Daehan merasa marah sekaligus tidak rela mendengar pernyataan itu. Ia berdiri dari kursinya, menatap Luna tajam. "Kau pikir semua ini semudah itu? Kau pikir setelah kita menjalani semua ini, kau bisa pergi begitu saja?" Luna menelan ludah, berusaha untuk tidak terintimidasi oleh sikap Daehan. "Kita tahu pernikahan ini hanyalah kontrak, Pak Daehan. Tidak ada yang mengikat kita lebih dari itu. Sekarang, aku sudah bisa berdiri sendiri, aku tidak perlu lagi hidup dalam bayang-bayangmu." "Bayang-bayangku?" tanya Daehan dengan nada marah, melangkah mendekat ke arah Luna. "Luna, kau tidak mengerti. Pernikahan kita mungkin dimulai dengan kontrak, tapi sekarang ini sudah lebih dari sekadar itu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja." Luna menatap mata Daehan, merasakan amarah yang tersimpan di dalamnya. Namun, ia juga melihat sesuatu yang lain—sesuatu yang membuatnya ragu dengan keputusannya. "Apa maksudmu, Pak Daehan? Kau sendiri yang selalu menekankan bahwa pernikahan kita ha
Malam hari, Daehan merasakan kekosongan di ruang kamarnya. [Haloo, Hana, tolong kau daftarkan pernikahanku dengan Luna supaya resmi] [Tapi tuan... anda akan sulit berpisah dengannya nanti, karena harus melalui proses sidang perceraian] [Tidak apa-apa aku sudah memikirkan hal itu] Pagi itu, Luna bangun seperti biasa, siap-siap untuk berangkat kerja. Namun, saat membuka pintu depan, pandangannya tertuju pada sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman rumahnya yang sederhana. Matanya membulat kaget. Itu mobil Daehan. Ayah Luna, Arya, yang baru saja keluar dari dapur pun sama terkejutnya. "Luna, siapa itu?" tanya Arya bingung, menatap mobil hitam berkilau yang tampak mencolok di antara deretan rumah sederhana di lingkungan mereka. Sebelum Luna sempat menjawab, Daehan keluar dari mobilnya dengan langkah percaya diri. Dia mengenakan setelan jas rapi, wajahnya dingin dan serius seperti biasa. Arya berdiri di ambang pintu, terkejut melihat sosok Daehan yang tak pernah dia sangka
"Itu perjanjian awal dan kau menanda tanganinya." "Heuhhh, aku tak mengerti .."Luna mendengus. "Uangmu akan ku kembalikan dan kau kembali bersamaku, kau tak bisa pergi begitu saja." Saat sampai di mansion milik Daehan, dia menyiapkan sebuah minuman untuk Luna. "Nona, ini jus alpukat kesukaan nona."Seorang pelayan membawakan minuman untuk Luna. "Terimakasih, mbok."Luna langsung meminumnya tanpa curiga sedikitpun. Tak lama tubuhnya terasa panas dan dia pergi ke kamar mandi. "Ada apa denganku mengapa rasanya panas sekali, aku... merasa ingin berendam lama di bathtub."gumam Luna. "Kau kenapa heumm?". "Aku... kenapa aneh begini."Luna menatap sayu ke arah Daehan yang hanya memakai kimono. "Kau... butuh bantuan heumm." "Pak, aku ... ahhhh, butuh bantuan kamu ini.. kenapa."Luna meraup bibir Daehan meski khawatir. Tanpa sadar Luna membuka pakaiannya sendiri. "Aku akan membantumu, apa kau yakin tidak akan menyesal ?" "Tidak ... aku menginginkannya sekarang," Daehan menc
Setelah tiba di mansion Daehan, suasana di antara mereka terasa sangat tegang meski beberapa saat sebelumnya mereka telah berbagi momen intim bersama. Luna masih merasa canggung, mencoba memahami perasaannya sendiri sekaligus menghadapi perasaan yang rumit terhadap Daehan. Mereka membersihkan diri, dan suasana hening menghantui setiap gerak langkah mereka. Di dalam hati, Luna tahu bahwa ia harus mengatakan yang sebenarnya, sesuatu yang telah lama ia pendam. Saat mereka duduk di ruang tamu, Luna menatap Daehan yang terlihat fokus pada ponselnya, dan akhirnya, dengan suara gemetar, dia memberanikan diri untuk berbicara. "Pak, Daehan... ada sesuatu yang harus aku katakan padamu," ucap Luna perlahan, matanya penuh dengan keraguan. Daehan mengangkat wajahnya, menatap Luna dengan sedikit kebingungan. "Apa itu?" tanyanya, meski nada suaranya tetap tenang. Luna menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan. "Ibu tirimu... dia adalah ibu kandungku,"
Satu bulan berlalu sejak perpisahan Luna dan Daehan, dan meski mereka masih berada di lingkungan kerja yang sama, jarak antara mereka terasa semakin jauh. Setiap kali mereka berpapasan, terutama di lift atau di koridor kantor, Daehan selalu menghindari tatapan Luna. Bahkan ketika Luna mencoba menyapanya dengan ramah, Daehan hanya berpaling tanpa memberi respon. Luna berusaha terlihat tegar, namun di hatinya tetap tersisa luka yang tak mudah hilang. Hal yang membuat Luna semakin bingung adalah bahwa Daehan belum juga mengurus perceraian mereka. Padahal, pernikahan mereka terdaftar secara resmi, dan ia tak mengerti mengapa Daehan tampak seolah tidak peduli. Luna sudah mencoba menghubungi asisten dan bahkan pengacara perusahaan untuk memastikan Daehan segera mengurus perpisahan mereka, namun tak ada perkembangan. Daehan seolah sengaja menunda, membuat Luna terjebak dalam pernikahan yang sebenarnya ingin segera ia tinggalkan. Luna mulai merasa lelah dengan ketidakpastian ini. Setiap ha
Setelah dokter pergi, Daehan duduk di tepi ranjang Luna dengan wajah penuh kebingungan dan rasa penasaran. Tak biasanya dia begitu perhatian, tapi kali ini ada sesuatu yang memicunya untuk mencari tahu lebih dalam. “Luna, kapan terakhir kali kamu... datang bulan?” tanyanya dengan nada ragu, namun sorot matanya penuh keingintahuan. Pertanyaan itu membuat Luna tertegun. Jantungnya berdegup kencang, dan ia harus berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kegugupannya. Jika dia berkata jujur, Daehan akan tahu bahwa ia sedang mengandung anaknya. Namun, ia tidak siap membiarkan Daehan mengetahui hal itu. Luna mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Oh... aku baru saja selesai datang bulan beberapa hari yang lalu,” jawabnya sambil memaksakan senyum kecil, berusaha terdengar meyakinkan. Daehan mengangguk, meski sedikit bingung. “Jadi, dokter itu mungkin salah. Tapi sebaiknya kamu tetap periksa lagi nanti,” ucapnya dengan nada khawatir. Luna hanya mengangguk kecil, namun h
Di sebuah kafe mewah, Daehan dan Ryuka duduk di sudut, menikmati makan malam mereka. Meski di hadapannya ada Ryuka yang cantik, pikiran Daehan terus melayang ke sosok Luna, istri yang masih terikat dengannya secara hukum, namun begitu jauh tak terjangkau. Ryuka sambil menyendok makanan dan tersenyum. "Daehan, kau tampak sering melamun akhir-akhir ini. Masih sibuk dengan urusan kantor, ya?" Daehan tersentak dari lamunannya, lalu tersenyum tipis. "Oh... maaf, mungkin sedikit terbawa pikiran. Banyak hal yang terjadi di kantor." Ryuka menggenggam tangan Daehan. "Kau tahu, kalau ada sesuatu yang mengganggu, kau bisa ceritakan padaku. Kita bisa hadapi bersama, seperti dulu." Daehan.menghela napas panjang. "Ryuka, aku menghargai perhatianmu. Tapi, aku hanya butuh waktu untuk menenangkan pikiran." Ryuka memiringkan kepala. "Masalah ini tentang... Luna, bukan?" Daehan diam sejenak.Aku... ya, mungkin. Hubunganku dengannya masih menggantung, dan kami belum resmi bercerai. Sebenarnya,
Luna tiba di klinik kandungan dan disambut dengan ramah oleh perawat yang mengarahkannya ke ruang tunggu. Setelah menunggu beberapa saat, dokter kandungan memanggilnya masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Dokter: "Selamat pagi, Luna. Bagaimana kabar Anda? Saya dengar ini pemeriksaan pertama ya?" Luna: "Iya, Dok. Ini kehamilan pertama saya, jadi agak cemas juga karena belum pernah periksa sebelumnya. Saya ingin memastikan bayi saya sehat." Dokter: "Tentu, tidak perlu khawatir. Kita akan melakukan pemeriksaan USG untuk melihat kondisi kandungan Anda. Mari kita mulai." Dokter mulai melakukan pemeriksaan USG dan menunjukkan layar kepada Luna, memperlihatkan janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Dokter: "Ini dia bayi Anda, Luna. Di usia kandungan awal seperti ini, semuanya tampak normal. Anda bisa melihat detak jantungnya di sini." Luna: tersenyum dengan mata berkaca-kaca "Alhamdulillah, senang sekali mendengarnya, Dok. Terima kasih." Dokter: "Sama-sama. Saya akan meresepkan vita