Guru Han memandang prihatin dengan luka di punggung Jing Wu. Jika saja Jing Wu telat bergerak sedikit saja, mungkin punggungnya habis tercabik habis oleh beruang itu.
Guru Han terus menyalurkan tenaga dalamnya hingga luka itu terasa lebih mendingan. Tapi, sepertinya Jing Wu mulai demam. "Xiao Wu, kau perlu istirahat malam ini!" kata guru Han, "besok kita mulai latihan jurus satu jari!" Jing Wu yang mendengar ucapan terakhir guru Han langsung terkejut. "Besok, kita bela- aduh ...." Saking semangatnya, Jing Wu sampai lupa akan lukanya. "Jangan terlalu banyak bergerak! Lukamu belum sembuh betul." Jing Wu tampak amat senang. "Baik, Guru!" Guru Han tersenyum tipis sebelum keluar dari kamar Jing Wu. *** Pagi-pagi buta, Jing Wu bangun dan ia langsung membereskan semuanya. Ia mencuci piring dan baju kotor serta membersihkan kuil dan halamannya. Dengan semangat ia lalu mendatangi guru Han yang tampak sedang bermeditasi di dalam kuil. "Guru, ayo kita latihan jurus satu jari!" Jing Wu mengingatkan guru Han dengan semangat. "Ikuti aku bermeditasi. Sekarang!" tegas guru Han. "Guru, bukannya guru janji kalau kita latihan hari ini?" "Bermeditasi sekarang!" Suara guru Han terdengar lantang dan mau tak mau Jing Wu mengikuti perintah guru Han. Jing Wu mencoba sabar tapi ia terus-terusan disuruh bermeditasi. Bahkan setelah mereka makan siang, ia disuruh kembali bermeditasi oleh guru Han. Jing Wu merasa kesal, kenapa ia malah disuruh meditasi di dalam kuil, sendirian pula? "Jing Wu, ayo kita keluar!" ajak Guru Han tiba-tiba. "Ke mana, Guru?" "Ikut saja!" Jing Wu dan guru Han pun keluar dan ternyata guru Han mengajaknya ke air terjun. Pemandangannya begitu indah namun terlalu berisik dengan suara air terjun yang amat deras. "Guru untuk apa kita ke sini?" Guru Han terdiam sebentar, ia tampak senyum. "Ah, merdu sekali suara burung itu!" Jing Wu menoleh ke atas dan di langit memang ramai dengan burung-burung yang beterbangan tapi ia tak bisa mendengar suaranya karena suara air terjung yang lebih mendominasi. Jing Wu menatap aneh ke arah Guru Han. "Ah, ada jengkrik di sana!" Guru Han berseru sambil menunjuk pohon dan benar saja di sana ada jengkrik besar tapi Jing Wu bingung dari mana guru Han langsung tahu posisi jengkrik itu? "Guru, untuk apa kita ke sini?" tanya Jing Wu. "Bermeditasi." "Apa?" "Lakukan!" "Tapi ... sampai kapan?" "Sampai kau bisa mendengar suara burung dan serangga di sini!" lantang guru Han lalu ia berbalik dan pergi dari sana. Jing Wu pun mencoba bermeditasi tapi sangat sulit ia memusatkan konsentrasinya karena suara air terjun. Tapi ... apakah ini ada hubungannya dengan jurus satu jari? Jangan-jangan ada! Jing Wu kemudian kembali serius dan mencoba bermeditasi di sana, namun tetap saja susah. Malamnya, Jing Wu kembali dan Guru Han tampak menikmati tuaknya di teras kuil. "Guru, apa ada hubungannya meditasi di air terjun dengan jurus satu jari itu?" tanya Jing Wu, suaranya terdengar agak putus asa. "Ya, bisa dikatakan seperti itu." "Kupikir ... aku akan melatih jari tanganku." "Dasar bodoh, kau pikir jurus satu jari itu seperti jurus lainnya?" Jing Wu langsung terdiam. "Kau pasti pernah mendengar tapak penghancur, bukan?" "Ya, pernah." "Sekilas kelihatannya jurus satu jari menganut jurus tapak penghancur dan memang aku menciptakan jurus satu jari karena aku tak mau menggunakan tapak penghancur lagi." "Guru Han, menguasai tapak penghancur?" "Tentu saja, aku bisa menggunakannya hingga level sembilan." Jing Wu langsung serius menyimak guru Han. "Tapi, aku tidak lagi menggunakannya ke siapa pun juga," kata guru Han, "oleh karena itu, aku mencintakan jurus satu jari yang lebih aman dan lebih bijak." "Pantas aku merasa kedua jurus itu tampak sama," ucap Jing Wu. "Tidak tidak ... jurus satu jari dan tapak penghancur adalah jurus yang sangat berbeda. Jika diibaratkan, jurus satu jari adalah jurus yang penuh kelembutan, ia melumpuhkan lawan tanpa mencederainya. Sedangkan jurus tapak penghancur merupakan jurus yang keras dan mematikan. Kau bisa merasakan sendiri otot hingga tulangku bisa remuk, makin tinggi levelnya makin kuat juga daya mematikannya, bahkan level sepuluh bisa membahayakan penggunanya." "Tapak penghancur ... ada level sepuluhnya?" tanya Jing Wu hampir tak percaya, "bukannya itu hanya ada level sembilan?" "Kebanyakan orang tahunya tapak penghancur itu sampai level sembilan tapi nyatanya, jurus itu sampai level sepuluh dan di level itu, penggunanya bisa terluka parah bahkan mati. Oleh karena itu, level sepuluh tapak penghancur adalah jurus yang membahayakan bahkan haram dipelajari!" Jing Wu tampak tertarik menyimak penjelasan Guru Han. "Dan satu-satunya orang yang menguasai level sepuluh tapak penghancur itu adalah Yang Zhao." Jing Wu tercekat mendengar nama Yang Zhao. "Paman Yang ... menguasai level sepuluh tapak penghancur ...," batinnya tak menyangka. "Mungkin kau pernah mendengar nama Yang Zhao, tapi tidak usah dipedulikan karena kita akan fokus latihan jurus satu jari. Ingat, latihan jurus satu jari lebih sulit dibanding jurus tapak penghancur karena kuncinya adalah kontrol tenaga dalam selembut mungkin di satu ujung jarimu. Untuk mencapai kontrol tenaga dalam yang diinginkan, kau harus menyatu dengan alam dengan banyak bermeditasi," terang guru Han. "Ingat, hanya satu jari." "Baik, Guru!" Keesokan harinya Jing Wu kembali ke air terjun. Ia semakin rajin bermeditasi di sana tapi ternyata benar-benar sulit. Ia bahkan hampir putus asa. "Apa ... aku tidak perlu mempelajari jurus ini, ya?" gumamnya, "tidak tidak, aku harus optimis!" *** "Bagaimana Jing Wu, apa ada perkembangan?" tanya guru Han begitu Jing Wu tiba di kuil. "Yah ... masih sama dengan kemarin, Guru." Guru Han terkikik. "Lupakan jurus satu jari, untuk malam ini kita makan enak!" Tiba-tiba guru Han memperlihatkan ayam bakar seekor berukuran besar nan montok untuk mereka berdua. "Guru Han dapat ayam dari mana?" tanya Jing Wu. "Dari mamanya Xiao Yen, dia datang berterima kasih karena kau menolong Xiao Yen." Malam itu pun mereka makan malam sambil mendengar cerita petualangan Guru Han saat ia masih muda dulu. *** Entah sudah berapa hari Jing Wu bermeditasi ke air terjun tapi hasilnya tetap sama, bahkan di siang hari ia mencoba bermeditasi namun suara air terjun makin berisik. Jing Wu pun kelelahan dan memutuskan untuk membaringkan tubuhnya ke atas batu besar yang berhadapan dengan air terjun. Ia menatap langit-langit yang penuh dengan burung-burung dan perlahan-lahan matanya mulai sayu dan meredup. Chit chit chit .... Jing Wu tiba-tiba terbangun, ia tadi merasa mendengar suara burung yang beterbangan di langit. "Tadi suara burung, kan?" gumamnya sendiri. Ia ingat, saat tadi mendengar suara burung ia harus serileks mungkin. Ia kemudian merilekskan tubuhnya dan ia bisa mendengar semua suara binatang di sana. Jing Wu tampak senang sekali. Ia langsung berlari menuju kuil tapi tanpa diduga di depan ada beruang yang sedang memangsa rusa kecil, sedang melihat ke arah Jing Wu.Jing Wu langsung memasang kuda-kuda saat beruang itu meraung begitu melihat Jing Wu. Dan Alangkah terkejutnya Jing Wu saat beruang itu bergerak cepat menyerangnya. Segera Jing Wu menghindar dengan jurus gerakan angin. Jing Wu teringat, ia harus mencoba jurus satu jari ke beruang itu. Beruang itu meraung lalu ia maju menyerang Jing Wu. Jing Wu meloncat melewati beruang, berpindah ke belakang beruang itu dan menyentuhkan ujung jarinya ke punggung sang beruang. Beruang pun terpental jauh dan kesadarannya hilang. Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari arah pohon. Jing Wu menoleh dan itu adalah guru Han. "Guru, aku bisa menguasai jurus satu jari!" seru Jing Wu. Guru Han lalu berloncat dan mendarat tepat di hadapan Jing Wu. "Jing Wu, aku memberimu selamat karena kau telah menguasai jurus satu jari, tapi ... kau belajar dari siapa jurus gerakan angin itu?" Jing Wu terdiam, tak bisa berkata apa-apa. "Apa kau ini murid dari iblis?" tanya guru Han serius. *** "Jadi, selama
"Maaf, Jing Wu. Aku tidak bisa mengajarimu jurus tapak penghancur," kata guru Han saat Jing Wu memohon kepadanya untuk belajar jurus tapak penghancur padanya. "Kenapa, Guru?" Guru Han menghela napas. "Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menggunakan jurus itu. Jika kau mau belajar jurus itu, kau bisa mencari Yang Zhao atau biksu terkenal dari kuil langit bernama Dharma." "Dharma?" "Ya, Dharma menguasai level sembilan tapak penghancur tapi lebih baik kau tidak bertemu dengannya karena dia tidak akan membiarkanmu menguasai jurus itu." "Kenapa begitu, Guru?" "Baiklah, akan aku ceritakan. Dharma dan Yang Zhao, keduanya adalah murid dari kuil langit. Sayangnya, karena perbedaan pandangan mereka menjadi tidak akur. Terakhir, mereka bertarung begitu dahsyat, Yang Zhao sampai melepas level sepuluh tapak penghancur miliknya dan menyebabkan kekalahan pada kuil langit. Walaupun Dharma maupun Yang Zhao selamat saat pertarungan itu namun mereka tak pernah lagi bertemu. Da
Ming Yue langsung keluar dari ruangan itu setelah kakaknya, Ming Yuan, melarangnya ikut dalam rombongan. "Kau seharusnya tidak perlu terlalu keras dengan Ming Yue," kata sang pria muda. Ia bernama Ming Fen." "Kau tidak tahu informasi apa yang aku dapatkan!" kata Ming Yuan, "kau tahu, setan Rimba sedang dalam perjalanan menuju barat dan sepertinya dia akan menyerang saat pertemuan dewan persatuan para pendekar sedunia." "Be-benarkah?" "Ya, kau tahu sendiri. Setan Rimba dan para iblis tak diundang dalam pertemuan itu. Para iblis tak melakukan pergerakan apa pun, sepertinya mereka memang tak peduli. Tapi, Setan Rimba, ia akan melalukan keonaran!" Ming Fen tampak berpikir. "Benar juga ...." "Jadi, besok kita akan berangkat untuk berkumpul dengan para dewan. Kita harus bersiap-siap!" "Tapi, bagaimana dengan Ming Yue?" tanya Ming Fen khawatir. "Biarkan saja anak itu di sini!" kata Ming Yuan, "dia akan menyusahkan kita di sana!" Diam-diam Ming Yue mendengar percakapan kedua kakaknya
"Aku yakin dia itu sebenarnya wanita. Sebagai pria normal, aku ini bisa membedakan mana pria mana wanita," ucap Jing Wu pada Ming Yue sambil berjalan menelusuri hutan. "Huh, jelas-jelas dia itu pria!" Ming Yue bersikeras berpendapat. Kini mereka berada dalam persimpangan jalan. "Jing Wu, kita belok mana?" "A ...." Jing Wu tampak berpikir. "Kamu sebenarnya tahu tempatnya tidak sih?" Ming Yue jadi curiga pada Jing Wu. "Te-tentu saja aku tahu," kelit Jing Wu sok tahu. "Huh, yang mana?" "Belok sini ... ya, belok sini!" "Yakin? Awas kau ya!" Ming Yue hendak melangkahkan kakinya namun tiba-tiba ia menghentikan langkahnya hingga Jing Wu menabraknya. Ming Yue bisa merasakan ada kawanan penjahat bersembunyi di sekitar mereka. "Ada apa?" tanya Jing Wu pada Ming Yue. "Keluar kalian!" sergah Ming Yue dengan suara lantang. Kawanan penjahat, termasuk dua preman di kota sebelumnya tadi keluar dari persembunyian mereka. Kalau dihitung-hitung, jumlah mereka ada delapan! Min
Sementara di kediaman Li Shuwan, hampir seluruh para pendekar hebat di penjuru dunia kini hadir. Dan tentu saja, kedua bersaudara dari keluarga Ming juga baru tiba dari sana. Ming Yuan dan Ming Fen masuk di kediaman itu dan langsung disambut baik oleh para anggota keluarga Li. "Maafkan keterlambatan kami," kata Ming Fen. "Ada apa Ming Fen?" tanya Li Suwhan, "tidak biasanya anggota keluarga Ming datang agak telat." "Sebenarnya ... kami sangat berjaga-jaga saat menuju ke mari karena kami mendengar Setan Rimba juga menuju ke sini!" kata Ming Yuan. "Setan Rimba? Mau apa dia?" tanya Li Shuwan. Para pendekar lainnya terkejut mendengar nama Setan Rimba. "Entahlah, tapi dari mata-mata yang aku kirim, dia sedang bersiap-siap menuju ke sini," lanjut Ming Yuan. Li Shuwan tampak berpikir. "Apakah dia ingin ikut serta dalam pertemuan para dewan?" "Ah, tidak mungkin!" sergah seorang pendekar yang mengenakan pakaian serba putih dengan rambut putih yang panjang bagai elf. "Setan Rim
Mata Jing Wu tiba-tiba terbuka, ia terkejut karena ia mendapati dirinya di sungai yang dangkal. Ia mencoba bangun namun tubuhnya terasa sangat sakit. Sepertinya ia belum lama siuman dan ia harus bergegas sebelum para pendekar itu menuju ke sungai dan mendapatinya. Tiba-tiba Jing Wu teringat oleh Ming Yue. Ia mengedarkan pandangannya, seharusnya gadis itu tak jauh darinya. Jing Wu berusaha berjalan, mencari sosok Ming Yue dan benar saja gadis itu tersungkur di tanah dalam keadaan tak sadar. "Ming Yue ...," panggil Jing Wu dengan suara rendah sambil memegang pipi Ming Yue. Namun, gadis itu tak juga sadarkan diri. Jing Wu pun mengangkat gadis itu dan segera membawanya pergi dari sana sebelum para pendekar di atas sana menemukan mereka. Entah sudah berapa lama Jing Wu membopong Ming Yue untuk menjauh dari sungai, Jing Wu pun menemukan pondok kecil dan masuk ke sana. Jing Wu lalu meletakkan Ming Yue di atas jerami lalu menyembuhkan dirinya dengan tenaga dalamnya. Setelah ia mulai p
“Kakak, lepaskan Jing Wu!” Ming Yue memohon pada Ming Fen. Ming Fen menggeleng, tetap teguh pada pendiriannya. “Biar saja dia disiksa di bawah sana!” katanya, “bisa-bisanya kau bergaul dengan kalangan iblis.” “Kakak!” Tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan Ming Yuan bersama beberapa pelayannya. Wajahnya tampak sengit setelah dari ruang bawah tanah. “Kak Yuan!” Ming Yue berlari pada kakaknya itu, “kakak dari bawah, kan? Bagaimana dengan Jing Wu?” “Huh, aku barusan menyiksanya. Dasar anak iblis!” Ming Yue makin khawatir dibuat oleh kakaknya itu. “Kakak apakan dia?” Ming Yuan mengernyit menatap Ming Yue yang tampak begitu peduli pada Jing Wu. “Kenapa kau peduli begitu?” “Kakak, dia sudah menolongku ….” “Aku tidak melihat seperti itu! Yang kulihat, dia sudah membahayakanmu dan mempengaruhimu!” “Ta-tapi ….” “Sudah, kembali ke kamarmu!” hardik Ming Yuan. Ming Yue berbalik dengan cemberut dan berlari meninggalkan ruangan itu. “Huh, bahaya sekali pengaruh bocah ibli
Ming Yue duduk di sudut kamar istana peri, menatap barang-barang yang telah ia kemas dengan cepat. Tidak banyak, hanya beberapa pakaian dan beberapa obat-obatan penting. Namun, kali ini, Ming Yue tahu bahwa tidak ada lagi alasan untuk bertahan lama di tempat yang sama. Istana peri benar-benar tempat yang membosankan. Kedua kakaknya sudah lebih dulu pergi menuju selatan, meninggalkan dia yang hanya bisa diam di tempat, seperti boneka yang tak bisa bergerak sementara Li Shuwan, yang belum lepas dari pengaruh hipnotis Jing Wu. Persetan dengan dia, Ming Yue tidak peduli lagi pada nasib pria itu, atau apa pun yang terjadi di istana peri. Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan kalung kompas yang ia siapkan untuk berjaga-jaga agar ia tak kehilangan arah. Tanpa menunggu lebih lama, Ming Yue membuka jendela kamar, mengintip keluar untuk memastikan tidak ada pengawal yang mencurigainya. Sebentar, ia mengedarkan pandangan, lalu menuruni tangga belakang, menuju ke gudang bahan makanan. Di san
Keluar kalian! Kedua orang berjubah hitam muncul di depan Jing Wu dan Ming Yue. Ming Yue terkejut karena ia tak pernah melihat kedua pendekar itu sebelumnya. Salah satunya memiliki kulit pucat dan tampak tak bersemangat, sementara yang satunya lagi memegang kipas kertas di tangannya. Jing Wu tampak serius, terutama karena Ming Yue berada di sampingnya dan harus ia lindungi. "Siapa kalian?" tanya Jing Wu lantang. Pria yang memegang kipas itu terkekeh. "Julukanku adalah Kipas Kematian, dan temanku ini disebut Si Mayat Hidup." Jing Wu mengernyit. Jubah yang mereka kenakan tampak familiar. Sama dengan yang dikenakan oleh Zhang Zui dan Bataar saat pertama kali ia bertemu mereka. Apakah mereka berasal dari organisasi yang sama? Tiba-tiba, Kipas Kematian mengayunkan kipasnya ke arah Jing Wu, dan seketika hembusan angin yang sangat kuat menyerang Jing Wu dan Ming Yue. Beruntung, Jing Wu gesit. Ia segera melindungi Ming Yue dan menciptakan perisai angin yang lebih kuat. "Huh, ternyata go
Ming Yue!” teriak Jing Wu begitu melihat gadis itu duduk di ranjangnya, mengayun-ayunkan kakinya dengan santai. “Kenapa kau ada di sini?!” Ming Yue menatapnya dengan senyum penuh arti. “Ya... kenapa ya...?” sahutnya dengan nada menggoda. Jing Wu mengerutkan kening, masih belum percaya dengan pemandangan di depannya. “Kemarin bukannya seharusnya kau menikah? Lalu kenapa kau malah ada di sini?!” Wajah Ming Yue seketika cemberut. “Siapa juga yang mau menikah?” jawabnya kesal. “Tapi... bagaimana dengan calon suamimu itu? Kau meninggalkannya saat upacara pernikahan kalian. Dia pasti kecewa,” lanjut Jing Wu dengan nada lebih pelan. Ming Yue mengebaskan tangannya seolah mengusir masalah itu jauh-jauh. “Ah! Siapa yang peduli?” Jing Wu menghela napas panjang. “Apa?!” “Sudah ah, aku mau tidur dulu,” kata Ming Yue sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang, tampak tak peduli dengan kegelisahan yang ditimbulkannya. “Tunggu, itu ranjangku!” protes Jing Wu. “Sekarang sudah jadi ranjang
Jing Wu duduk di sebuah kursi kayu di dalam kamar Ming Yue, sementara Ming Yue duduk di tepi ranjangnya. Lampu minyak di atas meja kecil menerangi ruangan dengan cahaya temaram. Wajah Ming Yue tampak cerah saat mendengarkan kisah perjalanan Jing Wu yang telah berkelana bersama para Pertapa Shan."Jadi, kau benar-benar hidup bersama mereka di pegunungan?" tanya Ming Yue dengan mata berbinar. "Aku selalu penasaran seperti apa kehidupan mereka."Jing Wu tersenyum. "Ya, kehidupan di sana tenang, tapi tidak mudah. Setiap hari ada latihan, dan banyak peraturan yang harus ditaati. Namun, aku belajar banyak hal, termasuk teknik bertarung dan cara memahami dunia dengan lebih luas.""Lalu bagaimana dengan turnamen di Perguruan Teratai Putih? Aku mendengar berita tentang itu, tapi kedua kakakku tidak ada yang tertarik mengikutinya," ujar Ming Yue sambil menghela napas.Jing Wu mengangguk. "Turnamen itu cukup sengit. Banyak pendekar hebat yang datang dari berbagai perguruan. Aku bahkan hampir tid
Jing Wu dan Yang Zhao berdiri di sudut perguruan Teratai Putih. Malam sudah larut, hanya cahaya lentera yang menggantung di beberapa sudut yang menerangi halaman luas perguruan. Jing Wu menatap tajam ke arah Yang Zhao. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, dan ia tak ingin menunda lebih lama."Paman," ucapnya dengan suara dalam. "Aku ingin bertanya sesuatu. Sebenarnya, apa yang terjadi pada mendiang ayahku dahulu?"Yang Zhao terdiam. Ia menatap wajah pemuda itu, mengingat sosok sahabat lamanya dalam dirinya. Napasnya terasa berat saat ia harus membuka luka lama yang selama ini berusaha ia kubur."Kenapa kau ingin tahu?" tanyanya pelan."Aku selalu mendengar bisik-bisik tentang ayahku, tetapi tak seorang pun mau bercerita dengan jelas. Aku ingin tahu yang sebenarnya."Yang Zhao menarik napas panjang. "Baiklah, jika kau ingin mendengar kenyataan, aku akan mengatakannya." Matanya menerawang ke masa lalu. "Jing Huei, ayahmu, dan aku dahulu adalah sahabat. Kami bertemu ketika aku bela
"Astaga! Tuan Zheng Shen!" seru seorang tabib. Salah satu murid perempuan bahkan menutup mulutnya, ngeri melihat banyaknya darah yang dimuntahkan. Namun Jing Wu tetap tidak melepaskan tangannya. Ia menggertakkan giginya, menahan sakit yang mulai terasa di tubuhnya sendiri. "Aku belum selesai!" serunya. Liang Fu hendak menghentikannya, tapi tatapan Jing Wu yang penuh tekad membuatnya mengurungkan niat. Perlahan, Jing Wu menyalurkan lebih banyak tenaga dalamnya. Cahaya biru di tangannya semakin terang, berdenyut seperti api yang menyala-nyala. Zheng Shen kembali mengerang, tapi kali ini, urat-urat hitam di lehernya mulai memudar. Racun yang tadinya menyebar di sekujur tubuhnya perlahan surut. Namun, di sisi lain, tubuh Jing Wu mulai bergetar. Keringat bercucuran di dahinya, dan napasnya mulai berat. "Jing Wu!" panggil Liang Fu, khawatir. "Kau harus berhenti! Jika tidak, kau sendiri bisa mati!" Jing Wu terdiam beberapa saat. Ia tahu batasannya, tapi jika ia berhenti sek
Di sisi lain, masih di arena turnamen. "Mei Ying... sebaiknya kamu menyerah saja?" suara Zheng Shen parau. Mei Ying menyeringai, matanya berkilat penuh kebencian. "Menyerah? Aku sudah menunggu momen ini bertahun-tahun, Zheng Shen. Hari ini, kau akan mati di tanganku!" Tiba-tiba, kepala Mei Ying bergerak seperti ular, mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan taring yang beracun. Dalam sekejap, ia menerkam leher Zheng Shen dan menggigitnya dengan kecepatan mengerikan. "Aaaargh!" Zheng Shen menjerit kesakitan. Liang Fu, yang berdiri tak jauh, segera membaca mantra. Dari lantai arena, dahan pohon yang kuat mencuat ke atas, menembus lantai beton dengan kekuatan besar. Dahan itu menyambar kepala Mei Ying dan mendorongnya menjauh. Kepala Mei Ying yang semula menjulur seperti ular kembali ke posisi semula dengan cepat, seakan-akan ditarik oleh kekuatan tak kasatmata. Zheng Shen terengah-engah, tangannya masih menekan luka di lehernya. Wajahnya pucat pasi karena racun mulai menyebar d
Bab X: Rahasia yang Terungkap Mei Ying mempererat lilitan kain di lengan Zheng Shen dengan tenaga dalamnya, membuat pria itu merasakan tekanan luar biasa di lengannya. Wajah Zheng Shen sedikit menegang, tetapi alih-alih panik, ia justru tersenyum tipis. Dengan tangan kirinya yang bebas, ia membentuk api berbentuk pisau dan menebaskannya ke arah kain yang melilitnya. Api itu membakar dan memutus kain dalam sekejap, membebaskan lengannya dari cengkeraman Mei Ying. Mei Ying terkekeh. Namun, suara tawa itu terdengar aneh—berlapis, seperti suara seorang pria yang berbicara melalui tubuh seorang wanita. "Benar-benar hebat," ujar Mei Ying, suaranya berubah lebih berat dan garang. "Tidak heran kau menjadi ketua Perguruan Teratai Putih." Zheng Shen mendecih, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Jadi kau ternyata pria, dasar keparat!" Seketika, dari kegelapan muncul Zhang Zui, seorang pendekar kejam yang dikenal karena kebrutalannya. Ia memandang Zheng Shen dan berkata dengan nada san
Turnamen pendekar yang berlangsung di perguruan Teratai Putih mencapai puncaknya. Para pendekar terbaik dari berbagai aliran telah menunjukkan kemampuan mereka, dan suasana semakin memanas. Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Shu Zuu yang duduk di bangku penonton menoleh ke arah seorang wanita bercadar rumbai yang sejak tadi duduk dengan tenang di antara penonton. Tapi kini, sosok itu telah lenyap. “Di mana Mei Ying?” tanya Shu Zuu, suaranya penuh kewaspadaan. Yang Zhao yang berada di sampingnya ikut menoleh. Benar saja, kursi yang sebelumnya diduduki Mei Ying kini kosong. Namun sebelum mereka bisa mencerna apa yang sedang terjadi, tiba-tiba pandangan Yang Zhao mulai berputar-putar. Kepalanya terasa berat, dan seolah-olah seluruh dunia berputar dalam pusaran yang tak terlihat. “Argh…!” Yang Zhao tersungkur ke tanah. Shu Zuu segera menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasakan hawa aneh yang menyebar di sekelilingnya, seperti kabut tipis yang tak terlihat. Lalu, ta
Jing Wu berlari secepat mungkin menuju ruang perawatan di perguruan Teratai Putih. Napasnya tersengal, dadanya naik turun, dan keringat mulai mengalir di pelipisnya. Ia baru saja mendengar kabar bahwa Dong Hai terluka parah dalam pertandingan sebelumnya. Saat tiba di ruangan itu, matanya langsung tertuju pada sosok Dong Hai yang terbaring lemah di atas dipan kayu. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, dan tubuhnya tampak kehabisan tenaga. Di sisinya, Shu Zuu duduk bersimpuh dengan satu tangan menempel di dada Dong Hai, menyalurkan tenaga dalamnya dengan penuh konsentrasi. Cahaya lembut mengalir dari telapak tangannya, menyelimuti tubuh pemuda itu. Setelah beberapa saat, Shu Zuu menarik tangannya dan menghela napas panjang. Ia menyeka keringat di dahinya dengan lengan bajunya. “Bibi Zuu, apakah Dong Hai baik-baik saja?” tanya Jing Wu dengan nada penuh kekhawatiran. Shu Zuu menatapnya sejenak sebelum menjawab dengan raut wajah serius, “Kondisi Dong Hai benar-benar serius. Ia mengalami