Aku baru aja duduk nyaman di kursi kelas satu yang empuk banget—kayak duduk di sofa rumah sendiri, cuma kali ini dengan bonus pemandangan awan nanti. Sambil melihat-lihat menu, aku merasa hidupku naik level.
Tapi tiba-tiba, suara berat dan tegas dari belakang bikin leher gue menegang. “Siapa yang duduk di kursi saya?” Aku berhenti napas sejenak. Suara itu… kayaknya aku kenal. Tapi yang jelas, dia salah. Ini kursi aku. Aku udah cek nomornya dua kali, dan enggak mungkin balik ke kelas ekonomi setelah nyicipin kemewahan ini. Aku pura-pura sibuk ngelihatin menu, berharap suara itu bakal menghilang. “Maaf, Pak,” kata pramugari dengan nada hati-hati. Kelihatannya, orang ini punya aura yang bikin siapa aja deg-degan. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah terisi.” “Makanya saya beli dua kursi.” Suaranya ketus, seolah enggak mau ada perdebatan. Aku sempat menangkap suara pramugari yang mencoba menjelaskan sesuatu, tapi perhatianku malah ke dua cowok yang jalan melewati kursi, ngobrolin saham dengan suara sok sibuk. Begitu mereka menjauh, suara si Tuan Sombong terdengar lagi. “Ini enggak bisa diterima.” Aku melirik sedikit dari balik menu, dan… Astaga. Itu dia. Cowok yang tadi aku tumpahkan jus cranberry di lounge! Aku langsung balik menunduk, pura-pura enggak ada. Tapi jelas, hidupku enggak sebaik itu. “Sepertinya, layar privasinya...” Pramugari mencoba menjelaskan. “Enggak berfungsi?” Tanyanya ketus. Aku makin membenamkan muka di menu. Tuhan, tolong buat diriku menghilang. “Mungkin saya bisa meminta penumpang lain untuk bertukar tempat duduk?” tawar pramugari dengan hati-hati. “Sama aja.” Dia mendengus. “Masalahnya bukan siapa yang duduk di sini. Masalahnya adalah saya enggak mau ada orang lain di sini.” Pramugari kelihatan serba salah. Aku mencoba diam sebaik mungkin, berharap dia enggak ngenalin diriku. Tapi ya, jelas nasib enggak memihak. Cowok itu sedikit memiringkan kepala, mata hijaunya menatapku tajam. Lalu, dia menyipit. “Lo lagi?” Aku nyengir kaku. “Eh... hai? Maaf soal kejadian di lounge tadi?” “Lo duduk di kursi gue.” Dia akhirnya duduk dengan kesal, menghela napas panjang sebelum menatapku lagi. “Dan lo selalu muncul di waktu yang paling nyebelin.” Aku menelan ludah. Cowok ini... tinggi banget. Dengan bahu lebar dan postur tegap yang bikin kursi pesawat ini kelihatan kekecilan buat dia. Dia mungkin lebih dari enam kaki—dan itu cuma bikin auranya makin terasa dominan. Tanpa sadar, mataku turun ke tubuhnya. Kakinya panjang, ototnya kelihatan jelas meskipun ketutupan celana suede yang, ehem, sekarang ada noda merah ombre gara-gara ulahku tadi. Aku benar-benar dikutuk hari ini. Dia juga pakai rompi sweter. Seharusnya, itu bisa bikin dia kelihatan kayak dosen tolol yang cupu. Tapi enggak. Sama sekali enggak. Rompi itu malah ngebentuk tubuh rampingnya dengan cara yang... astaga... seharusnya ilegal. Dan lengan itu. Aku refleks membandingkannya dengan lengan Anthony. Tapi cowok ini beda. Ada ketenangan di dirinya, tapi sekaligus aura bahaya yang membuatku sedikit gugup… dan, oke, mungkin juga sedikit terpikat. Dia geser badannya sedikit, gerakan kecil yang seharusnya enggak berarti apa-apa, tapi cukup membuatku sadar kalau aku keterusan ngelihatin dia. Aku buru-buru buang muka. Tapi dia sadar. "Lo menikmati pemandangan?" Aku terperangkap. "T-tentu aja enggak!" Dia ngangkat alis, ekspresinya kayak bilang 'yaelah, bohong banget lo.' "Oh ya?" Aku mau bales sesuatu, tapi lidahku kayak mendadak beku. Dan senyumnya—setengah senyum arogan itu—bikin aku makin pengin menghilang ke dalam kursi. "Gue bersumpah, ini semua bukan salah gue. Gue juga enggak minta kejadian ini terjadi. Tapi gue udah di sini, jadi... mungkin kita bisa, ya, pura-pura enggak saling kenal?" Dia diam sebentar, matanya mengamatiku seolah menilai apakah aku serius atau cuma asal ngomong. "Baiklah, gue bakal coba. Tapi jangan tumpahin apa-apa lagi ke gue." Aku ketawa kecil. "Santai, gue bakal pegang gelas pake dua tangan. Kayak anak kecil." Dia geleng-geleng kepala, matanya sedikit lebih lunak meskipun bibirnya masih melontarkan sindiran. "Bagus. Kalau enggak, gue bisa aja nuntut lo atas kerugian emosional." Oke. Dia menyebalkan. "Yah... Semua ini bakal berakhir dalam tujuh jam lagi." Dia tetap menatap jendela, nada suaranya datar. "Tujuh jam duduk di sebelah cewek gila yang bawa bencana ke mana-mana. Seru banget." Aku melirik dia, menahan diri buat enggak ngelempar komentar pedas. Tapi sebelum sempat ngerespon, pesawat mulai bergerak, sedikit bergetar saat keluar dari gerbang. Dan saat itu juga, ekspresinya berubah. Dia langsung tegang. Dari sudut mata, aku bisa lihat wajahnya memucat—dari warna sehat, ke hijau pucat yang agak mengkhawatirkan, lalu memudar jadi abu-abu. Aku nyaris ketawa ngakak. Cowok segede ini... takut terbang? Dia jelas lagi nyoba nyembunyikan sesuatu. Duduk kaku dengan rahang mengeras, seolah-olah mau bikin orang percaya kalau dia setangguh batu karang. Tapi aku enggak bego. Tangan yang mencengkeram sandaran kursi itu udah kasih tahu semuanya. Belum lagi matanya yang enggak lepas dari jendela, kayak lagi ngitung semua kemungkinan pesawat ini jatuh. Aku nyengir. "Lo baik-baik aja?" "Tentu aja gue baik-baik aja." Aku menahan ketawa. "Serius? Soalnya muka lo lebih pucat dari tahu sutra." Dia melirikku tajam, tapi aku nggak membalas. Aku lihat dia menarik napas panjang. Oke, ini kesempatan bagus. Kalau dia bisa manggil aku 'cewek gila', aku juga jelas berhak bersenang-senang sedikit. "Kalau lo mau, gue bisa panggil pramugari buat kasih kantong muntah." Tatapannya berubah jadi 'gue-bakal-bunuh-lo' mode on. "Gue enggak bakal muntah." "Oh ya," aku balas sambil nyandar santai. "Tapi kalau lo berubah pikiran, kasih tahu aja. Gue bakal dengan senang hati bantu. Kita harus saling jaga, kan?" Dia memutar mata, tapi di sudut bibirnya muncul senyum kecil yang hampir enggak keliatan. Menang. Tapi kemudian dia berkata dengan nada dingin, "Kalau lo beneran mau bantu, mungkin lo bisa diem selama sisa penerbangan ini." Aku cemberut, tapi tetap menatap dia yang jelas-jelas lagi panik. "Lo selalu ngomong kayak gitu? Kayak pangeran ningrat yang baru aja kehilangan mahkotanya?" Kepalanya langsung menoleh kepadaku, tapi cuma sebentar sebelum dia balik menatap ke depan lagi. Rahangnya makin tegang, bibirnya mengatup rapat. Ah, kena. Aku menjentikkan jari, pura-pura kayak baru dapet ide brilian. "Oh atau… Pangeran Tampan? Kayaknya lebih cocok buat lo." Dia melirikku dengan ekspresi 'tolonglah-diam', tapi suaranya keluar rendah dan halus, kayak mentega leleh di roti panggang. "Ya, benar. Maaf kalau gue keliatan enggak ramah, Nona, tapi gue lagi dalam misi penting." Lalu dia mendekat, suara turun jadi bisikan. "Gue lagi nyari pengantin gue. Sayangnya, lo enggak pakai sepatu kaca, jadi kayaknya bukan lo." Aku ngikutin arah tatapannya—ke kakiku yang lagi nyeker, lalu ke sepatu kets putih usangku yang tergeletak di lantai. Aku ngakak. "Ya ampun, serius banget, Pangeran?" "Tuan Rajendra, apakah Anda ingin sesuatu untuk diminum sebelum penerbangan? Mungkin sparkling wine Bali? Atau Equil?" Suara pramugari menyentakku balik ke kenyataan. Aku pun memperhatikan caranya mendekat—lengannya bertumpu di dekat bahu cowok ini, punggungnya sedikit melengkung, bikin bagian dadanya lebih menonjol. Dia jelas lagi mencoba menarik perhatian cowok ini. Dan aku enggak bisa nyalahin dia. Cowok ini emang… sesuatu."Nggak, makasih." "Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?" "Makasih, tapi nggak perlu," jawabku santai. Aku tahu kalau pergi ke toilet sekarang, pramugari ini pasti bakal nyoba lebih jauh buat menarik perhatianku. Udah sering kejadian. Udah biasa. Tapi sebelum aku bisa mikir lebih jauh, suara orang di sebelahku menyela, "Kayaknya sparkling wine enak juga." Suaranya santai, kayak baru aja menemukan ide brilian. Aku menyeringai kecil dalam hati. Oke, ini bakal lebih menarik dari sekadar godaan biasa. "Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan Rajendra. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya." Aku cuma mengangguk kecil, balik fokus ke majalah mobil sport yang lagi aku baca. "Nggak masalah. Tapi makasih." "Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…" "Hei," potong perempuan di sebelahku. "Aku rasa aku mau—hei! Halo?!" Dia melambaikan tangan ke pramugari yang langsung berbalik pergi. Aku nyengir kecil. "Ini salah lo, tau." Aku melirik ke a
"Apa? Nggak mungkin." "Mungkin." Aku duduk di sampingnya, hampir aja meluk dia. Ya Ampun, badannya dingin. Dia akhirnya mendesah lega, aku narik ujung selimut, nutupin kakinya sebelum bersandar padanya lagi. Dia menggeliat, setengah hati berusaha menjauh, tapi udah mentok di tepi. Nggak ada tempat buat kabur. "Ini nggak wajar." "Tapi kita bakal tetep ngelakuin ini." Dalam keadaan normal, aku nggak pernah maksa orang buat begini. Tapi setidaknya sekarang dia fokus ke pelukanku, bukan ke turbulensi. Itu sudah kemajuan. Aku menempelkan pipiku ke bisepnya. Ototnya keras kayak batu, dan dia sedikit gemetar. Dia berdeham. "Gue nggak—" "Tinggal satu tarikan napas lagi buat lo beneran kehilangan akal sehat. Terima aja kenyamanan fisik dari gue." Lengannya berkedut, kayak nahan diri, tapi aku tahu sebenernya dia juga kepengen. Akhirnya dia nyerah, mengangkat lengannya, kasih aku ruang untuk lebih dekat. Yeah akhirnya. Aku menyender ke bahunya, merapatkan tubuh
Pesawat goyang lagi, membuat jantungku makin nggak karuan. Setiap kali aku merasa bisa tenang, turbulensi menarik dia balik ke mode panik. “Kita harus kasih nama anak-anak kita pake nomor,” kataku tiba-tiba. Aku bisa merasakan ototnya tegang di bawah pipiku. Tapi aku tetap nempel, membelai dadanya pelan sambil bersenandung. Lama-lama dia mulai lemas, tubuhnya lebih condong ke arahku. "Boleh gue tanya kenapa?" "Karena kita bakal punya banyak anak. Jadi lebih gampang aja. Kayak... Anak pertama, ‘Satu.’ Anak kedua, ‘Dua.’ Pas udah anak keenam, kita tinggal panggil ‘Setengah Lusin.’" Dia mendengus antara tertawa dan kesal. "Lo gila." Aku tersenyum. "Gue bisa nerima itu." “Gue benci ini,” gumamnya. "Pelukan?" Aku pura-pura bego, padahal aku udah tahu maksudnya. Dia tertawa kecil, nadanya getir. "Kelemahan." "Semua orang takut sesuatu." Dia diam sebentar sebelum akhirnya nanya, "Lo takut apa?" "Gue takut gelombang pasang. Dari kecil suka mimpi buruk ke
Pria itu berdecak. "Teruskan," katanya, tangannya terulur, menarik pergelangan tanganku dengan gerakan yang lambat tapi pasti. Jantungku berdebar kencang saat aku menuruti perkataannya, merasa terbakar oleh tatapan matanya yang dalam dan gelap, terpaku pada kulit di bahuku yang terbuka karena tersingkap. Jemariku bergerak gelisah, menekan lipatan kain yang meluncur dari pundakku, merasakan detak jantungku sendiri. Sial. Kenapa dia bisa membuat udara berasa setipis ini? "Lo nggak sadar, ya?" Aku menatapnya, bingung. "Apa?" Dia menarik napas dalam, lalu jemarinya meluncur ringan di sepanjang leherku, menciptakan jejak api di mana pun dia menyentuh. "Lo nggak tahu seberapa besar gue terangsang sekarang." Getaran aneh muncul di tubuhku. "Gue belum nyentuh lo," bisikku. "Lebih baik jangan." Tatapannya semakin dalam, sebelum akhirnya tangannya berpindah ke rahangku, ibu jarinya mengusap sudut bibirku. "Kalau lo cium gue lagi… gue nggak jamin bisa nahan lebih
"Ya Tuhan!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Salah satu dari kalian mau jelasin ini, atau gue harus nebak sendiri?" Chloe nggak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas wiski sambil mengamati gerak-geriknya sebelum akhirnya ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata– milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah,
"Lo nggak boleh pakai gaun hitam ke pesta nikahan, Annelise Ayuningtyas Fischer." Aku menghela napas panjang, narik gaunku lebih erat ke tubuh, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang aku mau cuma pakai gaun hitam favoritku. Tapi enggak, aturan etiket pernikahan melarangnya. "Ini konyol," gumamku, setengah ngomong ke diri sendiri. "Terus gue harus pakai apa?" Jennifer nyengir tipis. "Gimana kalau yang biru muda?" "Yang abu-abu?" usul Chloe semangat, walaupun aku tahu itu nggak bakal bikin moodku jauh lebih baik. Aku memijit pelipis. Jennifer keliatan anggun dengan gaun emas metalik yang potongannya rendah. Dia duduk santai di kasurku sambil meyeruput teh hijau kayak sosialita. Rambut panjangnya yang bergelombang terurai, highlight keemasannya berkilau kena lampu. Chloe beda lagi. Dia pakai mini dress hijau zamrud yang ngepas banget di tubuhnya, bikin lekuk atletisnya makin keliatan. Rambut cokelatnya diikat ponytail tinggi, bikin dia keliatan fierce. Dan aku? Masih
6 Bulan Sebelumnya... “Bisa geser nggak?” Suara ketus di belakangku membuatku menoleh. Seorang pria berdiri dengan wajah tak sabaran, ekspresi kesalnya jelas terlihat. “Hah?” Aku sedikit gugup. “Mau lewat?” “Nggak,” balasnya ketus. “Gue cuma pengen staf bandara ini kerja lebih cepat. Bisa-bisa gue ketinggalan pesawat gara-gara mereka!” Bau alkohol menyeruak dari napasnya. Aku menghela napas panjang dan kembali menatap antrean check-in yang bergerak lambat. Cuaca buruk telah menunda banyak penerbangan, membuat suasana semakin panas. Di belakangku, pria itu terus saja mengeluh, memaki-maki staf bandara, dan mengomel pada siapa saja yang sialnya berada dalam jangkauan suaranya. Aku mencoba mengabaikannya, tapi semakin lama, semakin susah. Akhirnya, aku nggak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. “Mereka udah kerja secepat mungkin. Bisa nggak, sih, lo nggak usah nyebelin?” “Apa?!” Dia langsung tersinggung. Aku menghembuskan napas, mencoba tetap tenang. “Coba deh,
