Annelise Fischer, seorang wanita berusia 28 tahun, terjebak dalam tekanan utang dan kegagalan menemukan pekerjaan di San Francisco. Ketika undangan pernikahan mantan kekasihnya, Anthony, tiba, luka lama kembali terbuka, mengingatkan Annelise pada kisah cinta yang pernah menghancurkannya. Enam bulan sebelumnya, dalam upaya mengubah nasib, Annelise melakukan perjalanan ke New York untuk wawancara kerja di sebuah perusahaan hiburan besar. Namun, hidupnya berubah sejak insiden di bandara, di mana dia tanpa sengaja menumpahkan jus cranberry ke celana seorang pria asing, Logan Blackwood. Takdir mempertemukan mereka kembali di pesawat, dan setelah malam penuh turbulensi—baik di udara maupun di hati—mereka terlibat dalam hubungan one-night stand. Semua berubah ketika Annelise diterima bekerja di perusahaan besar milik Logan, yang ternyata adalah CEO sekaligus pria yang mengisi malam tak terlupakannya. Hubungan profesional mereka yang canggung perlahan berubah menjadi hubungan rahasia yang penuh gairah. Logan, yang selalu tampil dingin dan arogan, mulai menunjukkan sisi protektif dan perhatiannya pada Annelise, sementara Annelise berjuang menahan perasaannya di bawah tekanan pekerjaan. Perlahan, Annelise pun menyerah pada godaan yang semakin sulit diabaikan. Setiap interaksi mereka, baik di ruang rapat maupun setelah jam kerja, penuh dengan ketegangan sensual. Di balik tembok kaca kantor, di sela jadwal kerja yang padat, hasrat terpendam mereka meledak dalam pertemuan-pertemuan rahasia. Namun, di tengah gairah yang membara, dunia korporat yang kejam dan gosip tak terelakkan mulai mengancam hubungan mereka. Note : Follow akun goodnovel Biebiefenimmm. Instagram author biebiefenim_author 🌹 FB: Biebiefenim Author untuk info lebih lanjut agar tahu ilustrasi seluruh karakter dan kisi-kisi update terbaru. Thanks reader, Salam Sayangg dari Author 😘
View More"Apa? Nggak mungkin." "Mungkin." Aku duduk di sampingnya, hampir aja meluk dia. Ya Ampun, badannya dingin. Dia akhirnya mendesah lega, aku narik ujung selimut, nutupin kakinya sebelum bersandar padanya lagi. Dia menggeliat, setengah hati berusaha menjauh, tapi udah mentok di tepi. Nggak ada tempat buat kabur. "Ini nggak wajar." "Tapi kita bakal tetep ngelakuin ini." Dalam keadaan normal, aku nggak pernah maksa orang buat begini. Tapi setidaknya sekarang dia fokus ke pelukanku, bukan ke turbulensi. Itu sudah kemajuan. Aku menempelkan pipiku ke bisepnya. Ototnya keras kayak batu, dan dia sedikit gemetar. Dia berdeham. "Gue nggak—" "Tinggal satu tarikan napas lagi buat lo beneran kehilangan akal sehat. Terima aja kenyamanan fisik dari gue." Lengannya berkedut, kayak nahan diri, tapi aku tahu sebenernya dia juga kepengen. Akhirnya dia nyerah, mengangkat lengannya, kasih aku ruang untuk lebih dekat. Yeah akhirnya. Aku menyender ke bahunya, merapatkan tubuh
"Nggak, makasih." "Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?" "Makasih, tapi nggak perlu," jawabku santai. Aku tahu kalau pergi ke toilet sekarang, pramugari ini pasti bakal nyoba lebih jauh buat menarik perhatianku. Udah sering kejadian. Udah biasa. Tapi sebelum aku bisa mikir lebih jauh, suara orang di sebelahku menyela, "Kayaknya sparkling wine enak juga." Suaranya santai, kayak baru aja menemukan ide brilian. Aku menyeringai kecil dalam hati. Oke, ini bakal lebih menarik dari sekadar godaan biasa. "Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan Rajendra. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya." Aku cuma mengangguk kecil, balik fokus ke majalah mobil sport yang lagi aku baca. "Nggak masalah. Tapi makasih." "Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…" "Hei," potong perempuan di sebelahku. "Aku rasa aku mau—hei! Halo?!" Dia melambaikan tangan ke pramugari yang langsung berbalik pergi. Aku nyengir kecil. "Ini salah lo, tau." Aku melirik ke a
Aku baru aja duduk nyaman di kursi kelas satu yang empuk banget—kayak duduk di sofa rumah sendiri, cuma kali ini dengan bonus pemandangan awan nanti. Sambil melihat-lihat menu, aku merasa hidupku naik level. Tapi tiba-tiba, suara berat dan tegas dari belakang bikin leher gue menegang. “Siapa yang duduk di kursi saya?” Aku berhenti napas sejenak. Suara itu… kayaknya aku kenal. Tapi yang jelas, dia salah. Ini kursi aku. Aku udah cek nomornya dua kali, dan enggak mungkin balik ke kelas ekonomi setelah nyicipin kemewahan ini. Aku pura-pura sibuk ngelihatin menu, berharap suara itu bakal menghilang. “Maaf, Pak,” kata pramugari dengan nada hati-hati. Kelihatannya, orang ini punya aura yang bikin siapa aja deg-degan. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah terisi.” “Makanya saya beli dua kursi.” Suaranya ketus, seolah enggak mau ada perdebatan. Aku sempat menangkap suara pramugari yang mencoba menjelaskan sesuatu, tapi perhatianku malah ke dua cowok yang jalan melewati
6 Bulan Sebelumnya... “Bisa geser nggak?” Suara ketus di belakangku membuatku menoleh. Seorang pria berdiri dengan wajah tak sabaran, ekspresi kesalnya jelas terlihat. “Hah?” Aku sedikit gugup. “Mau lewat?” “Nggak,” balasnya ketus. “Gue cuma pengen staf bandara ini kerja lebih cepat. Bisa-bisa gue ketinggalan pesawat gara-gara mereka!” Bau alkohol menyeruak dari napasnya. Aku menghela napas panjang dan kembali menatap antrean check-in yang bergerak lambat. Cuaca buruk telah menunda banyak penerbangan, membuat suasana semakin panas. Di belakangku, pria itu terus saja mengeluh, memaki-maki staf bandara, dan mengomel pada siapa saja yang sialnya berada dalam jangkauan suaranya. Aku mencoba mengabaikannya, tapi semakin lama, semakin susah. Akhirnya, aku nggak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. “Mereka udah kerja secepat mungkin. Bisa nggak, sih, lo nggak usah nyebelin?” “Apa?!” Dia langsung tersinggung. Aku menghembuskan napas, mencoba tetap tenang. “Coba deh,
"Lo nggak boleh pakai gaun hitam ke pesta nikahan, Annelise Ayuningtyas Fischer." Aku menghela napas panjang, narik gaunku lebih erat ke tubuh, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang aku mau cuma pakai gaun hitam favoritku. Tapi enggak, aturan etiket pernikahan melarangnya. "Ini konyol," gumamku, setengah ngomong ke diri sendiri. "Terus gue harus pakai apa?" Jennifer nyengir tipis. "Gimana kalau yang biru muda?" "Yang abu-abu?" usul Chloe semangat, walaupun aku tahu itu nggak bakal bikin moodku jauh lebih baik. Aku memijit pelipis. Jennifer keliatan anggun dengan gaun emas metalik yang potongannya rendah. Dia duduk santai di kasurku sambil meyeruput teh hijau kayak sosialita. Rambut panjangnya yang bergelombang terurai, highlight keemasannya berkilau kena lampu. Chloe beda lagi. Dia pakai mini dress hijau zamrud yang ngepas banget di tubuhnya, bikin lekuk atletisnya makin keliatan. Rambut cokelatnya diikat ponytail tinggi, bikin dia keliatan fierce. Dan aku? Masih
"Ya Tuhan!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Salah satu dari kalian mau jelasin ini, atau gue harus nebak sendiri?" Chloe nggak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas wiski sambil mengamati gerak-geriknya sebelum akhirnya ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata– milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah,
"Ya Tuhan!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Salah satu dari kalian mau jelasin ini, atau gue harus nebak sendiri?" Chloe nggak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas wiski sambil mengamati gerak-geriknya sebelum akhirnya ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata– milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah, ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments