Guru Han memandang prihatin dengan luka di punggung Jing Wu. Jika saja Jing Wu telat bergerak sedikit saja, mungkin punggungnya habis tercabik habis oleh beruang itu.
Guru Han terus menyalurkan tenaga dalamnya hingga luka itu terasa lebih mendingan. Tapi, sepertinya Jing Wu mulai demam. "Xiao Wu, kau perlu istirahat malam ini!" kata guru Han, "besok kita mulai latihan jurus satu jari!" Jing Wu yang mendengar ucapan terakhir guru Han langsung terkejut. "Besok, kita bela- aduh ...." Saking semangatnya, Jing Wu sampai lupa akan lukanya. "Jangan terlalu banyak bergerak! Lukamu belum sembuh betul." Jing Wu tampak amat senang. "Baik, Guru!" Guru Han tersenyum tipis sebelum keluar dari kamar Jing Wu. *** Pagi-pagi buta, Jing Wu bangun dan ia langsung membereskan semuanya. Ia mencuci piring dan baju kotor serta membersihkan kuil dan halamannya. Dengan semangat ia lalu mendatangi guru Han yang tampak sedang bermeditasi di dalam kuil. "Guru, ayo kita latihan jurus satu jari!" Jing Wu mengingatkan guru Han dengan semangat. "Ikuti aku bermeditasi. Sekarang!" tegas guru Han. "Guru, bukannya guru janji kalau kita latihan hari ini?" "Bermeditasi sekarang!" Suara guru Han terdengar lantang dan mau tak mau Jing Wu mengikuti perintah guru Han. Jing Wu mencoba sabar tapi ia terus-terusan disuruh bermeditasi. Bahkan setelah mereka makan siang, ia disuruh kembali bermeditasi oleh guru Han. Jing Wu merasa kesal, kenapa ia malah disuruh meditasi di dalam kuil, sendirian pula? "Jing Wu, ayo kita keluar!" ajak Guru Han tiba-tiba. "Ke mana, Guru?" "Ikut saja!" Jing Wu dan guru Han pun keluar dan ternyata guru Han mengajaknya ke air terjun. Pemandangannya begitu indah namun terlalu berisik dengan suara air terjun yang amat deras. "Guru untuk apa kita ke sini?" Guru Han terdiam sebentar, ia tampak senyum. "Ah, merdu sekali suara burung itu!" Jing Wu menoleh ke atas dan di langit memang ramai dengan burung-burung yang beterbangan tapi ia tak bisa mendengar suaranya karena suara air terjung yang lebih mendominasi. Jing Wu menatap aneh ke arah Guru Han. "Ah, ada jengkrik di sana!" Guru Han berseru sambil menunjuk pohon dan benar saja di sana ada jengkrik besar tapi Jing Wu bingung dari mana guru Han langsung tahu posisi jengkrik itu? "Guru, untuk apa kita ke sini?" tanya Jing Wu. "Bermeditasi." "Apa?" "Lakukan!" "Tapi ... sampai kapan?" "Sampai kau bisa mendengar suara burung dan serangga di sini!" lantang guru Han lalu ia berbalik dan pergi dari sana. Jing Wu pun mencoba bermeditasi tapi sangat sulit ia memusatkan konsentrasinya karena suara air terjun. Tapi ... apakah ini ada hubungannya dengan jurus satu jari? Jangan-jangan ada! Jing Wu kemudian kembali serius dan mencoba bermeditasi di sana, namun tetap saja susah. Malamnya, Jing Wu kembali dan Guru Han tampak menikmati tuaknya di teras kuil. "Guru, apa ada hubungannya meditasi di air terjun dengan jurus satu jari itu?" tanya Jing Wu, suaranya terdengar agak putus asa. "Ya, bisa dikatakan seperti itu." "Kupikir ... aku akan melatih jari tanganku." "Dasar bodoh, kau pikir jurus satu jari itu seperti jurus lainnya?" Jing Wu langsung terdiam. "Kau pasti pernah mendengar tapak penghancur, bukan?" "Ya, pernah." "Sekilas kelihatannya jurus satu jari menganut jurus tapak penghancur dan memang aku menciptakan jurus satu jari karena aku tak mau menggunakan tapak penghancur lagi." "Guru Han, menguasai tapak penghancur?" "Tentu saja, aku bisa menggunakannya hingga level sembilan." Jing Wu langsung serius menyimak guru Han. "Tapi, aku tidak lagi menggunakannya ke siapa pun juga," kata guru Han, "oleh karena itu, aku mencintakan jurus satu jari yang lebih aman dan lebih bijak." "Pantas aku merasa kedua jurus itu tampak sama," ucap Jing Wu. "Tidak tidak ... jurus satu jari dan tapak penghancur adalah jurus yang sangat berbeda. Jika diibaratkan, jurus satu jari adalah jurus yang penuh kelembutan, ia melumpuhkan lawan tanpa mencederainya. Sedangkan jurus tapak penghancur merupakan jurus yang keras dan mematikan. Kau bisa merasakan sendiri otot hingga tulangku bisa remuk, makin tinggi levelnya makin kuat juga daya mematikannya, bahkan level sepuluh bisa membahayakan penggunanya." "Tapak penghancur ... ada level sepuluhnya?" tanya Jing Wu hampir tak percaya, "bukannya itu hanya ada level sembilan?" "Kebanyakan orang tahunya tapak penghancur itu sampai level sembilan tapi nyatanya, jurus itu sampai level sepuluh dan di level itu, penggunanya bisa terluka parah bahkan mati. Oleh karena itu, level sepuluh tapak penghancur adalah jurus yang membahayakan bahkan haram dipelajari!" Jing Wu tampak tertarik menyimak penjelasan Guru Han. "Dan satu-satunya orang yang menguasai level sepuluh tapak penghancur itu adalah Yang Zhao." Jing Wu tercekat mendengar nama Yang Zhao. "Paman Yang ... menguasai level sepuluh tapak penghancur ...," batinnya tak menyangka. "Mungkin kau pernah mendengar nama Yang Zhao, tapi tidak usah dipedulikan karena kita akan fokus latihan jurus satu jari. Ingat, latihan jurus satu jari lebih sulit dibanding jurus tapak penghancur karena kuncinya adalah kontrol tenaga dalam selembut mungkin di satu ujung jarimu. Untuk mencapai kontrol tenaga dalam yang diinginkan, kau harus menyatu dengan alam dengan banyak bermeditasi," terang guru Han. "Ingat, hanya satu jari." "Baik, Guru!" Keesokan harinya Jing Wu kembali ke air terjun. Ia semakin rajin bermeditasi di sana tapi ternyata benar-benar sulit. Ia bahkan hampir putus asa. "Apa ... aku tidak perlu mempelajari jurus ini, ya?" gumamnya, "tidak tidak, aku harus optimis!" *** "Bagaimana Jing Wu, apa ada perkembangan?" tanya guru Han begitu Jing Wu tiba di kuil. "Yah ... masih sama dengan kemarin, Guru." Guru Han terkikik. "Lupakan jurus satu jari, untuk malam ini kita makan enak!" Tiba-tiba guru Han memperlihatkan ayam bakar seekor berukuran besar nan montok untuk mereka berdua. "Guru Han dapat ayam dari mana?" tanya Jing Wu. "Dari mamanya Xiao Yen, dia datang berterima kasih karena kau menolong Xiao Yen." Malam itu pun mereka makan malam sambil mendengar cerita petualangan Guru Han saat ia masih muda dulu. *** Entah sudah berapa hari Jing Wu bermeditasi ke air terjun tapi hasilnya tetap sama, bahkan di siang hari ia mencoba bermeditasi namun suara air terjun makin berisik. Jing Wu pun kelelahan dan memutuskan untuk membaringkan tubuhnya ke atas batu besar yang berhadapan dengan air terjun. Ia menatap langit-langit yang penuh dengan burung-burung dan perlahan-lahan matanya mulai sayu dan meredup. Chit chit chit .... Jing Wu tiba-tiba terbangun, ia tadi merasa mendengar suara burung yang beterbangan di langit. "Tadi suara burung, kan?" gumamnya sendiri. Ia ingat, saat tadi mendengar suara burung ia harus serileks mungkin. Ia kemudian merilekskan tubuhnya dan ia bisa mendengar semua suara binatang di sana. Jing Wu tampak senang sekali. Ia langsung berlari menuju kuil tapi tanpa diduga di depan ada beruang yang sedang memangsa rusa kecil, sedang melihat ke arah Jing Wu."Ahahaha!" Tawa para anak-anak itu menggema saat mereka memborongi seorang anak laki-laki tampan yang tak berdaya. "Dasar Jing Wu bodoh!" seru salah satu anak di sana, "ini akibatnya kau terus mencari muka ke guru! Apa kau berani melapor ke pamanmu yang pendekar hebat itu?" Jing Wu hanya bisa pasrah. Dia bukan anak bodoh yang harus melakukan perlawanan sia-sia. Dipukul oleh teman-temannya sudah menjadi makanan sehari-harinya. Setelah kejadian itu, Jing Wu pulang ke rumah paman dan bibinya. "Bibi Zuu!" panggilnya sambil mengetuk pintu agak keras. Tidak lama kemudian wanita cantik bernama Shu Zuu itu membuka pintu dan alangkah kagetnya ia melihat Jing Wu dalam keadaan babak belur. "Apa kau habis berkelahi lagi?" tanya Shu Zuu agak keras. Jing Wu langsung masuk tanpa merespon bibi Zuu, ia sudah terbiasa pulang dalam keadaan babak belur namun ia malah dituduh berkelahi. "Xiao Jing Wu, jawab Bibi!" "Ada apa ini?" Suara bariton pria milik Yang Zhao tiba-tiba muncul. Jing Wu tampak
Pria besar bermata merah itu memandang Jing Wu yang memasang kuda-kuda sambil melemparkan tatapannya yang begitu berani tanpa ada rasa takut sama sekali. Pria itu mengedipkan matanya sekali, Jing Wu menguatkan kuda-kudanya, bersiap untuk membalas jika pria itu menyerangnya. "Buahahahaha!" Tiba-tiba tawa pria itu meledak terpingkal-pingkal yang membuat Jing Wu keheranan. "Bocah ini beraninya mau melawan salah satu iblis terkuat di jagat ini!" ucap iblis itu sambil tertawa. "Huh, jangan anggap remeh aku, Paman!" cecar Jing Wu, "lihat ini!" Jing Wu maju dan menendang iblis itu namun sang iblis makin terpingkal-pingkal karena baginya tendangan anak itu tak berasa sama sekali. "Sudah sudah, aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan bocah sepertimu." Akhirnya, iblis itu bisa menguasai dirinya. "Hm ... bagaimana kalau kau jadi santapanku saja?" mata Iblis itu menyala dan terlihat amat mengerikan. Jing Wu menggertakkan giginya, ia tahu bahwa Iblis di depannya itu tak main-main. Tapi
Napas Jing Wu terdengar tersengal-sengal, entah sudah sejauh mana ia berlari yang pasti ia sudah tak ingat jalan pulang lagi. Langit sudah mulai gelap dan hutan cukup mengerikan untuk anak seumur Jing Wu.Jing Wu berjongkok di bawah pohon. Perutnya mulai lapar dan ia pun menangis menyesali perbuatannya yang telah melukai Yang Zi, anak dari Yang Zhao."Bagaimana kalau Paman Yang dan Bibi Shu tidak memaafkanku?" gumam Jing Wu gamang.Ia mengingat kembali apa yang Yang Zi ucapkan, benarkan ayahnya seorang pembunuh? Tiba-tiba terdengar suara tawa iblis di atas pohon.Jing Wu langsung berdiri dan melihat sang iblis. Anak itu panik karena ia tersesat dan sudah pasti tak akan ada orang yang bisa menolongnya. Iblis itu loncat dan kini berdiri di hadapan Jing Wu.Jing Wu menyeka air matanya sebelum memasang kuda-kuda perlawanan."Ku akui, kau benar-benar pemberani, Bocah!" puji iblis itu. "Tapi, anak laki-laki tidak seharusnya menangis!" Iblis itu tampak tertawa mengejek ke arah Jing Wu.Jing
Delapan tahun lebih telah berlalu dan kini Jing Wu sudah beranjak remaja, selama itu pula Jing Wu belajar jurus-jurus dari para iblis. Begitu pula dengan Yang Zi, ia kini menguasai level empat tapak penghancur.Yang Zi memperlihatkan jurus tapak penghancurnya di hadapan Yang Zhao, ayahnya. Ia tampak puas dengan hasilnya begitu pun dengan ibunya, Shu Zuu.Sementara Yang Zhao tampak kurang senang melihat perkembangan putranya yang sebenarnya tidak begitu cepat karena ini sudah delapan tahun berlalu. Bukan hanya itu, Yang Zi juga memiliki attitude yang arogan dan cepat puas dengan pencapaiannya.Yang Zhao kembali masuk ke dalam kamar, ia merenung, memikirkan bagaimana nasib Jing Wu saat ini. Pria itu bahkan tampak kurus karena merasa bersalah tak bisa mendidik Jing Wu dengan benar sehingga anak itu melukai Yang Zi.Shu Zuu masuk ke kamar, ia prihatin melihat kegundahan Yang Zhao. "Kau tidak perlu merasa bersalah," kata Shu Zuu berusaha menghibur Yang Zhao."Bagaimana aku tidak merasa ber
"Tapi ... aku belum siap, Paman," sahut Jing Wu agak panik. "Siap atau belum, kau harus keluar dari sini," kata Kanibal, "kurasa kau sudah banyak mempelajari jurus iblis dan kau bisa dengan cepat menguasainya, hanya saja itu tidak cukup!" Jing Wu terdiam. "Jika kau ingin menjadi orang yang hebat, kau harus keluar dan hadapi dunia, bertemu dengan orang-orang hebat dan belajar jurus-jurus hebat seperti tapak penghancur milik Yang Zhao." "Di mana aku bisa mempelajari jurus-jurus hebat sementara aku yakin Paman Yang tidak akan menerimaku lagi?" "Jing Wu, orang hebat di dunia ini bukan hanya Yang Zhao," kata Kanibal, "kau pasti pernah mendengar si Tangan Baja dari Tangan Beracun kan?" "Ya, dia adalah biksu di kuil utara." "Benar, kau bisa menemuinya dan banyak belajar jurus-jurus hebat darinya selain belajar meramu penawar Racun Gaib." Jing Wu menyimak dengan seksama ucapan Kanibal. "Selain jurus tapak penghancur, ada beberapa jurus hebat lainnya. Tapi, kau harus tahu Jing Wu, jur
"Hajar dia!" perintah pria paruh baya itu pada ketiga pria bertubuh besar. Salah satu pria itu pun maju menyerang Jing Wu namun Jing dengan gesit mampu menghindari serangan. Pria itu pun malah menambrak pohon besar. Kali ini satu pria maju dan hendak menyergap Jing Wu, tapi lagi-lagi Jing Wu mampu menghindari serangan pria itu. "Hehehe, anak muda kau mungkin bisa menghindari serangan kedua temanku tapi kau tidak mungkin menghindari serangan pisau bisa kobraku ini." "Itu beracun?" tanya Jing Wu. Pria itu tidak menjawab Jing Wu, namun ia tiba-tiba maju dengan gerakan yang gesit. Jing Wu menghindari setiap serangan pria itu dan tiba-tiba ia menotok pergelangan tangan pria itu sehingga menjadi kaku dan pisau itu pun jatuh. Jing Wu lalu berbalik menatap pria paruh baya itu. "Kau mau juga?" pria itu tampak ketakutan lalu ia berbalik dan berlari terbirit-birit. Jing Wu lalu meninggalkan ketiga pria itu dan sampai ke suatu pondok, ia istirahat sebentar, memakan bakpao yang ia beli di ko
Entah sudah berapa lama Jing Wu terbaring, pria itu akhirnya sadar. Saat ia membuka matanya, pandangannya agak kabur karena masih brradaptasi. Namun, perlahan penglihatannya makin jelas dan ia berada di suatu ruangan, di atas futon sederhana. Tiba-tiba Jing Wu merasa nyeri di bagian dadanya. Ia kemudian mengingat kejadian ia diserang seorang pria bertubuh kekar di halaman kuil. Jing Wu meraba dadanya, memang masih nyeri tapi rasa sakitnya berkurang drastis, seperti ada yang telah menyalurkan tenaga dalam yang dahsyat di tubuhnya. "Kau sudah siuman?" Jing Wu langsung menoleh ke arah pintu dan kakek pemabuk bersuara cempreng itu berdiri di sana. Jing Wu hendak bangkit dari futon namun dadanya lebih terasa nyeri saat ia bangun. "Hati-hati anak muda, lukamu belum sembuh betul!" kata kakek itu. "Pria itu ...," ucap Jing Wu dengan bibir bergetar, "siapa dia?" tanyanya, "dia mencari Guru Han." "Hadeuh ... anak itu memang keras kepala," kata sang kakek, "padahal aku sudah lama mengusir
Guru Han memandang prihatin dengan luka di punggung Jing Wu. Jika saja Jing Wu telat bergerak sedikit saja, mungkin punggungnya habis tercabik habis oleh beruang itu. Guru Han terus menyalurkan tenaga dalamnya hingga luka itu terasa lebih mendingan. Tapi, sepertinya Jing Wu mulai demam. "Xiao Wu, kau perlu istirahat malam ini!" kata guru Han, "besok kita mulai latihan jurus satu jari!" Jing Wu yang mendengar ucapan terakhir guru Han langsung terkejut. "Besok, kita bela- aduh ...." Saking semangatnya, Jing Wu sampai lupa akan lukanya. "Jangan terlalu banyak bergerak! Lukamu belum sembuh betul." Jing Wu tampak amat senang. "Baik, Guru!" Guru Han tersenyum tipis sebelum keluar dari kamar Jing Wu. *** Pagi-pagi buta, Jing Wu bangun dan ia langsung membereskan semuanya. Ia mencuci piring dan baju kotor serta membersihkan kuil dan halamannya. Dengan semangat ia lalu mendatangi guru Han yang tampak sedang bermeditasi di dalam kuil. "Guru, ayo kita latihan jurus satu jari!" Jing Wu
Entah sudah berapa lama Jing Wu terbaring, pria itu akhirnya sadar. Saat ia membuka matanya, pandangannya agak kabur karena masih brradaptasi. Namun, perlahan penglihatannya makin jelas dan ia berada di suatu ruangan, di atas futon sederhana. Tiba-tiba Jing Wu merasa nyeri di bagian dadanya. Ia kemudian mengingat kejadian ia diserang seorang pria bertubuh kekar di halaman kuil. Jing Wu meraba dadanya, memang masih nyeri tapi rasa sakitnya berkurang drastis, seperti ada yang telah menyalurkan tenaga dalam yang dahsyat di tubuhnya. "Kau sudah siuman?" Jing Wu langsung menoleh ke arah pintu dan kakek pemabuk bersuara cempreng itu berdiri di sana. Jing Wu hendak bangkit dari futon namun dadanya lebih terasa nyeri saat ia bangun. "Hati-hati anak muda, lukamu belum sembuh betul!" kata kakek itu. "Pria itu ...," ucap Jing Wu dengan bibir bergetar, "siapa dia?" tanyanya, "dia mencari Guru Han." "Hadeuh ... anak itu memang keras kepala," kata sang kakek, "padahal aku sudah lama mengusir
"Hajar dia!" perintah pria paruh baya itu pada ketiga pria bertubuh besar. Salah satu pria itu pun maju menyerang Jing Wu namun Jing dengan gesit mampu menghindari serangan. Pria itu pun malah menambrak pohon besar. Kali ini satu pria maju dan hendak menyergap Jing Wu, tapi lagi-lagi Jing Wu mampu menghindari serangan pria itu. "Hehehe, anak muda kau mungkin bisa menghindari serangan kedua temanku tapi kau tidak mungkin menghindari serangan pisau bisa kobraku ini." "Itu beracun?" tanya Jing Wu. Pria itu tidak menjawab Jing Wu, namun ia tiba-tiba maju dengan gerakan yang gesit. Jing Wu menghindari setiap serangan pria itu dan tiba-tiba ia menotok pergelangan tangan pria itu sehingga menjadi kaku dan pisau itu pun jatuh. Jing Wu lalu berbalik menatap pria paruh baya itu. "Kau mau juga?" pria itu tampak ketakutan lalu ia berbalik dan berlari terbirit-birit. Jing Wu lalu meninggalkan ketiga pria itu dan sampai ke suatu pondok, ia istirahat sebentar, memakan bakpao yang ia beli di ko
"Tapi ... aku belum siap, Paman," sahut Jing Wu agak panik. "Siap atau belum, kau harus keluar dari sini," kata Kanibal, "kurasa kau sudah banyak mempelajari jurus iblis dan kau bisa dengan cepat menguasainya, hanya saja itu tidak cukup!" Jing Wu terdiam. "Jika kau ingin menjadi orang yang hebat, kau harus keluar dan hadapi dunia, bertemu dengan orang-orang hebat dan belajar jurus-jurus hebat seperti tapak penghancur milik Yang Zhao." "Di mana aku bisa mempelajari jurus-jurus hebat sementara aku yakin Paman Yang tidak akan menerimaku lagi?" "Jing Wu, orang hebat di dunia ini bukan hanya Yang Zhao," kata Kanibal, "kau pasti pernah mendengar si Tangan Baja dari Tangan Beracun kan?" "Ya, dia adalah biksu di kuil utara." "Benar, kau bisa menemuinya dan banyak belajar jurus-jurus hebat darinya selain belajar meramu penawar Racun Gaib." Jing Wu menyimak dengan seksama ucapan Kanibal. "Selain jurus tapak penghancur, ada beberapa jurus hebat lainnya. Tapi, kau harus tahu Jing Wu, jur
Delapan tahun lebih telah berlalu dan kini Jing Wu sudah beranjak remaja, selama itu pula Jing Wu belajar jurus-jurus dari para iblis. Begitu pula dengan Yang Zi, ia kini menguasai level empat tapak penghancur.Yang Zi memperlihatkan jurus tapak penghancurnya di hadapan Yang Zhao, ayahnya. Ia tampak puas dengan hasilnya begitu pun dengan ibunya, Shu Zuu.Sementara Yang Zhao tampak kurang senang melihat perkembangan putranya yang sebenarnya tidak begitu cepat karena ini sudah delapan tahun berlalu. Bukan hanya itu, Yang Zi juga memiliki attitude yang arogan dan cepat puas dengan pencapaiannya.Yang Zhao kembali masuk ke dalam kamar, ia merenung, memikirkan bagaimana nasib Jing Wu saat ini. Pria itu bahkan tampak kurus karena merasa bersalah tak bisa mendidik Jing Wu dengan benar sehingga anak itu melukai Yang Zi.Shu Zuu masuk ke kamar, ia prihatin melihat kegundahan Yang Zhao. "Kau tidak perlu merasa bersalah," kata Shu Zuu berusaha menghibur Yang Zhao."Bagaimana aku tidak merasa ber
Napas Jing Wu terdengar tersengal-sengal, entah sudah sejauh mana ia berlari yang pasti ia sudah tak ingat jalan pulang lagi. Langit sudah mulai gelap dan hutan cukup mengerikan untuk anak seumur Jing Wu.Jing Wu berjongkok di bawah pohon. Perutnya mulai lapar dan ia pun menangis menyesali perbuatannya yang telah melukai Yang Zi, anak dari Yang Zhao."Bagaimana kalau Paman Yang dan Bibi Shu tidak memaafkanku?" gumam Jing Wu gamang.Ia mengingat kembali apa yang Yang Zi ucapkan, benarkan ayahnya seorang pembunuh? Tiba-tiba terdengar suara tawa iblis di atas pohon.Jing Wu langsung berdiri dan melihat sang iblis. Anak itu panik karena ia tersesat dan sudah pasti tak akan ada orang yang bisa menolongnya. Iblis itu loncat dan kini berdiri di hadapan Jing Wu.Jing Wu menyeka air matanya sebelum memasang kuda-kuda perlawanan."Ku akui, kau benar-benar pemberani, Bocah!" puji iblis itu. "Tapi, anak laki-laki tidak seharusnya menangis!" Iblis itu tampak tertawa mengejek ke arah Jing Wu.Jing
Pria besar bermata merah itu memandang Jing Wu yang memasang kuda-kuda sambil melemparkan tatapannya yang begitu berani tanpa ada rasa takut sama sekali. Pria itu mengedipkan matanya sekali, Jing Wu menguatkan kuda-kudanya, bersiap untuk membalas jika pria itu menyerangnya. "Buahahahaha!" Tiba-tiba tawa pria itu meledak terpingkal-pingkal yang membuat Jing Wu keheranan. "Bocah ini beraninya mau melawan salah satu iblis terkuat di jagat ini!" ucap iblis itu sambil tertawa. "Huh, jangan anggap remeh aku, Paman!" cecar Jing Wu, "lihat ini!" Jing Wu maju dan menendang iblis itu namun sang iblis makin terpingkal-pingkal karena baginya tendangan anak itu tak berasa sama sekali. "Sudah sudah, aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan bocah sepertimu." Akhirnya, iblis itu bisa menguasai dirinya. "Hm ... bagaimana kalau kau jadi santapanku saja?" mata Iblis itu menyala dan terlihat amat mengerikan. Jing Wu menggertakkan giginya, ia tahu bahwa Iblis di depannya itu tak main-main. Tapi
"Ahahaha!" Tawa para anak-anak itu menggema saat mereka memborongi seorang anak laki-laki tampan yang tak berdaya. "Dasar Jing Wu bodoh!" seru salah satu anak di sana, "ini akibatnya kau terus mencari muka ke guru! Apa kau berani melapor ke pamanmu yang pendekar hebat itu?" Jing Wu hanya bisa pasrah. Dia bukan anak bodoh yang harus melakukan perlawanan sia-sia. Dipukul oleh teman-temannya sudah menjadi makanan sehari-harinya. Setelah kejadian itu, Jing Wu pulang ke rumah paman dan bibinya. "Bibi Zuu!" panggilnya sambil mengetuk pintu agak keras. Tidak lama kemudian wanita cantik bernama Shu Zuu itu membuka pintu dan alangkah kagetnya ia melihat Jing Wu dalam keadaan babak belur. "Apa kau habis berkelahi lagi?" tanya Shu Zuu agak keras. Jing Wu langsung masuk tanpa merespon bibi Zuu, ia sudah terbiasa pulang dalam keadaan babak belur namun ia malah dituduh berkelahi. "Xiao Jing Wu, jawab Bibi!" "Ada apa ini?" Suara bariton pria milik Yang Zhao tiba-tiba muncul. Jing Wu tampak