang semakin banyak mulai berbisik-bisik.
“Beraninya kamu, Arman,” ucap Aisyah dengan suara yang bergetar. “Beraninya kamu mengucapkan hal seperti itu kepadaku. Apa kamu sudah kehilangan akal?!”
“Beraninya?!” Arman mencibir. “Aku susah payah masuk ke kantor ini berkat Farah, dan kamu malah membuatku malu! Apa kamu akan bertanggung jawab kalau aku dipecat gara-gara ulahmu, jalang sialan?!”
Kerumunan semakin gaduh. Tatapan penuh cemooh tertuju pada Aisyah, membuatnya merasa seperti dihakimi oleh dunia. Namun, ia tidak bisa membiarkan Arman terus menginjak harga dirinya.
“Sudah cukup, Arman!” sergah Aisyah. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu berpikir sejauh itu, tapi aku tidak akan membiarkanmu mempermalukanku di sini!”
Namun, Arman tidak peduli. Matanya tetap memancarkan kemarahan dan kebencian yang tak ia sembunyikan.
Farah, yang berdiri di sampingnya, tersenyum sinis. “Lihatlah, Arman. Dia bahkan berani melawanmu sekarang. Memang pantas dia kamu tinggalkan.”
Aisyah memandang Farah dengan dingin. “Kamu benar. Dia memang pantas meninggalkan aku, karena aku terlalu baik untuk orang seperti dia.”
Farah, terkesiap mendengar balasan itu. Kemarahan semakin membakar dirinya.
Farah,mengeluarkan ponselnya dan mulai menelepon seseorang, "Hallo, Paman."
Farah tersenyum penuh kemenangan setelah menutup telepon. Ia memandang Aisyah dengan tatapan sinis, seolah memastikan bahwa wanita di hadapannya tidak punya tempat lagi untuk berdiri. “Kamu pikir bisa menang di sini, Aisyah? Lihat saja, aku akan memastikan kamu menyesal pernah muncul di tempat ini.”
Beberapa menit kemudian, suara langkah cepat menggema di lobi. Seorang pria paruh baya dengan wajah tegang muncul, mengenakan jas abu-abu rapi. Dia adalah Hendra, Paman Farah sekaligus orang yang cukup berpengaruh di perusahaan. Ketika matanya menangkap Farah, ia langsung menghampiri dengan raut penasaran.
“Ada apa ini, Farah? Kenapa kau meneleponku di jam kerja dengan nada panik?” tanya Hendra dengan nada tegas.
Farah langsung menunjuk Aisyah. “Paman, wanita ini yang menyebabkan keributan di sini! Dia memalukan keluarga kita, apalagi di perusahaan ini!”
Hendra mengernyitkan alis, memandang Aisyah dengan tatapan bingung. “Apa maksudmu? Siapa dia?”
Aisyah berdiri tegak, meskipun hatinya masih terasa terluka oleh penghinaan yang baru saja diterimanya. Ia menatap Hendra dengan tatapan tajam. "Pak Hendra, saya adalah Aisyah calon__"
"Dia mantan istri Mas Arman, dan ke sini untuk mencari ribut. Lihat saja, bahkan dia datang dengan pelanggan yang dia layani." Farah menyela kalimat Aisyah. Tidak hanya menyakiti, tapi wanita itu juga semakin bertindak seperti penguasa di tempat tersebut.
Hendra menatap sinis Aisyah, dari ujung kaki hingga ujung kepala setelah mendengar perkataan keponakannya.
Aisyah merasa risih ditatap demikian, lalu menoleh ke arah Farah. "Kau seperti membicarakan dirimu sendiri, Farah! Aku bukan pelacur seperti dirimu!" Suara Aisyah terdengar kencang
"Dasar kau wanita kurang ajar." Mata Hendra kini mendelik tidak terima sang keponakan dihina. "Di mana petugas keamanan. Seret wanita gila itu keluar!" Suara bariton lelaki tua itu terdengar keras.
Dengan kencang petugas keamanan menarik tangan kanan Aisyah dan menyeret wanita rapuh itu seperti tersangka kejahatan. "Jangan membuat keributan di kantor ini, sialan!"
"Lepaskan!"
Keluar dari lobi, dan menjadi bahan tontonan dan tertawaan karyawan membuat Aisyah menangis. Bukan hanya diseret paksa, paman dari Farah itu pun dengan keras mendorong tubuh Aisyah hingga wanita tersebut terjatuh dari anak tangga.
"Argh." Beruntung tidak terlalu tinggi, tapi itu cukup membuat kaki Aisyah terkilir.
"Kau pantas mendapatkan itu dasar wanita murahan miskin!" Kalimat menohok dari Farah itu diakhiri dengan tawa.
Aisyah mulai menangis melihat ke sekeliling orang-orang menertawakannya. Betapa malu Aisyah.
"Kalian benar-benar orang bodoh." Lelaki yang tadi mengekor Aisyah kembali membantu sang wanita berdiri.
"Hei, kalian dengar, sepertinya lelaki itu puas dengan pelayanan Aisyah sehingga tetap setia membantunya." Mulut Farah semakin melontarkan kata-kata pedas.
Bibir Aisyah gemetar, dia memberanikan diri menatap Arman dan Farah. "Kalian benar-benar keterlaluan," Aisyah berteriak. "Dan kau Arman. Kau laki-laki tidak tahu diri." Aisyah menjeda kalimat. "Asal kau tahu Arman yang membuat kau masuk ke perusahaan ini bukan Farah__."
Bab 4. Pengungkapan yang Menggetarkan"Apa yang kau icarakan, bodoh. Wanita macam apa yang berani mengklaim hal konyol seperti itu?" Suara tawa Farah menggema di pelataran kantor, memancing lebih banyak bisik-bisik dari kerumunan yang sudah berkumpul.Aisyah menelan rasa sakit di kakinya, berusaha keras untuk tetap berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki. Mata-mata penuh ejekan dari orang-orang di sekitarnya membuat dadanya terasa sesak."Berhenti menertawakanku!" Aisyah berteriak, suaranya pecah oleh emosi.Namun, bukannya berhenti, Farah justru melangkah mendekat dengan tatapan penuh cemooh. "Kau ini apa? Mau mencoba membuktikan sesuatu? Hei, lihatlah dirimu! Bahkan berjalan saja kau kesulitan."Aisyah menatap Farah dengan mata berkaca-kaca, namun tak ada air mata yang ia biarkan jatuh. "Kau pikir kau sudah menang, Farah?" katanya dengan suara gemetar.Arman menyeringai. "Kau sudah kalah, Aisyah. Jangan membuat dirimu semakin menyedihkan."Aisyah ingin melawan, tetapi rasa sakit d
Bab 5. ManipulatifFarah menggebrak meja kecil di ruangannya dengan keras. Suara hantaman itu memantul di dinding ruang kerja yang dihiasi lukisan abstrak berwarna gelap. Matanya memerah, napasnya tersengal, sementara dada naik-turun seperti sedang membakar emosi yang tak tertahan.“Kenapa dia selalu mendapatkan perhatian? Bahkan setelah semua penghinaan tadi, dia masih diperlakukan seperti seorang ratu!” Suaranya nyaring, menggema, hingga membuat Hendra, pamannya, yang duduk santai di sofa kulit hitam di sudut ruangan, menoleh dengan alis terangkat.Hendra hanya menyeringai kecil, seolah menikmati pemandangan kemarahan Farah. Ia mengangkat cangkir kopinya dengan gerakan tenang, menyeruput sedikit, lalu meletakkannya kembali di meja kecil di hadapannya. “Tenang, Farah. Tidak ada yang abadi. Bahkan perhatian seorang Hermawan bisa kita belokkan.”Farah menoleh tajam. Matanya menyipit, kilatan penuh rasa ingin tahu muncul di balik amarahnya. “Apa maksud Paman?” tanyanya, suaranya lebih r
Bab1. BerceraiBu Ratna mendengus. "Rencana? Lima tahun adalah rencana? Kalau kamu nggak bisa kasih anak, mungkin suami kamu butuh... ya, bantuan dari orang lain."Malam itu di meja makan, Aisyah hanya bisa menunduk, berusaha menahan air mata yang menggumpal di pelupuk. Kata-kata Bu Ratna tadi terasa seperti belati yang terus-menerus menusuk hatinya. Sudah lima tahun dia mencoba segalanya demi impian memiliki anak, tapi usahanya seolah tak pernah cukup. Sementara di sekelilingnya, pandangan sinis dan tatapan tajam dari mertuanya tak henti menghakimi.Setiap bisikan dan lirikan dari mereka seperti menuntut penjelasan, seakan-akan kekurangannya adalah kesalahan yang tak termaafkan. Mertuanya terus mengkritik dan menghina, sementara suaminya hanya diam, membiarkan Aisyah menanggung semuanya sendiri. Rasa sakit itu kian menyesakkan, membuat hatinya tergores semakin dalam tiap kali ia menyaksikan kekecewaan mereka yang tak kunjung berhenti."Aku tahu kamu dengar semuanya, Man," Bu Ratna me
Bab 2. Cantik Setelah Bercerai"Bu Aisyah," salah seorang pria berjas hitam yang duduk di depannya angkat bicara. "Kami sudah mengatur semuanya sesuai perintah Anda. Rapat dengan dewan direksi akan dimulai besok pagi pukul sembilan. Apakah Anda ingin mengubah jadwal atau menambah permintaan?"Malam itu, mobil hitam melaju perlahan meninggalkan perkampungan kecil yang selama lima tahun menjadi tempat Aisyah mencoba bertahan. Perjalanan terasa sunyi, hanya suara roda yang berputar di atas aspal yang terdengar. Aisyah duduk diam di kursi belakang, tatapannya kosong, tetapi di dalam dadanya menyala sesuatu—amarah yang ia tahan selama bertahun-tahun kini mencari jalan keluar.Aisyah memandang pria itu dengan mata yang tajam, seolah menunjukkan sisi dirinya yang selama ini terkubur. "Tidak perlu. Pastikan semua berjalan sesuai rencana. Aku ingin ini selesai secepatnya.""Baik, Bu."Mobil berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang megah di pusat kota. Dengan gerakan anggu
Bab 5. ManipulatifFarah menggebrak meja kecil di ruangannya dengan keras. Suara hantaman itu memantul di dinding ruang kerja yang dihiasi lukisan abstrak berwarna gelap. Matanya memerah, napasnya tersengal, sementara dada naik-turun seperti sedang membakar emosi yang tak tertahan.“Kenapa dia selalu mendapatkan perhatian? Bahkan setelah semua penghinaan tadi, dia masih diperlakukan seperti seorang ratu!” Suaranya nyaring, menggema, hingga membuat Hendra, pamannya, yang duduk santai di sofa kulit hitam di sudut ruangan, menoleh dengan alis terangkat.Hendra hanya menyeringai kecil, seolah menikmati pemandangan kemarahan Farah. Ia mengangkat cangkir kopinya dengan gerakan tenang, menyeruput sedikit, lalu meletakkannya kembali di meja kecil di hadapannya. “Tenang, Farah. Tidak ada yang abadi. Bahkan perhatian seorang Hermawan bisa kita belokkan.”Farah menoleh tajam. Matanya menyipit, kilatan penuh rasa ingin tahu muncul di balik amarahnya. “Apa maksud Paman?” tanyanya, suaranya lebih r
Bab 4. Pengungkapan yang Menggetarkan"Apa yang kau icarakan, bodoh. Wanita macam apa yang berani mengklaim hal konyol seperti itu?" Suara tawa Farah menggema di pelataran kantor, memancing lebih banyak bisik-bisik dari kerumunan yang sudah berkumpul.Aisyah menelan rasa sakit di kakinya, berusaha keras untuk tetap berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki. Mata-mata penuh ejekan dari orang-orang di sekitarnya membuat dadanya terasa sesak."Berhenti menertawakanku!" Aisyah berteriak, suaranya pecah oleh emosi.Namun, bukannya berhenti, Farah justru melangkah mendekat dengan tatapan penuh cemooh. "Kau ini apa? Mau mencoba membuktikan sesuatu? Hei, lihatlah dirimu! Bahkan berjalan saja kau kesulitan."Aisyah menatap Farah dengan mata berkaca-kaca, namun tak ada air mata yang ia biarkan jatuh. "Kau pikir kau sudah menang, Farah?" katanya dengan suara gemetar.Arman menyeringai. "Kau sudah kalah, Aisyah. Jangan membuat dirimu semakin menyedihkan."Aisyah ingin melawan, tetapi rasa sakit d
Bab 3. Pertemuan yang Membuka LukaArman maju beberapa langkah, mengabaikan kehadiran Farah yang mengekor di belakangnya. “Jangan main-main, Aisyah. Kamu datang ke sini untuk apa? Menguntitku? Atau kamu sengaja ingin mencari masalah?”Mata mereka bertemu. Ada luka yang tersembunyi dalam tatapan, tapi bibir Aisyah berhasil melengkung dalam senyum tipis yang dingin. “Aku di sini bukan urusanmu, Arman. Tidak perlu khawatir, lagipula ini kantor orang tua__""Pergilah, Aisyah. Jangan mempermalukan diriku." Arman memotong kalimat Aisyah yang belum selesai. Aisyah terpaksa mengatupkan kembali bibirnya. "Farah, sudah berusaha keras agar aku diterima bekerja di tempat ini. Jangan membuatku terlibat masalah karena dirimu!" Arman menuding. "Apa maksudmu?" Rasanya Aisyah ingin tertawa mendengar pernyataan konyol Arman. Bahkan saat wanita itu menoleh ke arah Farah, wajah wanita yang sudah merebut suaminya itu tampak congkak. "Kau benar-benar tidak tau apa-apa, Arman." Suara tawa Aisyah terdenga
Bab 2. Cantik Setelah Bercerai"Bu Aisyah," salah seorang pria berjas hitam yang duduk di depannya angkat bicara. "Kami sudah mengatur semuanya sesuai perintah Anda. Rapat dengan dewan direksi akan dimulai besok pagi pukul sembilan. Apakah Anda ingin mengubah jadwal atau menambah permintaan?"Malam itu, mobil hitam melaju perlahan meninggalkan perkampungan kecil yang selama lima tahun menjadi tempat Aisyah mencoba bertahan. Perjalanan terasa sunyi, hanya suara roda yang berputar di atas aspal yang terdengar. Aisyah duduk diam di kursi belakang, tatapannya kosong, tetapi di dalam dadanya menyala sesuatu—amarah yang ia tahan selama bertahun-tahun kini mencari jalan keluar.Aisyah memandang pria itu dengan mata yang tajam, seolah menunjukkan sisi dirinya yang selama ini terkubur. "Tidak perlu. Pastikan semua berjalan sesuai rencana. Aku ingin ini selesai secepatnya.""Baik, Bu."Mobil berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang megah di pusat kota. Dengan gerakan anggu
Bab1. BerceraiBu Ratna mendengus. "Rencana? Lima tahun adalah rencana? Kalau kamu nggak bisa kasih anak, mungkin suami kamu butuh... ya, bantuan dari orang lain."Malam itu di meja makan, Aisyah hanya bisa menunduk, berusaha menahan air mata yang menggumpal di pelupuk. Kata-kata Bu Ratna tadi terasa seperti belati yang terus-menerus menusuk hatinya. Sudah lima tahun dia mencoba segalanya demi impian memiliki anak, tapi usahanya seolah tak pernah cukup. Sementara di sekelilingnya, pandangan sinis dan tatapan tajam dari mertuanya tak henti menghakimi.Setiap bisikan dan lirikan dari mereka seperti menuntut penjelasan, seakan-akan kekurangannya adalah kesalahan yang tak termaafkan. Mertuanya terus mengkritik dan menghina, sementara suaminya hanya diam, membiarkan Aisyah menanggung semuanya sendiri. Rasa sakit itu kian menyesakkan, membuat hatinya tergores semakin dalam tiap kali ia menyaksikan kekecewaan mereka yang tak kunjung berhenti."Aku tahu kamu dengar semuanya, Man," Bu Ratna me