Share

Annelise " Kutukan Jus Cranberry"

Author: Bibiefenimmm
last update Huling Na-update: 2025-01-19 00:54:40

Aku sedang melihat-lihat menu sambil duduk di kursi kelas satu yang super nyaman. Ini seperti duduk di sofa rumah sendiri—kecuali dengan bonus pemandangan awan nanti.

“Apa yang dilakukan wanita itu di kursiku?”

Leherku menegang. Suara itu datang dari suatu tempat di belakangku. Nada suaranya rendah, tegas, dan... sangat familiar.

Dan dia salah. Aku yakin ini kursiku. Aku sudah memeriksa nomor kursinya dua kali. Tidak mungkin aku kembali ke kelas ekonomi sekarang.

Aku berpura-pura sibuk mempelajari menu.

“Saya minta maaf, Pak,” jawab pramugari dengan nada hati-hati. Rupanya, penumpang kelas satu seperti dia bisa membuat siapa saja merasa gentar. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah dipesan.”

“Itulah sebabnya saya membeli dua kursi,” katanya ketus.

Aku mendengar gumaman pramugari mencoba menenangkan, tapi perhatianku terpecah oleh dua pria yang berjalan melewatiku, membicarakan saham. Begitu mereka berlalu, aku mendengar suara Tuan Sombong lagi.

“Ini tidak bisa diterima.”

Aku mengintip sedikit dari balik menu, dan aku hampir melompat. Ternyata, dia adalah pria yang celananya kutumpahi jus cranberry di lounge tadi! Astaga, apa aku dikutuk?

Pramugari membungkuk mendekat, mencoba mengatur layar privasi di kursinya.

“Sepertinya, layar privasinya...”

“Tidak berfungsi?” Dia melontarkan tanya dengan ketus.

Aku segera kembali membenamkan hidungku di menu.

“Mungkin saya bisa membujuk seseorang untuk bertukar tempat duduk?” pramugari itu menawarkan hati-hati.

“Apa bedanya?” balasnya cepat. “Intinya adalah ada tempat duduk kosong di sebelahku, bukan seseorang yang membuatku semakin buruk.”

Pramugari tampak canggung. Aku mencoba tidak bergerak sedikit pun, berharap dia tidak mengenaliku. Tapi sayangnya, nasib punya rencana lain.

Pria itu memiringkan kepala, dan pandangan kami bertemu. Matanya langsung menyipit. “Kau lagi?”

Aku tersenyum kaku, mencoba meredakan ketegangan. “Hai... eh, maaf soal lounge tadi?”

“Kau mencuri kursiku.”

Dia mendarat di kursinya dengan kesal. “Dan selalu muncul di saat-saat yang paling buruk."

Hembusan napas panjang keluar darinya. Lalu dia diam, hanya menatapku dengan mata birunya yang tajam.

Aku menelan ludah, tiba-tiba menyadari sesuatu yang lain. Pria ini… tinggi sekali. Tegap, dengan postur yang membuat kursi pesawat ini tampak terlalu kecil untuknya. Tingginya mungkin lebih dari enam kaki, dan itu hanya mempertegas aura kehadirannya.

Mataku tanpa sadar menuruni tubuhnya—kakinya panjang, otot-ototnya terlihat bahkan di balik celana suede yang sudah kuberi ombre merah itu.

Dia juga mengenakan rompi sweter. Seharusnya itu membuatnya terlihat seperti dosen membosankan. Tapi tidak. Dia terlihat… sempurna. Rompi itu memeluk tubuh rampingnya dengan cara yang seharusnya dilarang secara hukum.

Dan... Astaga... lengan itu. Berbeda sekali dengan milik Anthony. Dia memadukan ketenangan seorang pria dewasa dengan bahaya tersembunyi yang membuatku gugup dan… sedikit terpikat.

Dia bergerak sedikit, hanya menggeser berat badannya, tapi itu cukup untuk mengembalikan kesadaranku. Aku buru-buru memalingkan wajah.

Dia menyadari itu, tentu saja. Lalu berkata, “Menikmati pemandangan?”

Aku terkesiap, terperangkap. “T-tentu saja tidak!”

Dia mengangkat alis, jelas tidak percaya. “Baiklah, kalau begitu.”

Aku ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi lidahku terikat. Dan, senyumnya—setengah senyum arogan itu—hanya membuatku ingin menghilang ke kursi pesawat ini.

“Aku bersumpah tidak melakukannya dengan sengaja. Aku juga tidak meminta ini terjadi. Tapi aku sudah di sini, jadi mungkin kita bisa... ya, mengabaikan satu sama lain?”

