Share

Logan "Godaan di Udara"

Author: Bibiefenimmm
last update Last Updated: 2025-01-19 00:55:10

"Nggak, makasih."

"Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?"

"Makasih, tapi nggak perlu," jawabku santai.

Aku tahu kalau pergi ke toilet sekarang, pramugari ini pasti bakal nyoba lebih jauh buat menarik perhatianku. Udah sering kejadian. Udah biasa.

Tapi sebelum aku bisa mikir lebih jauh, suara orang di sebelahku menyela, "Kayaknya sparkling wine enak juga." Suaranya santai, kayak baru aja menemukan ide brilian.

Aku menyeringai kecil dalam hati. Oke, ini bakal lebih menarik dari sekadar godaan biasa.

"Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan Rajendra. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya."

Aku cuma mengangguk kecil, balik fokus ke majalah mobil sport yang lagi aku baca. "Nggak masalah. Tapi makasih."

"Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…"

"Hei," potong perempuan di sebelahku.

"Aku rasa aku mau—hei! Halo?!" Dia melambaikan tangan ke pramugari yang langsung berbalik pergi.

Aku nyengir kecil.

"Ini salah lo, tau."

Aku melirik ke arahnya, bingung. "Salah gue?"

"Ya. Ketampanan lo yang aneh itu bikin orang jadi lupa diri."

Aku berusaha tetap santai. "Andai aja gue bisa bikin cewek nyebelin diem."

Dia cengar-cengir. "Kalau gitu, lo baru aja ketemu lawan lo."

Oke. Aku resmi berada di neraka.

Tabung panjang dan sempit, sayap pesawat yang bergetar. Aku udah sering ada di sini. Tapi kali ini beda. Kali ini, aku duduk di sebelah setan.

Setan yang satu ini emang selalu datang dalam wujud paling menggoda. Rambut panjang bergelombang kayak bintang film klasik, mata coklat besar yang terang, bibir penuh yang kelihatan lembut, dan tubuh gitar spanyol yang… sial.

Aku berusaha mati-matian buat gak ngelirik ke dada montok itu.

Dia menghela napas pelan, terus melirik kepadaku dengan ekspresi yang bikin waspada. "Lo takut terbang, ya?"

Aku mendengus. "Lo cuma pura-pura peduli biar bisa ngeledek gue."

"Lo duluan yang nyebelin." Dia mengangkat alis, senyumnya licik. "Gue bisa ngalihin perhatian lo, kalau lo mau."

“Apa?” tanyaku, ngerasa kayak ada sesuatu yang terlewatkan.

Dia menyandarkan diri ke kursi, senyumnya licik. “Lo tahu kan… sesuatu yang bisa bikin lo lupa sama ketakutan lo?”

“Maksud lo?”

Dia melirik sekilas ke arah lorong sebelum kembali menatapku, lalu dengan nada super santai, dia nyeletuk, “Ya kayak… misalnya melakukan blow job saat turbulensi?”

Aku membelalak. Otakku otomatis nge-lag. “Lo serius?”

Dia ketawa kecil, jelas menikmati ekspresi syokku. “Santai aja, gue cuma bercanda. Itu nggak akan kejadian kok.”

Aku menghela napas panjang, berusaha mengembalikan kewarasan. “Lo bener-bener nggak waras.”

“Beneran?” Dia mengangkat alis, masih dengan ekspresi jahilnya. “Tapi lo sempat kepikiran, kan?”

“Bahkan kalaupun gue mau—dan gue gak bilang gue mau—kenapa harus di sini? Di depan banyak orang? Gila aja.”

“Oh, gue setuju. Tapi menarik sih, lo langsung kepikiran akibatnya.”

Aku mau ngebales, tapi tiba-tiba lonceng kecil berbunyi di atas kepala, tanda sabuk pengaman udah boleh dilepas. Pas aku noleh lagi ke dia, dia udah balik baca majalah. Senyum kecil masih nangkring di sudut bibirnya.

Saat itu aku baru sadar—dia berhasil ngalihin perhatianku dari traumaku barusan.

Cerdik. Kelewatan.

Aku mendelik, lalu nyari cara buat ngebalikin omongan ini ke dia. Aku menyender, mendekatinya cukup buat bikin dia refleks mundur. “Oke,” aku berbisik, suara sengaja direndahin.

“Gue akuin,” lanjutku, hampir berbisik di telinganya. “Gue butuh sesuatu buat ngalihin perhatian gue dari take-off tadi.”

Dia tersentak, jelas nggak nyangka aku bakal ngikutin permainannya. “Lo ngapain?”

“Lo yang mulai, jadi lo juga yang harus nyelesain,” jawabku santai, menikmati betapa mukanya berubah-ubah antara syok dan frustrasi.

Dia dorong dadaku pelan, berusaha bikin jarak.

Aku nyengir lebar, sengaja mencondongkan muka sampai bisa berbisik di telinganya. “Bantu dong, sayang. Aku udah gak ketolong nih.”

Dia langsung panik, nyoba mundur tapi kejebak sandaran kursi. “Lo—Lo nggak mungkin segitunya.”

Aku mencondongkan badan, suaraku dibuat lebih pelan tapi cukup tajam buat bikin dia merinding. “Atau… gue harus bikin lo sibuk dengan cara lain biar lo benar-benar ngalihin perhatian gue?”

Mata dia menyipit curiga. “Jangan mulai, gue nggak gampang ke-distract.”

“Oh ya? Mau gue buktiin?”

Aku puas ngeliat mukanya yang udah merah padam.

Aku menang kali ini.

“Tenang aja… Gue punya rencana.” Suaraku rendah, terdengar seperti jebakan. “Lo tinggal rebahan di pangkuan gue, pura-pura sakit kepala. Gue bakal nyelimutin lo. Mereka nggak bakal curiga, bahkan kalau lo... ngedesah sedikit.”

Dia nyaris keselek ludahnya sendiri. “Lo waras, kan?”

Aku nyengir, kayak kucing abis mecahin vas. “Gue selalu waras. Cuma lo aja yang gampang panik.”

“Dan lo segitu yakinnya ini bakal berhasil?”

“Yakin banget,” jawabku enteng. “Mungkin kita bisa mulai... dengan ciuman buat lebih rileks?”

Sial. Aku seharusnya nggak ngomong gitu. Aku coba alihin pandangan, tapi mataku malah nyangkut di bibirnya—merah, lembut, dan... ah, sial.

'Otak lo jorok, fokus!'

"Bebaskan gue dari penderitaan, cewek nakal... Gue lagi horny dan butuh jilatan, nggak lama kok, lima atau sepuluh menit aja."

Aku menggertakkan rahangku. Joni-ku ngaceng. Jangan sampai dia menatap mataku, atau aku bakal ketahuan.

“Gadis... nakal? Menjilat?” Dia menempelkan hidungnya ke hidungku, matanya menyipit karena amarah. Kemudian senyumnya mengembang. “Akting lo bagus juga ya.. Dasar sombong—”

Aku berdeham, coba balik mengontrol situasi. Tapi sebelum sempet membalas, pramugari datang bawa wine. Wanita yang tadi melihatku kayak liat wagyu berjalan.

“Tuan, wine Anda.”

Sebelum aku buka mulut, setan di sebelahku langsung nyamber. Dia bersandar ke depan, aroma parfumnya langsung masuk ke hidungku—stroberi manis yang sialnya bikin kepalaku makin pusing. “Oh, makasih. Tapi ini buatku.”

Pramugari itu bengong. “Oh, saya kira—”

“Gak apa-apa,” katanya motong pembicaraan. “Dia emang selalu bikin orang gugup. Aku bahkan hampir aja narik kartu kredit buat nyewa dia semalaman.”

Aku nyaris keselek napas sendiri. “Cewek gila…”

Dia cuma angkat bahu, nyeruput wine seolah nggak terjadi apa-apa.

***

Menjelang tidur, pramugari bantu ngeset kursi jadi posisi tidur. Tapi baru aja gue mulai nyoba merem, suara dari sebelah gue ngebuat mata gue kebuka lagi.

“Kencangkan sabuk pengaman.”

Pesawat mulai goyang, kayak ditonjok berkali-kali. Sialnya, posisi tidur ini malah bikin semuanya makin aneh. Rasanya kayak diriku bakal kelempar ke udara kapan aja.

Aku membeku, mengepalkan tangan. Jangan sampai ada yang lihat aku sekarang, orang yang biasanya nggak takut apa-apa, malah menggeliat di kursi sambil megap-megap kayak ikan di daratan—reputasiku bakal hancur total.

“Hey.” Suaranya lembut. “Gak apa-apa.”

Aku merem, napasku makin berat. “Menjauh.”

“Nggak bisa,” jawabnya cepat, tapi nggak ada nada ngejek di situ. Dia geser duduknya, mendekat. “Dengerin gue. Gue tahu lo nggak mau keliatan kayak gini di depan gue, tapi gue di sini. Biarin gue bantu.”

Aku berusaha mengkontrol diri, tapi turbulensinya makin parah. “Kalau lo coba ngebanyol lagi soal ‘hisapan ajaib’, gue sumpah bakal—”

Dia ketawa kecil. “Nggak, kali ini enggak.”

Aku melirik dia curiga. “Terus lo mau ngapain?”

Dia nyibakin selimut dan... bergerak makin deket.

Aku refleks mundur. “Lo ngapain?”

Dia nyender santai, seolah lagi melakukan hal paling normal di dunia.

“Meluk lo.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Debat Konyol"

    "Apa? Nggak mungkin." "Mungkin." Aku duduk di sampingnya, hampir aja meluk dia. Ya Ampun, badannya dingin. Dia akhirnya mendesah lega, aku narik ujung selimut, nutupin kakinya sebelum bersandar padanya lagi. Dia menggeliat, setengah hati berusaha menjauh, tapi udah mentok di tepi. Nggak ada tempat buat kabur. "Ini nggak wajar." "Tapi kita bakal tetep ngelakuin ini." Dalam keadaan normal, aku nggak pernah maksa orang buat begini. Tapi setidaknya sekarang dia fokus ke pelukanku, bukan ke turbulensi. Itu sudah kemajuan. Aku menempelkan pipiku ke bisepnya. Ototnya keras kayak batu, dan dia sedikit gemetar. Dia berdeham. "Gue nggak—" "Tinggal satu tarikan napas lagi buat lo beneran kehilangan akal sehat. Terima aja kenyamanan fisik dari gue." Lengannya berkedut, kayak nahan diri, tapi aku tahu sebenernya dia juga kepengen. Akhirnya dia nyerah, mengangkat lengannya, kasih aku ruang untuk lebih dekat. Yeah akhirnya. Aku menyender ke bahunya, merapatkan tubuh

    Last Updated : 2025-03-21
  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Turbulensi dan Hasrat"

    Pesawat goyang lagi, membuat jantungku makin nggak karuan. Setiap kali aku merasa bisa tenang, turbulensi menarik dia balik ke mode panik. “Kita harus kasih nama anak-anak kita pake nomor,” kataku tiba-tiba. Aku bisa merasakan ototnya tegang di bawah pipiku. Tapi aku tetap nempel, membelai dadanya pelan sambil bersenandung. Lama-lama dia mulai lemas, tubuhnya lebih condong ke arahku. "Boleh gue tanya kenapa?" "Karena kita bakal punya banyak anak. Jadi lebih gampang aja. Kayak... Anak pertama, ‘Satu.’ Anak kedua, ‘Dua.’ Pas udah anak keenam, kita tinggal panggil ‘Setengah Lusin.’" Dia mendengus antara tertawa dan kesal. "Lo gila." Aku tersenyum. "Gue bisa nerima itu." “Gue benci ini,” gumamnya. "Pelukan?" Aku pura-pura bego, padahal aku udah tahu maksudnya. Dia tertawa kecil, nadanya getir. "Kelemahan." "Semua orang takut sesuatu." Dia diam sebentar sebelum akhirnya nanya, "Lo takut apa?" "Gue takut gelombang pasang. Dari kecil suka mimpi buruk ke

    Last Updated : 2025-03-24
  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Bukan Sekadar Hubungan Satu Malam"

    Pria itu berdecak. "Teruskan," katanya, tangannya terulur, menarik pergelangan tanganku dengan gerakan yang lambat tapi pasti. Jantungku berdebar kencang saat aku menuruti perkataannya, merasa terbakar oleh tatapan matanya yang dalam dan gelap, terpaku pada kulit di bahuku yang terbuka karena tersingkap. Jemariku bergerak gelisah, menekan lipatan kain yang meluncur dari pundakku, merasakan detak jantungku sendiri. Sial. Kenapa dia bisa membuat udara berasa setipis ini? "Lo nggak sadar, ya?" Aku menatapnya, bingung. "Apa?" Dia menarik napas dalam, lalu jemarinya meluncur ringan di sepanjang leherku, menciptakan jejak api di mana pun dia menyentuh. "Lo nggak tahu seberapa besar gue terangsang sekarang." Getaran aneh muncul di tubuhku. "Gue belum nyentuh lo," bisikku. "Lebih baik jangan." Tatapannya semakin dalam, sebelum akhirnya tangannya berpindah ke rahangku, ibu jarinya mengusap sudut bibirku. "Kalau lo cium gue lagi… gue nggak jamin bisa nahan lebih

    Last Updated : 2025-03-25
  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Undangan Pernikahan Sang Mantan"

    "Ya Tuhan!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Salah satu dari kalian mau jelasin ini, atau gue harus nebak sendiri?" Chloe nggak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas wiski sambil mengamati gerak-geriknya sebelum akhirnya ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata– milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah,

    Last Updated : 2025-01-19
  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Gaun Merah untuk Dendam"

    "Lo nggak boleh pakai gaun hitam ke pesta nikahan, Annelise Ayuningtyas Fischer." Aku menghela napas panjang, narik gaunku lebih erat ke tubuh, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang aku mau cuma pakai gaun hitam favoritku. Tapi enggak, aturan etiket pernikahan melarangnya. "Ini konyol," gumamku, setengah ngomong ke diri sendiri. "Terus gue harus pakai apa?" Jennifer nyengir tipis. "Gimana kalau yang biru muda?" "Yang abu-abu?" usul Chloe semangat, walaupun aku tahu itu nggak bakal bikin moodku jauh lebih baik. Aku memijit pelipis. Jennifer keliatan anggun dengan gaun emas metalik yang potongannya rendah. Dia duduk santai di kasurku sambil meyeruput teh hijau kayak sosialita. Rambut panjangnya yang bergelombang terurai, highlight keemasannya berkilau kena lampu. Chloe beda lagi. Dia pakai mini dress hijau zamrud yang ngepas banget di tubuhnya, bikin lekuk atletisnya makin keliatan. Rambut cokelatnya diikat ponytail tinggi, bikin dia keliatan fierce. Dan aku? Masih

    Last Updated : 2025-01-19
  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Anneliese "Pemabuk Menyebalkan"

    6 Bulan Sebelumnya... “Bisa geser nggak?” Suara ketus di belakangku membuatku menoleh. Seorang pria berdiri dengan wajah tak sabaran, ekspresi kesalnya jelas terlihat. “Hah?” Aku sedikit gugup. “Mau lewat?” “Nggak,” balasnya ketus. “Gue cuma pengen staf bandara ini kerja lebih cepat. Bisa-bisa gue ketinggalan pesawat gara-gara mereka!” Bau alkohol menyeruak dari napasnya. Aku menghela napas panjang dan kembali menatap antrean check-in yang bergerak lambat. Cuaca buruk telah menunda banyak penerbangan, membuat suasana semakin panas. Di belakangku, pria itu terus saja mengeluh, memaki-maki staf bandara, dan mengomel pada siapa saja yang sialnya berada dalam jangkauan suaranya. Aku mencoba mengabaikannya, tapi semakin lama, semakin susah. Akhirnya, aku nggak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. “Mereka udah kerja secepat mungkin. Bisa nggak, sih, lo nggak usah nyebelin?” “Apa?!” Dia langsung tersinggung. Aku menghembuskan napas, mencoba tetap tenang. “Coba deh,

    Last Updated : 2025-01-19
  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise " Kutukan Jus Cranberry"

    Aku baru aja duduk nyaman di kursi kelas satu yang empuk banget—kayak duduk di sofa rumah sendiri, cuma kali ini dengan bonus pemandangan awan nanti. Sambil melihat-lihat menu, aku merasa hidupku naik level. Tapi tiba-tiba, suara berat dan tegas dari belakang bikin leher gue menegang. “Siapa yang duduk di kursi saya?” Aku berhenti napas sejenak. Suara itu… kayaknya aku kenal. Tapi yang jelas, dia salah. Ini kursi aku. Aku udah cek nomornya dua kali, dan enggak mungkin balik ke kelas ekonomi setelah nyicipin kemewahan ini. Aku pura-pura sibuk ngelihatin menu, berharap suara itu bakal menghilang. “Maaf, Pak,” kata pramugari dengan nada hati-hati. Kelihatannya, orang ini punya aura yang bikin siapa aja deg-degan. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah terisi.” “Makanya saya beli dua kursi.” Suaranya ketus, seolah enggak mau ada perdebatan. Aku sempat menangkap suara pramugari yang mencoba menjelaskan sesuatu, tapi perhatianku malah ke dua cowok yang jalan melewati

    Last Updated : 2025-01-19

Latest chapter

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Bukan Sekadar Hubungan Satu Malam"

    Pria itu berdecak. "Teruskan," katanya, tangannya terulur, menarik pergelangan tanganku dengan gerakan yang lambat tapi pasti. Jantungku berdebar kencang saat aku menuruti perkataannya, merasa terbakar oleh tatapan matanya yang dalam dan gelap, terpaku pada kulit di bahuku yang terbuka karena tersingkap. Jemariku bergerak gelisah, menekan lipatan kain yang meluncur dari pundakku, merasakan detak jantungku sendiri. Sial. Kenapa dia bisa membuat udara berasa setipis ini? "Lo nggak sadar, ya?" Aku menatapnya, bingung. "Apa?" Dia menarik napas dalam, lalu jemarinya meluncur ringan di sepanjang leherku, menciptakan jejak api di mana pun dia menyentuh. "Lo nggak tahu seberapa besar gue terangsang sekarang." Getaran aneh muncul di tubuhku. "Gue belum nyentuh lo," bisikku. "Lebih baik jangan." Tatapannya semakin dalam, sebelum akhirnya tangannya berpindah ke rahangku, ibu jarinya mengusap sudut bibirku. "Kalau lo cium gue lagi… gue nggak jamin bisa nahan lebih

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Turbulensi dan Hasrat"

    Pesawat goyang lagi, membuat jantungku makin nggak karuan. Setiap kali aku merasa bisa tenang, turbulensi menarik dia balik ke mode panik. “Kita harus kasih nama anak-anak kita pake nomor,” kataku tiba-tiba. Aku bisa merasakan ototnya tegang di bawah pipiku. Tapi aku tetap nempel, membelai dadanya pelan sambil bersenandung. Lama-lama dia mulai lemas, tubuhnya lebih condong ke arahku. "Boleh gue tanya kenapa?" "Karena kita bakal punya banyak anak. Jadi lebih gampang aja. Kayak... Anak pertama, ‘Satu.’ Anak kedua, ‘Dua.’ Pas udah anak keenam, kita tinggal panggil ‘Setengah Lusin.’" Dia mendengus antara tertawa dan kesal. "Lo gila." Aku tersenyum. "Gue bisa nerima itu." “Gue benci ini,” gumamnya. "Pelukan?" Aku pura-pura bego, padahal aku udah tahu maksudnya. Dia tertawa kecil, nadanya getir. "Kelemahan." "Semua orang takut sesuatu." Dia diam sebentar sebelum akhirnya nanya, "Lo takut apa?" "Gue takut gelombang pasang. Dari kecil suka mimpi buruk ke

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Debat Konyol"

    "Apa? Nggak mungkin." "Mungkin." Aku duduk di sampingnya, hampir aja meluk dia. Ya Ampun, badannya dingin. Dia akhirnya mendesah lega, aku narik ujung selimut, nutupin kakinya sebelum bersandar padanya lagi. Dia menggeliat, setengah hati berusaha menjauh, tapi udah mentok di tepi. Nggak ada tempat buat kabur. "Ini nggak wajar." "Tapi kita bakal tetep ngelakuin ini." Dalam keadaan normal, aku nggak pernah maksa orang buat begini. Tapi setidaknya sekarang dia fokus ke pelukanku, bukan ke turbulensi. Itu sudah kemajuan. Aku menempelkan pipiku ke bisepnya. Ototnya keras kayak batu, dan dia sedikit gemetar. Dia berdeham. "Gue nggak—" "Tinggal satu tarikan napas lagi buat lo beneran kehilangan akal sehat. Terima aja kenyamanan fisik dari gue." Lengannya berkedut, kayak nahan diri, tapi aku tahu sebenernya dia juga kepengen. Akhirnya dia nyerah, mengangkat lengannya, kasih aku ruang untuk lebih dekat. Yeah akhirnya. Aku menyender ke bahunya, merapatkan tubuh

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Logan "Godaan di Udara"

    "Nggak, makasih." "Anda yakin? Mungkin kopi? Teh?" "Makasih, tapi nggak perlu," jawabku santai. Aku tahu kalau pergi ke toilet sekarang, pramugari ini pasti bakal nyoba lebih jauh buat menarik perhatianku. Udah sering kejadian. Udah biasa. Tapi sebelum aku bisa mikir lebih jauh, suara orang di sebelahku menyela, "Kayaknya sparkling wine enak juga." Suaranya santai, kayak baru aja menemukan ide brilian. Aku menyeringai kecil dalam hati. Oke, ini bakal lebih menarik dari sekadar godaan biasa. "Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan Rajendra. Saya sudah memberi tahu atasan saya, dan mereka akan segera mengurusnya." Aku cuma mengangguk kecil, balik fokus ke majalah mobil sport yang lagi aku baca. "Nggak masalah. Tapi makasih." "Kalau ada yang Anda butuhkan lagi…" "Hei," potong perempuan di sebelahku. "Aku rasa aku mau—hei! Halo?!" Dia melambaikan tangan ke pramugari yang langsung berbalik pergi. Aku nyengir kecil. "Ini salah lo, tau." Aku melirik ke a

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise " Kutukan Jus Cranberry"

    Aku baru aja duduk nyaman di kursi kelas satu yang empuk banget—kayak duduk di sofa rumah sendiri, cuma kali ini dengan bonus pemandangan awan nanti. Sambil melihat-lihat menu, aku merasa hidupku naik level. Tapi tiba-tiba, suara berat dan tegas dari belakang bikin leher gue menegang. “Siapa yang duduk di kursi saya?” Aku berhenti napas sejenak. Suara itu… kayaknya aku kenal. Tapi yang jelas, dia salah. Ini kursi aku. Aku udah cek nomornya dua kali, dan enggak mungkin balik ke kelas ekonomi setelah nyicipin kemewahan ini. Aku pura-pura sibuk ngelihatin menu, berharap suara itu bakal menghilang. “Maaf, Pak,” kata pramugari dengan nada hati-hati. Kelihatannya, orang ini punya aura yang bikin siapa aja deg-degan. “Penerbangannya sudah penuh, dan semua kursi sudah terisi.” “Makanya saya beli dua kursi.” Suaranya ketus, seolah enggak mau ada perdebatan. Aku sempat menangkap suara pramugari yang mencoba menjelaskan sesuatu, tapi perhatianku malah ke dua cowok yang jalan melewati

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Anneliese "Pemabuk Menyebalkan"

    6 Bulan Sebelumnya... “Bisa geser nggak?” Suara ketus di belakangku membuatku menoleh. Seorang pria berdiri dengan wajah tak sabaran, ekspresi kesalnya jelas terlihat. “Hah?” Aku sedikit gugup. “Mau lewat?” “Nggak,” balasnya ketus. “Gue cuma pengen staf bandara ini kerja lebih cepat. Bisa-bisa gue ketinggalan pesawat gara-gara mereka!” Bau alkohol menyeruak dari napasnya. Aku menghela napas panjang dan kembali menatap antrean check-in yang bergerak lambat. Cuaca buruk telah menunda banyak penerbangan, membuat suasana semakin panas. Di belakangku, pria itu terus saja mengeluh, memaki-maki staf bandara, dan mengomel pada siapa saja yang sialnya berada dalam jangkauan suaranya. Aku mencoba mengabaikannya, tapi semakin lama, semakin susah. Akhirnya, aku nggak tahan lagi. Aku berbalik dan menatapnya tajam. “Mereka udah kerja secepat mungkin. Bisa nggak, sih, lo nggak usah nyebelin?” “Apa?!” Dia langsung tersinggung. Aku menghembuskan napas, mencoba tetap tenang. “Coba deh,

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Gaun Merah untuk Dendam"

    "Lo nggak boleh pakai gaun hitam ke pesta nikahan, Annelise Ayuningtyas Fischer." Aku menghela napas panjang, narik gaunku lebih erat ke tubuh, berusaha menghindari tatapan tajam Chloe. Yang aku mau cuma pakai gaun hitam favoritku. Tapi enggak, aturan etiket pernikahan melarangnya. "Ini konyol," gumamku, setengah ngomong ke diri sendiri. "Terus gue harus pakai apa?" Jennifer nyengir tipis. "Gimana kalau yang biru muda?" "Yang abu-abu?" usul Chloe semangat, walaupun aku tahu itu nggak bakal bikin moodku jauh lebih baik. Aku memijit pelipis. Jennifer keliatan anggun dengan gaun emas metalik yang potongannya rendah. Dia duduk santai di kasurku sambil meyeruput teh hijau kayak sosialita. Rambut panjangnya yang bergelombang terurai, highlight keemasannya berkilau kena lampu. Chloe beda lagi. Dia pakai mini dress hijau zamrud yang ngepas banget di tubuhnya, bikin lekuk atletisnya makin keliatan. Rambut cokelatnya diikat ponytail tinggi, bikin dia keliatan fierce. Dan aku? Masih

  • Gairah CEO: Ditinggal Nikah, Terjebak Cinta Miliader   Annelise "Undangan Pernikahan Sang Mantan"

    "Ya Tuhan!" Mata Jennifer menatapku tajam, seolah ingin membakar lubang di tengkorakku. Ekspresi terkejut terpampang di wajahnya "Salah satu dari kalian mau jelasin ini, atau gue harus nebak sendiri?" Chloe nggak berkata apa-apa. Ia hanya menghabiskan sisa anggurnya dalam satu tegukan, lalu berdiri, mengaduk-aduk tasnya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan dua amplop merah muda identik. Keduanya dihiasi dengan tulisan cantik yang mirip dengan yang ada di amplop Jennifer sebelumnya. Aku sudah menghabiskan tiga gelas wiski sambil mengamati gerak-geriknya sebelum akhirnya ia menyodorkan amplop merah muda itu padaku. Tanganku sedikit gemetar saat mengambilnya, menyadari bahwa kedua pasang mata– milik Chloe dan Jennifer – menatapku tanpa berkedip. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu merobek pinggirannya dengan hati-hati. Begitu isinya keluar, amplop cantik itu segera terabaikan. Didalamnya terdapat kertas dengan aksen bunga merah muda lembut yang melingkari tepinya, sangat indah,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status