"Nggak, makasih."
"Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?" "Makasih, tapi nggak perlu," jawabku santai. Aku tahu kalau pergi ke toilet sekarang, pramugari ini pasti bakal nyoba lebih jauh buat menarik perhatianku. Udah sering kejadian. Udah biasa. Tapi sebelum aku bisa mikir lebih jauh, suara orang di sebelahku menyela, "Kayaknya sparkling wine enak juga." Suaranya santai, kayak baru aja menemukan ide brilian. Aku menyeringai kecil dalam hati. Oke, ini bakal lebih menarik dari sekadar godaan biasa. "Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan Rajendra. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya." Aku cuma mengangguk kecil, balik fokus ke majalah mobil sport yang lagi aku baca. "Nggak masalah. Tapi makasih." "Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…" "Hei," potong perempuan di sebelahku. "Aku rasa aku mau—hei! Halo?!" Dia melambaikan tangan ke pramugari yang langsung berbalik pergi. Aku nyengir kecil. "Ini salah lo, tau." Aku melirik ke arahnya, bingung. "Salah gue?" "Ya. Ketampanan lo yang aneh itu bikin orang jadi lupa diri." Aku berusaha tetap santai. "Andai aja gue bisa bikin cewek nyebelin diem." Dia cengar-cengir. "Kalau gitu, lo baru aja ketemu lawan lo." Oke. Aku resmi berada di neraka. Tabung panjang dan sempit, sayap pesawat yang bergetar. Aku udah sering ada di sini. Tapi kali ini beda. Kali ini, aku duduk di sebelah setan. Setan yang satu ini emang selalu datang dalam wujud paling menggoda. Rambut panjang bergelombang kayak bintang film klasik, mata coklat besar yang terang, bibir penuh yang kelihatan lembut, dan tubuh gitar spanyol yang… sial. Aku berusaha mati-matian buat gak ngelirik ke dada montok itu. Dia menghela napas pelan, terus melirik kepadaku dengan ekspresi yang bikin waspada. "Lo takut terbang, ya?" Aku mendengus. "Lo cuma pura-pura peduli biar bisa ngeledek gue." "Lo duluan yang nyebelin." Dia mengangkat alis, senyumnya licik. "Gue bisa ngalihin perhatian lo, kalau lo mau." “Apa?” tanyaku, ngerasa kayak ada sesuatu yang terlewatkan. Dia menyandarkan diri ke kursi, senyumnya licik. “Lo tahu kan… sesuatu yang bisa bikin lo lupa sama ketakutan lo?” “Maksud lo?” Dia melirik sekilas ke arah lorong sebelum kembali menatapku, lalu dengan nada super santai, dia nyeletuk, “Ya kayak… misalnya melakukan blow job saat turbulensi?” Aku membelalak. Otakku otomatis nge-lag. “Lo serius?” Dia ketawa kecil, jelas menikmati ekspresi syokku. “Santai aja, gue cuma bercanda. Itu nggak akan kejadian kok.” Aku menghela napas panjang, berusaha mengembalikan kewarasan. “Lo bener-bener nggak waras.” “Beneran?” Dia mengangkat alis, masih dengan ekspresi jahilnya. “Tapi lo sempat kepikiran, kan?” “Bahkan kalaupun gue mau—dan gue gak bilang gue mau—kenapa harus di sini? Di depan banyak orang? Gila aja.” “Oh, gue setuju. Tapi menarik sih, lo langsung kepikiran akibatnya.” Aku mau ngebales, tapi tiba-tiba lonceng kecil berbunyi di atas kepala, tanda sabuk pengaman udah boleh dilepas. Pas aku noleh lagi ke dia, dia udah balik baca majalah. Senyum kecil masih nangkring di sudut bibirnya. Saat itu aku baru sadar—dia berhasil ngalihin perhatianku dari traumaku barusan. Cerdik. Kelewatan. Aku mendelik, lalu nyari cara buat ngebalikin omongan ini ke dia. Aku menyender, mendekatinya cukup buat bikin dia refleks mundur. “Oke,” aku berbisik, suara sengaja direndahin. “Gue akuin,” lanjutku, hampir berbisik di telinganya. “Gue butuh sesuatu buat ngalihin perhatian gue dari take-off tadi.” Dia tersentak, jelas nggak nyangka aku bakal ngikutin permainannya. “Lo ngapain?” “Lo yang mulai, jadi lo juga yang harus nyelesain,” jawabku santai, menikmati betapa mukanya berubah-ubah antara syok dan frustrasi. Dia dorong dadaku pelan, berusaha bikin jarak. Aku nyengir lebar, sengaja mencondongkan muka sampai bisa berbisik di telinganya. “Bantu dong, sayang. Aku udah gak ketolong nih.” Dia langsung panik, nyoba mundur tapi kejebak sandaran kursi. “Lo—Lo nggak mungkin segitunya.” Aku mencondongkan badan, suaraku dibuat lebih pelan tapi cukup tajam buat bikin dia merinding. “Atau… gue harus bikin lo sibuk dengan cara lain biar lo benar-benar ngalihin perhatian gue?” Mata dia menyipit curiga. “Jangan mulai, gue nggak gampang ke-distract.” “Oh ya? Mau gue buktiin?” Aku puas ngeliat mukanya yang udah merah padam. Aku menang kali ini. “Tenang aja… Gue punya rencana.” Suaraku rendah, terdengar seperti jebakan. “Lo tinggal rebahan di pangkuan gue, pura-pura sakit kepala. Gue bakal nyelimutin lo. Mereka nggak bakal curiga, bahkan kalau lo... ngedesah sedikit.” Dia nyaris keselek ludahnya sendiri. “Lo waras, kan?” Aku nyengir, kayak kucing abis mecahin vas. “Gue selalu waras. Cuma lo aja yang gampang panik.” “Dan lo segitu yakinnya ini bakal berhasil?” “Yakin banget,” jawabku enteng. “Mungkin kita bisa mulai... dengan ciuman buat lebih rileks?” Sial. Aku seharusnya nggak ngomong gitu. Aku coba alihin pandangan, tapi mataku malah nyangkut di bibirnya—merah, lembut, dan... ah, sial. 'Otak lo jorok, fokus!' "Bebaskan gue dari penderitaan, cewek nakal... Gue lagi horny dan butuh jilatan, nggak lama kok, lima atau sepuluh menit aja." Aku menggertakkan rahangku. Joni-ku ngaceng. Jangan sampai dia menatap mataku, atau aku bakal ketahuan. “Gadis... nakal? Menjilat?” Dia menempelkan hidungnya ke hidungku, matanya menyipit karena amarah. Kemudian senyumnya mengembang. “Akting lo bagus juga ya.. Dasar sombong—” Aku berdeham, coba balik mengontrol situasi. Tapi sebelum sempet membalas, pramugari datang bawa wine. Wanita yang tadi melihatku kayak liat wagyu berjalan. “Tuan, wine Anda.” Sebelum aku buka mulut, setan di sebelahku langsung nyamber. Dia bersandar ke depan, aroma parfumnya langsung masuk ke hidungku—stroberi manis yang sialnya bikin kepalaku makin pusing. “Oh, makasih. Tapi ini buatku.” Pramugari itu bengong. “Oh, saya kira—” “Gak apa-apa,” katanya motong pembicaraan. “Dia emang selalu bikin orang gugup. Aku bahkan hampir aja narik kartu kredit buat nyewa dia semalaman.” Aku nyaris keselek napas sendiri. “Cewek gila…” Dia cuma angkat bahu, nyeruput wine seolah nggak terjadi apa-apa. *** Menjelang tidur, pramugari bantu ngeset kursi jadi posisi tidur. Tapi baru aja gue mulai nyoba merem, suara dari sebelah gue ngebuat mata gue kebuka lagi. “Kencangkan sabuk pengaman.” Pesawat mulai goyang, kayak ditonjok berkali-kali. Sialnya, posisi tidur ini malah bikin semuanya makin aneh. Rasanya kayak diriku bakal kelempar ke udara kapan aja. Aku membeku, mengepalkan tangan. Jangan sampai ada yang lihat aku sekarang, orang yang biasanya nggak takut apa-apa, malah menggeliat di kursi sambil megap-megap kayak ikan di daratan—reputasiku bakal hancur total. “Hey.” Suaranya lembut. “Gak apa-apa.” Aku merem, napasku makin berat. “Menjauh.” “Nggak bisa,” jawabnya cepat, tapi nggak ada nada ngejek di situ. Dia geser duduknya, mendekat. “Dengerin gue. Gue tahu lo nggak mau keliatan kayak gini di depan gue, tapi gue di sini. Biarin gue bantu.” Aku berusaha mengkontrol diri, tapi turbulensinya makin parah. “Kalau lo coba ngebanyol lagi soal ‘hisapan ajaib’, gue sumpah bakal—” Dia ketawa kecil. “Nggak, kali ini enggak.” Aku melirik dia curiga. “Terus lo mau ngapain?” Dia nyibakin selimut dan... bergerak makin deket. Aku refleks mundur. “Lo ngapain?” Dia nyender santai, seolah lagi melakukan hal paling normal di dunia. “Meluk lo.”"Apa? Nggak mungkin." "Mungkin." Aku duduk di sampingnya, hampir aja meluk dia. Ya Ampun, badannya dingin. Dia akhirnya mendesah lega, aku narik ujung selimut, nutupin kakinya sebelum bersandar padanya lagi. Dia menggeliat, setengah hati berusaha menjauh, tapi udah mentok di tepi. Nggak ada tempat buat kabur. "Ini nggak wajar." "Tapi kita bakal tetep ngelakuin ini." Dalam keadaan normal, aku nggak pernah maksa orang buat begini. Tapi setidaknya sekarang dia fokus ke pelukanku, bukan ke turbulensi. Itu sudah kemajuan. Aku menempelkan pipiku ke bisepnya. Ototnya keras kayak batu, dan dia sedikit gemetar. Dia berdeham. "Gue nggak—" "Tinggal satu tarikan napas lagi buat lo beneran kehilangan akal sehat. Terima aja kenyamanan fisik dari gue." Lengannya berkedut, kayak nahan diri, tapi aku tahu sebenernya dia juga kepengen. Akhirnya dia nyerah, mengangkat lengannya, kasih aku ruang untuk lebih dekat. Yeah akhirnya. Aku menyender ke bahunya, merapatkan tubuh k
Pesawat goyang lagi, membuat jantungku makin nggak karuan. Setiap kali aku merasa bisa tenang, turbulensi menarik dia balik ke mode panik. “Kita harus kasih nama anak-anak kita pake nomor,” kataku tiba-tiba. Aku bisa merasakan ototnya tegang di bawah pipiku. Tapi aku tetap nempel, membelai dadanya pelan sambil bersenandung. Lama-lama dia mulai lemas, tubuhnya lebih condong ke arahku. "Boleh gue tanya kenapa?" "Karena kita bakal punya banyak anak. Jadi lebih gampang aja. Kayak... Anak pertama, ‘Satu.’ Anak kedua, ‘Dua.’ Pas udah anak keenam, kita tinggal panggil ‘Setengah Lusin.’" Dia mendengus antara tertawa dan kesal. "Lo gila." Aku tersenyum. "Gue bisa nerima itu." “Gue benci ini,” gumamnya. "Pelukan?" Aku pura-pura bego, padahal aku udah tahu maksudnya. Dia tertawa kecil, nadanya getir. "Kelemahan." "Semua orang takut sesuatu." Dia diam sebentar sebelum akhirnya nanya, "Lo takut apa?" "Gue takut gelombang pasang. Dari kecil suka mimpi buruk keh
Pria itu berdecak. "Ahhh.." "Terusin aja," katanya, tangannya terulur, menarik pergelangan tanganku dengan gerakan yang lambat tapi pasti. Jantungku berdebar kencang saat aku menuruti perkataannya, merasa terbakar oleh tatapan matanya yang dalam dan gelap, terpaku pada kulit di bahuku yang terbuka karena tersingkap. Jemariku bergerak gelisah, menekan lipatan kain yang meluncur dari pundakku, merasakan detak jantungku sendiri. Sial. Kenapa dia bisa membuat udara berasa setipis ini? "Lo nggak sadar, ya?" Aku menatapnya, bingung. "Apa?" Dia menarik napas dalam, lalu jemarinya meluncur ringan di sepanjang leherku, menciptakan jejak api di mana pun dia menyentuh. "Lo nggak tahu seberapa besar gue terangsang sekarang." Getaran aneh muncul di tubuhku. "Gue belum nyentuh lo," bisikku. "Lebih baik jangan." Tatapannya semakin dalam, sebelum akhirnya tangannya berpindah ke rahangku, ibu jarinya mengusap sudut bibirku. "Kalau lo cium gue lagi… gue nggak jamin bisa
Aku berdeham, merasa harus melakukan sesuatu untuk menghapus keheningan aneh di antara kita. Dengan gerakan cepat, aku menutupi lagi bajunya dan merapikan celanaku sendiri. "Ehm… Maaf. Kita nggak seharusnya—" Dia menatapku, senyum liciknya masih ada di sana, membuatku makin kesel. Aku mengusap wajah, mencoba menata pikiran. "Sorry. Gue kebawa suasana." "Santai aja, gue juga nggak bakal baper kok." Aku menatapnya tajam, tapi dia malah nyengir puas. "Lagian, gue udah dapet bagian gue. Dua kali malah." Aku nyipitkan mata, ngerasa nggak terima. "Lo bangga banget, ya?" Dia angkat bahu dengan santai, senyum liciknya masih nempel di wajahnya. "Ya iyalah. Lo yang nyuruh gue nikmatin, kan?" "Sial. Lo benar-benar cewek yang nyebelin." Dia miringin kepalanya, pura-pura mikir sebelum nimpalin, "Hmm… atau mungkin lo aja yang nggak tahan godaan?" Aku mendelik, rahangku mengetat. Ngeselin, tapi aku nggak bisa ngelak. "Gue nggak akan bahas ini lagi." Aku menjauh, buru-buru geser
"Serius?" Aku menelan ludah. "Banget. Gue nemu nama ‘Rajendra’ di salah satu file, dan langsung kepikiran lo!" "Cuma Rajendra? Tanpa nama depan atau belakang?" Dia mengangguk dengan mantap. "Iya." Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun kemungkinan-kemungkinan dalam otakku. "Gue cuma bercanda." Dia ngakak, menepuk bahuku. "Lo harus liat muka lo barusan. Serius banget, kayak baru ketauan selingkuh." Aku melotot. "Sialan, lo!" Jantungku nyaris copot waktu dia bilang nemu nama "Rajendra" di dokumen internal perusahaan. Pikiranku langsung lari ke berbagai kemungkinan buruk. Apa ada kebocoran data? Nggak mungkin. Aku sudah menutup semua celah. "Lo tau nggak, becandaan lo barusan hampir bikin gue kena serangan jantung." Dia masih ketawa, jelas menikmati kepanikanku tadi. "Gue nggak nyangka lo bakal panik gitu," katanya sambil menyeringai. Aku menarik napas. Jangan sampai ada yang mencurigakan. "Jadi nama lo beneran Rajendra?" tanyanya, masih dengan nada bercanda,
Begitu roda pesawat menyentuh landasan, kepalaku masih terasa ringan, dan tubuhku menghangat dengan cara yang aneh. Aku berusaha fokus, tapi setiap gerakan terasa terlalu lambat, terlalu sensual. Dia bersandar dengan napas sedikit berat. Matanya menatap lurus ke depan, tapi rahangnya mengatup seolah lagi nahan sesuatu. Aku tahu dia juga ngerasain hal yang sama. "Lo nggak apa-apa?" Dia melirikku, lalu menutup matanya sebentar sebelum menjawab. “Gue harusnya curiga pas lo nawarin coklat itu.” Aku tertawa. Dia menghela napas panjang, jari-jarinya mengepal di atas paha celananya. Dia melotot. “Jadi lo tahu itu afrodisiak(*)?” Aku mengangkat bahu, pipiku mulai memanas. “Ya… gue kira itu cuma mitos.” Dia menatapku dengan tatapan tajam, lalu mengusap wajahnya sendiri seolah nyoba buat sadar sepenuhnya. “Gue butuh keluar dari sini sebelum sesuatu yang nggak seharusnya terjadi.” Tapi masalahnya, sensasi ini nggak gampang ilang. Setiap gesekan kecil antara kulitku dan kul
Satu jam kemudian, kami duduk di dalam bus menuju Manchester. Lampu jalan terlihat kabur dari jendela yang berembun. Aku duduk di sebelah jendela, dia di sampingku, duduk dengan posisi santai kayak udah punya hak milik atas seluruh baris kursi. “Ngantuk?” tanyanya, matanya setengah merem. “Enggak,” jawabku cepat. Padahal kenyataannya, kepalaku udah nyender ke kaca dari tadi, dan mulai kebablasan. Dia memberikan jaketnya dan tanpa bilang apa-apa, menaruhnya di bahuku. “Gue tahu lo gak bakal minta, jadi gue inisiatif aja.” “Gue gak butuh ini.” “Tapi lo juga gak nolak.” Dia tersenyum miring, tapi kali ini nggak ada nada menggoda yang kelewat. Hangat. Ringan. Aku mendesah pelan, lalu membiarkan jaketnya tetap di bahuku. Sesampainya kami di hotel, kami diarahkan ke lobby dan dikasih kunci kamar. “Gue dapet kamar 308,” aku menggumam, membaca kartunya. Dia melirik kartunya sendiri, lalu mengangkat alis. “Lo gak akan percaya... kamar gue 310.” “Serius?” Gue melotot. “
Apa yang aku lakuin di sini? Aku adalah cewek baik-baik.. dan cewek baik-baik nggak seharusnya ngelakuin hal kayak gini sama cowok kayak dia! Aku dan dia nggak kenal siapa-siapa yang sama, kita tinggal di kota yang beda, dan mungkin setelah ini, aku nggak akan pernah ketemu dia lagi. Dan anehnya... ada rasa bebas yang nggak aku sangka-sangka dari situ. Aku bisa jadi siapa pun yang dia mau. Tatapan matanya tajam, rahangnya mengunci, keliatan serius dan gelap. "Sini... gue mau lo nyenengin gue. Hisap penis gue gadis nakal," gumamnya pelan, suaranya membakarku. Ya Tuhan. Aku beneran mikir dia nggak bakal pernah ngomong itu. Tanpa mikir lama, aku langsung berjongkok. Rasanya kayak aku bener-bener pengin nyenengin dia sekarang juga. Aku nggak tahu banyak soal dia, tapi yang jelas, sekarang ini... aku cuma pengin jadi pengalaman paling gila yang pernah dia punya. Aku mulai bergerak, sok-sokan kayak jagoan nyepong. Tanganku maju mundur melawan gerak bibir, dan maki
Semua kepingan yang hilang itu langsung nyatu saat ngelihat dia duduk di tengah kerumunan. Dia kelihatan beda banget dari sebelumnya. Pertama, di pesawat—dan di kamar hotel. Kedua, di foto lama yang sering banget dibawa-bawa Anthony. Foto burik, tapi cukup buat bikin aku penasaran. Aku otomatis menoleh saat Anthony dan Bianca jalan ke area resepsi buat foto-foto. Mereka berpegangan tangan, kelihatan bahagia banget. Si fotografer nyuruh ini-itu, dan rombongan pengantin cuma berdiri di pinggir sambil nonton. Di belakang mereka, jendela besar nunjukin gedung-gedung Jakarta yang sudah menyala—malam mulai turun. Annelise. Satu-satunya hal yang bisa aku fokuskan malam ini cuma dia. Cewek cerewet yang duduk di sebelahku di pesawat bulan Januari lalu. Cewek yang juga jadi one night stand pertama dan terakhirku—sampai sekarang. Aku udah berkali-kali nyoba cari tahu kenapa dia kelihatan familiar banget beberapa bulan terakhir ini. Akhirnya, aku tau sekarang. Dia adalah mantan
Bagaimana aku bisa melupakan malam ini? Gimana caranya gue aku-pura semua ini nggak pernah kejadian? Aku merem sebentar, menahan rasa nyesek campur jijik sama diri sendiri. Inilah kenapa aku nggak pernah mau yang namanya one-night stand. Aku nggak cocok buat cinta-cintaan tanpa ikatan. Bukan tipeku. Dan semua ini gara-gara cokelat afrodisiak sialan yang kita makan di pesawat kemarin. Aku duduk di ujung ranjang, narik napas dalam-dalam. “Sebenarnya… gue punya syal di koper. Lo mau?” “Boleh,” katanya, suaranya udah lebih tenang sekarang. Kayaknya efek afrodisiak itu udah bener-bener hilang. Yang tersisa cuma dua orang asing yang lagi bingung sama perasaan mereka sendiri. Tiba-tiba, ponselkh bergetar kencang di meja kecil di samping tempat tidur. Aku meraihnya dan lihat ada lima pesan dari Chloe. Chloe: Lo masih hidup? Kapan balik? Jangan lupa makan. Gue masakin buat makan siang. Lo akan diinterogasi kalau gak jawab. Aku mendesah, berdiri dari ranjang dan mulai ng
Dia tersenyum lebar saat dia jatuh terlentang, menarikku ke atasnya, dan menyeret wajahku ke wajahnya. "Lo harus genjot gue lebih dulu," bisiknya di bibirku, "Nanti gue yang akan genjot milik lo saat lo udah basah." Aku tersenyum di bibirnya. "Big boy.." "Gue cuma bercinta sekali sayang, gak lama paling gue ketiduran." Dia memberikan senyum yang lambat dan seksi. Aku mengangkangi tubuhnya yang besar saat ciuman kami menjadi putus asa. Penisnya yang tebal menempel di perutnya, dan dia mengangkatnya ke udara dan mengarahkan pinggulku ke bawah di atasnya. "Oh, panasnya—lo gede banget. Mhhhhhh" "Aduh," rintihku. "Tidak apa-apa," bisiknya. "Bergoyanglah dari satu sisi ke sisi lain." Dia menangkup payudaraku di tangannya saat dia menatapku seperti sesuatu yang tampak seperti kekaguman. Aku tersenyum padanya. "Apa?" "Sejak pertama kali lo tumpahin jus merah ke celana gue di lounge hari ini, gue pengen badan lo tunggangi penis gue." Aku terkekeh padanya. "Apa lo
Apa yang aku lakuin di sini? Aku adalah cewek baik-baik.. dan cewek baik-baik nggak seharusnya ngelakuin hal kayak gini sama cowok kayak dia! Aku dan dia nggak kenal siapa-siapa yang sama, kita tinggal di kota yang beda, dan mungkin setelah ini, aku nggak akan pernah ketemu dia lagi. Dan anehnya... ada rasa bebas yang nggak aku sangka-sangka dari situ. Aku bisa jadi siapa pun yang dia mau. Tatapan matanya tajam, rahangnya mengunci, keliatan serius dan gelap. "Sini... gue mau lo nyenengin gue. Hisap penis gue gadis nakal," gumamnya pelan, suaranya membakarku. Ya Tuhan. Aku beneran mikir dia nggak bakal pernah ngomong itu. Tanpa mikir lama, aku langsung berjongkok. Rasanya kayak aku bener-bener pengin nyenengin dia sekarang juga. Aku nggak tahu banyak soal dia, tapi yang jelas, sekarang ini... aku cuma pengin jadi pengalaman paling gila yang pernah dia punya. Aku mulai bergerak, sok-sokan kayak jagoan nyepong. Tanganku maju mundur melawan gerak bibir, dan maki
Satu jam kemudian, kami duduk di dalam bus menuju Manchester. Lampu jalan terlihat kabur dari jendela yang berembun. Aku duduk di sebelah jendela, dia di sampingku, duduk dengan posisi santai kayak udah punya hak milik atas seluruh baris kursi. “Ngantuk?” tanyanya, matanya setengah merem. “Enggak,” jawabku cepat. Padahal kenyataannya, kepalaku udah nyender ke kaca dari tadi, dan mulai kebablasan. Dia memberikan jaketnya dan tanpa bilang apa-apa, menaruhnya di bahuku. “Gue tahu lo gak bakal minta, jadi gue inisiatif aja.” “Gue gak butuh ini.” “Tapi lo juga gak nolak.” Dia tersenyum miring, tapi kali ini nggak ada nada menggoda yang kelewat. Hangat. Ringan. Aku mendesah pelan, lalu membiarkan jaketnya tetap di bahuku. Sesampainya kami di hotel, kami diarahkan ke lobby dan dikasih kunci kamar. “Gue dapet kamar 308,” aku menggumam, membaca kartunya. Dia melirik kartunya sendiri, lalu mengangkat alis. “Lo gak akan percaya... kamar gue 310.” “Serius?” Gue melotot. “
Begitu roda pesawat menyentuh landasan, kepalaku masih terasa ringan, dan tubuhku menghangat dengan cara yang aneh. Aku berusaha fokus, tapi setiap gerakan terasa terlalu lambat, terlalu sensual. Dia bersandar dengan napas sedikit berat. Matanya menatap lurus ke depan, tapi rahangnya mengatup seolah lagi nahan sesuatu. Aku tahu dia juga ngerasain hal yang sama. "Lo nggak apa-apa?" Dia melirikku, lalu menutup matanya sebentar sebelum menjawab. “Gue harusnya curiga pas lo nawarin coklat itu.” Aku tertawa. Dia menghela napas panjang, jari-jarinya mengepal di atas paha celananya. Dia melotot. “Jadi lo tahu itu afrodisiak(*)?” Aku mengangkat bahu, pipiku mulai memanas. “Ya… gue kira itu cuma mitos.” Dia menatapku dengan tatapan tajam, lalu mengusap wajahnya sendiri seolah nyoba buat sadar sepenuhnya. “Gue butuh keluar dari sini sebelum sesuatu yang nggak seharusnya terjadi.” Tapi masalahnya, sensasi ini nggak gampang ilang. Setiap gesekan kecil antara kulitku dan kul
"Serius?" Aku menelan ludah. "Banget. Gue nemu nama ‘Rajendra’ di salah satu file, dan langsung kepikiran lo!" "Cuma Rajendra? Tanpa nama depan atau belakang?" Dia mengangguk dengan mantap. "Iya." Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun kemungkinan-kemungkinan dalam otakku. "Gue cuma bercanda." Dia ngakak, menepuk bahuku. "Lo harus liat muka lo barusan. Serius banget, kayak baru ketauan selingkuh." Aku melotot. "Sialan, lo!" Jantungku nyaris copot waktu dia bilang nemu nama "Rajendra" di dokumen internal perusahaan. Pikiranku langsung lari ke berbagai kemungkinan buruk. Apa ada kebocoran data? Nggak mungkin. Aku sudah menutup semua celah. "Lo tau nggak, becandaan lo barusan hampir bikin gue kena serangan jantung." Dia masih ketawa, jelas menikmati kepanikanku tadi. "Gue nggak nyangka lo bakal panik gitu," katanya sambil menyeringai. Aku menarik napas. Jangan sampai ada yang mencurigakan. "Jadi nama lo beneran Rajendra?" tanyanya, masih dengan nada bercanda,
Aku berdeham, merasa harus melakukan sesuatu untuk menghapus keheningan aneh di antara kita. Dengan gerakan cepat, aku menutupi lagi bajunya dan merapikan celanaku sendiri. "Ehm… Maaf. Kita nggak seharusnya—" Dia menatapku, senyum liciknya masih ada di sana, membuatku makin kesel. Aku mengusap wajah, mencoba menata pikiran. "Sorry. Gue kebawa suasana." "Santai aja, gue juga nggak bakal baper kok." Aku menatapnya tajam, tapi dia malah nyengir puas. "Lagian, gue udah dapet bagian gue. Dua kali malah." Aku nyipitkan mata, ngerasa nggak terima. "Lo bangga banget, ya?" Dia angkat bahu dengan santai, senyum liciknya masih nempel di wajahnya. "Ya iyalah. Lo yang nyuruh gue nikmatin, kan?" "Sial. Lo benar-benar cewek yang nyebelin." Dia miringin kepalanya, pura-pura mikir sebelum nimpalin, "Hmm… atau mungkin lo aja yang nggak tahan godaan?" Aku mendelik, rahangku mengetat. Ngeselin, tapi aku nggak bisa ngelak. "Gue nggak akan bahas ini lagi." Aku menjauh, buru-buru geser
Pria itu berdecak. "Ahhh.." "Terusin aja," katanya, tangannya terulur, menarik pergelangan tanganku dengan gerakan yang lambat tapi pasti. Jantungku berdebar kencang saat aku menuruti perkataannya, merasa terbakar oleh tatapan matanya yang dalam dan gelap, terpaku pada kulit di bahuku yang terbuka karena tersingkap. Jemariku bergerak gelisah, menekan lipatan kain yang meluncur dari pundakku, merasakan detak jantungku sendiri. Sial. Kenapa dia bisa membuat udara berasa setipis ini? "Lo nggak sadar, ya?" Aku menatapnya, bingung. "Apa?" Dia menarik napas dalam, lalu jemarinya meluncur ringan di sepanjang leherku, menciptakan jejak api di mana pun dia menyentuh. "Lo nggak tahu seberapa besar gue terangsang sekarang." Getaran aneh muncul di tubuhku. "Gue belum nyentuh lo," bisikku. "Lebih baik jangan." Tatapannya semakin dalam, sebelum akhirnya tangannya berpindah ke rahangku, ibu jarinya mengusap sudut bibirku. "Kalau lo cium gue lagi… gue nggak jamin bisa