Setelah dokter pergi, Daehan duduk di tepi ranjang Luna dengan wajah penuh kebingungan dan rasa penasaran. Tak biasanya dia begitu perhatian, tapi kali ini ada sesuatu yang memicunya untuk mencari tahu lebih dalam. “Luna, kapan terakhir kali kamu... datang bulan?” tanyanya dengan nada ragu, namun sorot matanya penuh keingintahuan. Pertanyaan itu membuat Luna tertegun. Jantungnya berdegup kencang, dan ia harus berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kegugupannya. Jika dia berkata jujur, Daehan akan tahu bahwa ia sedang mengandung anaknya. Namun, ia tidak siap membiarkan Daehan mengetahui hal itu. Luna mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Oh... aku baru saja selesai datang bulan beberapa hari yang lalu,” jawabnya sambil memaksakan senyum kecil, berusaha terdengar meyakinkan. Daehan mengangguk, meski sedikit bingung. “Jadi, dokter itu mungkin salah. Tapi sebaiknya kamu tetap periksa lagi nanti,” ucapnya dengan nada khawatir. Luna hanya mengangguk kecil, namun h
Di sebuah kafe mewah, Daehan dan Ryuka duduk di sudut, menikmati makan malam mereka. Meski di hadapannya ada Ryuka yang cantik, pikiran Daehan terus melayang ke sosok Luna, istri yang masih terikat dengannya secara hukum, namun begitu jauh tak terjangkau. Ryuka sambil menyendok makanan dan tersenyum. "Daehan, kau tampak sering melamun akhir-akhir ini. Masih sibuk dengan urusan kantor, ya?" Daehan tersentak dari lamunannya, lalu tersenyum tipis. "Oh... maaf, mungkin sedikit terbawa pikiran. Banyak hal yang terjadi di kantor." Ryuka menggenggam tangan Daehan. "Kau tahu, kalau ada sesuatu yang mengganggu, kau bisa ceritakan padaku. Kita bisa hadapi bersama, seperti dulu." Daehan.menghela napas panjang. "Ryuka, aku menghargai perhatianmu. Tapi, aku hanya butuh waktu untuk menenangkan pikiran." Ryuka memiringkan kepala. "Masalah ini tentang... Luna, bukan?" Daehan diam sejenak.Aku... ya, mungkin. Hubunganku dengannya masih menggantung, dan kami belum resmi bercerai. Sebenarnya,
Luna tiba di klinik kandungan dan disambut dengan ramah oleh perawat yang mengarahkannya ke ruang tunggu. Setelah menunggu beberapa saat, dokter kandungan memanggilnya masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Dokter: "Selamat pagi, Luna. Bagaimana kabar Anda? Saya dengar ini pemeriksaan pertama ya?" Luna: "Iya, Dok. Ini kehamilan pertama saya, jadi agak cemas juga karena belum pernah periksa sebelumnya. Saya ingin memastikan bayi saya sehat." Dokter: "Tentu, tidak perlu khawatir. Kita akan melakukan pemeriksaan USG untuk melihat kondisi kandungan Anda. Mari kita mulai." Dokter mulai melakukan pemeriksaan USG dan menunjukkan layar kepada Luna, memperlihatkan janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Dokter: "Ini dia bayi Anda, Luna. Di usia kandungan awal seperti ini, semuanya tampak normal. Anda bisa melihat detak jantungnya di sini." Luna: tersenyum dengan mata berkaca-kaca "Alhamdulillah, senang sekali mendengarnya, Dok. Terima kasih." Dokter: "Sama-sama. Saya akan meresepkan vita
Di rumah Nenek Iroh yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kota, Luna termenung dalam kesunyian malam. Jauh di lubuk hatinya, ada perasaan perih yang terus menggelayuti pikirannya. Di tengah-tengah perjuangannya untuk kuat, Luna tidak bisa menolak kenangan tentang Daehan. Meski hubungan mereka penuh dengan ketidakpastian dan sering diwarnai dengan sikap egois dari Daehan, Luna sadar bahwa ia tidak bisa melupakan Daehan begitu saja. Dia adalah ayah dari bayi yang kini tengah dikandungnya, dan meski segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang diharapkannya, ikatan itu tetap ada. Sementara itu, di kota, Daehan tengah disibukkan dengan acara peluncuran produk terbarunya. Produk yang menggunakan konsep dan desain karya Luna sebagai inspirasi. Dia sengaja mengambil tema ini sebagai bentuk penghormatan, sekaligus sebagai cara untuk mengenang masa-masa kebersamaan mereka. Acara tersebut berlangsung dengan megah di sebuah gedung mewah yang dipenuhi dekorasi sesuai dengan tema desain Luna yan
Setelah pertemuannya dengan Dina, Daehan kembali ke ruangannya dengan hati yang tak tenang. Setiap kali ia mencoba menyingkirkan pikiran tentang Luna, wajahnya justru semakin jelas muncul dalam benaknya. Perasaan rindu yang kian hari kian mendalam membuatnya sulit berkonsentrasi pada pekerjaannya, dan ia mulai merasa hampa tanpa kehadiran Luna. Namun, setiap kali ingatan tentang Luna menyeruak, bayangan tentang masa lalu dan kebenciannya terhadap ibunya, Dina, juga muncul. Sungguh perasaan yang bertentangan, antara cinta yang ingin tumbuh dan kebencian yang terus menghalangi. Pikirannya melayang-layang, hingga tanpa sadar ia mendesah dalam hati, “Luna, di mana kamu sekarang?” Malam itu, setelah duduk merenung sendirian, Daehan akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah. Meski sebagian hatinya masih dipenuhi amarah, kekhawatiran tentang Luna tak bisa ia abaikan. Ia mengkhawatirkan keadaan dan kehidupan Luna, apalagi setelah melihat kondisinya terakhir kali di rumah sakit. Mungkin
Daehan menatap dalam-dalam ke wajah Luna, mengamati setiap perubahan yang terjadi sejak terakhir kali mereka bersama. Wajahnya yang dulu berseri kini tampak lebih kurus dan pucat. Terlihat jelas dari sorot matanya, Luna telah melewati banyak hal, berjuang sendirian dalam masa-masa sulit. Rasa bersalah menguasai Daehan, membuat matanya berkaca-kaca. Hatinya ingin memohon agar Luna mau memaafkannya dan kembali bersamanya, tapi ia tahu tak semudah itu. “Luna…” Daehan memulai, suaranya bergetar. “Maafkan aku. Aku tahu... mungkin semua ini sudah terlambat, tapi aku tak bisa mengabaikan perasaanku. Aku datang karena aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku ingin memperbaiki semuanya.” Luna menatapnya dengan tatapan yang keras namun penuh luka. “Pak Daehan, aku sudah cukup lelah,” jawabnya pelan. “Aku tak ingin kembali dan merasakan sakit yang sama lagi. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan hidup tanpa kamu.” Mendengar kata-ka
Pagi itu, Luna bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan dan bekal sehat. Ia tahu betapa pentingnya asupan gizi untuk bayinya, meskipun setiap pagi ia harus berjuang melawan rasa mual yang tak kunjung reda. Sambil memotong buah dan memasukkan sayur-sayuran ke dalam bekalnya, Luna merenung. Kadang-kadang ia merasa iri saat melihat ibu hamil lain yang diantar dan dibantu suaminya, diberi perhatian lebih. Namun, Luna sadar, ia harus kuat untuk bayinya. Saat tiba di kantor, Luna segera menyadari tatapan sinis dari rekan-rekannya. Mereka tak berusaha menyembunyikan pandangan aneh yang tertuju padanya. Sebagian besar dari mereka menganggapnya mendapat posisi istimewa yang memudahkan kerjanya, membuat iri banyak orang di kantor. Tak hanya itu, gosip tentang kehamilannya juga mulai menyebar. Beberapa karyawan bahkan menuding bahwa ia hamil di luar nikah. Luna hanya bisa menahan diri, mencoba tidak terganggu oleh rumor yang semakin liar. Di sela-sela bekerja, tiba-tiba Sinta, rekan yang ker
Daehan membawa Luna ke sebuah kamar hotel suite yang telah dipesannya, berharap bisa berbicara lebih tenang dan menjelaskan perasaannya. Namun, setibanya di sana, Luna tampak gelisah dan terus-menerus meminta pulang. Luna merengek ."Daehan, aku ingin pulang. Aku sudah cukup lelah dengan semua ini. Aku hanya ingin hidup tenang, jauh dari semua kebencian yang ada." Daehan dengan nada lembut. "Luna, dengarkan aku dulu. Aku tahu semua ini salahku. Aku terlalu lama membiarkan kebencianku pada ibumu mempengaruhi perasaanku padamu. Tapi… aku tidak membencimu, Luna. Malah sebaliknya." Luna masih menunduk dan menahan emosinya. "Daehan, kata-kata itu tidak mengubah apa yang telah terjadi. Aku sudah terlalu banyak terluka. Aku hanya ingin menjalani hidup yang damai, tanpa beban dendam atau kebencian." Daehan menghela napas panjang, melihat Luna yang begitu tegar di hadapannya membuat hatinya bergetar. Ia tahu betapa kuatnya Luna menjalani segalanya seorang diri, terutama saat dirinya tak