Pria besar bermata merah itu memandang Jing Wu yang memasang kuda-kuda sambil melemparkan tatapannya yang begitu berani tanpa ada rasa takut sama sekali. Pria itu mengedipkan matanya sekali, Jing Wu menguatkan kuda-kudanya, bersiap untuk membalas jika pria itu menyerangnya.
"Buahahahaha!" Tiba-tiba tawa pria itu meledak terpingkal-pingkal yang membuat Jing Wu keheranan. "Bocah ini beraninya mau melawan salah satu iblis terkuat di jagat ini!" ucap iblis itu sambil tertawa. "Huh, jangan anggap remeh aku, Paman!" cecar Jing Wu, "lihat ini!" Jing Wu maju dan menendang iblis itu namun sang iblis makin terpingkal-pingkal karena baginya tendangan anak itu tak berasa sama sekali. "Sudah sudah, aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan bocah sepertimu." Akhirnya, iblis itu bisa menguasai dirinya. "Hm ... bagaimana kalau kau jadi santapanku saja?" mata Iblis itu menyala dan terlihat amat mengerikan. Jing Wu menggertakkan giginya, ia tahu bahwa Iblis di depannya itu tak main-main. Tapi apa yang bisa ia lakukan? "Padahal kau sangat menarik tapi aku juga lapar!" Iblis itu hendak menangkap Jing Wu namun Jing Wu dengan gesit menghindari iblis itu. "Huh, gesit juga," puji sang iblis, "sepertinya kau membuatku semakin tertarik, Bocah! "Jing Wu! Jing Wu!" "Paman Yang!" balas Jing Wu begitu mendengar suara Yang Zhao, "aku di sini!" "Cih!" Iblis itu mendecih, "sampai jumpa lagi, Bocah!" Jing Wu menoleh ke arah iblis itu namun iblis itu sudah tidak lagi berada di sana. "Jing Wu, sedang apa kau di sini?" tiba-tiba Yang Zhao muncul. Jing Wu menoleh ke arah Yang Zhao. "Paman, tadi aku bertemu pria besar bermata merah, dia bilang kalau dia salah satu iblis!" lapor Jing Wu. Yang Zhao terkejut mendengar ucapan Jing Wu tapi dia masih bisa menguasai dirinya. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru untuk memastikan apakah ada iblis di sekitar mereka, namun yang terasa hanyalah tiupan angin. "Jing Wu, ayo kita segera pergi!" Jing Wu mengangguk mengerti, "mengenai iblis yang kau lihat tadi, jangan ceritakan ke bibimu dan juga Yang Zi," lanjut Yang Zhao memperingatkan Jing Wu. Jing Wu terdiam sebentar lalu ia mengangguk. *** "Kenapa ya, Paman Yang melarangku menceritakan tentang iblis itu ke bibi dan Xiao Zi?" gumam Jing Wu di kursi belajarnya. Ia merenung sambil membayangkan iblis semalam. "Awas saja kalau iblis itu muncul di hadapanku lagi, akan kuhajar di ... hm?" Tiba-tiba Jing Wu melihat Yang Zhao keluar dan berjalan menuju hujan. Entah ada gerangan apa, Jing Wu langsung bergegas keluar dari kamarnya dan mengikuti Yang Zhao. Ternyata pria itu menuju air terjun dan Jing Wu yang bersembunyi di balik pohon diam-diam memperhatikan apa yang akan Yang Zhao lakukan. Yang Zhao berjalan mendekati air terjun itu dan kini ia berdiri di depan air terjun. Ia lalu memasang kuda-kuda yang Jing Wu tahu persis bahwa itu kuda-kuda jurus tapak penghancur. Jing Wu memperhatikan bagaimana Yang Zhao mengatur napasnya dan mulai memusatkan tenaga dalamnya ke telapak tangannya. Kemudian dia menapaki air terjun itu hingga terbentuk gelombang air yang sangat dahsyat. Jing Wu terkesimak melihat pemandangan itu, benar-benar menakjubkan dan ini adalah kesempatan langka untuknya. Setelah Yang Zhao bermeditasi sebentar, ia meninggalkan area air terjun itu. Jing Wu sendiri berusaha mengingat-ingat apa yang ia lihat, tepatnya apa yang Yang Zhao lakukan. Jing Wu melihat kedua telapak tangannya lalu ia memasang kuda-kuda seperti yang dilakukan Yang Zhao. Iya mulai mengatur napasnya seakan ia menyatu dengan alam lalu ia memusatkan tenaga dalamnya ke telapak tangannya. "Hiaaat!" Jing Wu menapaki batang pohon yang agak besar di hadapannya dan batang pohon itu hancur remuk di bagian yang ditapaki Jing Wu. Jing Wu tampak senang dengan hasilnya namun tiba-tiba terdengar seseorang menepuk tangan di belakang. Jing Wu terkejut dan langsung menoleh ke arah orang itu. Ternyata orang itu sang iblis yang Jing Wu temui semalam, sedang berbaring santai di atas pohon. "Kau!" sergah Jing Wu sambil memasang kuda-kuda bertarung dengan iblis itu, "kau mengikutiku dari semalam!" "Buahahahaha!" Iblis itu tertawa mendengar teriakan Jing Wu. "Sok sekali kau, Bocah!" kata iblis itu, "daripada aku mengikutimu, mending aku habisi nyawamu dari semalam dan memakanmu!" "Kau lihat tadi, kan, aku ini bukan anak kecil biasa!" Iblis itu meloncat dan kini berdiri di hadapan Jing Wu. "Coba serang aku!" "Hah?" "Serang aku, Bocah!" ulang iblis itu. Jing Wu berlari kemudian mengeluarkan jurus tapak penghancur miliknya namun entah mengapa kali ini jurusnya tak sehebat yang ia lakukan di pohon tadi. "Ti-tidak mungkin ...." Jing Wu menatap bingung telapak tangannya sementara iblis itu tertawa geli di hadapan Jing Wu. "Bocah, kau kenapa? Mana jurus hebatmu yang tadi itu?" Jing Wu kembali maju dan menapaki iblis itu namun hasilnya sama saja nihil. "Ahahahaha," tawa iblis itu, "tadi malam kau bahkan lebih jago dari sekarang!" hinanya, "kau tahu, Bocah, aku bisa mengajarkanmu bagaimana menggunakan jurus saat bertarung." Sejenak Jing Wu tertarik tapi tidak, ia masih ingat bagaimana Yang Zhao memperingatinya untuk jangan sampai bertemu dengan iblis manapun. "Maaf, Paman!" seru Jing Wu, "aku ini tidak bodoh! Kau bisa saja memakanku jika aku tertipu olehmu!" Iblis itu tertawa. "Bocah, kalau aku mau memakanmu, sudah kulakukan dari tadi atau semalam!" Jing Wu mundur selangkah, kali ini ia mati kutu. Apakah ia harus lari dan berteriak minta tolong, berharap paman atau bibinya menolongnya? Kalau pun ia ditolong, Yang Zhao maupun Shu Zuu pasti akan menanyainya mengapa ia ada di tengah hujan. "Kenapa? Kau mau lari? Lari saja! Tapi kalau kau tertarik belajar jurus bertarung, aku bisa mengajarimu." Jing Wu langsung berlari kencang meninggalkan iblis itu hingga ia sampai ke rumah Yang Zhao. Di halaman rumah ada Shu Zuu seperti sedang menunggu kepulangan Jing Wu. "Kau dari mana saja?" tanya Shu Zuu tegas. "A-aku ...." Melihat kondisi Jing Wu yang tampaknya baik-baik saja membuat Shu Zuu lega, setidaknya anak itu tidak berkelahi dengan anak lainnya. *** "Jing Wu bodoh!" teriak Yang Zi, ia kini berdiri di hadapan Jing Wu bersama teman-temannya. "Kau cari muka lagi di depan guru, huh!" "Kenapa memangnya? Jangan salahkan aku kalau aku pintar dan disukai guru!" "Dasar banyak tingkah!" Yang Zi ingin meraih baju Jing Wu namun Jing Wu mencoba menghindar. Sayangnya, teman-teman Yang Zi membantu Yang Zi dan mendorong Jing Wu ke hadapan Yang Zi. "Hajar saja anak itu!" teriak anak lainnya. "Huh, Jing Wu, kau ini cuma anak yatim piatu, anak sampah yang dipungut oleh orang tuaku!" "Tutup mulutmu!" "Kau tahu kenapa kau dipungut oleh orang tuaku? Itu karena ayahmu adalah pembunuh!" "Bohong!" sergah Jing Wu. Jing Wu marah dan gelap mata, ia mengeluarkan tenaga dalamnya dan menapaki dada Yang Zi sehingga Yang Zi terpental jauh ke belakang. Anak-anak yang lain kaget bukan main, begitu pun dengan Jing Wu, apalagi Yang Zi mengeluarkan darah di mulutnya saat anak itu mencoba bangun. Jing Wu bingung saat semua anak berlari melihat kondisi Yang Zi. Saking paniknya, ia pun berlari jauh hingga masuk ke hutan.Napas Jing Wu terdengar tersengal-sengal, entah sudah sejauh mana ia berlari yang pasti ia sudah tak ingat jalan pulang lagi. Langit sudah mulai gelap dan hutan cukup mengerikan untuk anak seumur Jing Wu.Jing Wu berjongkok di bawah pohon. Perutnya mulai lapar dan ia pun menangis menyesali perbuatannya yang telah melukai Yang Zi, anak dari Yang Zhao."Bagaimana kalau Paman Yang dan Bibi Shu tidak memaafkanku?" gumam Jing Wu gamang.Ia mengingat kembali apa yang Yang Zi ucapkan, benarkan ayahnya seorang pembunuh? Tiba-tiba terdengar suara tawa iblis di atas pohon.Jing Wu langsung berdiri dan melihat sang iblis. Anak itu panik karena ia tersesat dan sudah pasti tak akan ada orang yang bisa menolongnya. Iblis itu loncat dan kini berdiri di hadapan Jing Wu.Jing Wu menyeka air matanya sebelum memasang kuda-kuda perlawanan."Ku akui, kau benar-benar pemberani, Bocah!" puji iblis itu. "Tapi, anak laki-laki tidak seharusnya menangis!" Iblis itu tampak tertawa mengejek ke arah Jing Wu.Jing
Delapan tahun lebih telah berlalu dan kini Jing Wu sudah beranjak remaja, selama itu pula Jing Wu belajar jurus-jurus dari para iblis. Begitu pula dengan Yang Zi, ia kini menguasai level empat tapak penghancur.Yang Zi memperlihatkan jurus tapak penghancurnya di hadapan Yang Zhao, ayahnya. Ia tampak puas dengan hasilnya begitu pun dengan ibunya, Shu Zuu.Sementara Yang Zhao tampak kurang senang melihat perkembangan putranya yang sebenarnya tidak begitu cepat karena ini sudah delapan tahun berlalu. Bukan hanya itu, Yang Zi juga memiliki attitude yang arogan dan cepat puas dengan pencapaiannya.Yang Zhao kembali masuk ke dalam kamar, ia merenung, memikirkan bagaimana nasib Jing Wu saat ini. Pria itu bahkan tampak kurus karena merasa bersalah tak bisa mendidik Jing Wu dengan benar sehingga anak itu melukai Yang Zi.Shu Zuu masuk ke kamar, ia prihatin melihat kegundahan Yang Zhao. "Kau tidak perlu merasa bersalah," kata Shu Zuu berusaha menghibur Yang Zhao."Bagaimana aku tidak merasa ber
"Tapi ... aku belum siap, Paman," sahut Jing Wu agak panik. "Siap atau belum, kau harus keluar dari sini," kata Kanibal, "kurasa kau sudah banyak mempelajari jurus iblis dan kau bisa dengan cepat menguasainya, hanya saja itu tidak cukup!" Jing Wu terdiam. "Jika kau ingin menjadi orang yang hebat, kau harus keluar dan hadapi dunia, bertemu dengan orang-orang hebat dan belajar jurus-jurus hebat seperti tapak penghancur milik Yang Zhao." "Di mana aku bisa mempelajari jurus-jurus hebat sementara aku yakin Paman Yang tidak akan menerimaku lagi?" "Jing Wu, orang hebat di dunia ini bukan hanya Yang Zhao," kata Kanibal, "kau pasti pernah mendengar si Tangan Baja dari Tangan Beracun kan?" "Ya, dia adalah biksu di kuil utara." "Benar, kau bisa menemuinya dan banyak belajar jurus-jurus hebat darinya selain belajar meramu penawar Racun Gaib." Jing Wu menyimak dengan seksama ucapan Kanibal. "Selain jurus tapak penghancur, ada beberapa jurus hebat lainnya. Tapi, kau harus tahu Jing Wu, jur