Pria itu berdecak. "Teruskan," katanya, tangannya terulur, menarik pergelangan tanganku dengan gerakan yang lambat tapi pasti. Jantungku berdebar kencang saat aku menuruti perkataannya, merasa terbakar oleh tatapan matanya yang dalam dan gelap, terpaku pada kulit di bahuku yang terbuka karena tersingkap. Jemariku bergerak gelisah, menekan lipatan kain yang meluncur dari pundakku, merasakan detak jantungku sendiri. Sial. Kenapa dia bisa membuat udara berasa setipis ini? "Lo nggak sadar, ya?" Aku menatapnya, bingung. "Apa?" Dia menarik napas dalam, lalu jemarinya meluncur ringan di sepanjang leherku, menciptakan jejak api di mana pun dia menyentuh. "Lo nggak tahu seberapa besar gue terangsang sekarang." Getaran aneh muncul di tubuhku. "Gue belum nyentuh lo," bisikku. "Lebih baik jangan." Tatapannya semakin dalam, sebelum akhirnya tangannya berpindah ke rahangku, ibu jarinya mengusap sudut bibirku. "Kalau lo cium gue lagi… gue nggak jamin bisa nahan lebih
Pesawat goyang lagi, membuat jantungku makin nggak karuan. Setiap kali aku merasa bisa tenang, turbulensi menarik dia balik ke mode panik. “Kita harus kasih nama anak-anak kita pake nomor,” kataku tiba-tiba. Aku bisa merasakan ototnya tegang di bawah pipiku. Tapi aku tetap nempel, membelai dadanya pelan sambil bersenandung. Lama-lama dia mulai lemas, tubuhnya lebih condong ke arahku. "Boleh gue tanya kenapa?" "Karena kita bakal punya banyak anak. Jadi lebih gampang aja. Kayak... Anak pertama, ‘Satu.’ Anak kedua, ‘Dua.’ Pas udah anak keenam, kita tinggal panggil ‘Setengah Lusin.’" Dia mendengus antara tertawa dan kesal. "Lo gila." Aku tersenyum. "Gue bisa nerima itu." “Gue benci ini,” gumamnya. "Pelukan?" Aku pura-pura bego, padahal aku udah tahu maksudnya. Dia tertawa kecil, nadanya getir. "Kelemahan." "Semua orang takut sesuatu." Dia diam sebentar sebelum akhirnya nanya, "Lo takut apa?" "Gue takut gelombang pasang. Dari kecil suka mimpi buruk ke
"Apa? Nggak mungkin." "Mungkin." Aku duduk di sampingnya, hampir aja meluk dia. Ya Ampun, badannya dingin. Dia akhirnya mendesah lega, aku narik ujung selimut, nutupin kakinya sebelum bersandar padanya lagi. Dia menggeliat, setengah hati berusaha menjauh, tapi udah mentok di tepi. Nggak ada tempat buat kabur. "Ini nggak wajar." "Tapi kita bakal tetep ngelakuin ini." Dalam keadaan normal, aku nggak pernah maksa orang buat begini. Tapi setidaknya sekarang dia fokus ke pelukanku, bukan ke turbulensi. Itu sudah kemajuan. Aku menempelkan pipiku ke bisepnya. Ototnya keras kayak batu, dan dia sedikit gemetar. Dia berdeham. "Gue nggak—" "Tinggal satu tarikan napas lagi buat lo beneran kehilangan akal sehat. Terima aja kenyamanan fisik dari gue." Lengannya berkedut, kayak nahan diri, tapi aku tahu sebenernya dia juga kepengen. Akhirnya dia nyerah, mengangkat lengannya, kasih aku ruang untuk lebih dekat. Yeah akhirnya. Aku menyender ke bahunya, merapatkan tubuh
"Nggak, makasih." "Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?" "Makasih, tapi nggak perlu," jawabku santai. Aku tahu kalau pergi ke toilet sekarang, pramugari ini pasti bakal nyoba lebih jauh buat menarik perhatianku. Udah sering kejadian. Udah biasa. Tapi sebelum aku bisa mikir lebih jauh, suara orang di sebelahku menyela, "Kayaknya sparkling wine enak juga." Suaranya santai, kayak baru aja menemukan ide brilian. Aku menyeringai kecil dalam hati. Oke, ini bakal lebih menarik dari sekadar godaan biasa. "Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan Rajendra. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya." Aku cuma mengangguk kecil, balik fokus ke majalah mobil sport yang lagi aku baca. "Nggak masalah. Tapi makasih." "Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…" "Hei," potong perempuan di sebelahku. "Aku rasa aku mau—hei! Halo?!" Dia melambaikan tangan ke pramugari yang langsung berbalik pergi. Aku nyengir kecil. "Ini salah lo, tau." Aku melirik ke a
