Begitu roda pesawat menyentuh landasan, kepalaku masih terasa ringan, dan tubuhku menghangat dengan cara yang aneh. Aku berusaha fokus, tapi setiap gerakan terasa terlalu lambat, terlalu sensual. Dia bersandar dengan napas sedikit berat. Matanya menatap lurus ke depan, tapi rahangnya mengatup seolah lagi nahan sesuatu. Aku tahu dia juga ngerasain hal yang sama. "Lo nggak apa-apa?" Dia melirikku, lalu menutup matanya sebentar sebelum menjawab. “Gue harusnya curiga pas lo nawarin coklat itu.” Aku tertawa. Dia menghela napas panjang, jari-jarinya mengepal di atas paha celananya. Dia melotot. “Jadi lo tahu itu afrodisiak(*)?” Aku mengangkat bahu, pipiku mulai memanas. “Ya… gue kira itu cuma mitos.” Dia menatapku dengan tatapan tajam, lalu mengusap wajahnya sendiri seolah nyoba buat sadar sepenuhnya. “Gue butuh keluar dari sini sebelum sesuatu yang nggak seharusnya terjadi.” Tapi masalahnya, sensasi ini nggak gampang ilang. Setiap gesekan kecil antara kulitku dan kul
Satu jam kemudian, kami duduk di dalam bus menuju Manchester. Lampu jalan terlihat kabur dari jendela yang berembun. Aku duduk di sebelah jendela, dia di sampingku, duduk dengan posisi santai kayak udah punya hak milik atas seluruh baris kursi. “Ngantuk?” tanyanya, matanya setengah merem. “Enggak,” jawabku cepat. Padahal kenyataannya, kepalaku udah nyender ke kaca dari tadi, dan mulai kebablasan. Dia memberikan jaketnya dan tanpa bilang apa-apa, menaruhnya di bahuku. “Gue tahu lo gak bakal minta, jadi gue inisiatif aja.” “Gue gak butuh ini.” “Tapi lo juga gak nolak.” Dia tersenyum miring, tapi kali ini nggak ada nada menggoda yang kelewat. Hangat. Ringan. Aku mendesah pelan, lalu membiarkan jaketnya tetap di bahuku. Sesampainya kami di hotel, kami diarahkan ke lobby dan dikasih kunci kamar. “Gue dapet kamar 308,” aku menggumam, membaca kartunya. Dia melirik kartunya sendiri, lalu mengangkat alis. “Lo gak akan percaya... kamar gue 310.” “Serius?” Gue melotot. “
Apa yang aku lakuin di sini? Aku adalah cewek baik-baik.. dan cewek baik-baik nggak seharusnya ngelakuin hal kayak gini sama cowok kayak dia! Aku dan dia nggak kenal siapa-siapa yang sama, kita tinggal di kota yang beda, dan mungkin setelah ini, aku nggak akan pernah ketemu dia lagi. Dan anehnya... ada rasa bebas yang nggak aku sangka-sangka dari situ. Aku bisa jadi siapa pun yang dia mau. Tatapan matanya tajam, rahangnya mengunci, keliatan serius dan gelap. "Sini... gue mau lo nyenengin gue. Hisap penis gue gadis nakal," gumamnya pelan, suaranya membakarku. Ya Tuhan. Aku beneran mikir dia nggak bakal pernah ngomong itu. Tanpa mikir lama, aku langsung berjongkok. Rasanya kayak aku bener-bener pengin nyenengin dia sekarang juga. Aku nggak tahu banyak soal dia, tapi yang jelas, sekarang ini... aku cuma pengin jadi pengalaman paling gila yang pernah dia punya. Aku mulai bergerak, sok-sokan kayak jagoan nyepong. Tanganku maju mundur melawan gerak bibir, dan maki
Dia tersenyum lebar saat dia jatuh terlentang, menarikku ke atasnya, dan menyeret wajahku ke wajahnya. "Lo harus genjot gue lebih dulu," bisiknya di bibirku, "Nanti gue yang akan genjot milik lo saat lo udah basah." Aku tersenyum di bibirnya. "Big boy.." "Gue cuma bercinta sekali sayang, gak lama paling gue ketiduran." Dia memberikan senyum yang lambat dan seksi. Aku mengangkangi tubuhnya yang besar saat ciuman kami menjadi putus asa. Penisnya yang tebal menempel di perutnya, dan dia mengangkatnya ke udara dan mengarahkan pinggulku ke bawah di atasnya. "Oh, panasnya—lo gede banget. Mhhhhhh" "Aduh," rintihku. "Tidak apa-apa," bisiknya. "Bergoyanglah dari satu sisi ke sisi lain." Dia menangkup payudaraku di tangannya saat dia menatapku seperti sesuatu yang tampak seperti kekaguman. Aku tersenyum padanya. "Apa?" "Sejak pertama kali lo tumpahin jus merah ke celana gue di lounge hari ini, gue pengen badan lo tunggangi penis gue." Aku terkekeh padanya. "Apa lo
Bagaimana aku bisa melupakan malam ini? Gimana caranya gue aku-pura semua ini nggak pernah kejadian? Aku merem sebentar, menahan rasa nyesek campur jijik sama diri sendiri. Inilah kenapa aku nggak pernah mau yang namanya one-night stand. Aku nggak cocok buat cinta-cintaan tanpa ikatan. Bukan tipeku. Dan semua ini gara-gara cokelat afrodisiak sialan yang kita makan di pesawat kemarin. Aku duduk di ujung ranjang, narik napas dalam-dalam. “Sebenarnya… gue punya syal di koper. Lo mau?” “Boleh,” katanya, suaranya udah lebih tenang sekarang. Kayaknya efek afrodisiak itu udah bener-bener hilang. Yang tersisa cuma dua orang asing yang lagi bingung sama perasaan mereka sendiri. Tiba-tiba, ponselkh bergetar kencang di meja kecil di samping tempat tidur. Aku meraihnya dan lihat ada lima pesan dari Chloe. Chloe: Lo masih hidup? Kapan balik? Jangan lupa makan. Gue masakin buat makan siang. Lo akan diinterogasi kalau gak jawab. Aku mendesah, berdiri dari ranjang dan mulai ng
Semua kepingan yang hilang itu langsung nyatu saat ngelihat dia duduk di tengah kerumunan. Dia kelihatan beda banget dari sebelumnya. Pertama, di pesawat—dan di kamar hotel. Kedua, di foto lama yang sering banget dibawa-bawa Anthony. Foto burik, tapi cukup buat bikin aku penasaran. Aku otomatis menoleh saat Anthony dan Bianca jalan ke area resepsi buat foto-foto. Mereka berpegangan tangan, kelihatan bahagia banget. Si fotografer nyuruh ini-itu, dan rombongan pengantin cuma berdiri di pinggir sambil nonton. Di belakang mereka, jendela besar nunjukin gedung-gedung Jakarta yang sudah menyala—malam mulai turun. Annelise. Satu-satunya hal yang bisa aku fokuskan malam ini cuma dia. Cewek cerewet yang duduk di sebelahku di pesawat bulan Januari lalu. Cewek yang juga jadi one night stand pertama dan terakhirku—sampai sekarang. Aku udah berkali-kali nyoba cari tahu kenapa dia kelihatan familiar banget beberapa bulan terakhir ini. Akhirnya, aku tau sekarang. Dia adalah mantan
"Ya Tuhan!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Salah satu dari kalian mau jelasin ini, atau gue harus nebak sendiri?" Chloe nggak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas wiski sambil mengamati gerak-geriknya sebelum akhirnya ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata– milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah,
"Lo nggak boleh pakai gaun hitam ke pesta nikahan, Annelise Ayuningtyas Fischer." Aku menghela napas panjang, narik gaunku lebih erat ke tubuh, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang aku mau cuma pakai gaun hitam favoritku. Tapi enggak, aturan etiket pernikahan melarangnya. "Ini konyol," gumamku, setengah ngomong ke diri sendiri. "Terus gue harus pakai apa?" Jennifer nyengir tipis. "Gimana kalau yang biru muda?" "Yang abu-abu?" usul Chloe semangat, walaupun aku tahu itu nggak bakal bikin moodku jauh lebih baik. Aku memijit pelipis. Jennifer keliatan anggun dengan gaun emas metalik yang potongannya rendah. Dia duduk santai di kasurku sambil meyeruput teh hijau kayak sosialita. Rambut panjangnya yang bergelombang terurai, highlight keemasannya berkilau kena lampu. Chloe beda lagi. Dia pakai mini dress hijau zamrud yang ngepas banget di tubuhnya, bikin lekuk atletisnya makin keliatan. Rambut cokelatnya diikat ponytail tinggi, bikin dia keliatan fierce. Dan aku? Masih
Semua kepingan yang hilang itu langsung nyatu saat ngelihat dia duduk di tengah kerumunan. Dia kelihatan beda banget dari sebelumnya. Pertama, di pesawat—dan di kamar hotel. Kedua, di foto lama yang sering banget dibawa-bawa Anthony. Foto burik, tapi cukup buat bikin aku penasaran. Aku otomatis menoleh saat Anthony dan Bianca jalan ke area resepsi buat foto-foto. Mereka berpegangan tangan, kelihatan bahagia banget. Si fotografer nyuruh ini-itu, dan rombongan pengantin cuma berdiri di pinggir sambil nonton. Di belakang mereka, jendela besar nunjukin gedung-gedung Jakarta yang sudah menyala—malam mulai turun. Annelise. Satu-satunya hal yang bisa aku fokuskan malam ini cuma dia. Cewek cerewet yang duduk di sebelahku di pesawat bulan Januari lalu. Cewek yang juga jadi one night stand pertama dan terakhirku—sampai sekarang. Aku udah berkali-kali nyoba cari tahu kenapa dia kelihatan familiar banget beberapa bulan terakhir ini. Akhirnya, aku tau sekarang. Dia adalah mantan
Bagaimana aku bisa melupakan malam ini? Gimana caranya gue aku-pura semua ini nggak pernah kejadian? Aku merem sebentar, menahan rasa nyesek campur jijik sama diri sendiri. Inilah kenapa aku nggak pernah mau yang namanya one-night stand. Aku nggak cocok buat cinta-cintaan tanpa ikatan. Bukan tipeku. Dan semua ini gara-gara cokelat afrodisiak sialan yang kita makan di pesawat kemarin. Aku duduk di ujung ranjang, narik napas dalam-dalam. “Sebenarnya… gue punya syal di koper. Lo mau?” “Boleh,” katanya, suaranya udah lebih tenang sekarang. Kayaknya efek afrodisiak itu udah bener-bener hilang. Yang tersisa cuma dua orang asing yang lagi bingung sama perasaan mereka sendiri. Tiba-tiba, ponselkh bergetar kencang di meja kecil di samping tempat tidur. Aku meraihnya dan lihat ada lima pesan dari Chloe. Chloe: Lo masih hidup? Kapan balik? Jangan lupa makan. Gue masakin buat makan siang. Lo akan diinterogasi kalau gak jawab. Aku mendesah, berdiri dari ranjang dan mulai ng
Dia tersenyum lebar saat dia jatuh terlentang, menarikku ke atasnya, dan menyeret wajahku ke wajahnya. "Lo harus genjot gue lebih dulu," bisiknya di bibirku, "Nanti gue yang akan genjot milik lo saat lo udah basah." Aku tersenyum di bibirnya. "Big boy.." "Gue cuma bercinta sekali sayang, gak lama paling gue ketiduran." Dia memberikan senyum yang lambat dan seksi. Aku mengangkangi tubuhnya yang besar saat ciuman kami menjadi putus asa. Penisnya yang tebal menempel di perutnya, dan dia mengangkatnya ke udara dan mengarahkan pinggulku ke bawah di atasnya. "Oh, panasnya—lo gede banget. Mhhhhhh" "Aduh," rintihku. "Tidak apa-apa," bisiknya. "Bergoyanglah dari satu sisi ke sisi lain." Dia menangkup payudaraku di tangannya saat dia menatapku seperti sesuatu yang tampak seperti kekaguman. Aku tersenyum padanya. "Apa?" "Sejak pertama kali lo tumpahin jus merah ke celana gue di lounge hari ini, gue pengen badan lo tunggangi penis gue." Aku terkekeh padanya. "Apa lo
Apa yang aku lakuin di sini? Aku adalah cewek baik-baik.. dan cewek baik-baik nggak seharusnya ngelakuin hal kayak gini sama cowok kayak dia! Aku dan dia nggak kenal siapa-siapa yang sama, kita tinggal di kota yang beda, dan mungkin setelah ini, aku nggak akan pernah ketemu dia lagi. Dan anehnya... ada rasa bebas yang nggak aku sangka-sangka dari situ. Aku bisa jadi siapa pun yang dia mau. Tatapan matanya tajam, rahangnya mengunci, keliatan serius dan gelap. "Sini... gue mau lo nyenengin gue. Hisap penis gue gadis nakal," gumamnya pelan, suaranya membakarku. Ya Tuhan. Aku beneran mikir dia nggak bakal pernah ngomong itu. Tanpa mikir lama, aku langsung berjongkok. Rasanya kayak aku bener-bener pengin nyenengin dia sekarang juga. Aku nggak tahu banyak soal dia, tapi yang jelas, sekarang ini... aku cuma pengin jadi pengalaman paling gila yang pernah dia punya. Aku mulai bergerak, sok-sokan kayak jagoan nyepong. Tanganku maju mundur melawan gerak bibir, dan maki
Satu jam kemudian, kami duduk di dalam bus menuju Manchester. Lampu jalan terlihat kabur dari jendela yang berembun. Aku duduk di sebelah jendela, dia di sampingku, duduk dengan posisi santai kayak udah punya hak milik atas seluruh baris kursi. “Ngantuk?” tanyanya, matanya setengah merem. “Enggak,” jawabku cepat. Padahal kenyataannya, kepalaku udah nyender ke kaca dari tadi, dan mulai kebablasan. Dia memberikan jaketnya dan tanpa bilang apa-apa, menaruhnya di bahuku. “Gue tahu lo gak bakal minta, jadi gue inisiatif aja.” “Gue gak butuh ini.” “Tapi lo juga gak nolak.” Dia tersenyum miring, tapi kali ini nggak ada nada menggoda yang kelewat. Hangat. Ringan. Aku mendesah pelan, lalu membiarkan jaketnya tetap di bahuku. Sesampainya kami di hotel, kami diarahkan ke lobby dan dikasih kunci kamar. “Gue dapet kamar 308,” aku menggumam, membaca kartunya. Dia melirik kartunya sendiri, lalu mengangkat alis. “Lo gak akan percaya... kamar gue 310.” “Serius?” Gue melotot. “
Begitu roda pesawat menyentuh landasan, kepalaku masih terasa ringan, dan tubuhku menghangat dengan cara yang aneh. Aku berusaha fokus, tapi setiap gerakan terasa terlalu lambat, terlalu sensual. Dia bersandar dengan napas sedikit berat. Matanya menatap lurus ke depan, tapi rahangnya mengatup seolah lagi nahan sesuatu. Aku tahu dia juga ngerasain hal yang sama. "Lo nggak apa-apa?" Dia melirikku, lalu menutup matanya sebentar sebelum menjawab. “Gue harusnya curiga pas lo nawarin coklat itu.” Aku tertawa. Dia menghela napas panjang, jari-jarinya mengepal di atas paha celananya. Dia melotot. “Jadi lo tahu itu afrodisiak(*)?” Aku mengangkat bahu, pipiku mulai memanas. “Ya… gue kira itu cuma mitos.” Dia menatapku dengan tatapan tajam, lalu mengusap wajahnya sendiri seolah nyoba buat sadar sepenuhnya. “Gue butuh keluar dari sini sebelum sesuatu yang nggak seharusnya terjadi.” Tapi masalahnya, sensasi ini nggak gampang ilang. Setiap gesekan kecil antara kulitku dan kul
"Serius?" Aku menelan ludah. "Banget. Gue nemu nama ‘Rajendra’ di salah satu file, dan langsung kepikiran lo!" "Cuma Rajendra? Tanpa nama depan atau belakang?" Dia mengangguk dengan mantap. "Iya." Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun kemungkinan-kemungkinan dalam otakku. "Gue cuma bercanda." Dia ngakak, menepuk bahuku. "Lo harus liat muka lo barusan. Serius banget, kayak baru ketauan selingkuh." Aku melotot. "Sialan, lo!" Jantungku nyaris copot waktu dia bilang nemu nama "Rajendra" di dokumen internal perusahaan. Pikiranku langsung lari ke berbagai kemungkinan buruk. Apa ada kebocoran data? Nggak mungkin. Aku sudah menutup semua celah. "Lo tau nggak, becandaan lo barusan hampir bikin gue kena serangan jantung." Dia masih ketawa, jelas menikmati kepanikanku tadi. "Gue nggak nyangka lo bakal panik gitu," katanya sambil menyeringai. Aku menarik napas. Jangan sampai ada yang mencurigakan. "Jadi nama lo beneran Rajendra?" tanyanya, masih dengan nada bercanda,
Aku berdeham, merasa harus melakukan sesuatu untuk menghapus keheningan aneh di antara kita. Dengan gerakan cepat, aku menutupi lagi bajunya dan merapikan celanaku sendiri. "Ehm… Maaf. Kita nggak seharusnya—" Dia menatapku, senyum liciknya masih ada di sana, membuatku makin kesel. Aku mengusap wajah, mencoba menata pikiran. "Sorry. Gue kebawa suasana." "Santai aja, gue juga nggak bakal baper kok." Aku menatapnya tajam, tapi dia malah nyengir puas. "Lagian, gue udah dapet bagian gue. Dua kali malah." Aku nyipitkan mata, ngerasa nggak terima. "Lo bangga banget, ya?" Dia angkat bahu dengan santai, senyum liciknya masih nempel di wajahnya. "Ya iyalah. Lo yang nyuruh gue nikmatin, kan?" "Sial. Lo benar-benar cewek yang nyebelin." Dia miringin kepalanya, pura-pura mikir sebelum nimpalin, "Hmm… atau mungkin lo aja yang nggak tahan godaan?" Aku mendelik, rahangku mengetat. Ngeselin, tapi aku nggak bisa ngelak. "Gue nggak akan bahas ini lagi." Aku menjauh, buru-buru geser
Pria itu berdecak. "Ahhh.." "Terusin aja," katanya, tangannya terulur, menarik pergelangan tanganku dengan gerakan yang lambat tapi pasti. Jantungku berdebar kencang saat aku menuruti perkataannya, merasa terbakar oleh tatapan matanya yang dalam dan gelap, terpaku pada kulit di bahuku yang terbuka karena tersingkap. Jemariku bergerak gelisah, menekan lipatan kain yang meluncur dari pundakku, merasakan detak jantungku sendiri. Sial. Kenapa dia bisa membuat udara berasa setipis ini? "Lo nggak sadar, ya?" Aku menatapnya, bingung. "Apa?" Dia menarik napas dalam, lalu jemarinya meluncur ringan di sepanjang leherku, menciptakan jejak api di mana pun dia menyentuh. "Lo nggak tahu seberapa besar gue terangsang sekarang." Getaran aneh muncul di tubuhku. "Gue belum nyentuh lo," bisikku. "Lebih baik jangan." Tatapannya semakin dalam, sebelum akhirnya tangannya berpindah ke rahangku, ibu jarinya mengusap sudut bibirku. "Kalau lo cium gue lagi… gue nggak jamin bisa