Satu bulan berlalu sejak perpisahan Luna dan Daehan, dan meski mereka masih berada di lingkungan kerja yang sama, jarak antara mereka terasa semakin jauh. Setiap kali mereka berpapasan, terutama di lift atau di koridor kantor, Daehan selalu menghindari tatapan Luna. Bahkan ketika Luna mencoba menyapanya dengan ramah, Daehan hanya berpaling tanpa memberi respon. Luna berusaha terlihat tegar, namun di hatinya tetap tersisa luka yang tak mudah hilang. Hal yang membuat Luna semakin bingung adalah bahwa Daehan belum juga mengurus perceraian mereka. Padahal, pernikahan mereka terdaftar secara resmi, dan ia tak mengerti mengapa Daehan tampak seolah tidak peduli. Luna sudah mencoba menghubungi asisten dan bahkan pengacara perusahaan untuk memastikan Daehan segera mengurus perpisahan mereka, namun tak ada perkembangan. Daehan seolah sengaja menunda, membuat Luna terjebak dalam pernikahan yang sebenarnya ingin segera ia tinggalkan. Luna mulai merasa lelah dengan ketidakpastian ini. Setiap ha
Setelah dokter pergi, Daehan duduk di tepi ranjang Luna dengan wajah penuh kebingungan dan rasa penasaran. Tak biasanya dia begitu perhatian, tapi kali ini ada sesuatu yang memicunya untuk mencari tahu lebih dalam. “Luna, kapan terakhir kali kamu... datang bulan?” tanyanya dengan nada ragu, namun sorot matanya penuh keingintahuan. Pertanyaan itu membuat Luna tertegun. Jantungnya berdegup kencang, dan ia harus berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kegugupannya. Jika dia berkata jujur, Daehan akan tahu bahwa ia sedang mengandung anaknya. Namun, ia tidak siap membiarkan Daehan mengetahui hal itu. Luna mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Oh... aku baru saja selesai datang bulan beberapa hari yang lalu,” jawabnya sambil memaksakan senyum kecil, berusaha terdengar meyakinkan. Daehan mengangguk, meski sedikit bingung. “Jadi, dokter itu mungkin salah. Tapi sebaiknya kamu tetap periksa lagi nanti,” ucapnya dengan nada khawatir. Luna hanya mengangguk kecil, namun h
Di sebuah kafe mewah, Daehan dan Ryuka duduk di sudut, menikmati makan malam mereka. Meski di hadapannya ada Ryuka yang cantik, pikiran Daehan terus melayang ke sosok Luna, istri yang masih terikat dengannya secara hukum, namun begitu jauh tak terjangkau. Ryuka sambil menyendok makanan dan tersenyum. "Daehan, kau tampak sering melamun akhir-akhir ini. Masih sibuk dengan urusan kantor, ya?" Daehan tersentak dari lamunannya, lalu tersenyum tipis. "Oh... maaf, mungkin sedikit terbawa pikiran. Banyak hal yang terjadi di kantor." Ryuka menggenggam tangan Daehan. "Kau tahu, kalau ada sesuatu yang mengganggu, kau bisa ceritakan padaku. Kita bisa hadapi bersama, seperti dulu." Daehan.menghela napas panjang. "Ryuka, aku menghargai perhatianmu. Tapi, aku hanya butuh waktu untuk menenangkan pikiran." Ryuka memiringkan kepala. "Masalah ini tentang... Luna, bukan?" Daehan diam sejenak.Aku... ya, mungkin. Hubunganku dengannya masih menggantung, dan kami belum resmi bercerai. Sebenarnya,
Luna tiba di klinik kandungan dan disambut dengan ramah oleh perawat yang mengarahkannya ke ruang tunggu. Setelah menunggu beberapa saat, dokter kandungan memanggilnya masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Dokter: "Selamat pagi, Luna. Bagaimana kabar Anda? Saya dengar ini pemeriksaan pertama ya?" Luna: "Iya, Dok. Ini kehamilan pertama saya, jadi agak cemas juga karena belum pernah periksa sebelumnya. Saya ingin memastikan bayi saya sehat." Dokter: "Tentu, tidak perlu khawatir. Kita akan melakukan pemeriksaan USG untuk melihat kondisi kandungan Anda. Mari kita mulai." Dokter mulai melakukan pemeriksaan USG dan menunjukkan layar kepada Luna, memperlihatkan janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Dokter: "Ini dia bayi Anda, Luna. Di usia kandungan awal seperti ini, semuanya tampak normal. Anda bisa melihat detak jantungnya di sini." Luna: tersenyum dengan mata berkaca-kaca "Alhamdulillah, senang sekali mendengarnya, Dok. Terima kasih." Dokter: "Sama-sama. Saya akan meresepkan vita
Di rumah Nenek Iroh yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kota, Luna termenung dalam kesunyian malam. Jauh di lubuk hatinya, ada perasaan perih yang terus menggelayuti pikirannya. Di tengah-tengah perjuangannya untuk kuat, Luna tidak bisa menolak kenangan tentang Daehan. Meski hubungan mereka penuh dengan ketidakpastian dan sering diwarnai dengan sikap egois dari Daehan, Luna sadar bahwa ia tidak bisa melupakan Daehan begitu saja. Dia adalah ayah dari bayi yang kini tengah dikandungnya, dan meski segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang diharapkannya, ikatan itu tetap ada. Sementara itu, di kota, Daehan tengah disibukkan dengan acara peluncuran produk terbarunya. Produk yang menggunakan konsep dan desain karya Luna sebagai inspirasi. Dia sengaja mengambil tema ini sebagai bentuk penghormatan, sekaligus sebagai cara untuk mengenang masa-masa kebersamaan mereka. Acara tersebut berlangsung dengan megah di sebuah gedung mewah yang dipenuhi dekorasi sesuai dengan tema desain Luna yan
Setelah pertemuannya dengan Dina, Daehan kembali ke ruangannya dengan hati yang tak tenang. Setiap kali ia mencoba menyingkirkan pikiran tentang Luna, wajahnya justru semakin jelas muncul dalam benaknya. Perasaan rindu yang kian hari kian mendalam membuatnya sulit berkonsentrasi pada pekerjaannya, dan ia mulai merasa hampa tanpa kehadiran Luna. Namun, setiap kali ingatan tentang Luna menyeruak, bayangan tentang masa lalu dan kebenciannya terhadap ibunya, Dina, juga muncul. Sungguh perasaan yang bertentangan, antara cinta yang ingin tumbuh dan kebencian yang terus menghalangi. Pikirannya melayang-layang, hingga tanpa sadar ia mendesah dalam hati, “Luna, di mana kamu sekarang?” Malam itu, setelah duduk merenung sendirian, Daehan akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah. Meski sebagian hatinya masih dipenuhi amarah, kekhawatiran tentang Luna tak bisa ia abaikan. Ia mengkhawatirkan keadaan dan kehidupan Luna, apalagi setelah melihat kondisinya terakhir kali di rumah sakit. Mungkin
Daehan menatap dalam-dalam ke wajah Luna, mengamati setiap perubahan yang terjadi sejak terakhir kali mereka bersama. Wajahnya yang dulu berseri kini tampak lebih kurus dan pucat. Terlihat jelas dari sorot matanya, Luna telah melewati banyak hal, berjuang sendirian dalam masa-masa sulit. Rasa bersalah menguasai Daehan, membuat matanya berkaca-kaca. Hatinya ingin memohon agar Luna mau memaafkannya dan kembali bersamanya, tapi ia tahu tak semudah itu. “Luna…” Daehan memulai, suaranya bergetar. “Maafkan aku. Aku tahu... mungkin semua ini sudah terlambat, tapi aku tak bisa mengabaikan perasaanku. Aku datang karena aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku ingin memperbaiki semuanya.” Luna menatapnya dengan tatapan yang keras namun penuh luka. “Pak Daehan, aku sudah cukup lelah,” jawabnya pelan. “Aku tak ingin kembali dan merasakan sakit yang sama lagi. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan hidup tanpa kamu.” Mendengar kata-kata itu, Daehan hanya bisa terdiam. Rasa sakit menghantamny
Pagi itu, Luna bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan dan bekal sehat. Ia tahu betapa pentingnya asupan gizi untuk bayinya, meskipun setiap pagi ia harus berjuang melawan rasa mual yang tak kunjung reda. Sambil memotong buah dan memasukkan sayur-sayuran ke dalam bekalnya, Luna merenung. Kadang-kadang ia merasa iri saat melihat ibu hamil lain yang diantar dan dibantu suaminya, diberi perhatian lebih. Namun, Luna sadar, ia harus kuat untuk bayinya. Saat tiba di kantor, Luna segera menyadari tatapan sinis dari rekan-rekannya. Mereka tak berusaha menyembunyikan pandangan aneh yang tertuju padanya. Sebagian besar dari mereka menganggapnya mendapat posisi istimewa yang memudahkan kerjanya, membuat iri banyak orang di kantor. Tak hanya itu, gosip tentang kehamilannya juga mulai menyebar. Beberapa karyawan bahkan menuding bahwa ia hamil di luar nikah. Luna hanya bisa menahan diri, mencoba tidak terganggu oleh rumor yang semakin liar. Di sela-sela bekerja, tiba-tiba Sinta, rekan yang ker
Luna duduk di tepi jendela sebuah apartemen kecil di negara asing, menatap langit kelabu yang seolah mencerminkan hatinya. Keputusannya untuk pergi jauh dari Daehan terasa seperti belati yang menembus jantungnya. Namun, ancaman dari Tuan Kim Do Hyun tidak memberinya pilihan. Ia harus menjaga kebahagiaan Daehan dengan cara yang menyakitkan: meninggalkan pria yang ia cintai. Hari itu masih pagi, tapi hawa dingin membuat tubuh Luna menggigil. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak muram. Bekas air mata masih jelas di pipinya. Ia mengenang setiap momen indah bersama Daehan—senyumnya, perhatian kecilnya, bahkan pelukan hangatnya yang selalu membuatnya merasa aman. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Tuan Kim Do Hyun telah mengatur segalanya. Tiket pesawat, akomodasi, dan dokumen perjalanan disiapkan dengan rapi. Luna hanya perlu menjalankan perannya sesuai dengan kesepakatan: pergi sejauh mungkin dari kehidupan Daehan dan memulai hidup baru. “Ini demi Daehan,” p
Percakapan Luna dan Tuan Kim Malam itu, Luna duduk di sofa apartemennya, mengumpulkan keberanian untuk melakukan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Tangannya gemetar saat ia mengetik nomor Tuan Kim Do Hyun. Setelah beberapa dering, suara berat dan dingin menjawab di ujung telepon. “Luna, apa yang kau inginkan?” Tuan Kim langsung to the point. Luna menarik napas panjang. "Tuan Kim... Saya sudah memikirkan tawaran Anda." Ada keheningan singkat sebelum Tuan Kim menjawab, “Dan?” “Saya setuju,” kata Luna, suaranya hampir bergetar. “Saya akan meninggalkan Daehan.” Nada suara Tuan Kim berubah sedikit lebih lunak, namun tetap tegas. “Kau membuat keputusan yang bijak. Aku tahu ini tidak mudah untukmu.” Luna tersenyum pahit, meskipun Tuan Kim tidak bisa melihatnya. “Saya hanya ingin yang terbaik untuk Daehan. Tapi... saya punya satu permintaan.” “Apa itu?” “Saya butuh waktu dua hari. Dua hari untuk menghabiskan waktu bersamanya, menciptakan kenangan yang akan membua
Pertemuan yang Menguras Emosi Luna duduk di ruang tamu apartemennya dengan tatapan kosong. Ia memegang segelas teh yang sudah dingin, namun tak sedikit pun ia menyentuhnya. Pikirannya terus melayang pada Daehan, pada janji dan cinta mereka, serta calon bayi yang kini tumbuh di dalam rahimnya. Hari-hari terakhir begitu berat setelah mengetahui ancaman dari Tuan Kim Do Hyun kepada suaminya. Ketukan pintu yang tiba-tiba membuat Luna tersentak. Dengan langkah ragu, ia menuju pintu dan membukanya. Di depannya berdiri Tuan Do Hyun dengan wajah dingin dan penuh wibawa. Aura pria itu begitu tegas hingga membuat Luna merasa menciut. "Selamat siang, Luna," ujar Do Hyun dengan nada datar. "Selamat siang, Tuan Kim," jawab Luna dengan sopan, meskipun ada gemetar di suaranya. "Bisakah kita bicara?" tanyanya tanpa basa-basi. Luna mengangguk dan mempersilakan Do Hyun masuk. Mereka duduk di ruang tamu yang kecil namun nyaman. Luna mencoba menenangkan hatinya, tetapi tatapan dingin Do Hyun membua
Hari itu, Luna sedang duduk di ruang tamu apartemennya sambil membaca buku kehamilan. Perutnya sudah semakin besar, dan ia mulai merasakan bayi dalam kandungannya bergerak lebih sering. Kebahagiaannya dengan Daehan perlahan pulih, meskipun masa lalu yang sulit tetap membayangi pikirannya. Tiba-tiba, bel apartemen berbunyi. Luna mengerutkan kening, lalu berjalan perlahan menuju pintu. Saat ia membukanya, wajah seorang wanita paruh baya dengan tatapan penuh harap muncul di hadapannya. “Luna…” suara wanita itu bergetar. Luna terdiam sejenak, mengenali wajah itu dari foto-foto lama yang tersimpan dalam kenangannya. Dina, ibunya yang telah lama pergi, kini berdiri di depan pintunya. “Aku ingin berbicara, Luna. Tolong izinkan aku masuk,” pinta Dina dengan suara lirih. Luna menahan napas, ingin segera menutup pintu. Tapi ia teringat bahwa Daehan-lah yang mengatur pertemuan ini. Setelah ragu sejenak, ia membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Dina masuk. Pertemuan Penuh Kete
Daehan mengajak Luna makan malam di ruang tempat perjamuan yang terletak di lantai atas gedung kantor. Tempat yang biasanya digunakan untuk acara-acara besar kini sepi, hanya ada mereka bertiga — Daehan, Luna, dan Berryl, sang bos. Setelah menikmati makan malam yang sederhana namun lezat, Berryl terkejut ketika Daehan mengucapkan terima kasih padanya. "Terima kasih banyak, Berryl, atas keringanannya terhadap Luna. Aku tahu dia sedang hamil dan sedang butuh banyak istirahat. Kamu sudah banyak membantu dengan memberi keringanan dalam pekerjaannya." Berryl hanya tersenyum, sedikit canggung mendengar pujian dari seorang pria sekaya Daehan. "Tidak masalah, Tuan Kim. Luna memang bekerja keras, dan saya tahu dia membutuhkan waktu untuk menjaga kesehatan. Saya senang bisa membantu." Luna yang duduk di samping Daehan hanya tersenyum kecil, merasa sedikit terharu. Tidak semua bos memperhatikan kesejahteraan karyawannya seperti Berryl. Namun, dia tahu bahwa keputusan Daehan untuk mengajakn
Luna memulai harinya seperti biasa, mengenakan pakaian kerja yang sopan dan sederhana. Ia tiba lebih awal di kantor untuk menyelesaikan tugas yang tertunda. Sementara itu, suasana kantor mulai terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua staf terlihat panik dan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kunjungan penting dari seorang CEO perusahaan besar yang akan berinvestasi di tempat mereka. Pagi itu, kantor Luna penuh dengan aktivitas. Semua karyawan tampak sibuk mempersiapkan kunjungan penting dari seorang CEO yang akan berinvestasi di perusahaan mereka. Sang bos, Berryl, seorang pria berusia 30 tahun yang karismatik dan ambisius, memberikan arahan kepada semua bawahan dengan suara tegas namun penuh antusias. “Semua harus terlihat sempurna hari ini! Ini adalah kesempatan besar untuk perusahaan kita. Cecil, kau yang akan bertugas menjamu CEO itu. Pastikan dia merasa nyaman dan terkesan,” ucap Berryl sambil melirik sekretaris cantiknya yang mengenakan pakaian formal namun
