Xiao Jing Wu adalah sosok anak laki-laki yang cerdas dan sangat tertarik dengan ilmu beladiri. Namun, keinginan untuk belajar bela diri tak direstui oleh pamannya, Yang Zhou, karena tak ingin Xiao Jing Wu seperti mendiang ayahnya yang menyalahgunakan ilmu bela diri demi ambisi. Akibatnya, Xiao Jing Wu tak luput dari penyiksaan yang dilakukan oleh anak seusianya, termasuk anak dari Yang Zhou, bernama Yang Zi. Suatu ketika Xiao Jing Wu bertemu dengan Kanibal, salah satu iblis dari lembah sepuluh iblis. Kanibal tertarik akan kecerdasan dan tingkah jenaka Jing Wu. Jing Wu memilih kabur setelah melukai Yang Zi dan ikut bersama Kanibal ke lembah sepuluh iblis dan belajar bela diri kepada lima iblis terkuat di lembah itu hingga Jing Wu berusia remaja. Kanibal mengatakan pada Jing Wu bahwa Jing Wu tak akan menjadi lebih hebat jika ia tetap berada di lembah iblis, oleh karena itu ia menasehati Jing Wu untuk keluar dari lembah iblis dan bertemu dengan pendekar hebat lainnya.
View MoreJing Wu duduk di sebuah kursi kayu di dalam kamar Ming Yue, sementara Ming Yue duduk di tepi ranjangnya. Lampu minyak di atas meja kecil menerangi ruangan dengan cahaya temaram. Wajah Ming Yue tampak cerah saat mendengarkan kisah perjalanan Jing Wu yang telah berkelana bersama para Pertapa Shan."Jadi, kau benar-benar hidup bersama mereka di pegunungan?" tanya Ming Yue dengan mata berbinar. "Aku selalu penasaran seperti apa kehidupan mereka."Jing Wu tersenyum. "Ya, kehidupan di sana tenang, tapi tidak mudah. Setiap hari ada latihan, dan banyak peraturan yang harus ditaati. Namun, aku belajar banyak hal, termasuk teknik bertarung dan cara memahami dunia dengan lebih luas.""Lalu bagaimana dengan turnamen di Perguruan Teratai Putih? Aku mendengar berita tentang itu, tapi kedua kakakku tidak ada yang tertarik mengikutinya," ujar Ming Yue sambil menghela napas.Jing Wu mengangguk. "Turnamen itu cukup sengit. Banyak pendekar hebat yang datang dari berbagai perguruan. Aku bahkan hampir tid
Jing Wu dan Yang Zhao berdiri di sudut perguruan Teratai Putih. Malam sudah larut, hanya cahaya lentera yang menggantung di beberapa sudut yang menerangi halaman luas perguruan. Jing Wu menatap tajam ke arah Yang Zhao. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, dan ia tak ingin menunda lebih lama."Paman," ucapnya dengan suara dalam. "Aku ingin bertanya sesuatu. Sebenarnya, apa yang terjadi pada mendiang ayahku dahulu?"Yang Zhao terdiam. Ia menatap wajah pemuda itu, mengingat sosok sahabat lamanya dalam dirinya. Napasnya terasa berat saat ia harus membuka luka lama yang selama ini berusaha ia kubur."Kenapa kau ingin tahu?" tanyanya pelan."Aku selalu mendengar bisik-bisik tentang ayahku, tetapi tak seorang pun mau bercerita dengan jelas. Aku ingin tahu yang sebenarnya."Yang Zhao menarik napas panjang. "Baiklah, jika kau ingin mendengar kenyataan, aku akan mengatakannya." Matanya menerawang ke masa lalu. "Jing Huei, ayahmu, dan aku dahulu adalah sahabat. Kami bertemu ketika aku bela
"Astaga! Tuan Zheng Shen!" seru seorang tabib. Salah satu murid perempuan bahkan menutup mulutnya, ngeri melihat banyaknya darah yang dimuntahkan. Namun Jing Wu tetap tidak melepaskan tangannya. Ia menggertakkan giginya, menahan sakit yang mulai terasa di tubuhnya sendiri. "Aku belum selesai!" serunya. Liang Fu hendak menghentikannya, tapi tatapan Jing Wu yang penuh tekad membuatnya mengurungkan niat. Perlahan, Jing Wu menyalurkan lebih banyak tenaga dalamnya. Cahaya biru di tangannya semakin terang, berdenyut seperti api yang menyala-nyala. Zheng Shen kembali mengerang, tapi kali ini, urat-urat hitam di lehernya mulai memudar. Racun yang tadinya menyebar di sekujur tubuhnya perlahan surut. Namun, di sisi lain, tubuh Jing Wu mulai bergetar. Keringat bercucuran di dahinya, dan napasnya mulai berat. "Jing Wu!" panggil Liang Fu, khawatir. "Kau harus berhenti! Jika tidak, kau sendiri bisa mati!" Jing Wu terdiam beberapa saat. Ia tahu batasannya, tapi jika ia berhenti sek