Aku baru aja duduk nyaman di kursi kelas satu yang empuk banget—kayak duduk di sofa rumah sendiri, cuma kali ini dengan bonus pemandangan awan nanti. Sambil melihat-lihat menu, aku merasa hidupku naik level. Tapi tiba-tiba, suara berat dan tegas dari belakang bikin leher gue menegang. “Siapa yang duduk di kursi saya?” Aku berhenti napas sejenak. Suara itu… kayaknya aku kenal. Tapi yang jelas, dia salah. Ini kursi aku. Aku udah cek nomornya dua kali, dan enggak mungkin balik ke kelas ekonomi setelah nyicipin kemewahan ini. Aku pura-pura sibuk ngelihatin menu, berharap suara itu bakal menghilang. “Maaf, Pak,” kata pramugari dengan nada hati-hati. Kelihatannya, orang ini punya aura yang bikin siapa aja deg-degan. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah terisi.” “Makanya saya beli dua kursi.” Suaranya ketus, seolah enggak mau ada perdebatan. Aku sempat menangkap suara pramugari yang mencoba menjelaskan sesuatu, tapi perhatianku malah ke dua cowok yang jalan melewati
6 Bulan Sebelumnya... “Bisa geser nggak?” Suara ketus di belakangku membuatku menoleh. Seorang pria berdiri dengan wajah tak sabaran, ekspresi kesalnya jelas terlihat. “Hah?” Aku sedikit gugup. “Mau lewat?” “Nggak,” balasnya ketus. “Gue cuma pengen staf bandara ini kerja lebih cepat. Bisa-bisa gue ketinggalan pesawat gara-gara mereka!” Bau alkohol menyeruak dari napasnya. Aku menghela napas panjang dan kembali menatap antrean check-in yang bergerak lambat. Cuaca buruk telah menunda banyak penerbangan, membuat suasana semakin panas. Di belakangku, pria itu terus saja mengeluh, memaki-maki staf bandara, dan mengomel pada siapa saja yang sialnya berada dalam jangkauan suaranya. Aku mencoba mengabaikannya, tapi semakin lama, semakin susah. Akhirnya, aku nggak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. “Mereka udah kerja secepat mungkin. Bisa nggak, sih, lo nggak usah nyebelin?” “Apa?!” Dia langsung tersinggung. Aku menghembuskan napas, mencoba tetap tenang. “Coba deh,
"Lo nggak boleh pakai gaun hitam ke pesta nikahan, Annelise Ayuningtyas Fischer." Aku menghela napas panjang, narik gaunku lebih erat ke tubuh, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang aku mau cuma pakai gaun hitam favoritku. Tapi enggak, aturan etiket pernikahan melarangnya. "Ini konyol," gumamku, setengah ngomong ke diri sendiri. "Terus gue harus pakai apa?" Jennifer nyengir tipis. "Gimana kalau yang biru muda?" "Yang abu-abu?" usul Chloe semangat, walaupun aku tahu itu nggak bakal bikin moodku jauh lebih baik. Aku memijit pelipis. Jennifer keliatan anggun dengan gaun emas metalik yang potongannya rendah. Dia duduk santai di kasurku sambil meyeruput teh hijau kayak sosialita. Rambut panjangnya yang bergelombang terurai, highlight keemasannya berkilau kena lampu. Chloe beda lagi. Dia pakai mini dress hijau zamrud yang ngepas banget di tubuhnya, bikin lekuk atletisnya makin keliatan. Rambut cokelatnya diikat ponytail tinggi, bikin dia keliatan fierce. Dan aku? Masih
"Ya Tuhan!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Salah satu dari kalian mau jelasin ini, atau gue harus nebak sendiri?" Chloe nggak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas wiski sambil mengamati gerak-geriknya sebelum akhirnya ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata– milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah,