"Oh my God!"
Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Apakah salah satu dari kalian mau menjelaskan apa yang terjadi, atau aku harus menebak sendiri?" Chloe tidak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas whiskey sour sambil menyaksikan gerak-geriknya sebelum ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata itu – milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah, namun membawa rasa takut yang tak terlukiskan. Kehadiran Anda diharapkan Untuk merayakan persatuan Mataku melompat melewati kalimat pembuka itu, langsung mencari dua nama yang jelas-jelas menjadi pusat perhatian di atas kertas. Bianca Tate & Anthony Henderson Aku berkedip sekali. Lalu dua kali. Seolah berharap kata-kata itu akan berubah jika aku melihatnya lebih lama. Tetapi tidak, kata-kata itu tetap di sana. Sama seperti detak jantungku yang tiba-tiba melambat, hampir berhenti di dadaku. Sementara mataku terus menyusuri halaman, telingaku terasa berdengung. Sebelum aku selesai membaca, aku sudah meneguk habis gelas whiskey sour keempatku. Chloe dan Jennifer, yang rupanya telah memesan botol baru, kini menatapku dengan ekspresi ingin tahu sambil memutar-mutar gelas mereka. Sabtu, 24 Mei, 2024 Pukul enam sore Di Riviera Skyline Hall, New York City Aku menatap kertas itu tanpa ekspresi. Undangan pernikahan yang sempurna. Dengan alamat salah satu pemandangan terbaik di ibu kota. Dan bulan Mei, bulan sialan itu. Anthony Henderson akan menikah. "Wow, ini luar biasa," Chloe memecah keheningan. "Tentu saja dia memilih tempat itu. Sangat… Anthony." Jenny bersandar di kursinya, menatapku dengan alis terangkat. "Kamu baik-baik saja?" Aku menghela napas panjang, memutar gelas kosong di tanganku. "Aku baik-baik saja.. Mantanku menikah, aku masih menikah sama kasur. Dia punya pasangan hidup, aku punya hutang hidup." "Oh, sayang," Chloe menyeringai kecil, lalu mengangkat gelasnya seolah bersulang. "Selamat datang di pesta patah hati." *** "Anna, tolong serahkan botol dan ponselnya," suara Jennifer terdengar tegas namun penuh simpati. Aku mendekap botol whiskey di dadaku lebih erat, menolak menyerah. White Moscato sudah tidak cukup untuk meredakan panas di dadaku. Mataku terpaku pada layar ponsel, di halaman I*******m Anthony yang baru saja aku cari. Foto-foto pertunangannya dengan Bianca memenuhi seluruh feed. Sial.. Mereka sempurna. Semuanya terlihat sangat sempurna. Persis seperti undangan mereka yang sempurna dan pernikahan yang segera menjadi sempurna. Aku menatap foto Bianca dengan pahit. Rambut merahnya tergerai melewati bahunya, wajah ovalnya yang simetris dalam cara yang membuat iri. Dia wanita yang manis. Dan dia… adalah seseorang yang Anthony pilih untuk menggantikanku. Aku mengangkat botol ke bibirku lagi, mengabaikan Jennifer yang berdiri di dekatku, tangannya terulur ke arah botol. "Aku tidak percaya ini." Suaraku serak, hampir pecah. Cairan itu membakar tenggorokanku, tetapi kehangatannya terasa hampir menenangkan. "Anne, ini sudah cukup. Kamu tidak bisa terus menyakiti dirimu sendiri seperti ini," Aku tertawa pahit, menatap layar ponsel. "Dua tahun. Dua tahun sejak dia meninggalkanku, dan lihat dia sekarang." Aku melambaikan ponsel di depan Jennifer sebelum meneguk lagi whiskey-ku. "Dia bertunangan. Dia menikah. Dan aku?" Aku menunjuk diriku sendiri dengan botol itu. "Aku habiskan waktu itu untuk mencari pekerjaan. Memperbaiki diriku. Menghadapi kenyataan. Tapi kau tahu? Tidak ada yang memperingatkan betapa sulitnya melihat seseorang yang dulu mencintaimu mencintai orang lain." Jennifer menghela napas berat. "Anna, kamu tahu ini bukan tentang—" "Dia sudah melupakanku, Jen," potongku tajam, emosiku mulai memuncak. "Dan aku masih di sini, berusaha keras untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya baik. Bahwa aku pantas mendapatkan lebih dari ini." Chloe mengambil ponsel dari tanganku dengan satu gerakan cepat. "Oke, ini cukup. Kamu perlu berhenti menyiksa dirimu sendiri." Dia membanting ponselku ke meja, membuatku memelototinya. "Apa masalahmu, Chloe?!" "Kamu tahu persis apa masalahku," Chloe menjawab tegas, melipat tangannya di dada. "Kamu tahu Anthony sudah menjauhimu sejak lama. Tapi kamu tetap mencintainya. Dan sekarang? Kamu menangisi seseorang yang jelas-jelas tidak pantas untukmu." Aku membuang pandangan, rasa bersalah menghantamku seperti ombak. Namun, yang kulihat hanyalah kenangan saat malam kami putus. *** -2 Tahun yang Lalu- "Aku tahu aku akan mengakhirinya," suaraku hampir berbisik saat kami berdiri di trotoar yang kosong. "Tapi.. ini sudah berakhir sejak lama, kan?" Anthony menyilangkan lengannya, matanya tidak pernah benar-benar menatapku. "Kaulah yang mengakhirinya, Anna. Jadi, ya, ini keputusanmu. Bukan aku." Nadanya kasar, tapi aku bisa mendengar sakit di baliknya. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang tidak menentu. "Anthony… kau tidak boleh marah padaku. Segalanya berubah sejak kau pindah ke New York. Kau sudah tidak memperlakukanku seperti orang yang kau cintai. Dan aku tidak bisa terus duduk di sini, menunggumu memutuskan apakah aku ini cukup penting bagimu." Dia menatapku dengan mata cokelat gelapnya yang pernah membuatku merasa seperti dunia ini hanya milik kami berdua. "Aku tidak pernah bermaksud jahat padamu," katanya pelan. "Aku hanya.. tidak tahu bagaimana cara melepaskanmu. Kau adalah bagian terbesar dalam hidupku." Aku tertawa, tetapi itu kering dan penuh luka. "Maksudmu kau tidak tahu bagaimana cara meninggalkan rasa nyaman. Itulah aku bagimu, Anthony. Nyaman." Dia terdiam, rahangnya mengeras, tapi aku tahu dia tidak akan membantah. Dia tidak bisa. "Aku mencintaimu, Anna. Selalu mencintaimu. Sejak kita pergi ke sekolah bersama melewati jalan ini. Tapi kita bukan remaja-remaja itu lagi." Aku tertawa getir, menatap ke bawah trotoar. "Dan aku tidak akan menjadi seseorang yang terus menunggu seseorang mencintaiku kembali. Tidak lagi." Aku ingin dia memintaku bertahan, memintaku untuk mencoba lagi. Tapi dia tidak melakukannya. Dan aku tahu… aku tahu kami benar-benar putus. Aku mengulurkan tangan, tersenyum walaupun hatiku hancur berkeping-keping. "Teman?" Dia memaksakan senyum kecil, menutupi kesedihannya. "Teman." Tapi kami berdua tahu itu kebohongan. Kami tidak akan pernah benar-benar berbicara lagi. Dan dengan itu, aku berbalik, pergi meninggalkan cinta pertamaku, membawa luka yang butuh waktu bertahun-tahun untuk sembuh.“Kau tidak boleh mengenakan gaun hitam ke pesta pernikahan, Annelise Fischer.” Aku menghela napas panjang, menarik gaunku lebih erat ke tubuhku, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang kuinginkan hanyalah mengenakan gaun hitam favoritku. Tapi tidak, aturan etiket pernikahan melarangnya. “Ini omong kosong,” gumamku, setengah untuk diriku sendiri. “Lalu, apa pilihanku?” tanyaku jengkel. Jennifer tersenyum tipis, “Bagaimana dengan yang biru muda?” “Yang abu-abu?” usul Chloe antusias, meski aku tahu itu tidak akan membuatku merasa lebih baik. Aku memijat pelipisku. Jennifer terlihat sangat anggun dalam balutan gaun emas metalik berpotongan rendah, dia duduk santai di tempat tidurku sambil menyeruput secangkir teh hijau. Rambutnya yang panjang bergelombang dibiarkan terurai, dengan sedikit highlight keemasan yang berkilauan. Chloe, di sisi lain, memilih gaun mini berwarna hijau zamrud yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuh atletisnya. Rambut coke
6 Bulan Sebelumnya... "Bisakah kau menyingkir?" gerutu sebuah suara di belakangku. Aku terkejut, menoleh ke arah pria yang berdiri tidak sabar di antrean. "Maaf?" tanyaku gugup. "Anda ingin lewat?" "Tidak," jawabnya dengan cibiran. "Aku ingin idiot-idiot di meja resepsionis itu mempercepat pekerjaan mereka. Aku bisa ketinggalan pesawat gara-gara mereka!" Bau alkohol menyengat dari napasnya. Aku menghela napas dan kembali memandang ke depan. Ada pemabuk menyebalkan di antrean check-in. Bandara sedang ramai karena cuaca buruk yang telah menunda banyak penerbangan, dan suasana semakin tegang. Di belakangku, pria itu terus mengeluh, memaki-maki staf resepsionis, dan melontarkan komentar kasar kepada siapa saja yang mau mendengarkan. Aku mengabaikannya, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membuatku semakin kesal. Aku tidak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. "Mereka bekerja secepat yang mereka bisa. Kau tidak perlu bersikap kasar." "Apa?!" teriaknya, amarahnya la
Aku sedang melihat-lihat menu sambil duduk di kursi kelas satu yang super nyaman. Ini seperti duduk di sofa rumah sendiri—kecuali dengan bonus pemandangan awan nanti. “Apa yang dilakukan wanita itu di kursiku?” Leherku menegang. Suara itu datang dari suatu tempat di belakangku. Nada suaranya rendah, tegas, dan... sangat familiar. Dan dia salah. Aku yakin ini kursiku. Aku sudah memeriksa nomor kursinya dua kali. Tidak mungkin aku kembali ke kelas ekonomi sekarang. Aku berpura-pura sibuk mempelajari menu.“Saya minta maaf, Pak,” jawab pramugari dengan nada hati-hati. Rupanya, penumpang kelas satu seperti dia bisa membuat siapa saja merasa gentar. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah dipesan.” “Itulah sebabnya saya membeli dua kursi,” katanya ketus. Aku mendengar gumaman pramugari mencoba menenangkan, tapi perhatianku terpecah oleh dua pria yang berjalan melewatiku, membicarakan saham. Begitu mereka berlalu, aku mendengar suara Tuan Sombong lagi. “Ini tidak bi
“Tidak, terima kasih.” “Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?” "Terima kasih, tapi tidak perlu," jawabku dengan santai. Kalau aku pergi ke toilet sekarang, aku tahu apa yang akan terjadi. Pramugari ini pasti akan mencoba menggodaku lebih jauh. Aku sudah cukup sering berhadapan dengan situasi seperti ini. Tapi kemudian, suara tetanggaku di sebelahku menyela. "Sampanye terdengar menarik," gumamnya, seperti menemukan ide brilian. Aku menyeringai dalam hati. Sepertinya, ada yang lebih menarik dari sekadar godaan ringan. “Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanan ini, Tuan Blackwood. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya.” Aku mengangguk kecil, tidak menghiraukannya dan kembali ke majalah yang menampilkan mobil sport mewah favoritku. “Itu tidak penting sekarang. Tapi terima kasih.” “Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…” “Hei,” potong burung gila itu. “Kurasa aku ingin—hei! Halooo?” Dia melambaikan tangan saat pramugari itu berjalan p
“Tidak, terima kasih.” “Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?” "Terima kasih, tapi tidak perlu," jawabku dengan santai. Kalau aku pergi ke toilet sekarang, aku tahu apa yang akan terjadi. Pramugari ini pasti akan mencoba menggodaku lebih jauh. Aku sudah cukup sering berhadapan dengan situasi seperti ini. Tapi kemudian, suara tetanggaku di sebelahku menyela. "Sampanye terdengar menarik," gumamnya, seperti menemukan ide brilian. Aku menyeringai dalam hati. Sepertinya, ada yang lebih menarik dari sekadar godaan ringan. “Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanan ini, Tuan Blackwood. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya.” Aku mengangguk kecil, tidak menghiraukannya dan kembali ke majalah yang menampilkan mobil sport mewah favoritku. “Itu tidak penting sekarang. Tapi terima kasih.” “Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…” “Hei,” potong burung gila itu. “Kurasa aku ingin—hei! Halooo?” Dia melambaikan tangan saat pramugari itu berjalan p
Aku sedang melihat-lihat menu sambil duduk di kursi kelas satu yang super nyaman. Ini seperti duduk di sofa rumah sendiri—kecuali dengan bonus pemandangan awan nanti. “Apa yang dilakukan wanita itu di kursiku?” Leherku menegang. Suara itu datang dari suatu tempat di belakangku. Nada suaranya rendah, tegas, dan... sangat familiar. Dan dia salah. Aku yakin ini kursiku. Aku sudah memeriksa nomor kursinya dua kali. Tidak mungkin aku kembali ke kelas ekonomi sekarang. Aku berpura-pura sibuk mempelajari menu.“Saya minta maaf, Pak,” jawab pramugari dengan nada hati-hati. Rupanya, penumpang kelas satu seperti dia bisa membuat siapa saja merasa gentar. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah dipesan.” “Itulah sebabnya saya membeli dua kursi,” katanya ketus. Aku mendengar gumaman pramugari mencoba menenangkan, tapi perhatianku terpecah oleh dua pria yang berjalan melewatiku, membicarakan saham. Begitu mereka berlalu, aku mendengar suara Tuan Sombong lagi. “Ini tidak bi
6 Bulan Sebelumnya... "Bisakah kau menyingkir?" gerutu sebuah suara di belakangku. Aku terkejut, menoleh ke arah pria yang berdiri tidak sabar di antrean. "Maaf?" tanyaku gugup. "Anda ingin lewat?" "Tidak," jawabnya dengan cibiran. "Aku ingin idiot-idiot di meja resepsionis itu mempercepat pekerjaan mereka. Aku bisa ketinggalan pesawat gara-gara mereka!" Bau alkohol menyengat dari napasnya. Aku menghela napas dan kembali memandang ke depan. Ada pemabuk menyebalkan di antrean check-in. Bandara sedang ramai karena cuaca buruk yang telah menunda banyak penerbangan, dan suasana semakin tegang. Di belakangku, pria itu terus mengeluh, memaki-maki staf resepsionis, dan melontarkan komentar kasar kepada siapa saja yang mau mendengarkan. Aku mengabaikannya, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membuatku semakin kesal. Aku tidak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. "Mereka bekerja secepat yang mereka bisa. Kau tidak perlu bersikap kasar." "Apa?!" teriaknya, amarahnya la
“Kau tidak boleh mengenakan gaun hitam ke pesta pernikahan, Annelise Fischer.” Aku menghela napas panjang, menarik gaunku lebih erat ke tubuhku, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang kuinginkan hanyalah mengenakan gaun hitam favoritku. Tapi tidak, aturan etiket pernikahan melarangnya. “Ini omong kosong,” gumamku, setengah untuk diriku sendiri. “Lalu, apa pilihanku?” tanyaku jengkel. Jennifer tersenyum tipis, “Bagaimana dengan yang biru muda?” “Yang abu-abu?” usul Chloe antusias, meski aku tahu itu tidak akan membuatku merasa lebih baik. Aku memijat pelipisku. Jennifer terlihat sangat anggun dalam balutan gaun emas metalik berpotongan rendah, dia duduk santai di tempat tidurku sambil menyeruput secangkir teh hijau. Rambutnya yang panjang bergelombang dibiarkan terurai, dengan sedikit highlight keemasan yang berkilauan. Chloe, di sisi lain, memilih gaun mini berwarna hijau zamrud yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuh atletisnya. Rambut coke
"Oh my God!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Apakah salah satu dari kalian mau menjelaskan apa yang terjadi, atau aku harus menebak sendiri?" Chloe tidak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya.Aku sudah menghabiskan tiga gelas whiskey sour sambil menyaksikan gerak-geriknya sebelum ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata itu – milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip.Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melin