Di sisi lain, masih di arena turnamen. "Mei Ying... sebaiknya kamu menyerah saja?" suara Zheng Shen parau. Mei Ying menyeringai, matanya berkilat penuh kebencian. "Menyerah? Aku sudah menunggu momen ini bertahun-tahun, Zheng Shen. Hari ini, kau akan mati di tanganku!" Tiba-tiba, kepala Mei Ying bergerak seperti ular, mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan taring yang beracun. Dalam sekejap, ia menerkam leher Zheng Shen dan menggigitnya dengan kecepatan mengerikan. "Aaaargh!" Zheng Shen menjerit kesakitan. Liang Fu, yang berdiri tak jauh, segera membaca mantra. Dari lantai arena, dahan pohon yang kuat mencuat ke atas, menembus lantai beton dengan kekuatan besar. Dahan itu menyambar kepala Mei Ying dan mendorongnya menjauh. Kepala Mei Ying yang semula menjulur seperti ular kembali ke posisi semula dengan cepat, seakan-akan ditarik oleh kekuatan tak kasatmata. Zheng Shen terengah-engah, tangannya masih menekan luka di lehernya. Wajahnya pucat pasi karena racun mulai menyebar d
Bab X: Rahasia yang Terungkap Mei Ying mempererat lilitan kain di lengan Zheng Shen dengan tenaga dalamnya, membuat pria itu merasakan tekanan luar biasa di lengannya. Wajah Zheng Shen sedikit menegang, tetapi alih-alih panik, ia justru tersenyum tipis. Dengan tangan kirinya yang bebas, ia membentuk api berbentuk pisau dan menebaskannya ke arah kain yang melilitnya. Api itu membakar dan memutus kain dalam sekejap, membebaskan lengannya dari cengkeraman Mei Ying. Mei Ying terkekeh. Namun, suara tawa itu terdengar aneh—berlapis, seperti suara seorang pria yang berbicara melalui tubuh seorang wanita. "Benar-benar hebat," ujar Mei Ying, suaranya berubah lebih berat dan garang. "Tidak heran kau menjadi ketua Perguruan Teratai Putih." Zheng Shen mendecih, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Jadi kau ternyata pria, dasar keparat!" Seketika, dari kegelapan muncul Zhang Zui, seorang pendekar kejam yang dikenal karena kebrutalannya. Ia memandang Zheng Shen dan berkata dengan nada san
Turnamen pendekar yang berlangsung di perguruan Teratai Putih mencapai puncaknya. Para pendekar terbaik dari berbagai aliran telah menunjukkan kemampuan mereka, dan suasana semakin memanas. Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Shu Zuu yang duduk di bangku penonton menoleh ke arah seorang wanita bercadar rumbai yang sejak tadi duduk dengan tenang di antara penonton. Tapi kini, sosok itu telah lenyap. “Di mana Mei Ying?” tanya Shu Zuu, suaranya penuh kewaspadaan. Yang Zhao yang berada di sampingnya ikut menoleh. Benar saja, kursi yang sebelumnya diduduki Mei Ying kini kosong. Namun sebelum mereka bisa mencerna apa yang sedang terjadi, tiba-tiba pandangan Yang Zhao mulai berputar-putar. Kepalanya terasa berat, dan seolah-olah seluruh dunia berputar dalam pusaran yang tak terlihat. “Argh…!” Yang Zhao tersungkur ke tanah. Shu Zuu segera menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasakan hawa aneh yang menyebar di sekelilingnya, seperti kabut tipis yang tak terlihat. Lalu, ta
Jing Wu berlari secepat mungkin menuju ruang perawatan di perguruan Teratai Putih. Napasnya tersengal, dadanya naik turun, dan keringat mulai mengalir di pelipisnya. Ia baru saja mendengar kabar bahwa Dong Hai terluka parah dalam pertandingan sebelumnya. Saat tiba di ruangan itu, matanya langsung tertuju pada sosok Dong Hai yang terbaring lemah di atas dipan kayu. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, dan tubuhnya tampak kehabisan tenaga. Di sisinya, Shu Zuu duduk bersimpuh dengan satu tangan menempel di dada Dong Hai, menyalurkan tenaga dalamnya dengan penuh konsentrasi. Cahaya lembut mengalir dari telapak tangannya, menyelimuti tubuh pemuda itu. Setelah beberapa saat, Shu Zuu menarik tangannya dan menghela napas panjang. Ia menyeka keringat di dahinya dengan lengan bajunya. “Bibi Zuu, apakah Dong Hai baik-baik saja?” tanya Jing Wu dengan nada penuh kekhawatiran. Shu Zuu menatapnya sejenak sebelum menjawab dengan raut wajah serius, “Kondisi Dong Hai benar-benar serius. Ia mengalami
Turnamen pendekar masih berlangsung di halaman utama Perguruan Teratai Putih. Kali ini, perhatian para penonton tertuju pada pertarungan antara Dong Hai dan Zhang Zui, seorang pendekar bertubuh tinggi besar dengan golok besar tersampir di punggungnya. Di antara kerumunan, Jing Wu duduk dengan mata tajam, memperhatikan sosok Zhang Zui. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. Aku pernah melihat orang ini… pikirnya. Namun, kapan dan di mana, ia tak bisa mengingatnya dengan jelas. Di tengah arena, kedua pendekar saling memberi hormat. Dong Hai langsung mengambil kuda-kuda rendah, siap untuk menyerang kapan saja. Namun, Zhang Zui tetap diam. Ia berdiri tegak, tanpa ekspresi, tanpa sedikit pun tanda akan bergerak. Bukan hanya itu yang membuat Dong Hai ragu. Ada aura membunuh yang sangat jelas terpancar dari Zhang Zui. Sepasang matanya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu yang gelap dan berbahaya di dalamnya. "Kenapa dia tidak bergerak?" pikir Dong Hai. Waktu seolah melambat. Penonton mula
Turnamen di perguruan Teratai Putih semakin memanas. Para pendekar dari berbagai penjuru berkumpul di arena, mata mereka menatap pertarungan yang berlangsung sengit. Namun, di tengah suasana penuh ketegangan itu, satu insiden yang tak terduga hampir terjadi. Yang Zi menatap Jing Wu dengan penuh kemarahan. Matanya yang tajam berkilat, napasnya memburu. Sejak awal, kehadiran Jing Wu di turnamen ini mengusiknya. Ada sesuatu dalam diri pemuda itu yang membuat darahnya mendidih, seolah menantangnya secara tidak langsung. “Kau seperti menantangku, Jing Wu,” suara Yang Zi menggema di antara para pendekar yang mulai memperhatikan. Jing Wu tetap diam, tetapi ekspresinya berubah. Ia memicingkan mata, memperhatikan gerak-gerik Yang Zi dengan kewaspadaan tinggi. “Kalau kau ingin menghentikanku, ayo kita bertarung!” Yang Zi mengangkat tangannya, bersiap mengeluarkan tenaga dalamnya. Orang-orang di sekitar mereka menahan napas. Semua tahu bahwa Yang Zi bukanlah pendekar sembarangan. Ia adalah
"Ahahaha!" Tawa para anak-anak itu menggema saat mereka memborongi seorang anak laki-laki tampan yang tak berdaya. "Dasar Jing Wu bodoh!" seru salah satu anak di sana, "ini akibatnya kau terus mencari muka ke guru! Apa kau berani melapor ke pamanmu yang pendekar hebat itu?" Jing Wu hanya bisa pasrah. Dia bukan anak bodoh yang harus melakukan perlawanan sia-sia. Dipukul oleh teman-temannya sudah menjadi makanan sehari-harinya. Setelah kejadian itu, Jing Wu pulang ke rumah paman dan bibinya. "Bibi Zuu!" panggilnya sambil mengetuk pintu agak keras. Tidak lama kemudian wanita cantik bernama Shu Zuu itu membuka pintu dan alangkah kagetnya ia melihat Jing Wu dalam keadaan babak belur. "Apa kau habis berkelahi lagi?" tanya Shu Zuu agak keras. Jing Wu langsung masuk tanpa merespon bibi Zuu, ia sudah terbiasa pulang dalam keadaan babak belur namun ia malah dituduh berkelahi. "Xiao Jing Wu, jawab Bibi!" "Ada apa ini?" Suara bariton pria milik Yang Zhao tiba-tiba muncul. Jing Wu tampak...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments