Share

Bab 7

Malam itu, Daehan duduk di sofa apartemen Ryuka, mencoba menikmati malam yang seharusnya dipenuhi dengan keintiman dan gairah. Ryuka, model internasional dengan kecantikan luar biasa, tampak begitu memikat. Dengan gaun seksi yang memperlihatkan keindahan tubuhnya, Ryuka mengelilingi Daehan, tersenyum lembut saat dia mendekat. “Sudah lama kita tidak bertemu,” bisiknya manja, jemarinya melingkari leher Daehan, menariknya lebih dekat.

Daehan tersenyum, mencoba untuk merespons, tapi hatinya terasa hampa. Ia memandang Ryuka, yang selama ini menjadi sosok yang ia cintai, namun malam ini ada sesuatu yang berbeda. Sentuhannya, suaranya, bahkan senyumnya yang dulu begitu ia rindukan, kini terasa seolah jauh."Ya, aku juga sangat merindukanmu Ryuka." Daehan dengan ekpresi datarnya.

Ryuka melanjutkan pembicaraan dengan nada yang penuh godaan, “Kau pasti merindukan momen-momen seperti ini, bukan?” Dia mendekat, mencium bibir Daehan dengan penuh gairah, tapi di balik semua itu, Daehan merasa pikirannya melayang. Wajah Ryuka perlahan memudar dari benaknya, digantikan oleh bayangan seseorang yang lain—Luna.

Ia teringat kembali pada tatapan Luna saat terakhir kali mereka berbicara di kantornya. Saat Luna meminta untuk berpisah, ada sesuatu dalam dirinya yang goyah. Daehan selalu meyakinkan dirinya bahwa pernikahan dengan Luna hanyalah sebuah kontrak, dan Luna tak lebih dari alat untuk mencapai tujuannya. Namun, mengapa bayangan wajah Luna terus menghantuinya? Mengapa ia merasa bersalah atas cara ia memperlakukan Luna?

Ryuka mengerang pelan di telinganya, menarik perhatian Daehan kembali ke ruangan. “Kau tampak jauh malam ini, ada yang salah?” tanyanya sambil memandangnya dengan tatapan tajam. Daehan tersentak, sadar bahwa pikirannya telah melayang terlalu jauh.

“Tidak, tidak ada apa-apa,” jawab Daehan cepat, mencoba untuk tersenyum, tapi senyum itu terasa hambar. Dia berusaha keras untuk fokus kembali pada Ryuka, mencoba mengingatkan dirinya bahwa inilah yang seharusnya ia inginkan. Tetapi, tidak peduli seberapa keras dia mencoba, Luna selalu kembali ke pikirannya.

Ryuka mendesah kesal, menyadari perubahan dalam sikap Daehan. “Kau berbeda, Daehan. Kau tidak seperti biasanya.”

Daehan mengalihkan pandangannya, menatap ke luar jendela apartemen yang menawarkan pemandangan kota yang indah di malam hari. “Aku hanya banyak pikiran tentang pekerjaan,” katanya, mencoba mencari alasan.

Namun, alasan itu tidak cukup untuk menghapus bayangan Luna dari benaknya. Malam yang seharusnya penuh gairah dengan Ryuka berubah menjadi refleksi internal yang mendalam bagi Daehan. Mengapa ia selalu kembali memikirkan Luna? Meskipun pernikahan mereka hanyalah kontrak, mengapa ada perasaan bersalah setiap kali ia memperlakukannya dengan kasar?

Di satu sisi, Ryuka adalah wanita yang sempurna di mata dunia—cantik, sukses, dan penuh percaya diri. Namun di sisi lain, Luna yang sederhana, cerdas, dan penuh keteguhan, telah menciptakan perasaan yang tidak Daehan sadari sebelumnya. Mungkin karena Luna tidak pernah mencoba menarik perhatiannya seperti Ryuka atau wanita-wanita lain. Luna tidak peduli dengan kekayaan atau status sosialnya, dan itulah yang membuatnya berbeda.

Sementara itu, Ryuka kembali berbicara, mencoba menghidupkan suasana. Tapi Daehan hanya memberikan jawaban singkat, merasa semakin jauh dari keintiman yang mereka ciptakan. Ia terjebak dalam pikirannya, bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap Luna.

Tiba-tiba, Daehan teringat percakapan terakhir mereka di kantor. Luna meminta untuk berpisah, wajahnya penuh ketegangan dan kesedihan. Pada saat itu, Daehan hanya berpikir tentang kontrak mereka dan keuntungannya. Tapi sekarang, ia mulai merasa bersalah. Apakah ia terlalu keras pada Luna? Apakah semua ini layak dijalani hanya demi menjaga citra keluarga di mata publik?

Ryuka, yang masih berada di sisinya, akhirnya menyerah. Dia menyadari ada sesuatu yang mengganggu Daehan, dan malam itu tidak akan berjalan seperti yang diharapkannya. “Kalau kau ingin bicara, aku di sini, Daehan,” katanya lembut, meskipun kekecewaan jelas terlihat di wajahnya.

Daehan mengangguk tanpa berkata-kata, merasa tidak mampu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam hatinya. “Maaf, Ryuka,” ucapnya lirih. “Aku hanya lelah. Mungkin aku harus pulang.”

Ryuka menatapnya dengan penuh pertanyaan, tetapi tidak berusaha menghentikannya. “Baiklah,” katanya dengan nada datar. “Tapi lain kali, pastikan kau benar-benar di sini, bersamaku.”

Daehan berdiri, mengambil jaketnya dan menuju pintu. Setelah mengucapkan selamat malam kepada Ryuka, ia melangkah keluar dari apartemen, meninggalkan Ryuka yang masih duduk di sofa, memandang kosong ke arahnya. Di dalam lift, Daehan terdiam. Pikirannya kembali ke Luna. Bayangan wajah Luna, ekspresi sedihnya, cara dia selalu menunduk ketika Daehan melontarkan kata-kata tajam, semua itu tiba-tiba menjadi nyata di benaknya.

Daehan merasa hatinya bimbang. Ia tidak mengerti mengapa Luna begitu mempengaruhinya, sementara pernikahan ini seharusnya hanya sebuah formalitas. Tapi kini, semakin hari, perasaan itu semakin sulit diabaikan. Luna bukanlah wanita yang Daehan pilih, tetapi dia adalah wanita yang, entah bagaimana, mulai memenuhi pikirannya, bahkan ketika Daehan berada bersama seseorang seperti Ryuka.

Ketika ia kembali ke rumah malam itu, Daehan mendapati dirinya termenung di depan pintu. Rumah yang dulu terasa tenang kini penuh dengan keraguan dan kebingungan. Luna mungkin berada di kamarnya sekarang, berpikir untuk bertahan tiga bulan lagi hingga kontrak mereka berakhir.

Daehan tahu satu hal, apapun yang terjadi, perasaan ini tidak akan mudah diabaikan. Dan meskipun ia tidak siap mengakui perasaannya, Daehan mulai menyadari bahwa Luna bukan hanya sekadar alat dalam pernikahan kontrak ini—dia telah menjadi lebih dari itu, sesuatu yang membuat hatinya tidak tenang.

Luna duduk di sofa sambil menatap ke arah jendela kamar mereka.

"Kukira kau akan pergi dari rumah ini, saat aku pergi ."Daehan dengan suara bariton nya. Membuat Daehan membuyarkan lamunannya.

"Arrgh, Pak Daehan sudah datang." ujar Luna.

"Kenapa, kau belum tidur, apa kau sudah memikirkan apa yang akan kamu bawa dari rumah ini?"

"Apa maksud Pak Daehan? jadi menurut bapak saya ini matrealistis ? da...n saya ... seorang pencuri?" Air mata Luna mengalir deras tak tertahankan. "Baik, kalau begitu, bersiaplah ... karena aku akan menguras semua hartamu, dan juga semua asetmu, hiks hiks hiks."Luna menuju balkon kamar tersebut, dan menumpahkan semua kepedihannya nampak punggung Luna bergetar. Daehan mematung, ada sedikit rasa bersalah dalam hatinya karena ucapannya. Namun dia enggan untuk meminta maaf dan pergi ke kamar mandi tanpa peduli dengam Luna.

Bulan dan bintang menjadi saksi Luna yang sedang menahan rasa pedih di hatinya.

"Ya Allah, kuatkan hati hamba, berikan jalan keluar dari permasalahan ini."

"Haloo, ... Luna, kau menangis?"ucap sang Ayah.

"Euhmm tidak Ayah, aku tadi habis makan bakso yang pedas jadi keluar airmata dan hidungku berair."lirih Luna .

"Owh begitu, besok kamu jadi kan, ke rumah Ayah?"tanya ayah Luna.

"Iya Ayah, InshaAllah Luna datang."jawab Luna menahan sesak di dadanya. Ingin rasanya dia mencurahkan segala keluh kesahnya pada sang ayah, namun lidahnya keluh tak bisa berucap.

"Kalau begitu, Ayah tunggu ya nak, jangan lupa ajak suamimu ya nak."Ayah Luna dengan lembut.

"Iya Ayah mudah-mudahan dia ada waktu, kalau begitu Luna tutup dulu ya Ayah Assalamualaikum. "

"Waalaikumsalam. "Arya mengakhiri sambungan seluler mereka.

Saat Daehan selesai mandi, dan menuju walking closet, Luna mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat Isya. Daehan menatap nanar, ada rasa kagum pada Luna namun rasa bencinya terlalu besar sehingga menutupi rasa kagumnya.

Keesokan paginya Luna pergi pagi-pagi sekali, dia sudah memasak sarapan dan kopi untuk Daehan, Luna sudah izin sebelumnya bahwa hari ini dia akan pergi ke suatu tempat.

Luna sudah sampai di kantornya karena naik Bus. Sehingga dia harus prepare datang pagi-pagi. Dia langsung membuka laptop nya dan mengerjakan pekerjaannya. Supaya dia bisa selesai dengan cepat.

Sekitar pukul 09:00 Daehan sampai tatapannya tertuju pada Ruangan kantor dimana ada Luna di sana. Daehan berjalan ke ruangna tersebut seolah-olah dia sedang sidak para karyawannya. "Ehemm, semua mata tertuju padanya, namun satu orang yaitu Luna tidak sama sekali mengarah padanya. Luna seoalah enggan menatap wajah Daehan padahal Daehan didambakan hampir setiap wanita di kantor.

"Selamat pagi pak,"sapa setiap para karyawan kecuali Luna. Sehingga temannya menegur Luna agar fokus pada Daehan sejenak.

"Luna .... kau kenapa? malah sibuk dengan komputer, enggak lihat ada Pak Daehan? kenapa kamu tidak menyapanya?"Ujar sang manajer.

"Saya sedang sibuk bu, lagipula beliau kan ingin melihat kinerja kita, dan baginya waktu adalah uang, kalau saya meninggalkan pekerjaan satu menit saja maka itu akan membawa kerugian bagi perusahaan. "Luna dengan tegas tanpa merasa takut sedikitpun.

"Luna....!" Pekik seorang wanita

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status