"Hajar dia!" perintah pria paruh baya itu pada ketiga pria bertubuh besar. Salah satu pria itu pun maju menyerang Jing Wu namun Jing dengan gesit mampu menghindari serangan. Pria itu pun malah menambrak pohon besar. Kali ini satu pria maju dan hendak menyergap Jing Wu, tapi lagi-lagi Jing Wu mampu menghindari serangan pria itu. "Hehehe, anak muda kau mungkin bisa menghindari serangan kedua temanku tapi kau tidak mungkin menghindari serangan pisau bisa kobraku ini." "Itu beracun?" tanya Jing Wu. Pria itu tidak menjawab Jing Wu, namun ia tiba-tiba maju dengan gerakan yang gesit. Jing Wu menghindari setiap serangan pria itu dan tiba-tiba ia menotok pergelangan tangan pria itu sehingga menjadi kaku dan pisau itu pun jatuh. Jing Wu lalu berbalik menatap pria paruh baya itu. "Kau mau juga?" pria itu tampak ketakutan lalu ia berbalik dan berlari terbirit-birit. Jing Wu lalu meninggalkan ketiga pria itu dan sampai ke suatu pondok, ia istirahat sebentar, memakan bakpao yang ia beli di ko
Entah sudah berapa lama Jing Wu terbaring, pria itu akhirnya sadar. Saat ia membuka matanya, pandangannya agak kabur karena masih brradaptasi. Namun, perlahan penglihatannya makin jelas dan ia berada di suatu ruangan, di atas futon sederhana. Tiba-tiba Jing Wu merasa nyeri di bagian dadanya. Ia kemudian mengingat kejadian ia diserang seorang pria bertubuh kekar di halaman kuil. Jing Wu meraba dadanya, memang masih nyeri tapi rasa sakitnya berkurang drastis, seperti ada yang telah menyalurkan tenaga dalam yang dahsyat di tubuhnya. "Kau sudah siuman?" Jing Wu langsung menoleh ke arah pintu dan kakek pemabuk bersuara cempreng itu berdiri di sana. Jing Wu hendak bangkit dari futon namun dadanya lebih terasa nyeri saat ia bangun. "Hati-hati anak muda, lukamu belum sembuh betul!" kata kakek itu. "Pria itu ...," ucap Jing Wu dengan bibir bergetar, "siapa dia?" tanyanya, "dia mencari Guru Han." "Hadeuh ... anak itu memang keras kepala," kata sang kakek, "padahal aku sudah lama mengusir
Guru Han memandang prihatin dengan luka di punggung Jing Wu. Jika saja Jing Wu telat bergerak sedikit saja, mungkin punggungnya habis tercabik habis oleh beruang itu. Guru Han terus menyalurkan tenaga dalamnya hingga luka itu terasa lebih mendingan. Tapi, sepertinya Jing Wu mulai demam. "Xiao Wu, kau perlu istirahat malam ini!" kata guru Han, "besok kita mulai latihan jurus satu jari!" Jing Wu yang mendengar ucapan terakhir guru Han langsung terkejut. "Besok, kita bela- aduh ...." Saking semangatnya, Jing Wu sampai lupa akan lukanya. "Jangan terlalu banyak bergerak! Lukamu belum sembuh betul." Jing Wu tampak amat senang. "Baik, Guru!" Guru Han tersenyum tipis sebelum keluar dari kamar Jing Wu. *** Pagi-pagi buta, Jing Wu bangun dan ia langsung membereskan semuanya. Ia mencuci piring dan baju kotor serta membersihkan kuil dan halamannya. Dengan semangat ia lalu mendatangi guru Han yang tampak sedang bermeditasi di dalam kuil. "Guru, ayo kita latihan jurus satu jari!" Jing Wu
Jing Wu langsung memasang kuda-kuda saat beruang itu meraung begitu melihat Jing Wu. Dan Alangkah terkejutnya Jing Wu saat beruang itu bergerak cepat menyerangnya. Segera Jing Wu menghindar dengan jurus gerakan angin. Jing Wu teringat, ia harus mencoba jurus satu jari ke beruang itu. Beruang itu meraung lalu ia maju menyerang Jing Wu. Jing Wu meloncat melewati beruang, berpindah ke belakang beruang itu dan menyentuhkan ujung jarinya ke punggung sang beruang. Beruang pun terpental jauh dan kesadarannya hilang. Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari arah pohon. Jing Wu menoleh dan itu adalah guru Han. "Guru, aku bisa menguasai jurus satu jari!" seru Jing Wu. Guru Han lalu berloncat dan mendarat tepat di hadapan Jing Wu. "Jing Wu, aku memberimu selamat karena kau telah menguasai jurus satu jari, tapi ... kau belajar dari siapa jurus gerakan angin itu?" Jing Wu terdiam, tak bisa berkata apa-apa. "Apa kau ini murid dari iblis?" tanya guru Han serius. *** "Jadi, selama
"Maaf, Jing Wu. Aku tidak bisa mengajarimu jurus tapak penghancur," kata guru Han saat Jing Wu memohon kepadanya untuk belajar jurus tapak penghancur padanya. "Kenapa, Guru?" Guru Han menghela napas. "Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menggunakan jurus itu. Jika kau mau belajar jurus itu, kau bisa mencari Yang Zhao atau biksu terkenal dari kuil langit bernama Dharma." "Dharma?" "Ya, Dharma menguasai level sembilan tapak penghancur tapi lebih baik kau tidak bertemu dengannya karena dia tidak akan membiarkanmu menguasai jurus itu." "Kenapa begitu, Guru?" "Baiklah, akan aku ceritakan. Dharma dan Yang Zhao, keduanya adalah murid dari kuil langit. Sayangnya, karena perbedaan pandangan mereka menjadi tidak akur. Terakhir, mereka bertarung begitu dahsyat, Yang Zhao sampai melepas level sepuluh tapak penghancur miliknya dan menyebabkan kekalahan pada kuil langit. Walaupun Dharma maupun Yang Zhao selamat saat pertarungan itu namun mereka tak pernah lagi bertemu. Da
Keluar kalian! Kedua orang berjubah hitam muncul di depan Jing Wu dan Ming Yue. Ming Yue terkejut karena ia tak pernah melihat kedua pendekar itu sebelumnya. Salah satunya memiliki kulit pucat dan tampak tak bersemangat, sementara yang satunya lagi memegang kipas kertas di tangannya. Jing Wu tampak serius, terutama karena Ming Yue berada di sampingnya dan harus ia lindungi. "Siapa kalian?" tanya Jing Wu lantang. Pria yang memegang kipas itu terkekeh. "Julukanku adalah Kipas Kematian, dan temanku ini disebut Si Mayat Hidup." Jing Wu mengernyit. Jubah yang mereka kenakan tampak familiar. Sama dengan yang dikenakan oleh Zhang Zui dan Bataar saat pertama kali ia bertemu mereka. Apakah mereka berasal dari organisasi yang sama? Tiba-tiba, Kipas Kematian mengayunkan kipasnya ke arah Jing Wu, dan seketika hembusan angin yang sangat kuat menyerang Jing Wu dan Ming Yue. Beruntung, Jing Wu gesit. Ia segera melindungi Ming Yue dan menciptakan perisai angin yang lebih kuat. "Huh, ternyata go
Ming Yue!” teriak Jing Wu begitu melihat gadis itu duduk di ranjangnya, mengayun-ayunkan kakinya dengan santai. “Kenapa kau ada di sini?!” Ming Yue menatapnya dengan senyum penuh arti. “Ya... kenapa ya...?” sahutnya dengan nada menggoda. Jing Wu mengerutkan kening, masih belum percaya dengan pemandangan di depannya. “Kemarin bukannya seharusnya kau menikah? Lalu kenapa kau malah ada di sini?!” Wajah Ming Yue seketika cemberut. “Siapa juga yang mau menikah?” jawabnya kesal. “Tapi... bagaimana dengan calon suamimu itu? Kau meninggalkannya saat upacara pernikahan kalian. Dia pasti kecewa,” lanjut Jing Wu dengan nada lebih pelan. Ming Yue mengebaskan tangannya seolah mengusir masalah itu jauh-jauh. “Ah! Siapa yang peduli?” Jing Wu menghela napas panjang. “Apa?!” “Sudah ah, aku mau tidur dulu,” kata Ming Yue sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang, tampak tak peduli dengan kegelisahan yang ditimbulkannya. “Tunggu, itu ranjangku!” protes Jing Wu. “Sekarang sudah jadi ranjang
Jing Wu duduk di sebuah kursi kayu di dalam kamar Ming Yue, sementara Ming Yue duduk di tepi ranjangnya. Lampu minyak di atas meja kecil menerangi ruangan dengan cahaya temaram. Wajah Ming Yue tampak cerah saat mendengarkan kisah perjalanan Jing Wu yang telah berkelana bersama para Pertapa Shan."Jadi, kau benar-benar hidup bersama mereka di pegunungan?" tanya Ming Yue dengan mata berbinar. "Aku selalu penasaran seperti apa kehidupan mereka."Jing Wu tersenyum. "Ya, kehidupan di sana tenang, tapi tidak mudah. Setiap hari ada latihan, dan banyak peraturan yang harus ditaati. Namun, aku belajar banyak hal, termasuk teknik bertarung dan cara memahami dunia dengan lebih luas.""Lalu bagaimana dengan turnamen di Perguruan Teratai Putih? Aku mendengar berita tentang itu, tapi kedua kakakku tidak ada yang tertarik mengikutinya," ujar Ming Yue sambil menghela napas.Jing Wu mengangguk. "Turnamen itu cukup sengit. Banyak pendekar hebat yang datang dari berbagai perguruan. Aku bahkan hampir tid
Jing Wu dan Yang Zhao berdiri di sudut perguruan Teratai Putih. Malam sudah larut, hanya cahaya lentera yang menggantung di beberapa sudut yang menerangi halaman luas perguruan. Jing Wu menatap tajam ke arah Yang Zhao. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, dan ia tak ingin menunda lebih lama."Paman," ucapnya dengan suara dalam. "Aku ingin bertanya sesuatu. Sebenarnya, apa yang terjadi pada mendiang ayahku dahulu?"Yang Zhao terdiam. Ia menatap wajah pemuda itu, mengingat sosok sahabat lamanya dalam dirinya. Napasnya terasa berat saat ia harus membuka luka lama yang selama ini berusaha ia kubur."Kenapa kau ingin tahu?" tanyanya pelan."Aku selalu mendengar bisik-bisik tentang ayahku, tetapi tak seorang pun mau bercerita dengan jelas. Aku ingin tahu yang sebenarnya."Yang Zhao menarik napas panjang. "Baiklah, jika kau ingin mendengar kenyataan, aku akan mengatakannya." Matanya menerawang ke masa lalu. "Jing Huei, ayahmu, dan aku dahulu adalah sahabat. Kami bertemu ketika aku bela
"Astaga! Tuan Zheng Shen!" seru seorang tabib. Salah satu murid perempuan bahkan menutup mulutnya, ngeri melihat banyaknya darah yang dimuntahkan. Namun Jing Wu tetap tidak melepaskan tangannya. Ia menggertakkan giginya, menahan sakit yang mulai terasa di tubuhnya sendiri. "Aku belum selesai!" serunya. Liang Fu hendak menghentikannya, tapi tatapan Jing Wu yang penuh tekad membuatnya mengurungkan niat. Perlahan, Jing Wu menyalurkan lebih banyak tenaga dalamnya. Cahaya biru di tangannya semakin terang, berdenyut seperti api yang menyala-nyala. Zheng Shen kembali mengerang, tapi kali ini, urat-urat hitam di lehernya mulai memudar. Racun yang tadinya menyebar di sekujur tubuhnya perlahan surut. Namun, di sisi lain, tubuh Jing Wu mulai bergetar. Keringat bercucuran di dahinya, dan napasnya mulai berat. "Jing Wu!" panggil Liang Fu, khawatir. "Kau harus berhenti! Jika tidak, kau sendiri bisa mati!" Jing Wu terdiam beberapa saat. Ia tahu batasannya, tapi jika ia berhenti sek
Di sisi lain, masih di arena turnamen. "Mei Ying... sebaiknya kamu menyerah saja?" suara Zheng Shen parau. Mei Ying menyeringai, matanya berkilat penuh kebencian. "Menyerah? Aku sudah menunggu momen ini bertahun-tahun, Zheng Shen. Hari ini, kau akan mati di tanganku!" Tiba-tiba, kepala Mei Ying bergerak seperti ular, mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan taring yang beracun. Dalam sekejap, ia menerkam leher Zheng Shen dan menggigitnya dengan kecepatan mengerikan. "Aaaargh!" Zheng Shen menjerit kesakitan. Liang Fu, yang berdiri tak jauh, segera membaca mantra. Dari lantai arena, dahan pohon yang kuat mencuat ke atas, menembus lantai beton dengan kekuatan besar. Dahan itu menyambar kepala Mei Ying dan mendorongnya menjauh. Kepala Mei Ying yang semula menjulur seperti ular kembali ke posisi semula dengan cepat, seakan-akan ditarik oleh kekuatan tak kasatmata. Zheng Shen terengah-engah, tangannya masih menekan luka di lehernya. Wajahnya pucat pasi karena racun mulai menyebar d
Bab X: Rahasia yang Terungkap Mei Ying mempererat lilitan kain di lengan Zheng Shen dengan tenaga dalamnya, membuat pria itu merasakan tekanan luar biasa di lengannya. Wajah Zheng Shen sedikit menegang, tetapi alih-alih panik, ia justru tersenyum tipis. Dengan tangan kirinya yang bebas, ia membentuk api berbentuk pisau dan menebaskannya ke arah kain yang melilitnya. Api itu membakar dan memutus kain dalam sekejap, membebaskan lengannya dari cengkeraman Mei Ying. Mei Ying terkekeh. Namun, suara tawa itu terdengar aneh—berlapis, seperti suara seorang pria yang berbicara melalui tubuh seorang wanita. "Benar-benar hebat," ujar Mei Ying, suaranya berubah lebih berat dan garang. "Tidak heran kau menjadi ketua Perguruan Teratai Putih." Zheng Shen mendecih, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Jadi kau ternyata pria, dasar keparat!" Seketika, dari kegelapan muncul Zhang Zui, seorang pendekar kejam yang dikenal karena kebrutalannya. Ia memandang Zheng Shen dan berkata dengan nada san
Turnamen pendekar yang berlangsung di perguruan Teratai Putih mencapai puncaknya. Para pendekar terbaik dari berbagai aliran telah menunjukkan kemampuan mereka, dan suasana semakin memanas. Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Shu Zuu yang duduk di bangku penonton menoleh ke arah seorang wanita bercadar rumbai yang sejak tadi duduk dengan tenang di antara penonton. Tapi kini, sosok itu telah lenyap. “Di mana Mei Ying?” tanya Shu Zuu, suaranya penuh kewaspadaan. Yang Zhao yang berada di sampingnya ikut menoleh. Benar saja, kursi yang sebelumnya diduduki Mei Ying kini kosong. Namun sebelum mereka bisa mencerna apa yang sedang terjadi, tiba-tiba pandangan Yang Zhao mulai berputar-putar. Kepalanya terasa berat, dan seolah-olah seluruh dunia berputar dalam pusaran yang tak terlihat. “Argh…!” Yang Zhao tersungkur ke tanah. Shu Zuu segera menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasakan hawa aneh yang menyebar di sekelilingnya, seperti kabut tipis yang tak terlihat. Lalu, ta
Jing Wu berlari secepat mungkin menuju ruang perawatan di perguruan Teratai Putih. Napasnya tersengal, dadanya naik turun, dan keringat mulai mengalir di pelipisnya. Ia baru saja mendengar kabar bahwa Dong Hai terluka parah dalam pertandingan sebelumnya. Saat tiba di ruangan itu, matanya langsung tertuju pada sosok Dong Hai yang terbaring lemah di atas dipan kayu. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, dan tubuhnya tampak kehabisan tenaga. Di sisinya, Shu Zuu duduk bersimpuh dengan satu tangan menempel di dada Dong Hai, menyalurkan tenaga dalamnya dengan penuh konsentrasi. Cahaya lembut mengalir dari telapak tangannya, menyelimuti tubuh pemuda itu. Setelah beberapa saat, Shu Zuu menarik tangannya dan menghela napas panjang. Ia menyeka keringat di dahinya dengan lengan bajunya. “Bibi Zuu, apakah Dong Hai baik-baik saja?” tanya Jing Wu dengan nada penuh kekhawatiran. Shu Zuu menatapnya sejenak sebelum menjawab dengan raut wajah serius, “Kondisi Dong Hai benar-benar serius. Ia mengalami