6 Bulan Sebelumnya...
“Bisa geser nggak?” Suara ketus di belakangku membuatku menoleh. Seorang pria berdiri dengan wajah tak sabaran, ekspresi kesalnya jelas terlihat. “Hah?” Aku sedikit gugup. “Mau lewat?” “Nggak,” balasnya ketus. “Gue cuma pengen staf bandara ini kerja lebih cepat. Bisa-bisa gue ketinggalan pesawat gara-gara mereka!” Bau alkohol menyeruak dari napasnya. Aku menghela napas panjang dan kembali menatap antrean check-in yang bergerak lambat. Cuaca buruk telah menunda banyak penerbangan, membuat suasana semakin panas. Di belakangku, pria itu terus saja mengeluh, memaki-maki staf bandara, dan mengomel pada siapa saja yang sialnya berada dalam jangkauan suaranya. Aku mencoba mengabaikannya, tapi semakin lama, semakin susah. Akhirnya, aku nggak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. “Mereka udah kerja secepat mungkin. Bisa nggak, sih, lo nggak usah nyebelin?” “Apa?!” Dia langsung tersinggung. Aku menghembuskan napas, mencoba tetap tenang. “Coba deh, lebih sopan dikit.” Dia menyipitkan mata. “Lo ini guru SD, ya? Atau cuma cewek bawel yang nggak bisa diem?” Aku melotot. Dasar manusia nggak punya adab. Aku juga lagi buru-buru buat wawancara kerja penting, tapi nggak bikin suasana makin ribet kayak dia. Aku kembali menghadap ke depan, berharap antrean segera maju. Tapi tiba-tiba, aku merasakan sesuatu mengenai kakiku. Aku menoleh ke bawah. Dia baru saja menendang koperku. Aku berbalik dengan cepat. “Apa-apaan sih?! Jangan ganggu gue!” Dia malah mendekat, napas alkoholnya bikin aku meringis. “Gue bebas ngelakuin apa aja yang gue mau.” Aku refleks melangkah mundur, tapi dia lebih cepat. Dengan seenaknya, dia meraih koperku dan menjatuhkannya ke lantai. “WOI!” Aku membungkuk untuk mengambil koperku, tapi sebelum sempat, dia mendorong bahuku dengan cukup keras sampai aku hampir jatuh. Rasa nyeri langsung menjalar di lenganku. Pria itu tertawa kecil, tapi tawa itu langsung lenyap ketika dua petugas keamanan muncul di belakangnya. Salah satu dari mereka langsung menangkapnya, sementara yang lain menghampiriku. “Anda baik-baik saja, Nona?” Aku mengusap lenganku yang masih terasa sakit, lalu tersenyum kecil. “Iya, aku nggak apa-apa. Makasih.” Pria itu mencoba memberontak, tapi petugas dengan sigap menyeretnya pergi. Aku menghembuskan napas lega, sementara beberapa orang di sekitar mulai berbisik. “Silakan ikut saya,” ucap petugas lain. Aku menurut dan mengikuti langkahnya ke salah satu loket check-in. Seorang wanita berseragam menyambutku dengan senyum ramah. “Halo,” sapanya. “Hai,” jawabku, masih mencoba mengatur napas. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya, suaranya penuh perhatian. Aku mengangguk. “Iya, aku baik-baik aja. Makasih udah nanya.” Petugas keamanan di sebelahku menoleh ke wanita itu dan berkata, “Tolong urus dia,” sebelum pergi. Wanita itu mengangguk dan kembali menatapku. “Bisa tunjukkan identitasmu?” Aku buru-buru membuka dompet, mengacak isinya, sampai akhirnya menemukan pasporku. Dengan sedikit malu, aku menyerahkannya padanya. Dia membuka halaman fotoku dan tersenyum kecil. “Itu foto paling jelek sepanjang sejarah.” Aku mendesah. Dia tertawa pelan. “Belum lihat foto pasporku? Aku kelihatan kayak orang belum mandi.” Aku ikut tertawa. Dia mulai mengetik sesuatu di komputernya, lalu menghela napas kecil. “Percaya atau nggak, kejadian kayak tadi tuh sering banget terjadi di sini.” “Begitu,” aku mengangguk, tersenyum tipis. “Tapi makasih udah bantuin aku.” “Tidak masalah. Setidaknya Anda aman sekarang.” Dia menyerahkan tiketku, tetapi sebelum aku sempat pergi, dia menambahkan, “Oh, ada satu hal lagi.” Aku mengangkat alis. “Apa itu?” “Kami telah menaikkan Anda ke penerbangan kelas satu sebagai permohonan maaf atas insiden tadi,” katanya sambil tersenyum. Mataku membulat. “Serius?” “Ya, serius.” Aku memandang tiketku, lalu kembali tersenyum padanya. “Terima kasih. Aku benar-benar menghargainya.” “Semoga penerbangan Anda menyenangkan.” *** Begitu masuk ke lounge VIP, aku merasa kayak sultan dadakan. Interiornya menakjubkan—sofa empuk, meja marmer, plus buffet makanan yang menggoda iman. “Gratis, kan?” gumamku pelan, langsung menyambar piring. Tanpa pikir panjang, aku menumpuk makanan kayak lagi mau pesta. Setelah perut aman, mataku menangkap papan bertuliskan "Spa & Relaksasi". Hmm, menarik. Aku mengikuti petunjuknya, dan entah gimana, tiba-tiba udah selonjoran santai dengan masker wajah plus timun nempel di mata. Sensasi dinginnya membuatku refleks mengeluarkan suara puas. “Hidup itu harusnya kayak gini,” bisikku sambil ngeliatin pantulan diri di cermin. Tapi ya, hidup ideal versiju ini jelas gak termasuk mantan menyebalkan yang namanya ogah aku sebut. Tapi aku gak boleh kelamaan leha-leha. Realita tetep jalan, dan aku masih butuh kerja. Nggak bisa hidup cuma modal spa gratisan aja. Aku keluar dari spa dengan perasaan super rileks. Entah efek pijatan tadi atau musik yang ngalun lembut di lounge, aku ngerasa ringan banget. Saking enaknya, aku refleks goyangin bahu dan sedikit joget di tempat. Dan di saat diriku lagi asyik… BRUK! Aku nabrak sesuatu. Eh, seseorang. “Astaga!” Aku langsung melotot ngelihat jus cranberry di tanganku yang sekarang sukses mendarat di… celana putih seseorang. Celana suede putih. Tentu aja. Karena celana model gitu emang paling cocok buat kena musibah. Orangnya terdiam sesaat, terus melirik pahanya yang sekarang ada corak merah mencolok. Aku? Masih loading, otakku nge-freeze seperti HP kentang selesai diupdate. “Wah.” Nada suaranya datar, tapi jelas ada sindiran di sana. “Gue baru aja dapet desain baru di celana, nih.” Aku buru-buru ngeliat ke atas dan… anjir, orangnya ganteng banget. Bahkan dalam keadaan kena apes gini, dia tetep keliatan mahal. Tapi yang lebih parah—aku masih pake masker lumpur dan timun di mata. “Oh, buset…” Aku buru-buru copot timun dari muka, yang satu hampir jatuh ke sepatunya. “Sumpah gue gak sengaja! Gue gak ngeliat jalan tadi—” Dia hembusin napas, nadanya pasrah. “Ya… syukurlah ini cuma jus cranberry. Gak kebayang kalau kopi panas.” Panik, aku langsung menyambar tisu dan buru-buru mengelap nodanya. Tapi baru beberapa detik, aku sadar… lah, ngapain juga aku ngelus-ngelus pahanya?! “Oh, sial! Malah makin parah, ya?” Aku buru-buru berhenti, mukaku terbakar malu. Dia memperhatikanku sebentar, lalu mengangkat sebelah alisnya. “Lumayan sih.” Aku makin panik. “Gue ganti! Serius, gue ganti! Gue bayar laundry, atau… atau gue bisa beliin lo celana baru?” Dia melihatku sebentar, lalu lirikan matanya turun ke tas kecil yang aku bawa. “Gue butuh celana ini sekarang. Dan gue yakin lo gak punya celana ukuran gue di tas itu.” Aku nelan ludah. “Tapi gue harus tanggung jawab! Kalau perlu gue cuci suede ini sendiri!” Dia diam sebentar, lalu mengusap wajahnya kayak lagi mikirin sesuatu. Akhirnya, dia ngelirik dan menghela napas panjang. “Udahlah, lupain aja.” “Hah?” “Gak usah dipikirin,” katanya, nada suaranya lebih santai tapi tetep tegas. “Gue gak punya waktu buat ribut soal celana. Anggap aja ini hari sial biasa.” Dan sebelum aku sempat bilang sesuatu, dia udah ngeloyor pergi begitu aja, ninggalin aku yang masih berdiri bengong… dengan masker lumpur masih menempel di muka. “Oke. Cowok itu pasti mikir gue orang paling aneh yang pernah dia temui.”Aku baru aja duduk nyaman di kursi kelas satu yang empuk banget—kayak duduk di sofa rumah sendiri, cuma kali ini dengan bonus pemandangan awan nanti. Sambil melihat-lihat menu, aku merasa hidupku naik level. Tapi tiba-tiba, suara berat dan tegas dari belakang bikin leher gue menegang. “Siapa yang duduk di kursi saya?” Aku berhenti napas sejenak. Suara itu… kayaknya aku kenal. Tapi yang jelas, dia salah. Ini kursi aku. Aku udah cek nomornya dua kali, dan enggak mungkin balik ke kelas ekonomi setelah nyicipin kemewahan ini. Aku pura-pura sibuk ngelihatin menu, berharap suara itu bakal menghilang. “Maaf, Pak,” kata pramugari dengan nada hati-hati. Kelihatannya, orang ini punya aura yang bikin siapa aja deg-degan. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah terisi.” “Makanya saya beli dua kursi.” Suaranya ketus, seolah enggak mau ada perdebatan. Aku sempat menangkap suara pramugari yang mencoba menjelaskan sesuatu, tapi perhatianku malah ke dua cowok yang jalan melewati
"Nggak, makasih." "Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?" "Makasih, tapi nggak perlu," jawabku santai. Aku tahu kalau pergi ke toilet sekarang, pramugari ini pasti bakal nyoba lebih jauh buat menarik perhatianku. Udah sering kejadian. Udah biasa. Tapi sebelum aku bisa mikir lebih jauh, suara orang di sebelahku menyela, "Kayaknya sparkling wine enak juga." Suaranya santai, kayak baru aja menemukan ide brilian. Aku menyeringai kecil dalam hati. Oke, ini bakal lebih menarik dari sekadar godaan biasa. "Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan Rajendra. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya." Aku cuma mengangguk kecil, balik fokus ke majalah mobil sport yang lagi aku baca. "Nggak masalah. Tapi makasih." "Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…" "Hei," potong perempuan di sebelahku. "Aku rasa aku mau—hei! Halo?!" Dia melambaikan tangan ke pramugari yang langsung berbalik pergi. Aku nyengir kecil. "Ini salah lo, tau." Aku melirik ke a
"Apa? Nggak mungkin." "Mungkin." Aku duduk di sampingnya, hampir aja meluk dia. Ya Ampun, badannya dingin. Dia akhirnya mendesah lega, aku narik ujung selimut, nutupin kakinya sebelum bersandar padanya lagi. Dia menggeliat, setengah hati berusaha menjauh, tapi udah mentok di tepi. Nggak ada tempat buat kabur. "Ini nggak wajar." "Tapi kita bakal tetep ngelakuin ini." Dalam keadaan normal, aku nggak pernah maksa orang buat begini. Tapi setidaknya sekarang dia fokus ke pelukanku, bukan ke turbulensi. Itu sudah kemajuan. Aku menempelkan pipiku ke bisepnya. Ototnya keras kayak batu, dan dia sedikit gemetar. Dia berdeham. "Gue nggak—" "Tinggal satu tarikan napas lagi buat lo beneran kehilangan akal sehat. Terima aja kenyamanan fisik dari gue." Lengannya berkedut, kayak nahan diri, tapi aku tahu sebenernya dia juga kepengen. Akhirnya dia nyerah, mengangkat lengannya, kasih aku ruang untuk lebih dekat. Yeah akhirnya. Aku menyender ke bahunya, merapatkan tubuh
Pesawat goyang lagi, membuat jantungku makin nggak karuan. Setiap kali aku merasa bisa tenang, turbulensi menarik dia balik ke mode panik. “Kita harus kasih nama anak-anak kita pake nomor,” kataku tiba-tiba. Aku bisa merasakan ototnya tegang di bawah pipiku. Tapi aku tetap nempel, membelai dadanya pelan sambil bersenandung. Lama-lama dia mulai lemas, tubuhnya lebih condong ke arahku. "Boleh gue tanya kenapa?" "Karena kita bakal punya banyak anak. Jadi lebih gampang aja. Kayak... Anak pertama, ‘Satu.’ Anak kedua, ‘Dua.’ Pas udah anak keenam, kita tinggal panggil ‘Setengah Lusin.’" Dia mendengus antara tertawa dan kesal. "Lo gila." Aku tersenyum. "Gue bisa nerima itu." “Gue benci ini,” gumamnya. "Pelukan?" Aku pura-pura bego, padahal aku udah tahu maksudnya. Dia tertawa kecil, nadanya getir. "Kelemahan." "Semua orang takut sesuatu." Dia diam sebentar sebelum akhirnya nanya, "Lo takut apa?" "Gue takut gelombang pasang. Dari kecil suka mimpi buruk ke
Pria itu berdecak. "Teruskan," katanya, tangannya terulur, menarik pergelangan tanganku dengan gerakan yang lambat tapi pasti. Jantungku berdebar kencang saat aku menuruti perkataannya, merasa terbakar oleh tatapan matanya yang dalam dan gelap, terpaku pada kulit di bahuku yang terbuka karena tersingkap. Jemariku bergerak gelisah, menekan lipatan kain yang meluncur dari pundakku, merasakan detak jantungku sendiri. Sial. Kenapa dia bisa membuat udara berasa setipis ini? "Lo nggak sadar, ya?" Aku menatapnya, bingung. "Apa?" Dia menarik napas dalam, lalu jemarinya meluncur ringan di sepanjang leherku, menciptakan jejak api di mana pun dia menyentuh. "Lo nggak tahu seberapa besar gue terangsang sekarang." Getaran aneh muncul di tubuhku. "Gue belum nyentuh lo," bisikku. "Lebih baik jangan." Tatapannya semakin dalam, sebelum akhirnya tangannya berpindah ke rahangku, ibu jarinya mengusap sudut bibirku. "Kalau lo cium gue lagi… gue nggak jamin bisa nahan lebih
"Ya Tuhan!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Salah satu dari kalian mau jelasin ini, atau gue harus nebak sendiri?" Chloe nggak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas wiski sambil mengamati gerak-geriknya sebelum akhirnya ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata– milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah,
"Lo nggak boleh pakai gaun hitam ke pesta nikahan, Annelise Ayuningtyas Fischer." Aku menghela napas panjang, narik gaunku lebih erat ke tubuh, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang aku mau cuma pakai gaun hitam favoritku. Tapi enggak, aturan etiket pernikahan melarangnya. "Ini konyol," gumamku, setengah ngomong ke diri sendiri. "Terus gue harus pakai apa?" Jennifer nyengir tipis. "Gimana kalau yang biru muda?" "Yang abu-abu?" usul Chloe semangat, walaupun aku tahu itu nggak bakal bikin moodku jauh lebih baik. Aku memijit pelipis. Jennifer keliatan anggun dengan gaun emas metalik yang potongannya rendah. Dia duduk santai di kasurku sambil meyeruput teh hijau kayak sosialita. Rambut panjangnya yang bergelombang terurai, highlight keemasannya berkilau kena lampu. Chloe beda lagi. Dia pakai mini dress hijau zamrud yang ngepas banget di tubuhnya, bikin lekuk atletisnya makin keliatan. Rambut cokelatnya diikat ponytail tinggi, bikin dia keliatan fierce. Dan aku? Masih
