Daehan membawa Luna ke sebuah kamar hotel suite yang telah dipesannya, berharap bisa berbicara lebih tenang dan menjelaskan perasaannya. Namun, setibanya di sana, Luna tampak gelisah dan terus-menerus meminta pulang. Luna merengek ."Daehan, aku ingin pulang. Aku sudah cukup lelah dengan semua ini. Aku hanya ingin hidup tenang, jauh dari semua kebencian yang ada." Daehan dengan nada lembut. "Luna, dengarkan aku dulu. Aku tahu semua ini salahku. Aku terlalu lama membiarkan kebencianku pada ibumu mempengaruhi perasaanku padamu. Tapi… aku tidak membencimu, Luna. Malah sebaliknya." Luna masih menunduk dan menahan emosinya. "Daehan, kata-kata itu tidak mengubah apa yang telah terjadi. Aku sudah terlalu banyak terluka. Aku hanya ingin menjalani hidup yang damai, tanpa beban dendam atau kebencian." Daehan menghela napas panjang, melihat Luna yang begitu tegar di hadapannya membuat hatinya bergetar. Ia tahu betapa kuatnya Luna menjalani segalanya seorang diri, terutama saat dirinya tak
Keesokan paginya, Luna terbangun dari tidurnya di hotel dengan perasaan lebih segar. Matahari pagi mengintip dari sela-sela tirai, memberikan suasana yang hangat dan tenang. Namun, ketika ia melihat sekeliling, Luna kembali teringat bahwa dirinya masih di kamar hotel suite bersama Daehan. "Hah, aku ... dimana ini , kenapa kamarnya berbeda?Ooh iya ....semalam aku menginap di hotel."Luna baru mengingatnya. Segera, ia mengumpulkan keberanian dan mulai bersiap untuk pulang. Setelah sarapan singkat, Daehan mengantar Luna kembali ke apartemennya. Di dalam mobil, mereka lebih banyak terdiam. Daehan sesekali mencuri pandang ke arah Luna yang terlihat tenang namun tetap dingin. Ia paham, kehadirannya masih belum sepenuhnya diterima oleh Luna, namun Daehan merasa bahwa inilah langkah yang perlu ia ambil untuk berada di sisi istri dan anaknya, apapun konsekuensinya. Sesampainya di apartemen Luna Setelah mereka tiba di depan gedung apartemen, Luna keluar dari mobil dan menoleh pada Dae
Dalam perjalanan menuju pertemuan bisnis pentingnya, Daehan merasakan sesuatu yang tak biasa pada mobilnya. Setir terasa berat, dan setiap kali mencoba menginjak pedal rem, mobil tidak merespons dengan normal. Sekilas, ia melihat lampu indikator menyala di dashboard, dan perasaannya langsung tidak enak. Daehan berbicara pada dirinya sendiri. "Ada yang salah... Kenapa kendalinya jadi begini?" Berusaha tetap tenang, Daehan memperlambat laju mobil. Namun, mendadak kendali setir semakin sulit dipegang, dan mobil mulai bergerak tidak terkendali. Dengan cepat, mobil itu oleng, bergerak ke arah yang tidak ia kehendaki. Di hadapannya, pembatas jalan semakin dekat, dan meski sudah mencoba menginjak rem sekuat tenaga, mobilnya tidak bisa dihentikan. Daehan panik. "Tidak! Remnya tidak berfungsi!" Dalam hitungan detik, mobil Daehan menabrak pembatas jalan dengan keras. Suara benturan terdengar memekakkan telinga, diiringi suara pecahan kaca dan besi yang berderak. Airbag terbuka, menahan
Di tengah kesunyian ruang ICU, Luna duduk di samping tempat tidur Daehan, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ia tak bisa menahan air mata yang terus mengalir. "Ya Allah... berikan aku kekuatan menghadapi cobaan ini, suamiku kini terbaring di ICU, dan aku sedang mengandung, berikan kesembuhan untuk suamiku ya Allah."Daehan, pria yang selama ini memberinya banyak luka sekaligus kebaikan, kini terbaring tak berdaya di hadapannya. "Bagaimana pun dia suamiku, dia ayah anakku, aku tak mau terjadi sesuatu padanya."Rasa takut kehilangan dan harapan agar Daehan segera sadar membuat hatinya penuh sesak. Ia teringat saat-saat sulit dalam hidupnya ketika Daehan menjadi satu-satunya yang memberikan bantuan, meskipun dengan segala kebencian yang terpendam. "Luna, kau harus kuat," bisiknya pelan pada dirinya sendiri, meski sebenarnya hatinya hancur. Luna mengusap tangan Daehan dengan lembut, berharap sentuhannya bisa memberinya semangat untuk bertahan. "Kamu yang menyelamatkanku saat aku
Setelah hampir satu minggu dirawat di ruang VVIP rumah sakit, Daehan mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan. Namun, ketidakhadirannya di kantor ternyata memberikan dampak besar. Asistennya, Rehan, yang biasanya sigap dan penuh semangat, mulai merasa kewalahan. Setiap hari telepon di mejanya terus berdering, email masuk tanpa henti, dan para manajer lini mengeluh tentang tumpukan keputusan yang membutuhkan persetujuan langsung dari Daehan. "Wakil direktur juga hampir kewalahan, Pak," ujar Rehan sambil menelepon Daehan untuk memberikan laporan. Suaranya terdengar lelah, namun ia tetap profesional. "Semua orang mengandalkan Anda, dan sejujurnya, kami belum menemukan ritme tanpa kehadiran Anda di kantor." Daehan, yang sedang duduk di tempat tidur rumah sakit dengan bantal bersandar di punggungnya, mendengarkan laporan itu dengan ekspresi serius. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, pikirannya sudah kembali tajam seperti biasa. "Rehan, beri tahu semua orang ba
Luna tampak sibuk dengan tumpukan dokumen di meja kantornya. Hari itu banyak rapat dan target yang harus diselesaikan, membuatnya sedikit lelah. Namun, ia tetap berusaha terlihat profesional, menjaga penampilannya dengan baik. Rekan-rekannya sesekali melirik ke arah Luna yang sibuk, terkagum dengan dedikasi wanita itu meskipun tengah hamil. Sementara itu, Daehan juga sedang disibukkan dengan pekerjaannya di kantor. Meski begitu, pikirannya terus melayang kepada Luna. Ada rasa rindu yang semakin besar setiap harinya, terutama saat melihat bagaimana Luna perlahan membuka. Sore itu, Luna yang baru saja selesai rapat terkejut melihat sosok Daehan berdiri di depan pintu kantor. Dengan buket bunga besar di tangannya, Daehan menatap Luna dengan senyum menawan yang membuat semua mata di kantor tertuju pada mereka. "Luna, aku di sini untuk menjemputmu," katanya sambil memberikan bunga itu. Wajah Luna memerah. "Kau tidak perlu repot-repot seperti ini, Daehan," jawabnya pelan. Daehan h
POV Luna Luna gadis remaja berusia 19 tahun , baru saja lulus SMA dan sangat berperestasi. Luna duduk termenung di depan rumahnya yang sederhana, mengamati langit yang mulai berwarna jingga. Hari itu, ia baru saja menerima ijazah SMA-nya. Seharusnya ini menjadi momen bahagia, namun kenyataan hidupnya tak seindah itu. Ayahnya, seorang satpam di sebuah perusahaan besar, tiba-tiba terjerat hutang dari pinjaman online. Semua ini karena biaya ujian sekolahnya yang begitu mahal. Kini, keluarga mereka tenggelam dalam krisis keuangan, dan Luna merasa bersalah. “Ayah sudah terlalu banyak berkorban untukku,” gumam Luna pelan. “Aku harus melakukan sesuatu.” Ia memandang jauh ke depan, mencari solusi di tengah kebuntuan. Pikirannya berputar, dan satu ide terlintas: mencari pekerjaan. Luna tahu, hanya dengan bekerja ia bisa membantu ayahnya melunasi hutang, hutang itu. Tapi bagaimana? Di kota kecil tempat tinggalnya, lowongan pekerjaan sangat sedikit, apalagi bagi lulusan SMA tanpa pengal
Flashback: Tiga Tahun Lalu di Sekolah Tiga tahun yang lalu, suasana sekolah favorit di Bandung selalu terasa penuh antusiasme, terutama di pagi hari. Para siswa berdatangan dengan semangat, dan sekolah ini dikenal dengan murid-muridnya yang berprestasi dan dari kalangan terpandang. Di antara mereka, ada satu sosok yang selalu menjadi pusat perhatian: Kim Daehan. Siswa kelas 12 ini bukan hanya dikenal karena wajah tampannya yang khas oriental, tetapi juga karena gaya hidupnya yang penuh kemewahan dan sikapnya yang arogan. Luna baru saja diterima di sekolah tersebut dengan beasiswa karena kecerdasannya yang luar biasa. Ia meraih peringkat tertinggi di ujian masuk, yang mengantarkannya masuk ke sekolah ini, meski berasal dari keluarga sederhana. Namun, di balik kecemerlangannya, Luna adalah sosok yang pemalu dan lebih suka menjauh dari keramaian. Pagi itu, Luna berjalan tergesa-gesa di lorong sekolah, tangannya memegang minuman dingin yang baru saja ia beli di kantin. Kepalanya sed