Dia menatapku lama, seperti sedang menilai apakah aku serius.

“Baiklah, aku akan mencoba. Tapi jangan tumpahkan apapun lagi padaku.”

Aku tersenyum. “Tentu. Aku bahkan akan memegang gelasku dengan dua tangan, seperti anak kecil.”

Dia menggelengkan kepala, matanya tampak sedikit lebih lembut meskipun mulutnya masih sinis. “Bagus. Karena kalau tidak, aku mungkin harus menuntutmu untuk kerugian emosional.”

Baiklah. Dia menyebalkan.

“Yah... Semuanya akan berakhir sekitar tujuh jam lagi.”

Pria itu, tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela, menjawab dengan nada datar, “Tujuh jam duduk di samping wanita gila yang membawa kehancuran ke mana pun dia pergi. Luar biasa.”

Aku meliriknya, menahan diri untuk tidak melempar komentar tajam. Tapi sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, pesawat mulai bergerak, sedikit bergetar saat keluar dari gerbang.

Dia menegang di kursinya. Dari sudut mataku, aku melihat wajahnya memucat, berubah dari warna sehat menjadi hijau pucat yang cukup mengkhawatirkan, sebelum akhirnya memudar menjadi abu-abu lemah.

Oh, astaga. Dia takut terbang.

Dia mencoba menyembunyikannya. Duduk kaku dengan rahang mengeras, seolah-olah mencoba terlihat seperti pria tangguh yang tak tergoyahkan. Tapi aku tidak bodoh. Tangannya mencengkeram sandaran kursinya bercerita banyak, belum lagi matanya yang tak lepas dari jendela, seperti sedang menghitung setiap kemungkinan pesawat ini jatuh.

“Apakah kamu baik-baik saja?”

“Tentu saja aku baik-baik saja.”

Aku menahan senyum. “Benarkah? Karena wajahmu lebih pucat dari susu almond.”

Dia mendengus pelan, tapi tidak membalas. Aku memperhatikan dia menarik napas panjang.

Aku memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kalau dia bisa memanggilku "wanita gila," aku juga berhak sedikit bersenang-senang.

“Kalau kau mau, aku bisa memanggil pramugari untuk memberimu kantong muntah.”

Dia melirikku dengan tatapan membunuh. “Aku tidak akan muntah.”

“Tentu,” balasku sambil menyandarkan tubuhku di kursi. “Tapi kalau kau berubah pikiran, beri tahu aku. Aku akan dengan senang hati membantu. Kita harus saling menjaga, kan?”

Dia memutar matanya, tapi aku bisa melihat sedikit senyum kecil di sudut bibirnya. Sesaat, aku merasa seperti menang.

Tapi kemudian dia berkata dengan nada dingin, “Jika kau benar-benar ingin membantu, mungkin kau bisa diam selama sisa penerbangan ini.”

“Tentu,” balasku, sambil menatap pria di sebelahku yang jelas-jelas gugup.

“Apakah kau selalu berbicara seperti itu? Seperti seorang bangsawan yang baru saja kehilangan mahkotanya?”

Kepalanya tersentak ke arahku, tapi hanya untuk sepersekian detik sebelum ia kembali menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras, dan aku hampir bisa melihat warna putih di sudut bibirnya yang terkatup rapat. Ah, dia benar-benar berusaha terlihat tenang, tapi aku tahu aku sudah menyentuh sarafnya.

“Oh, tunggu,” lanjutku sambil menjentikkan jari, pura-pura seperti sedang mendapatkan ide brilian. “Atau... Pangeran Tampan? Itu sangat cocok denganmu.”

Dia menoleh sedikit, menatapku dengan ekspresi datar, tetapi suaranya rendah dan halus seperti mentega cair di atas roti panggang. “Ya, benar. Maafkan jika saya terlihat kurang ramah, Nona, tapi saya sedang dalam misi penting.”

Dia mendekatkan wajahnya, suaranya menurun menjadi bisikan. “Saya sedang mencari pengantin saya. Sayangnya, Anda tidak mengenakan sepatu kaca, jadi mungkin bukan Anda.”

Tatapannya turun ke kaki telanjangku, lalu ke sepatu kets putihku yang tergeletak di lantai. Aku mengikuti arah pandangnya dan tak kuasa menahan tawa.

“Tuan Blackwood, apakah Anda ingin sesuatu untuk diminum sebelum penerbangan? Sampanye, mungkin? Atau Pellegrino?”

Suara pramugari mengagetkanku.

Aku memperhatikan caranya mendekat—lengannya bertumpu di dekat bahu pria disampingku, punggungnya melengkung, membuat payudaranya terlihat jelas. Dia sedang menarik perhatian pria ini. Dan aku tidak bisa menyalahkannya.

Pria ini memang hebat.

Kaugnay na kabanata

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Logan "Godaan di Udara"

    “Tidak, terima kasih.” “Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?” "Terima kasih, tapi tidak perlu," jawabku dengan santai. Kalau aku pergi ke toilet sekarang, aku tahu apa yang akan terjadi. Pramugari ini pasti akan mencoba menggodaku lebih jauh. Aku sudah cukup sering berhadapan dengan situasi seperti ini. Tapi kemudian, suara tetanggaku di sebelahku menyela. "Sampanye terdengar menarik," gumamnya, seperti menemukan ide brilian. Aku menyeringai dalam hati. Sepertinya, ada yang lebih menarik dari sekadar godaan ringan. “Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanan ini, Tuan Blackwood. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya.” Aku mengangguk kecil, tidak menghiraukannya dan kembali ke majalah yang menampilkan mobil sport mewah favoritku. “Itu tidak penting sekarang. Tapi terima kasih.” “Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…” “Hei,” potong burung gila itu. “Kurasa aku ingin—hei! Halooo?” Dia melambaikan tangan saat pramugari itu berjalan p

    Huling Na-update : 2025-01-19
  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Undangan Pernikahan Sang Mantan"

    "Oh my God!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Apakah salah satu dari kalian mau menjelaskan apa yang terjadi, atau aku harus menebak sendiri?" Chloe tidak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya.Aku sudah menghabiskan tiga gelas whiskey sour sambil menyaksikan gerak-geriknya sebelum ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata itu – milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip.Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melin

    Huling Na-update : 2025-01-19
  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Gaun Merah untuk Dendam"

    “Kau tidak boleh mengenakan gaun hitam ke pesta pernikahan, Annelise Fischer.” Aku menghela napas panjang, menarik gaunku lebih erat ke tubuhku, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang kuinginkan hanyalah mengenakan gaun hitam favoritku. Tapi tidak, aturan etiket pernikahan melarangnya. “Ini omong kosong,” gumamku, setengah untuk diriku sendiri. “Lalu, apa pilihanku?” tanyaku jengkel. Jennifer tersenyum tipis, “Bagaimana dengan yang biru muda?” “Yang abu-abu?” usul Chloe antusias, meski aku tahu itu tidak akan membuatku merasa lebih baik. Aku memijat pelipisku. Jennifer terlihat sangat anggun dalam balutan gaun emas metalik berpotongan rendah, dia duduk santai di tempat tidurku sambil menyeruput secangkir teh hijau. Rambutnya yang panjang bergelombang dibiarkan terurai, dengan sedikit highlight keemasan yang berkilauan. Chloe, di sisi lain, memilih gaun mini berwarna hijau zamrud yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuh atletisnya. Rambut coke

    Huling Na-update : 2025-01-19
  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Anneliese "Kejutan di Kelas Satu"

    6 Bulan Sebelumnya... "Bisakah kau menyingkir?" gerutu sebuah suara di belakangku. Aku terkejut, menoleh ke arah pria yang berdiri tidak sabar di antrean. "Maaf?" tanyaku gugup. "Anda ingin lewat?" "Tidak," jawabnya dengan cibiran. "Aku ingin idiot-idiot di meja resepsionis itu mempercepat pekerjaan mereka. Aku bisa ketinggalan pesawat gara-gara mereka!" Bau alkohol menyengat dari napasnya. Aku menghela napas dan kembali memandang ke depan. Ada pemabuk menyebalkan di antrean check-in. Bandara sedang ramai karena cuaca buruk yang telah menunda banyak penerbangan, dan suasana semakin tegang. Di belakangku, pria itu terus mengeluh, memaki-maki staf resepsionis, dan melontarkan komentar kasar kepada siapa saja yang mau mendengarkan. Aku mengabaikannya, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membuatku semakin kesal. Aku tidak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. "Mereka bekerja secepat yang mereka bisa. Kau tidak perlu bersikap kasar." "Apa?!" teriaknya, amarahnya la

    Huling Na-update : 2025-01-19

Pinakabagong kabanata

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Logan "Godaan di Udara"

    “Tidak, terima kasih.” “Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?” "Terima kasih, tapi tidak perlu," jawabku dengan santai. Kalau aku pergi ke toilet sekarang, aku tahu apa yang akan terjadi. Pramugari ini pasti akan mencoba menggodaku lebih jauh. Aku sudah cukup sering berhadapan dengan situasi seperti ini. Tapi kemudian, suara tetanggaku di sebelahku menyela. "Sampanye terdengar menarik," gumamnya, seperti menemukan ide brilian. Aku menyeringai dalam hati. Sepertinya, ada yang lebih menarik dari sekadar godaan ringan. “Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanan ini, Tuan Blackwood. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya.” Aku mengangguk kecil, tidak menghiraukannya dan kembali ke majalah yang menampilkan mobil sport mewah favoritku. “Itu tidak penting sekarang. Tapi terima kasih.” “Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…” “Hei,” potong burung gila itu. “Kurasa aku ingin—hei! Halooo?” Dia melambaikan tangan saat pramugari itu berjalan p

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise " Kutukan Jus Cranberry"

    Aku sedang melihat-lihat menu sambil duduk di kursi kelas satu yang super nyaman. Ini seperti duduk di sofa rumah sendiri—kecuali dengan bonus pemandangan awan nanti. “Apa yang dilakukan wanita itu di kursiku?” Leherku menegang. Suara itu datang dari suatu tempat di belakangku. Nada suaranya rendah, tegas, dan... sangat familiar. Dan dia salah. Aku yakin ini kursiku. Aku sudah memeriksa nomor kursinya dua kali. Tidak mungkin aku kembali ke kelas ekonomi sekarang. Aku berpura-pura sibuk mempelajari menu.“Saya minta maaf, Pak,” jawab pramugari dengan nada hati-hati. Rupanya, penumpang kelas satu seperti dia bisa membuat siapa saja merasa gentar. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah dipesan.” “Itulah sebabnya saya membeli dua kursi,” katanya ketus. Aku mendengar gumaman pramugari mencoba menenangkan, tapi perhatianku terpecah oleh dua pria yang berjalan melewatiku, membicarakan saham. Begitu mereka berlalu, aku mendengar suara Tuan Sombong lagi. “Ini tidak bi

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Anneliese "Kejutan di Kelas Satu"

    6 Bulan Sebelumnya... "Bisakah kau menyingkir?" gerutu sebuah suara di belakangku. Aku terkejut, menoleh ke arah pria yang berdiri tidak sabar di antrean. "Maaf?" tanyaku gugup. "Anda ingin lewat?" "Tidak," jawabnya dengan cibiran. "Aku ingin idiot-idiot di meja resepsionis itu mempercepat pekerjaan mereka. Aku bisa ketinggalan pesawat gara-gara mereka!" Bau alkohol menyengat dari napasnya. Aku menghela napas dan kembali memandang ke depan. Ada pemabuk menyebalkan di antrean check-in. Bandara sedang ramai karena cuaca buruk yang telah menunda banyak penerbangan, dan suasana semakin tegang. Di belakangku, pria itu terus mengeluh, memaki-maki staf resepsionis, dan melontarkan komentar kasar kepada siapa saja yang mau mendengarkan. Aku mengabaikannya, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membuatku semakin kesal. Aku tidak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. "Mereka bekerja secepat yang mereka bisa. Kau tidak perlu bersikap kasar." "Apa?!" teriaknya, amarahnya la

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Gaun Merah untuk Dendam"

    “Kau tidak boleh mengenakan gaun hitam ke pesta pernikahan, Annelise Fischer.” Aku menghela napas panjang, menarik gaunku lebih erat ke tubuhku, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang kuinginkan hanyalah mengenakan gaun hitam favoritku. Tapi tidak, aturan etiket pernikahan melarangnya. “Ini omong kosong,” gumamku, setengah untuk diriku sendiri. “Lalu, apa pilihanku?” tanyaku jengkel. Jennifer tersenyum tipis, “Bagaimana dengan yang biru muda?” “Yang abu-abu?” usul Chloe antusias, meski aku tahu itu tidak akan membuatku merasa lebih baik. Aku memijat pelipisku. Jennifer terlihat sangat anggun dalam balutan gaun emas metalik berpotongan rendah, dia duduk santai di tempat tidurku sambil menyeruput secangkir teh hijau. Rambutnya yang panjang bergelombang dibiarkan terurai, dengan sedikit highlight keemasan yang berkilauan. Chloe, di sisi lain, memilih gaun mini berwarna hijau zamrud yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuh atletisnya. Rambut coke

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Undangan Pernikahan Sang Mantan"

    "Oh my God!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Apakah salah satu dari kalian mau menjelaskan apa yang terjadi, atau aku harus menebak sendiri?" Chloe tidak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya.Aku sudah menghabiskan tiga gelas whiskey sour sambil menyaksikan gerak-geriknya sebelum ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata itu – milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip.Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melin

I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status