"Ahahaha!" Tawa para anak-anak itu menggema saat mereka memborongi seorang anak laki-laki tampan yang tak berdaya.
"Dasar Jing Wu bodoh!" seru salah satu anak di sana, "ini akibatnya kau terus mencari muka ke guru! Apa kau berani melapor ke pamanmu yang pendekar hebat itu?" Jing Wu hanya bisa pasrah. Dia bukan anak bodoh yang harus melakukan perlawanan sia-sia. Dipukul oleh teman-temannya sudah menjadi makanan sehari-harinya. Setelah kejadian itu, Jing Wu pulang ke rumah paman dan bibinya. "Bibi Zuu!" panggilnya sambil mengetuk pintu agak keras. Tidak lama kemudian wanita cantik bernama Shu Zuu itu membuka pintu dan alangkah kagetnya ia melihat Jing Wu dalam keadaan babak belur. "Apa kau habis berkelahi lagi?" tanya Shu Zuu agak keras. Jing Wu langsung masuk tanpa merespon bibi Zuu, ia sudah terbiasa pulang dalam keadaan babak belur namun ia malah dituduh berkelahi. "Xiao Jing Wu, jawab Bibi!" "Ada apa ini?" Suara bariton pria milik Yang Zhao tiba-tiba muncul. Jing Wu tampak kesal, dalam hati ia menyalahkan pamannya yang seorang pendekar yang terkenal sebagai pendekar terkuat itu malah sama sekali tak pernah mengajarkannya ilmu bela diri. Yang Zhao lalu menoleh ke arah istrinya. "Kenapa anak itu?" "Biasalah ... anak itu pasti berkelahi lagi," kata Shu Zuu. Jing Wu langsung masuk ke kamarnya, meletakkan tas kainnya ke sembarang tempat dan berbaring santai. Tidak lama kemudian Yang Zhao masuk ke kamar Jing Wu. "Xiao Wu, apa kau tadi berkelahi dengan temanmu?" "Kenapa Paman bisa bilang begitu?" balas Jing Wu. "Luka-lukamu itu!" "Itu karena Paman tak mau mengajarku jurus satu pun!" teriak Jing Wu, "aku harus menerima pukulan dari teman-temanku!" Yang Zhao terhenyak, tak menyangka ternyata keponakannya itu adalah korban kekerasan. "Siapa yang melakukan ini ke kamu, Nak?" "Kenapa? Paman mau protes ke sekolahku?" Jing Wu tampak sinis, "percuma!" Yang Zhao terdiam. Dalam hati ia meminta maaf ke keponakannya itu. Ia pun keluar dari kamar Jing Wu. "Jangan merasa bersalah, kelak dia besar, dia akan mengerti maksudmu," kata Shu Zuu, "besok aku akan ke sekolah dan bicara dengan gurunya." Yang Zhao menghela napas lega. Benar kata istrinya, apalagi sifat Jing Wu yang keras kepala tak berbeda jauh dengan ayahnya, akan lebih baik jika ia hidup sebagai orang biasa. Dan sore itu, Jing Wu hanya bisa melihat Yang Zi, sepupunya belajar ilmu bela diri bersama ayahnya. Jing Wu hanya bisa memperhatikan dari kejauhan bagaimana Yang Zi mencoba mengikuti gerakan ayahnya. "Bukan begitu!" seru Jing Wu ketika melihat gerakan Yang Zi yang terus-terusan salah. Jing Wu bangkit dari duduknya lalu ia menghampiri Yang Zi dan Yang Zhao. "Kau harus memperkuat kuda-kudamu dulu, memusatkan tenaga di tapak tanganmu lalu ...." Jing Wu menapaki dahan pohon hingga pohon itu bergetar. Yang Zhao kaget bukan main, dalam hati ia merasa senang karena ponakannya itu begitu cerdas memahami jurus tapak penghancur tingkat dasar. "Dari mana kau mempelajarinya?" Yang Zhao tampak takjub memandang Jing Wu. "Aku hanya memperhatikan dan melihat bagaimana paman melakukannya." "Xiao Jing Wu!" Terdengar teriakan bibi Zuu hingga mereka bertiga terkejut. "Masuk dan kerjakan pekerjaan rumahmu!" perintahnya. Jing Wu langsung murung dan mau tak mau ia harus mengikuti perintah bibinya dan masuk dalam rumah. "Aku lihat Jing Wu berbakat dalam bela diri," kata Yang Zhou pada istrinya. "Ingat bagaimana dulu Jing Huei, kau mengajarkannya ilmu bela diri dan dia malah mengkhianatimu." "Kurasa ... Jing Wu tidak akan melakukan itu ...." "Iya, jika kita mendidiknya dengan cara yang beda. Yang Zhou ... percayalah padaku ... dia anak yang cerdas dan kurasa dia bisa menjadi saudagar kelak daripada berurusan dengan dunia bela diri." Jing Wu yang mendengar pembicaraan paman Yang dan Bibi Shu secara diam-diam terkejut. Jadi, selama ini ... itu alasan mereka melarang Jing Wu Mempelajari ilmu bela diri. Jing Wu merasa kecewa, ia tak tahu apa yang sudah terjadi pada orang tuanya hingga paman dan bibinya begitu takut ia mempelajari ilmu bela diri. Malam itu Jing Wu terbangun karena ia ingin buang air kecil. "Xiao Zi, cepat! Aku mau kencing!" teriak Jing Wu di depan pintu WC tapi Xiao Zi tak mau mengalah, ia malah sengaja berlama-lama berada di WC. Jing Wu kesal, ia lalu keluar rumah dan buang air kecil di depan pohon. Ia pun menguap karena mengantuk. Setelah itu ia menoleh dan berjalan terhuyung-huyung. "Aduh!" Tiba-tiba ia menambrak sesuatu yang besar namun tak sekeras pohon. Ia menengadahkan kepalanya dan alangkah kagetnya Jing Wu melihat orang setinggi dan sebesar itu. Pria itu menoleh ke arah Jing Wu, tampak matanya merah dan terlihat kejam. "Sedang apa bocah sepertimu ada di sini malam-malam?" Jing Wu yang ketakutan berniat lari namun orang itu malah menarik belakang baju Jing Wu. "Bocah ... sepertinya kau enak dimakan!" kata pria itu sambil terkikik. "Tolong!" jerit Jing Wu. "Ahahaha! Kau tampak bersih dan gagah, kau pasti enak!" Paham akan kondisinya, Jing Wu langsung memusatkan tenaga dalamnya ke telapak tangannya kemudian ia menoleh ke arah orang itu dan menapaki lengan pria itu. Pria itu pun terpental karena merasa sakit di tulang lengannya. "Huh, jurus tapak penghancur. Bocah ... kau lumayan juga!"Pria besar bermata merah itu memandang Jing Wu yang memasang kuda-kuda sambil melemparkan tatapannya yang begitu berani tanpa ada rasa takut sama sekali. Pria itu mengedipkan matanya sekali, Jing Wu menguatkan kuda-kudanya, bersiap untuk membalas jika pria itu menyerangnya. "Buahahahaha!" Tiba-tiba tawa pria itu meledak terpingkal-pingkal yang membuat Jing Wu keheranan. "Bocah ini beraninya mau melawan salah satu iblis terkuat di jagat ini!" ucap iblis itu sambil tertawa. "Huh, jangan anggap remeh aku, Paman!" cecar Jing Wu, "lihat ini!" Jing Wu maju dan menendang iblis itu namun sang iblis makin terpingkal-pingkal karena baginya tendangan anak itu tak berasa sama sekali. "Sudah sudah, aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan bocah sepertimu." Akhirnya, iblis itu bisa menguasai dirinya. "Hm ... bagaimana kalau kau jadi santapanku saja?" mata Iblis itu menyala dan terlihat amat mengerikan. Jing Wu menggertakkan giginya, ia tahu bahwa Iblis di depannya itu tak main-main. Tapi
Napas Jing Wu terdengar tersengal-sengal, entah sudah sejauh mana ia berlari yang pasti ia sudah tak ingat jalan pulang lagi. Langit sudah mulai gelap dan hutan cukup mengerikan untuk anak seumur Jing Wu.Jing Wu berjongkok di bawah pohon. Perutnya mulai lapar dan ia pun menangis menyesali perbuatannya yang telah melukai Yang Zi, anak dari Yang Zhao."Bagaimana kalau Paman Yang dan Bibi Shu tidak memaafkanku?" gumam Jing Wu gamang.Ia mengingat kembali apa yang Yang Zi ucapkan, benarkan ayahnya seorang pembunuh? Tiba-tiba terdengar suara tawa iblis di atas pohon.Jing Wu langsung berdiri dan melihat sang iblis. Anak itu panik karena ia tersesat dan sudah pasti tak akan ada orang yang bisa menolongnya. Iblis itu loncat dan kini berdiri di hadapan Jing Wu.Jing Wu menyeka air matanya sebelum memasang kuda-kuda perlawanan."Ku akui, kau benar-benar pemberani, Bocah!" puji iblis itu. "Tapi, anak laki-laki tidak seharusnya menangis!" Iblis itu tampak tertawa mengejek ke arah Jing Wu.Jing
Delapan tahun lebih telah berlalu dan kini Jing Wu sudah beranjak remaja, selama itu pula Jing Wu belajar jurus-jurus dari para iblis. Begitu pula dengan Yang Zi, ia kini menguasai level empat tapak penghancur.Yang Zi memperlihatkan jurus tapak penghancurnya di hadapan Yang Zhao, ayahnya. Ia tampak puas dengan hasilnya begitu pun dengan ibunya, Shu Zuu.Sementara Yang Zhao tampak kurang senang melihat perkembangan putranya yang sebenarnya tidak begitu cepat karena ini sudah delapan tahun berlalu. Bukan hanya itu, Yang Zi juga memiliki attitude yang arogan dan cepat puas dengan pencapaiannya.Yang Zhao kembali masuk ke dalam kamar, ia merenung, memikirkan bagaimana nasib Jing Wu saat ini. Pria itu bahkan tampak kurus karena merasa bersalah tak bisa mendidik Jing Wu dengan benar sehingga anak itu melukai Yang Zi.Shu Zuu masuk ke kamar, ia prihatin melihat kegundahan Yang Zhao. "Kau tidak perlu merasa bersalah," kata Shu Zuu berusaha menghibur Yang Zhao."Bagaimana aku tidak merasa ber
"Tapi ... aku belum siap, Paman," sahut Jing Wu agak panik. "Siap atau belum, kau harus keluar dari sini," kata Kanibal, "kurasa kau sudah banyak mempelajari jurus iblis dan kau bisa dengan cepat menguasainya, hanya saja itu tidak cukup!" Jing Wu terdiam. "Jika kau ingin menjadi orang yang hebat, kau harus keluar dan hadapi dunia, bertemu dengan orang-orang hebat dan belajar jurus-jurus hebat seperti tapak penghancur milik Yang Zhao." "Di mana aku bisa mempelajari jurus-jurus hebat sementara aku yakin Paman Yang tidak akan menerimaku lagi?" "Jing Wu, orang hebat di dunia ini bukan hanya Yang Zhao," kata Kanibal, "kau pasti pernah mendengar si Tangan Baja dari Tangan Beracun kan?" "Ya, dia adalah biksu di kuil utara." "Benar, kau bisa menemuinya dan banyak belajar jurus-jurus hebat darinya selain belajar meramu penawar Racun Gaib." Jing Wu menyimak dengan seksama ucapan Kanibal. "Selain jurus tapak penghancur, ada beberapa jurus hebat lainnya. Tapi, kau harus tahu Jing Wu, jur
"Hajar dia!" perintah pria paruh baya itu pada ketiga pria bertubuh besar. Salah satu pria itu pun maju menyerang Jing Wu namun Jing dengan gesit mampu menghindari serangan. Pria itu pun malah menambrak pohon besar. Kali ini satu pria maju dan hendak menyergap Jing Wu, tapi lagi-lagi Jing Wu mampu menghindari serangan pria itu. "Hehehe, anak muda kau mungkin bisa menghindari serangan kedua temanku tapi kau tidak mungkin menghindari serangan pisau bisa kobraku ini." "Itu beracun?" tanya Jing Wu. Pria itu tidak menjawab Jing Wu, namun ia tiba-tiba maju dengan gerakan yang gesit. Jing Wu menghindari setiap serangan pria itu dan tiba-tiba ia menotok pergelangan tangan pria itu sehingga menjadi kaku dan pisau itu pun jatuh. Jing Wu lalu berbalik menatap pria paruh baya itu. "Kau mau juga?" pria itu tampak ketakutan lalu ia berbalik dan berlari terbirit-birit. Jing Wu lalu meninggalkan ketiga pria itu dan sampai ke suatu pondok, ia istirahat sebentar, memakan bakpao yang ia beli di ko
Entah sudah berapa lama Jing Wu terbaring, pria itu akhirnya sadar. Saat ia membuka matanya, pandangannya agak kabur karena masih brradaptasi. Namun, perlahan penglihatannya makin jelas dan ia berada di suatu ruangan, di atas futon sederhana. Tiba-tiba Jing Wu merasa nyeri di bagian dadanya. Ia kemudian mengingat kejadian ia diserang seorang pria bertubuh kekar di halaman kuil. Jing Wu meraba dadanya, memang masih nyeri tapi rasa sakitnya berkurang drastis, seperti ada yang telah menyalurkan tenaga dalam yang dahsyat di tubuhnya. "Kau sudah siuman?" Jing Wu langsung menoleh ke arah pintu dan kakek pemabuk bersuara cempreng itu berdiri di sana. Jing Wu hendak bangkit dari futon namun dadanya lebih terasa nyeri saat ia bangun. "Hati-hati anak muda, lukamu belum sembuh betul!" kata kakek itu. "Pria itu ...," ucap Jing Wu dengan bibir bergetar, "siapa dia?" tanyanya, "dia mencari Guru Han." "Hadeuh ... anak itu memang keras kepala," kata sang kakek, "padahal aku sudah lama mengusir
Guru Han memandang prihatin dengan luka di punggung Jing Wu. Jika saja Jing Wu telat bergerak sedikit saja, mungkin punggungnya habis tercabik habis oleh beruang itu. Guru Han terus menyalurkan tenaga dalamnya hingga luka itu terasa lebih mendingan. Tapi, sepertinya Jing Wu mulai demam. "Xiao Wu, kau perlu istirahat malam ini!" kata guru Han, "besok kita mulai latihan jurus satu jari!" Jing Wu yang mendengar ucapan terakhir guru Han langsung terkejut. "Besok, kita bela- aduh ...." Saking semangatnya, Jing Wu sampai lupa akan lukanya. "Jangan terlalu banyak bergerak! Lukamu belum sembuh betul." Jing Wu tampak amat senang. "Baik, Guru!" Guru Han tersenyum tipis sebelum keluar dari kamar Jing Wu. *** Pagi-pagi buta, Jing Wu bangun dan ia langsung membereskan semuanya. Ia mencuci piring dan baju kotor serta membersihkan kuil dan halamannya. Dengan semangat ia lalu mendatangi guru Han yang tampak sedang bermeditasi di dalam kuil. "Guru, ayo kita latihan jurus satu jari!" Jing Wu
Guru Han memandang prihatin dengan luka di punggung Jing Wu. Jika saja Jing Wu telat bergerak sedikit saja, mungkin punggungnya habis tercabik habis oleh beruang itu. Guru Han terus menyalurkan tenaga dalamnya hingga luka itu terasa lebih mendingan. Tapi, sepertinya Jing Wu mulai demam. "Xiao Wu, kau perlu istirahat malam ini!" kata guru Han, "besok kita mulai latihan jurus satu jari!" Jing Wu yang mendengar ucapan terakhir guru Han langsung terkejut. "Besok, kita bela- aduh ...." Saking semangatnya, Jing Wu sampai lupa akan lukanya. "Jangan terlalu banyak bergerak! Lukamu belum sembuh betul." Jing Wu tampak amat senang. "Baik, Guru!" Guru Han tersenyum tipis sebelum keluar dari kamar Jing Wu. *** Pagi-pagi buta, Jing Wu bangun dan ia langsung membereskan semuanya. Ia mencuci piring dan baju kotor serta membersihkan kuil dan halamannya. Dengan semangat ia lalu mendatangi guru Han yang tampak sedang bermeditasi di dalam kuil. "Guru, ayo kita latihan jurus satu jari!" Jing Wu
Entah sudah berapa lama Jing Wu terbaring, pria itu akhirnya sadar. Saat ia membuka matanya, pandangannya agak kabur karena masih brradaptasi. Namun, perlahan penglihatannya makin jelas dan ia berada di suatu ruangan, di atas futon sederhana. Tiba-tiba Jing Wu merasa nyeri di bagian dadanya. Ia kemudian mengingat kejadian ia diserang seorang pria bertubuh kekar di halaman kuil. Jing Wu meraba dadanya, memang masih nyeri tapi rasa sakitnya berkurang drastis, seperti ada yang telah menyalurkan tenaga dalam yang dahsyat di tubuhnya. "Kau sudah siuman?" Jing Wu langsung menoleh ke arah pintu dan kakek pemabuk bersuara cempreng itu berdiri di sana. Jing Wu hendak bangkit dari futon namun dadanya lebih terasa nyeri saat ia bangun. "Hati-hati anak muda, lukamu belum sembuh betul!" kata kakek itu. "Pria itu ...," ucap Jing Wu dengan bibir bergetar, "siapa dia?" tanyanya, "dia mencari Guru Han." "Hadeuh ... anak itu memang keras kepala," kata sang kakek, "padahal aku sudah lama mengusir
"Hajar dia!" perintah pria paruh baya itu pada ketiga pria bertubuh besar. Salah satu pria itu pun maju menyerang Jing Wu namun Jing dengan gesit mampu menghindari serangan. Pria itu pun malah menambrak pohon besar. Kali ini satu pria maju dan hendak menyergap Jing Wu, tapi lagi-lagi Jing Wu mampu menghindari serangan pria itu. "Hehehe, anak muda kau mungkin bisa menghindari serangan kedua temanku tapi kau tidak mungkin menghindari serangan pisau bisa kobraku ini." "Itu beracun?" tanya Jing Wu. Pria itu tidak menjawab Jing Wu, namun ia tiba-tiba maju dengan gerakan yang gesit. Jing Wu menghindari setiap serangan pria itu dan tiba-tiba ia menotok pergelangan tangan pria itu sehingga menjadi kaku dan pisau itu pun jatuh. Jing Wu lalu berbalik menatap pria paruh baya itu. "Kau mau juga?" pria itu tampak ketakutan lalu ia berbalik dan berlari terbirit-birit. Jing Wu lalu meninggalkan ketiga pria itu dan sampai ke suatu pondok, ia istirahat sebentar, memakan bakpao yang ia beli di ko
"Tapi ... aku belum siap, Paman," sahut Jing Wu agak panik. "Siap atau belum, kau harus keluar dari sini," kata Kanibal, "kurasa kau sudah banyak mempelajari jurus iblis dan kau bisa dengan cepat menguasainya, hanya saja itu tidak cukup!" Jing Wu terdiam. "Jika kau ingin menjadi orang yang hebat, kau harus keluar dan hadapi dunia, bertemu dengan orang-orang hebat dan belajar jurus-jurus hebat seperti tapak penghancur milik Yang Zhao." "Di mana aku bisa mempelajari jurus-jurus hebat sementara aku yakin Paman Yang tidak akan menerimaku lagi?" "Jing Wu, orang hebat di dunia ini bukan hanya Yang Zhao," kata Kanibal, "kau pasti pernah mendengar si Tangan Baja dari Tangan Beracun kan?" "Ya, dia adalah biksu di kuil utara." "Benar, kau bisa menemuinya dan banyak belajar jurus-jurus hebat darinya selain belajar meramu penawar Racun Gaib." Jing Wu menyimak dengan seksama ucapan Kanibal. "Selain jurus tapak penghancur, ada beberapa jurus hebat lainnya. Tapi, kau harus tahu Jing Wu, jur
Delapan tahun lebih telah berlalu dan kini Jing Wu sudah beranjak remaja, selama itu pula Jing Wu belajar jurus-jurus dari para iblis. Begitu pula dengan Yang Zi, ia kini menguasai level empat tapak penghancur.Yang Zi memperlihatkan jurus tapak penghancurnya di hadapan Yang Zhao, ayahnya. Ia tampak puas dengan hasilnya begitu pun dengan ibunya, Shu Zuu.Sementara Yang Zhao tampak kurang senang melihat perkembangan putranya yang sebenarnya tidak begitu cepat karena ini sudah delapan tahun berlalu. Bukan hanya itu, Yang Zi juga memiliki attitude yang arogan dan cepat puas dengan pencapaiannya.Yang Zhao kembali masuk ke dalam kamar, ia merenung, memikirkan bagaimana nasib Jing Wu saat ini. Pria itu bahkan tampak kurus karena merasa bersalah tak bisa mendidik Jing Wu dengan benar sehingga anak itu melukai Yang Zi.Shu Zuu masuk ke kamar, ia prihatin melihat kegundahan Yang Zhao. "Kau tidak perlu merasa bersalah," kata Shu Zuu berusaha menghibur Yang Zhao."Bagaimana aku tidak merasa ber
Napas Jing Wu terdengar tersengal-sengal, entah sudah sejauh mana ia berlari yang pasti ia sudah tak ingat jalan pulang lagi. Langit sudah mulai gelap dan hutan cukup mengerikan untuk anak seumur Jing Wu.Jing Wu berjongkok di bawah pohon. Perutnya mulai lapar dan ia pun menangis menyesali perbuatannya yang telah melukai Yang Zi, anak dari Yang Zhao."Bagaimana kalau Paman Yang dan Bibi Shu tidak memaafkanku?" gumam Jing Wu gamang.Ia mengingat kembali apa yang Yang Zi ucapkan, benarkan ayahnya seorang pembunuh? Tiba-tiba terdengar suara tawa iblis di atas pohon.Jing Wu langsung berdiri dan melihat sang iblis. Anak itu panik karena ia tersesat dan sudah pasti tak akan ada orang yang bisa menolongnya. Iblis itu loncat dan kini berdiri di hadapan Jing Wu.Jing Wu menyeka air matanya sebelum memasang kuda-kuda perlawanan."Ku akui, kau benar-benar pemberani, Bocah!" puji iblis itu. "Tapi, anak laki-laki tidak seharusnya menangis!" Iblis itu tampak tertawa mengejek ke arah Jing Wu.Jing
Pria besar bermata merah itu memandang Jing Wu yang memasang kuda-kuda sambil melemparkan tatapannya yang begitu berani tanpa ada rasa takut sama sekali. Pria itu mengedipkan matanya sekali, Jing Wu menguatkan kuda-kudanya, bersiap untuk membalas jika pria itu menyerangnya. "Buahahahaha!" Tiba-tiba tawa pria itu meledak terpingkal-pingkal yang membuat Jing Wu keheranan. "Bocah ini beraninya mau melawan salah satu iblis terkuat di jagat ini!" ucap iblis itu sambil tertawa. "Huh, jangan anggap remeh aku, Paman!" cecar Jing Wu, "lihat ini!" Jing Wu maju dan menendang iblis itu namun sang iblis makin terpingkal-pingkal karena baginya tendangan anak itu tak berasa sama sekali. "Sudah sudah, aku tidak punya waktu untuk bermain-main dengan bocah sepertimu." Akhirnya, iblis itu bisa menguasai dirinya. "Hm ... bagaimana kalau kau jadi santapanku saja?" mata Iblis itu menyala dan terlihat amat mengerikan. Jing Wu menggertakkan giginya, ia tahu bahwa Iblis di depannya itu tak main-main. Tapi
"Ahahaha!" Tawa para anak-anak itu menggema saat mereka memborongi seorang anak laki-laki tampan yang tak berdaya. "Dasar Jing Wu bodoh!" seru salah satu anak di sana, "ini akibatnya kau terus mencari muka ke guru! Apa kau berani melapor ke pamanmu yang pendekar hebat itu?" Jing Wu hanya bisa pasrah. Dia bukan anak bodoh yang harus melakukan perlawanan sia-sia. Dipukul oleh teman-temannya sudah menjadi makanan sehari-harinya. Setelah kejadian itu, Jing Wu pulang ke rumah paman dan bibinya. "Bibi Zuu!" panggilnya sambil mengetuk pintu agak keras. Tidak lama kemudian wanita cantik bernama Shu Zuu itu membuka pintu dan alangkah kagetnya ia melihat Jing Wu dalam keadaan babak belur. "Apa kau habis berkelahi lagi?" tanya Shu Zuu agak keras. Jing Wu langsung masuk tanpa merespon bibi Zuu, ia sudah terbiasa pulang dalam keadaan babak belur namun ia malah dituduh berkelahi. "Xiao Jing Wu, jawab Bibi!" "Ada apa ini?" Suara bariton pria milik Yang Zhao tiba-tiba muncul. Jing Wu tampak