Luna tampak sibuk dengan tumpukan dokumen di meja kantornya. Hari itu banyak rapat dan target yang harus diselesaikan, membuatnya sedikit lelah. Namun, ia tetap berusaha terlihat profesional, menjaga penampilannya dengan baik. Rekan-rekannya sesekali melirik ke arah Luna yang sibuk, terkagum dengan dedikasi wanita itu meskipun tengah hamil. Sementara itu, Daehan juga sedang disibukkan dengan pekerjaannya di kantor. Meski begitu, pikirannya terus melayang kepada Luna. Ada rasa rindu yang semakin besar setiap harinya, terutama saat melihat bagaimana Luna perlahan membuka. Sore itu, Luna yang baru saja selesai rapat terkejut melihat sosok Daehan berdiri di depan pintu kantor. Dengan buket bunga besar di tangannya, Daehan menatap Luna dengan senyum menawan yang membuat semua mata di kantor tertuju pada mereka. "Luna, aku di sini untuk menjemputmu," katanya sambil memberikan bunga itu. Wajah Luna memerah. "Kau tidak perlu repot-repot seperti ini, Daehan," jawabnya pelan. Daehan h
Setelah hampir satu minggu dirawat di ruang VVIP rumah sakit, Daehan mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan. Namun, ketidakhadirannya di kantor ternyata memberikan dampak besar. Asistennya, Rehan, yang biasanya sigap dan penuh semangat, mulai merasa kewalahan. Setiap hari telepon di mejanya terus berdering, email masuk tanpa henti, dan para manajer lini mengeluh tentang tumpukan keputusan yang membutuhkan persetujuan langsung dari Daehan. "Wakil direktur juga hampir kewalahan, Pak," ujar Rehan sambil menelepon Daehan untuk memberikan laporan. Suaranya terdengar lelah, namun ia tetap profesional. "Semua orang mengandalkan Anda, dan sejujurnya, kami belum menemukan ritme tanpa kehadiran Anda di kantor." Daehan, yang sedang duduk di tempat tidur rumah sakit dengan bantal bersandar di punggungnya, mendengarkan laporan itu dengan ekspresi serius. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, pikirannya sudah kembali tajam seperti biasa. "Rehan, beri tahu semua orang ba
Di tengah kesunyian ruang ICU, Luna duduk di samping tempat tidur Daehan, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ia tak bisa menahan air mata yang terus mengalir. "Ya Allah... berikan aku kekuatan menghadapi cobaan ini, suamiku kini terbaring di ICU, dan aku sedang mengandung, berikan kesembuhan untuk suamiku ya Allah."Daehan, pria yang selama ini memberinya banyak luka sekaligus kebaikan, kini terbaring tak berdaya di hadapannya. "Bagaimana pun dia suamiku, dia ayah anakku, aku tak mau terjadi sesuatu padanya."Rasa takut kehilangan dan harapan agar Daehan segera sadar membuat hatinya penuh sesak. Ia teringat saat-saat sulit dalam hidupnya ketika Daehan menjadi satu-satunya yang memberikan bantuan, meskipun dengan segala kebencian yang terpendam. "Luna, kau harus kuat," bisiknya pelan pada dirinya sendiri, meski sebenarnya hatinya hancur. Luna mengusap tangan Daehan dengan lembut, berharap sentuhannya bisa memberinya semangat untuk bertahan. "Kamu yang menyelamatkanku saat aku