Pria itu berdecak. "Teruskan," katanya, tangannya terulur, menarik pergelangan tanganku dengan gerakan yang lambat tapi pasti. Jantungku berdebar kencang saat aku menuruti perkataannya, merasa terbakar oleh tatapan matanya yang dalam dan gelap, terpaku pada kulit di bahuku yang terbuka karena tersingkap. Jemariku bergerak gelisah, menekan lipatan kain yang meluncur dari pundakku, merasakan detak jantungku sendiri. Sial. Kenapa dia bisa membuat udara berasa setipis ini? "Lo nggak sadar, ya?" Aku menatapnya, bingung. "Apa?" Dia menarik napas dalam, lalu jemarinya meluncur ringan di sepanjang leherku, menciptakan jejak api di mana pun dia menyentuh. "Lo nggak tahu seberapa besar gue terangsang sekarang." Getaran aneh muncul di tubuhku. "Gue belum nyentuh lo," bisikku. "Lebih baik jangan." Tatapannya semakin dalam, sebelum akhirnya tangannya berpindah ke rahangku, ibu jarinya mengusap sudut bibirku. "Kalau lo cium gue lagi… gue nggak jamin bisa nahan lebih
Pesawat goyang lagi, membuat jantungku makin nggak karuan. Setiap kali aku merasa bisa tenang, turbulensi menarik dia balik ke mode panik. “Kita harus kasih nama anak-anak kita pake nomor,” kataku tiba-tiba. Aku bisa merasakan ototnya tegang di bawah pipiku. Tapi aku tetap nempel, membelai dadanya pelan sambil bersenandung. Lama-lama dia mulai lemas, tubuhnya lebih condong ke arahku. "Boleh gue tanya kenapa?" "Karena kita bakal punya banyak anak. Jadi lebih gampang aja. Kayak... Anak pertama, ‘Satu.’ Anak kedua, ‘Dua.’ Pas udah anak keenam, kita tinggal panggil ‘Setengah Lusin.’" Dia mendengus antara tertawa dan kesal. "Lo gila." Aku tersenyum. "Gue bisa nerima itu." “Gue benci ini,” gumamnya. "Pelukan?" Aku pura-pura bego, padahal aku udah tahu maksudnya. Dia tertawa kecil, nadanya getir. "Kelemahan." "Semua orang takut sesuatu." Dia diam sebentar sebelum akhirnya nanya, "Lo takut apa?" "Gue takut gelombang pasang. Dari kecil suka mimpi buruk ke
"Apa? Nggak mungkin." "Mungkin." Aku duduk di sampingnya, hampir aja meluk dia. Ya Ampun, badannya dingin. Dia akhirnya mendesah lega, aku narik ujung selimut, nutupin kakinya sebelum bersandar padanya lagi. Dia menggeliat, setengah hati berusaha menjauh, tapi udah mentok di tepi. Nggak ada tempat buat kabur. "Ini nggak wajar." "Tapi kita bakal tetep ngelakuin ini." Dalam keadaan normal, aku nggak pernah maksa orang buat begini. Tapi setidaknya sekarang dia fokus ke pelukanku, bukan ke turbulensi. Itu sudah kemajuan. Aku menempelkan pipiku ke bisepnya. Ototnya keras kayak batu, dan dia sedikit gemetar. Dia berdeham. "Gue nggak—" "Tinggal satu tarikan napas lagi buat lo beneran kehilangan akal sehat. Terima aja kenyamanan fisik dari gue." Lengannya berkedut, kayak nahan diri, tapi aku tahu sebenernya dia juga kepengen. Akhirnya dia nyerah, mengangkat lengannya, kasih aku ruang untuk lebih dekat. Yeah akhirnya. Aku menyender ke bahunya, merapatkan tubuh
"Nggak, makasih." "Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?" "Makasih, tapi nggak perlu," jawabku santai. Aku tahu kalau pergi ke toilet sekarang, pramugari ini pasti bakal nyoba lebih jauh buat menarik perhatianku. Udah sering kejadian. Udah biasa. Tapi sebelum aku bisa mikir lebih jauh, suara orang di sebelahku menyela, "Kayaknya sparkling wine enak juga." Suaranya santai, kayak baru aja menemukan ide brilian. Aku menyeringai kecil dalam hati. Oke, ini bakal lebih menarik dari sekadar godaan biasa. "Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan Rajendra. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya." Aku cuma mengangguk kecil, balik fokus ke majalah mobil sport yang lagi aku baca. "Nggak masalah. Tapi makasih." "Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…" "Hei," potong perempuan di sebelahku. "Aku rasa aku mau—hei! Halo?!" Dia melambaikan tangan ke pramugari yang langsung berbalik pergi. Aku nyengir kecil. "Ini salah lo, tau." Aku melirik ke a
Aku baru aja duduk nyaman di kursi kelas satu yang empuk banget—kayak duduk di sofa rumah sendiri, cuma kali ini dengan bonus pemandangan awan nanti. Sambil melihat-lihat menu, aku merasa hidupku naik level. Tapi tiba-tiba, suara berat dan tegas dari belakang bikin leher gue menegang. “Siapa yang duduk di kursi saya?” Aku berhenti napas sejenak. Suara itu… kayaknya aku kenal. Tapi yang jelas, dia salah. Ini kursi aku. Aku udah cek nomornya dua kali, dan enggak mungkin balik ke kelas ekonomi setelah nyicipin kemewahan ini. Aku pura-pura sibuk ngelihatin menu, berharap suara itu bakal menghilang. “Maaf, Pak,” kata pramugari dengan nada hati-hati. Kelihatannya, orang ini punya aura yang bikin siapa aja deg-degan. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah terisi.” “Makanya saya beli dua kursi.” Suaranya ketus, seolah enggak mau ada perdebatan. Aku sempat menangkap suara pramugari yang mencoba menjelaskan sesuatu, tapi perhatianku malah ke dua cowok yang jalan melewati
6 Bulan Sebelumnya... “Bisa geser nggak?” Suara ketus di belakangku membuatku menoleh. Seorang pria berdiri dengan wajah tak sabaran, ekspresi kesalnya jelas terlihat. “Hah?” Aku sedikit gugup. “Mau lewat?” “Nggak,” balasnya ketus. “Gue cuma pengen staf bandara ini kerja lebih cepat. Bisa-bisa gue ketinggalan pesawat gara-gara mereka!” Bau alkohol menyeruak dari napasnya. Aku menghela napas panjang dan kembali menatap antrean check-in yang bergerak lambat. Cuaca buruk telah menunda banyak penerbangan, membuat suasana semakin panas. Di belakangku, pria itu terus saja mengeluh, memaki-maki staf bandara, dan mengomel pada siapa saja yang sialnya berada dalam jangkauan suaranya. Aku mencoba mengabaikannya, tapi semakin lama, semakin susah. Akhirnya, aku nggak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. “Mereka udah kerja secepat mungkin. Bisa nggak, sih, lo nggak usah nyebelin?” “Apa?!” Dia langsung tersinggung. Aku menghembuskan napas, mencoba tetap tenang. “Coba deh,
"Lo nggak boleh pakai gaun hitam ke pesta nikahan, Annelise Ayuningtyas Fischer." Aku menghela napas panjang, narik gaunku lebih erat ke tubuh, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang aku mau cuma pakai gaun hitam favoritku. Tapi enggak, aturan etiket pernikahan melarangnya. "Ini konyol," gumamku, setengah ngomong ke diri sendiri. "Terus gue harus pakai apa?" Jennifer nyengir tipis. "Gimana kalau yang biru muda?" "Yang abu-abu?" usul Chloe semangat, walaupun aku tahu itu nggak bakal bikin moodku jauh lebih baik. Aku memijit pelipis. Jennifer keliatan anggun dengan gaun emas metalik yang potongannya rendah. Dia duduk santai di kasurku sambil meyeruput teh hijau kayak sosialita. Rambut panjangnya yang bergelombang terurai, highlight keemasannya berkilau kena lampu. Chloe beda lagi. Dia pakai mini dress hijau zamrud yang ngepas banget di tubuhnya, bikin lekuk atletisnya makin keliatan. Rambut cokelatnya diikat ponytail tinggi, bikin dia keliatan fierce. Dan aku? Masih
"Ya Tuhan!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Salah satu dari kalian mau jelasin ini, atau gue harus nebak sendiri?" Chloe nggak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas wiski sambil mengamati gerak-geriknya sebelum akhirnya ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata– milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah,