Entah sudah berapa lama Jing Wu terbaring, pria itu akhirnya sadar. Saat ia membuka matanya, pandangannya agak kabur karena masih brradaptasi. Namun, perlahan penglihatannya makin jelas dan ia berada di suatu ruangan, di atas futon sederhana.
Tiba-tiba Jing Wu merasa nyeri di bagian dadanya. Ia kemudian mengingat kejadian ia diserang seorang pria bertubuh kekar di halaman kuil. Jing Wu meraba dadanya, memang masih nyeri tapi rasa sakitnya berkurang drastis, seperti ada yang telah menyalurkan tenaga dalam yang dahsyat di tubuhnya. "Kau sudah siuman?" Jing Wu langsung menoleh ke arah pintu dan kakek pemabuk bersuara cempreng itu berdiri di sana. Jing Wu hendak bangkit dari futon namun dadanya lebih terasa nyeri saat ia bangun. "Hati-hati anak muda, lukamu belum sembuh betul!" kata kakek itu. "Pria itu ...," ucap Jing Wu dengan bibir bergetar, "siapa dia?" tanyanya, "dia mencari Guru Han." "Hadeuh ... anak itu memang keras kepala," kata sang kakek, "padahal aku sudah lama mengusirnya dari sini." Jing Wu langsung menoleh ke arah sang kakek. "Apa anda Guru Han?" tanyanya. "Ya ... itu adalah panggilanku," jawab sang kakek, "yah, sudahlah. Aku mau tidur." Kakek bernama Guru Han itu berbalik dan membiarkan Jing Wu sendirian di dalam kamarnya. Sementara Jing Wu masih bertanya-tanya siapa sebenarnya kakek bernama Guru Han itu? Mengapa pria itu sepertinya sangat marah pada Guru Han? Keesokan harinya, Jing Wu melakukan penyembuhan dirinya sendiri dengan tenaga dalamnya. Sementara Guru Han memandangnya dengan santai, diam-diam ia memperhatikan Jing Wu hingga selesai dan dia kagum dengan kemampuan tenaga dalam Jing Wu. Guru Han lalu menguap sambil meregangkan kedua tangannya ke atas. "Ah, aku butuh tuak!" serunya. Guru Han lalu bangkit, memakai sandalnya dan berjalan. Diam-diam, Jing Wu mengikuti Guru Han, rasanya ia penasaran seperti apa kakek bernama Guru Han. Jing Wu memperhatikan Guru Han yang telah sampai di kota. Seperti tujuannya, kakek itu menuju kedai yang kemarin. Ia pun memesan satu kendi dan meneguk tuak itu. Dari apa yang Jing Wu perhatikan, Guru Han tidak lebih dari si kakek pemabuk. Guru Han lalu bangkit dan meminta untuk membayar nanti minumannya setelah ia mendapat uang. Jing Wu bergegas ketika Guru Han meninggalkan kedai dan menelusuri kota hingga ia berjalan menuju kuil. Jing Wu merasa sia-sia saja ia mengikuti Guru Han, karena ia tidak menemukan apa pun. Tiba-tiba guru Han menghentikan langkahnya. "Keluarlah, aku tahu kau ada di sana!" teriaknya lantang. "Ups, ketahuan ...," gumam Jing Wu. Ia bersiap untuk menampakkan dirinya sambil cengengesan namun tiba-tiba terdengar suara raungan harimau. Mata Jing Wu membulat sempurna. Tidak salah lagi, itu adalah pria yang kemarin menggunakan tapak penghancur untuk melukai Jing Wu. "Aku tahu kau mengikutiku dari tadi." Jing Wu tercekat melihat ekspresi Guru Han yang sangat berbeda, tampak begitu serius dan dingin. "Huh, kau masih saja seperti dulu, Guru Han! Masih kakek-kakek pemabuk yang dulu," umpat Pria itu. "Walaupun aku kakek-kakek pemabuk yang kau hina ini, tapi masih bisa membunuhmu, Xiao Hai!" "Banyak omong kau!" Pria bertubuh besar itu langsung maju hendak menyerang guru Han, namun Guru Han menghindar dengan jurus kilat bayangannya. Jing Wu yang sempat panik karena Guru Han diserang langsung terpukau melihat Guru Han yang berpindah tempat begitu cepat hingga tak terlihat oleh mata. "Cih! Ayo lawan aku!" teriak pria bernama Dong Hai itu. Tiba-tiba Guru Han muncul di samping Dong Hai dan langsung menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke bahu Dong Hai. Dong Hai pun terpental jauh dan pingsan di sana. Jing Wu hanya bisa terkesimak memandang kehebatan guru Han. Entah jurus apa yang guru Han gunakan tapi Jing Wu yakin bahwa guru Han hanya memakai ujung jari telunjuknya. "Keluarlah dari sana!" teriak Guru Han, "aku tahu kau mengikutiku dari tadi, anak muda!" Jing Wu langsung keluar dari persembunyiannya. "Guru Han, aku mohon jadikan aku muridmu!" *** "Aku tidak menerima murid!" Jing Wu kini memandang Guru Han yang begitu lahap makan malam bersamanya. Namun, Jing Wu bingung entah ia harus membujuk guru Han bagaimana lagi agar ia mau menerimanya menjadi muridnya dan mengajari jurus tadi siang itu. "Guru, bisakah kau mengajariku jurus yang tadi?" Lagi-lagi Jing Wu memohon. "Sudah kubilang, kan, aku tidak menerima murid! Dan sampai kapan pun tidak!" Guru Han menekankan. Jing Wu cemberut, selera makannya mendadak hilang. "Makanlah!" kata guru Han, "agar lukamu cepat sembuh." "Aku tidak bisa makan kalau sudah begini." "Hhh ... dasar anak muda jaman sekarang!" gerutu guru Han. Berbagai cara Jing Wu lakukan untuk meluluhkan hati guru Han. Setiap hari ia bangun pagi buta untuk membersihkan kuil dan mencuci piring dan baju guru Han, bahkan ia membersihkan halaman kuil. guru Han sendiri sebenarnya kasihan melihat usaha Jing Wu namun ia sudah membuat keputusan untuk tidak lagi menerima murid. Cukup Dong Hai menjadi murid terakhir dia yang durhaka. Guru Han pun berupaya untuk tidak memedulikan Jing Wu, ia memilih bermalas-malasan dan membiarkan Jing Wu berusaha keras tanpa hasil. Jing Wu pun membeli makanan untuk ia dan guru Han, setelah membeli makanan ia kembali menuju kuil. Di tengah hutan, ia tiba-tiba bertemu dengan seorang anak kecil. Jing Wu kenal anak itu, ia tinggal di dekat kuil guru Han. "Xiao Yen, sedang apa kau di sini?" Xiao Yen menoleh dan tampak anak itu menangis ketakutan. "Kakak, syukurlah, aku kira aku hilang!" Xiao Yen menghambur ke arah Jing Wu saat melihat pria itu. "Tadi aku main dan lari masuk ke hutan lalu aku tidak tahu jalan pulang ...." Jing Wu menepuk lembut puncak kepala gadis cilik itu. "Tenang Xiao Yen, kita pulang sama-sama, ya!" ajak Jing Wu. Xiao Yen mengangguk lalu mereka jalan berdua menuju rumah Xiao Yen. "Kakak Xiao Wu, kakak tahu tidak kalau di sini ada beruang besar sekali," kata Xiao Yen. "Masa?" sahut Jing Wu. "Iya, Makanya aku takut sekali kalau sendirian lalu ketemu sama beruang itu." Tiba-tiba terdengar suara raungan hewan buas yang mendekat ke arah Jing Wu dan Xiao Yen. Benar saja, di hadapan mereka muncul beruang besar sedang berjalan ke arah mereka. "Be-beruang!" teriak Xiao Yen. Jing Wu pun siaga melindungi Xiao Yen namun ia tidak yakin apakah ia bisa mengalahkan beruang itu sambil melindungi Xiao Yen. Tiba-tiba beruang besar itu maju dan hendak menyerang Jing Wu dan Xiao Yen, namun Jing Wu mengangkat Xiao Yen dan menggunakan jurus gerakan angin untuk menghindari serangan beruang itu. Tapi, tetap saja ini menyulitkan Jing Wu karena secara bersamaan ia harus melindungi Xiao Yen. Beruang itu tiba-tiba menggerakkan tangannya, hendak mencabik Jing Wu. Jing Wu memeluk Xiao Yen dan melemparkan badannya dengan cepat hingga ia berguling-guling di tanah. "Kakak!" Jing Wu terkejut melihat ada darah menetes, ternyata punggungnya yang terkena cabikan beruang. Terkena sedikit saja bisa membuatnya merasakan sakit yang amat. Beruang itu pun meraung dan hendak menyerang Jing Wu. Namun, tiba-tiba guru Han datang dan berdiri di depan Jing Wu dan Xiao Yen. "Guru Han!" Guru Han tampak santai melihat beruang yang siap mencabiknya. Beruang itu pun menggerakkan tangannya ke arah wajah guru Han. Namun, dengan cepat guru Han bergerak dan menyentuhkan ujung telunjuknya di punggung sang beruang. Akibatnya, beruang itu pun terpental jauh dan seperti hilang kesadaran. -TBC-Guru Han memandang prihatin dengan luka di punggung Jing Wu. Jika saja Jing Wu telat bergerak sedikit saja, mungkin punggungnya habis tercabik habis oleh beruang itu. Guru Han terus menyalurkan tenaga dalamnya hingga luka itu terasa lebih mendingan. Tapi, sepertinya Jing Wu mulai demam. "Xiao Wu, kau perlu istirahat malam ini!" kata guru Han, "besok kita mulai latihan jurus satu jari!" Jing Wu yang mendengar ucapan terakhir guru Han langsung terkejut. "Besok, kita bela- aduh ...." Saking semangatnya, Jing Wu sampai lupa akan lukanya. "Jangan terlalu banyak bergerak! Lukamu belum sembuh betul." Jing Wu tampak amat senang. "Baik, Guru!" Guru Han tersenyum tipis sebelum keluar dari kamar Jing Wu. *** Pagi-pagi buta, Jing Wu bangun dan ia langsung membereskan semuanya. Ia mencuci piring dan baju kotor serta membersihkan kuil dan halamannya. Dengan semangat ia lalu mendatangi guru Han yang tampak sedang bermeditasi di dalam kuil. "Guru, ayo kita latihan jurus satu jari!" Jing Wu
Jing Wu langsung memasang kuda-kuda saat beruang itu meraung begitu melihat Jing Wu. Dan Alangkah terkejutnya Jing Wu saat beruang itu bergerak cepat menyerangnya. Segera Jing Wu menghindar dengan jurus gerakan angin. Jing Wu teringat, ia harus mencoba jurus satu jari ke beruang itu. Beruang itu meraung lalu ia maju menyerang Jing Wu. Jing Wu meloncat melewati beruang, berpindah ke belakang beruang itu dan menyentuhkan ujung jarinya ke punggung sang beruang. Beruang pun terpental jauh dan kesadarannya hilang. Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari arah pohon. Jing Wu menoleh dan itu adalah guru Han. "Guru, aku bisa menguasai jurus satu jari!" seru Jing Wu. Guru Han lalu berloncat dan mendarat tepat di hadapan Jing Wu. "Jing Wu, aku memberimu selamat karena kau telah menguasai jurus satu jari, tapi ... kau belajar dari siapa jurus gerakan angin itu?" Jing Wu terdiam, tak bisa berkata apa-apa. "Apa kau ini murid dari iblis?" tanya guru Han serius. *** "Jadi, selama
"Maaf, Jing Wu. Aku tidak bisa mengajarimu jurus tapak penghancur," kata guru Han saat Jing Wu memohon kepadanya untuk belajar jurus tapak penghancur padanya. "Kenapa, Guru?" Guru Han menghela napas. "Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menggunakan jurus itu. Jika kau mau belajar jurus itu, kau bisa mencari Yang Zhao atau biksu terkenal dari kuil langit bernama Dharma." "Dharma?" "Ya, Dharma menguasai level sembilan tapak penghancur tapi lebih baik kau tidak bertemu dengannya karena dia tidak akan membiarkanmu menguasai jurus itu." "Kenapa begitu, Guru?" "Baiklah, akan aku ceritakan. Dharma dan Yang Zhao, keduanya adalah murid dari kuil langit. Sayangnya, karena perbedaan pandangan mereka menjadi tidak akur. Terakhir, mereka bertarung begitu dahsyat, Yang Zhao sampai melepas level sepuluh tapak penghancur miliknya dan menyebabkan kekalahan pada kuil langit. Walaupun Dharma maupun Yang Zhao selamat saat pertarungan itu namun mereka tak pernah lagi bertemu. Da
Ming Yue langsung keluar dari ruangan itu setelah kakaknya, Ming Yuan, melarangnya ikut dalam rombongan. "Kau seharusnya tidak perlu terlalu keras dengan Ming Yue," kata sang pria muda. Ia bernama Ming Fen." "Kau tidak tahu informasi apa yang aku dapatkan!" kata Ming Yuan, "kau tahu, setan Rimba sedang dalam perjalanan menuju barat dan sepertinya dia akan menyerang saat pertemuan dewan persatuan para pendekar sedunia." "Be-benarkah?" "Ya, kau tahu sendiri. Setan Rimba dan para iblis tak diundang dalam pertemuan itu. Para iblis tak melakukan pergerakan apa pun, sepertinya mereka memang tak peduli. Tapi, Setan Rimba, ia akan melalukan keonaran!" Ming Fen tampak berpikir. "Benar juga ...." "Jadi, besok kita akan berangkat untuk berkumpul dengan para dewan. Kita harus bersiap-siap!" "Tapi, bagaimana dengan Ming Yue?" tanya Ming Fen khawatir. "Biarkan saja anak itu di sini!" kata Ming Yuan, "dia akan menyusahkan kita di sana!" Diam-diam Ming Yue mendengar percakapan kedua kakaknya
"Aku yakin dia itu sebenarnya wanita. Sebagai pria normal, aku ini bisa membedakan mana pria mana wanita," ucap Jing Wu pada Ming Yue sambil berjalan menelusuri hutan. "Huh, jelas-jelas dia itu pria!" Ming Yue bersikeras berpendapat. Kini mereka berada dalam persimpangan jalan. "Jing Wu, kita belok mana?" "A ...." Jing Wu tampak berpikir. "Kamu sebenarnya tahu tempatnya tidak sih?" Ming Yue jadi curiga pada Jing Wu. "Te-tentu saja aku tahu," kelit Jing Wu sok tahu. "Huh, yang mana?" "Belok sini ... ya, belok sini!" "Yakin? Awas kau ya!" Ming Yue hendak melangkahkan kakinya namun tiba-tiba ia menghentikan langkahnya hingga Jing Wu menabraknya. Ming Yue bisa merasakan ada kawanan penjahat bersembunyi di sekitar mereka. "Ada apa?" tanya Jing Wu pada Ming Yue. "Keluar kalian!" sergah Ming Yue dengan suara lantang. Kawanan penjahat, termasuk dua preman di kota sebelumnya tadi keluar dari persembunyian mereka. Kalau dihitung-hitung, jumlah mereka ada delapan! Min
Sementara di kediaman Li Shuwan, hampir seluruh para pendekar hebat di penjuru dunia kini hadir. Dan tentu saja, kedua bersaudara dari keluarga Ming juga baru tiba dari sana. Ming Yuan dan Ming Fen masuk di kediaman itu dan langsung disambut baik oleh para anggota keluarga Li. "Maafkan keterlambatan kami," kata Ming Fen. "Ada apa Ming Fen?" tanya Li Suwhan, "tidak biasanya anggota keluarga Ming datang agak telat." "Sebenarnya ... kami sangat berjaga-jaga saat menuju ke mari karena kami mendengar Setan Rimba juga menuju ke sini!" kata Ming Yuan. "Setan Rimba? Mau apa dia?" tanya Li Shuwan. Para pendekar lainnya terkejut mendengar nama Setan Rimba. "Entahlah, tapi dari mata-mata yang aku kirim, dia sedang bersiap-siap menuju ke sini," lanjut Ming Yuan. Li Shuwan tampak berpikir. "Apakah dia ingin ikut serta dalam pertemuan para dewan?" "Ah, tidak mungkin!" sergah seorang pendekar yang mengenakan pakaian serba putih dengan rambut putih yang panjang bagai elf. "Setan Rim
Mata Jing Wu tiba-tiba terbuka, ia terkejut karena ia mendapati dirinya di sungai yang dangkal. Ia mencoba bangun namun tubuhnya terasa sangat sakit. Sepertinya ia belum lama siuman dan ia harus bergegas sebelum para pendekar itu menuju ke sungai dan mendapatinya. Tiba-tiba Jing Wu teringat oleh Ming Yue. Ia mengedarkan pandangannya, seharusnya gadis itu tak jauh darinya. Jing Wu berusaha berjalan, mencari sosok Ming Yue dan benar saja gadis itu tersungkur di tanah dalam keadaan tak sadar. "Ming Yue ...," panggil Jing Wu dengan suara rendah sambil memegang pipi Ming Yue. Namun, gadis itu tak juga sadarkan diri. Jing Wu pun mengangkat gadis itu dan segera membawanya pergi dari sana sebelum para pendekar di atas sana menemukan mereka. Entah sudah berapa lama Jing Wu membopong Ming Yue untuk menjauh dari sungai, Jing Wu pun menemukan pondok kecil dan masuk ke sana. Jing Wu lalu meletakkan Ming Yue di atas jerami lalu menyembuhkan dirinya dengan tenaga dalamnya. Setelah ia mulai p
“Kakak, lepaskan Jing Wu!” Ming Yue memohon pada Ming Fen. Ming Fen menggeleng, tetap teguh pada pendiriannya. “Biar saja dia disiksa di bawah sana!” katanya, “bisa-bisanya kau bergaul dengan kalangan iblis.” “Kakak!” Tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan Ming Yuan bersama beberapa pelayannya. Wajahnya tampak sengit setelah dari ruang bawah tanah. “Kak Yuan!” Ming Yue berlari pada kakaknya itu, “kakak dari bawah, kan? Bagaimana dengan Jing Wu?” “Huh, aku barusan menyiksanya. Dasar anak iblis!” Ming Yue makin khawatir dibuat oleh kakaknya itu. “Kakak apakan dia?” Ming Yuan mengernyit menatap Ming Yue yang tampak begitu peduli pada Jing Wu. “Kenapa kau peduli begitu?” “Kakak, dia sudah menolongku ….” “Aku tidak melihat seperti itu! Yang kulihat, dia sudah membahayakanmu dan mempengaruhimu!” “Ta-tapi ….” “Sudah, kembali ke kamarmu!” hardik Ming Yuan. Ming Yue berbalik dengan cemberut dan berlari meninggalkan ruangan itu. “Huh, bahaya sekali pengaruh bocah ibli
Keluar kalian! Kedua orang berjubah hitam muncul di depan Jing Wu dan Ming Yue. Ming Yue terkejut karena ia tak pernah melihat kedua pendekar itu sebelumnya. Salah satunya memiliki kulit pucat dan tampak tak bersemangat, sementara yang satunya lagi memegang kipas kertas di tangannya. Jing Wu tampak serius, terutama karena Ming Yue berada di sampingnya dan harus ia lindungi. "Siapa kalian?" tanya Jing Wu lantang. Pria yang memegang kipas itu terkekeh. "Julukanku adalah Kipas Kematian, dan temanku ini disebut Si Mayat Hidup." Jing Wu mengernyit. Jubah yang mereka kenakan tampak familiar. Sama dengan yang dikenakan oleh Zhang Zui dan Bataar saat pertama kali ia bertemu mereka. Apakah mereka berasal dari organisasi yang sama? Tiba-tiba, Kipas Kematian mengayunkan kipasnya ke arah Jing Wu, dan seketika hembusan angin yang sangat kuat menyerang Jing Wu dan Ming Yue. Beruntung, Jing Wu gesit. Ia segera melindungi Ming Yue dan menciptakan perisai angin yang lebih kuat. "Huh, ternyata go
Ming Yue!” teriak Jing Wu begitu melihat gadis itu duduk di ranjangnya, mengayun-ayunkan kakinya dengan santai. “Kenapa kau ada di sini?!” Ming Yue menatapnya dengan senyum penuh arti. “Ya... kenapa ya...?” sahutnya dengan nada menggoda. Jing Wu mengerutkan kening, masih belum percaya dengan pemandangan di depannya. “Kemarin bukannya seharusnya kau menikah? Lalu kenapa kau malah ada di sini?!” Wajah Ming Yue seketika cemberut. “Siapa juga yang mau menikah?” jawabnya kesal. “Tapi... bagaimana dengan calon suamimu itu? Kau meninggalkannya saat upacara pernikahan kalian. Dia pasti kecewa,” lanjut Jing Wu dengan nada lebih pelan. Ming Yue mengebaskan tangannya seolah mengusir masalah itu jauh-jauh. “Ah! Siapa yang peduli?” Jing Wu menghela napas panjang. “Apa?!” “Sudah ah, aku mau tidur dulu,” kata Ming Yue sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang, tampak tak peduli dengan kegelisahan yang ditimbulkannya. “Tunggu, itu ranjangku!” protes Jing Wu. “Sekarang sudah jadi ranjang
Jing Wu duduk di sebuah kursi kayu di dalam kamar Ming Yue, sementara Ming Yue duduk di tepi ranjangnya. Lampu minyak di atas meja kecil menerangi ruangan dengan cahaya temaram. Wajah Ming Yue tampak cerah saat mendengarkan kisah perjalanan Jing Wu yang telah berkelana bersama para Pertapa Shan."Jadi, kau benar-benar hidup bersama mereka di pegunungan?" tanya Ming Yue dengan mata berbinar. "Aku selalu penasaran seperti apa kehidupan mereka."Jing Wu tersenyum. "Ya, kehidupan di sana tenang, tapi tidak mudah. Setiap hari ada latihan, dan banyak peraturan yang harus ditaati. Namun, aku belajar banyak hal, termasuk teknik bertarung dan cara memahami dunia dengan lebih luas.""Lalu bagaimana dengan turnamen di Perguruan Teratai Putih? Aku mendengar berita tentang itu, tapi kedua kakakku tidak ada yang tertarik mengikutinya," ujar Ming Yue sambil menghela napas.Jing Wu mengangguk. "Turnamen itu cukup sengit. Banyak pendekar hebat yang datang dari berbagai perguruan. Aku bahkan hampir tid
Jing Wu dan Yang Zhao berdiri di sudut perguruan Teratai Putih. Malam sudah larut, hanya cahaya lentera yang menggantung di beberapa sudut yang menerangi halaman luas perguruan. Jing Wu menatap tajam ke arah Yang Zhao. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, dan ia tak ingin menunda lebih lama."Paman," ucapnya dengan suara dalam. "Aku ingin bertanya sesuatu. Sebenarnya, apa yang terjadi pada mendiang ayahku dahulu?"Yang Zhao terdiam. Ia menatap wajah pemuda itu, mengingat sosok sahabat lamanya dalam dirinya. Napasnya terasa berat saat ia harus membuka luka lama yang selama ini berusaha ia kubur."Kenapa kau ingin tahu?" tanyanya pelan."Aku selalu mendengar bisik-bisik tentang ayahku, tetapi tak seorang pun mau bercerita dengan jelas. Aku ingin tahu yang sebenarnya."Yang Zhao menarik napas panjang. "Baiklah, jika kau ingin mendengar kenyataan, aku akan mengatakannya." Matanya menerawang ke masa lalu. "Jing Huei, ayahmu, dan aku dahulu adalah sahabat. Kami bertemu ketika aku bela
"Astaga! Tuan Zheng Shen!" seru seorang tabib. Salah satu murid perempuan bahkan menutup mulutnya, ngeri melihat banyaknya darah yang dimuntahkan. Namun Jing Wu tetap tidak melepaskan tangannya. Ia menggertakkan giginya, menahan sakit yang mulai terasa di tubuhnya sendiri. "Aku belum selesai!" serunya. Liang Fu hendak menghentikannya, tapi tatapan Jing Wu yang penuh tekad membuatnya mengurungkan niat. Perlahan, Jing Wu menyalurkan lebih banyak tenaga dalamnya. Cahaya biru di tangannya semakin terang, berdenyut seperti api yang menyala-nyala. Zheng Shen kembali mengerang, tapi kali ini, urat-urat hitam di lehernya mulai memudar. Racun yang tadinya menyebar di sekujur tubuhnya perlahan surut. Namun, di sisi lain, tubuh Jing Wu mulai bergetar. Keringat bercucuran di dahinya, dan napasnya mulai berat. "Jing Wu!" panggil Liang Fu, khawatir. "Kau harus berhenti! Jika tidak, kau sendiri bisa mati!" Jing Wu terdiam beberapa saat. Ia tahu batasannya, tapi jika ia berhenti sek
Di sisi lain, masih di arena turnamen. "Mei Ying... sebaiknya kamu menyerah saja?" suara Zheng Shen parau. Mei Ying menyeringai, matanya berkilat penuh kebencian. "Menyerah? Aku sudah menunggu momen ini bertahun-tahun, Zheng Shen. Hari ini, kau akan mati di tanganku!" Tiba-tiba, kepala Mei Ying bergerak seperti ular, mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan taring yang beracun. Dalam sekejap, ia menerkam leher Zheng Shen dan menggigitnya dengan kecepatan mengerikan. "Aaaargh!" Zheng Shen menjerit kesakitan. Liang Fu, yang berdiri tak jauh, segera membaca mantra. Dari lantai arena, dahan pohon yang kuat mencuat ke atas, menembus lantai beton dengan kekuatan besar. Dahan itu menyambar kepala Mei Ying dan mendorongnya menjauh. Kepala Mei Ying yang semula menjulur seperti ular kembali ke posisi semula dengan cepat, seakan-akan ditarik oleh kekuatan tak kasatmata. Zheng Shen terengah-engah, tangannya masih menekan luka di lehernya. Wajahnya pucat pasi karena racun mulai menyebar d
Bab X: Rahasia yang Terungkap Mei Ying mempererat lilitan kain di lengan Zheng Shen dengan tenaga dalamnya, membuat pria itu merasakan tekanan luar biasa di lengannya. Wajah Zheng Shen sedikit menegang, tetapi alih-alih panik, ia justru tersenyum tipis. Dengan tangan kirinya yang bebas, ia membentuk api berbentuk pisau dan menebaskannya ke arah kain yang melilitnya. Api itu membakar dan memutus kain dalam sekejap, membebaskan lengannya dari cengkeraman Mei Ying. Mei Ying terkekeh. Namun, suara tawa itu terdengar aneh—berlapis, seperti suara seorang pria yang berbicara melalui tubuh seorang wanita. "Benar-benar hebat," ujar Mei Ying, suaranya berubah lebih berat dan garang. "Tidak heran kau menjadi ketua Perguruan Teratai Putih." Zheng Shen mendecih, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Jadi kau ternyata pria, dasar keparat!" Seketika, dari kegelapan muncul Zhang Zui, seorang pendekar kejam yang dikenal karena kebrutalannya. Ia memandang Zheng Shen dan berkata dengan nada san
Turnamen pendekar yang berlangsung di perguruan Teratai Putih mencapai puncaknya. Para pendekar terbaik dari berbagai aliran telah menunjukkan kemampuan mereka, dan suasana semakin memanas. Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Shu Zuu yang duduk di bangku penonton menoleh ke arah seorang wanita bercadar rumbai yang sejak tadi duduk dengan tenang di antara penonton. Tapi kini, sosok itu telah lenyap. “Di mana Mei Ying?” tanya Shu Zuu, suaranya penuh kewaspadaan. Yang Zhao yang berada di sampingnya ikut menoleh. Benar saja, kursi yang sebelumnya diduduki Mei Ying kini kosong. Namun sebelum mereka bisa mencerna apa yang sedang terjadi, tiba-tiba pandangan Yang Zhao mulai berputar-putar. Kepalanya terasa berat, dan seolah-olah seluruh dunia berputar dalam pusaran yang tak terlihat. “Argh…!” Yang Zhao tersungkur ke tanah. Shu Zuu segera menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasakan hawa aneh yang menyebar di sekelilingnya, seperti kabut tipis yang tak terlihat. Lalu, ta
Jing Wu berlari secepat mungkin menuju ruang perawatan di perguruan Teratai Putih. Napasnya tersengal, dadanya naik turun, dan keringat mulai mengalir di pelipisnya. Ia baru saja mendengar kabar bahwa Dong Hai terluka parah dalam pertandingan sebelumnya. Saat tiba di ruangan itu, matanya langsung tertuju pada sosok Dong Hai yang terbaring lemah di atas dipan kayu. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, dan tubuhnya tampak kehabisan tenaga. Di sisinya, Shu Zuu duduk bersimpuh dengan satu tangan menempel di dada Dong Hai, menyalurkan tenaga dalamnya dengan penuh konsentrasi. Cahaya lembut mengalir dari telapak tangannya, menyelimuti tubuh pemuda itu. Setelah beberapa saat, Shu Zuu menarik tangannya dan menghela napas panjang. Ia menyeka keringat di dahinya dengan lengan bajunya. “Bibi Zuu, apakah Dong Hai baik-baik saja?” tanya Jing Wu dengan nada penuh kekhawatiran. Shu Zuu menatapnya sejenak sebelum menjawab dengan raut wajah serius, “Kondisi Dong Hai benar-benar serius. Ia mengalami