Hari itu, ia baru saja menerima ijazah SMA-nya. Seharusnya ini menjadi momen bahagia, namun kenyataan hidupnya tak seindah itu. Ayahnya, seorang satpam di sebuah perusahaan besar, tiba-tiba terjerat hutang dari pinjaman online. Semua ini karena biaya ujian sekolahnya yang begitu mahal. Kini, keluarga mereka tenggelam dalam krisis keuangan, dan Luna merasa bersalah. “Ayah sudah terlalu banyak berkorban untukku,” gumam Luna pelan. “Aku harus melakukan sesuatu.” Ia memandang jauh ke depan, mencari solusi di tengah kebuntuan. Pikirannya berputar, dan satu ide terlintas: mencari pekerjaan. Luna tahu, hanya dengan bekerja ia bisa membantu ayahnya melunasi hutang-hutang itu. Tapi bagaimana? Di kota kecil tempat tinggalnya, lowongan pekerjaan sangat sedikit, apalagi bagi lulusan SMA tanpa pengalaman. Keputusannya bulat. Esok harinya, Luna bersiap untuk mencari pekerjaan di perusahaan besar tempat ayahnya bekerja. Meskipun ayahnya tidak tahu rencananya, Luna yakin ini adalah cara terbaik untuk membantu keluarganya. --- Luna berdiri di depan gedung perusahaan besar yang selama ini hanya ia lihat dari luar. Dengan mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki—meskipun sederhana, ia berusaha tampil percaya diri. Hari itu, ia dijadwalkan untuk wawancara sebagai asisten administrasi. Langkah kakinya membawa Luna memasuki lobi besar perusahaan, matanya sibuk menjelajahi setiap sudut ruangan. Semuanya terasa begitu mewah, jauh dari kehidupannya sehari-hari. Jantungnya berdegup kencang, antara gugup dan semangat bercampur jadi satu. Dan dari sinilah semua kisahnya bermula bertemu laki-laki yang ternyata kakak kelasnya di SMA bernama KIM DAEHAN. Daehan menawarkan nikah kontrak dengan Luna meski mereka tetap melakukan ijab kabul secara sah, namun Daehan membuat kesepakatan dengan Luna pernikahan mereka hanya sampai 6 bulan . namun saat menjelang perpisahan Daehan tak mau berpisah dengan Luna. Bagaimana kelanjutan kisah mereka?
Lihat lebih banyakLuna tampak sibuk dengan tumpukan dokumen di meja kantornya. Hari itu banyak rapat dan target yang harus diselesaikan, membuatnya sedikit lelah. Namun, ia tetap berusaha terlihat profesional, menjaga penampilannya dengan baik. Rekan-rekannya sesekali melirik ke arah Luna yang sibuk, terkagum dengan dedikasi wanita itu meskipun tengah hamil. Sementara itu, Daehan juga sedang disibukkan dengan pekerjaannya di kantor. Meski begitu, pikirannya terus melayang kepada Luna. Ada rasa rindu yang semakin besar setiap harinya, terutama saat melihat bagaimana Luna perlahan membuka. Sore itu, Luna yang baru saja selesai rapat terkejut melihat sosok Daehan berdiri di depan pintu kantor. Dengan buket bunga besar di tangannya, Daehan menatap Luna dengan senyum menawan yang membuat semua mata di kantor tertuju pada mereka. "Luna, aku di sini untuk menjemputmu," katanya sambil memberikan bunga itu. Wajah Luna memerah. "Kau tidak perlu repot-repot seperti ini, Daehan," jawabnya pelan. Daehan h
Setelah hampir satu minggu dirawat di ruang VVIP rumah sakit, Daehan mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan. Namun, ketidakhadirannya di kantor ternyata memberikan dampak besar. Asistennya, Rehan, yang biasanya sigap dan penuh semangat, mulai merasa kewalahan. Setiap hari telepon di mejanya terus berdering, email masuk tanpa henti, dan para manajer lini mengeluh tentang tumpukan keputusan yang membutuhkan persetujuan langsung dari Daehan. "Wakil direktur juga hampir kewalahan, Pak," ujar Rehan sambil menelepon Daehan untuk memberikan laporan. Suaranya terdengar lelah, namun ia tetap profesional. "Semua orang mengandalkan Anda, dan sejujurnya, kami belum menemukan ritme tanpa kehadiran Anda di kantor." Daehan, yang sedang duduk di tempat tidur rumah sakit dengan bantal bersandar di punggungnya, mendengarkan laporan itu dengan ekspresi serius. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, pikirannya sudah kembali tajam seperti biasa. "Rehan, beri tahu semua orang b
Di tengah kesunyian ruang ICU, Luna duduk di samping tempat tidur Daehan, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ia tak bisa menahan air mata yang terus mengalir. "Ya Allah... berikan aku kekuatan menghadapi cobaan ini, suamiku kini terbaring di ICU, dan aku sedang mengandung, berikan kesembuhan untuk suamiku ya Allah."Daehan, pria yang selama ini memberinya banyak luka sekaligus kebaikan, kini terbaring tak berdaya di hadapannya. "Bagaimana pun dia suamiku, dia ayah anakku, aku tak mau terjadi sesuatu padanya."Rasa takut kehilangan dan harapan agar Daehan segera sadar membuat hatinya penuh sesak. Ia teringat saat-saat sulit dalam hidupnya ketika Daehan menjadi satu-satunya yang memberikan bantuan, meskipun dengan segala kebencian yang terpendam. "Luna, kau harus kuat," bisiknya pelan pada dirinya sendiri, meski sebenarnya hatinya hancur. Luna mengusap tangan Daehan dengan lembut, berharap sentuhannya bisa memberinya semangat untuk bertahan. "Kamu yang menyelamatkanku saat aku
Dalam perjalanan menuju pertemuan bisnis pentingnya, Daehan merasakan sesuatu yang tak biasa pada mobilnya. Setir terasa berat, dan setiap kali mencoba menginjak pedal rem, mobil tidak merespons dengan normal. Sekilas, ia melihat lampu indikator menyala di dashboard, dan perasaannya langsung tidak enak. Daehan berbicara pada dirinya sendiri. "Ada yang salah... Kenapa kendalinya jadi begini?" Berusaha tetap tenang, Daehan memperlambat laju mobil. Namun, mendadak kendali setir semakin sulit dipegang, dan mobil mulai bergerak tidak terkendali. Dengan cepat, mobil itu oleng, bergerak ke arah yang tidak ia kehendaki. Di hadapannya, pembatas jalan semakin dekat, dan meski sudah mencoba menginjak rem sekuat tenaga, mobilnya tidak bisa dihentikan. Daehan panik. "Tidak! Remnya tidak berfungsi!" Dalam hitungan detik, mobil Daehan menabrak pembatas jalan dengan keras. Suara benturan terdengar memekakkan telinga, diiringi suara pecahan kaca dan besi yang berderak. Airbag terbuka, menahan
Keesokan paginya, Luna terbangun dari tidurnya di hotel dengan perasaan lebih segar. Matahari pagi mengintip dari sela-sela tirai, memberikan suasana yang hangat dan tenang. Namun, ketika ia melihat sekeliling, Luna kembali teringat bahwa dirinya masih di kamar hotel suite bersama Daehan. "Hah, aku ... dimana ini , kenapa kamarnya berbeda?Ooh iya ....semalam aku menginap di hotel."Luna baru mengingatnya. Segera, ia mengumpulkan keberanian dan mulai bersiap untuk pulang. Setelah sarapan singkat, Daehan mengantar Luna kembali ke apartemennya. Di dalam mobil, mereka lebih banyak terdiam. Daehan sesekali mencuri pandang ke arah Luna yang terlihat tenang namun tetap dingin. Ia paham, kehadirannya masih belum sepenuhnya diterima oleh Luna, namun Daehan merasa bahwa inilah langkah yang perlu ia ambil untuk berada di sisi istri dan anaknya, apapun konsekuensinya. Sesampainya di apartemen Luna Setelah mereka tiba di depan gedung apartemen, Luna keluar dari mobil dan menoleh pada Dae
Daehan membawa Luna ke sebuah kamar hotel suite yang telah dipesannya, berharap bisa berbicara lebih tenang dan menjelaskan perasaannya. Namun, setibanya di sana, Luna tampak gelisah dan terus-menerus meminta pulang. Luna merengek ."Daehan, aku ingin pulang. Aku sudah cukup lelah dengan semua ini. Aku hanya ingin hidup tenang, jauh dari semua kebencian yang ada." Daehan dengan nada lembut. "Luna, dengarkan aku dulu. Aku tahu semua ini salahku. Aku terlalu lama membiarkan kebencianku pada ibumu mempengaruhi perasaanku padamu. Tapi… aku tidak membencimu, Luna. Malah sebaliknya." Luna masih menunduk dan menahan emosinya. "Daehan, kata-kata itu tidak mengubah apa yang telah terjadi. Aku sudah terlalu banyak terluka. Aku hanya ingin menjalani hidup yang damai, tanpa beban dendam atau kebencian." Daehan menghela napas panjang, melihat Luna yang begitu tegar di hadapannya membuat hatinya bergetar. Ia tahu betapa kuatnya Luna menjalani segalanya seorang diri, terutama saat dirinya tak
Pagi itu, Luna bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan dan bekal sehat. Ia tahu betapa pentingnya asupan gizi untuk bayinya, meskipun setiap pagi ia harus berjuang melawan rasa mual yang tak kunjung reda. Sambil memotong buah dan memasukkan sayur-sayuran ke dalam bekalnya, Luna merenung. Kadang-kadang ia merasa iri saat melihat ibu hamil lain yang diantar dan dibantu suaminya, diberi perhatian lebih. Namun, Luna sadar, ia harus kuat untuk bayinya. Saat tiba di kantor, Luna segera menyadari tatapan sinis dari rekan-rekannya. Mereka tak berusaha menyembunyikan pandangan aneh yang tertuju padanya. Sebagian besar dari mereka menganggapnya mendapat posisi istimewa yang memudahkan kerjanya, membuat iri banyak orang di kantor. Tak hanya itu, gosip tentang kehamilannya juga mulai menyebar. Beberapa karyawan bahkan menuding bahwa ia hamil di luar nikah. Luna hanya bisa menahan diri, mencoba tidak terganggu oleh rumor yang semakin liar. Di sela-sela bekerja, tiba-tiba Sinta, rekan yang ker
Daehan menatap dalam-dalam ke wajah Luna, mengamati setiap perubahan yang terjadi sejak terakhir kali mereka bersama. Wajahnya yang dulu berseri kini tampak lebih kurus dan pucat. Terlihat jelas dari sorot matanya, Luna telah melewati banyak hal, berjuang sendirian dalam masa-masa sulit. Rasa bersalah menguasai Daehan, membuat matanya berkaca-kaca. Hatinya ingin memohon agar Luna mau memaafkannya dan kembali bersamanya, tapi ia tahu tak semudah itu. “Luna…” Daehan memulai, suaranya bergetar. “Maafkan aku. Aku tahu... mungkin semua ini sudah terlambat, tapi aku tak bisa mengabaikan perasaanku. Aku datang karena aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku ingin memperbaiki semuanya.” Luna menatapnya dengan tatapan yang keras namun penuh luka. “Pak Daehan, aku sudah cukup lelah,” jawabnya pelan. “Aku tak ingin kembali dan merasakan sakit yang sama lagi. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan hidup tanpa kamu.” Mendengar kata-ka
Setelah pertemuannya dengan Dina, Daehan kembali ke ruangannya dengan hati yang tak tenang. Setiap kali ia mencoba menyingkirkan pikiran tentang Luna, wajahnya justru semakin jelas muncul dalam benaknya. Perasaan rindu yang kian hari kian mendalam membuatnya sulit berkonsentrasi pada pekerjaannya, dan ia mulai merasa hampa tanpa kehadiran Luna. Namun, setiap kali ingatan tentang Luna menyeruak, bayangan tentang masa lalu dan kebenciannya terhadap ibunya, Dina, juga muncul. Sungguh perasaan yang bertentangan, antara cinta yang ingin tumbuh dan kebencian yang terus menghalangi. Pikirannya melayang-layang, hingga tanpa sadar ia mendesah dalam hati, “Luna, di mana kamu sekarang?” Malam itu, setelah duduk merenung sendirian, Daehan akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah. Meski sebagian hatinya masih dipenuhi amarah, kekhawatiran tentang Luna tak bisa ia abaikan. Ia mengkhawatirkan keadaan dan kehidupan Luna, apalagi setelah melihat kondisinya terakhir kali di rumah sakit. Mungkin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen