"Apa syaratnya pak?"ucap Luna. "Jangan pernah dekat dengan laki-laki lain."ujar Daehan. "Syarat yang mudah, lagipula aku memang tidak dekat dengan siapapun."Luna berlalu dari hadapan Daehan. Daehan sedang berada di ruang kerjanya ketika asistennya, Hana, masuk dengan sebuah undangan di tangannya. "Tuan Daehan," kata Hana dengan nada hormat, "ini undangan dari sebuah acara besar. Semua pengusaha top akan hadir. Pesta ini akan diadakan di hotel bintang lima akhir pekan ini. Saya rasa Anda perlu hadir." Daehan mengambil undangan itu dan melihat sejenak, kemudian dia mengangguk pelan. Acara ini memang penting bagi jaringan bisnisnya. "Siapkan semuanya," ujarnya dengan nada tegas. "Dan, oh, pastikan Luna juga siap." Hana terlihat bingung sesaat. "Luna, Tuan? Apa Anda ingin mengajak—" "Ya," potong Daehan cepat, meski di dalam hatinya, ia merasa sedikit ragu. Selama ini, dia selalu menutup rapat soal pernikahannya dengan Luna, bahkan di lingkungan sosialnya, Daehan hanya mengaku
Malam semakin larut Daehan mengajak Luna pulang, dan memang Luna sudah terlihat sangat mengantuk karena tak biasa tidur larut malam. "Huaaahh...."Luna menguap saat di mobil dan tanpa disadari Luna tertidur, kepalanya miring ke jendela mobil, Daehan dengan terpaksa mengarahkan kepala Luna agar bersandar di bahunya. "Dasar, menyusahkan saja, masa baru jam 12 saja sudah tidur, dasar koala." Gerutu Daehan dalam batinnya. Ini pertama kalinya Daehan menyentuh Luna, jantungnya berdegup sangat kencang kala wajah Luna begitu dengannya. Wajah yang sangat dibencinya. Setelah 30 menit akhirnya mereka sampai di rumah Daehan. Sang supir membukakan pintu. "Biar saya saja yang menggendongnya."Daehan mengangkat tubuh ramping Luna, seolah dia tidak merasa berat sama sekali."Menyusahkan saja, tapi... kenapa dia makin cantik saat tidur, dia lebih manis karena tidak membangkang." Daehan berjalan sambil meracau dalam batinnya. "Huhhhh, akhirnya."Daehan meletakkan tubuh Luna di ranjangnya untuk pe
Daehan dan tim manajemennya sedang merencanakan sebuah langkah besar untuk pengembangan produk baru di perusahaannya. Mereka memutuskan untuk mengadakan lomba desain sebagai bagian dari strategi untuk menemukan bibit-bibit berbakat yang mampu membawa ide-ide segar dan kreatif. Hadiah yang ditawarkan pun tidak main-main, sebesar 250 juta rupiah. Informasi tentang lomba ini segera tersebar luas melalui media sosial dan platform digital perusahaan, dan antusiasme peserta semakin meningkat setiap harinya. Lomba ini diadakan secara online selama satu minggu. Setiap peserta diminta untuk mengirimkan desain inovatif yang dapat diaplikasikan dalam pengembangan produk baru perusahaan Daehan. Tim juri terdiri dari desainer-desainer ternama yang sudah diakui di industri, membuat lomba ini semakin bergengsi. Daehan sendiri sangat bersemangat dengan ide ini, karena selain dapat menemukan bakat-bakat baru, ini juga bisa menjadi kesempatan untuk memperkuat brand perusahaannya. "Lomba desain, ha
Daehan merasa marah sekaligus tidak rela mendengar pernyataan itu. Ia berdiri dari kursinya, menatap Luna tajam. "Kau pikir semua ini semudah itu? Kau pikir setelah kita menjalani semua ini, kau bisa pergi begitu saja?" Luna menelan ludah, berusaha untuk tidak terintimidasi oleh sikap Daehan. "Kita tahu pernikahan ini hanyalah kontrak, Pak Daehan. Tidak ada yang mengikat kita lebih dari itu. Sekarang, aku sudah bisa berdiri sendiri, aku tidak perlu lagi hidup dalam bayang-bayangmu." "Bayang-bayangku?" tanya Daehan dengan nada marah, melangkah mendekat ke arah Luna. "Luna, kau tidak mengerti. Pernikahan kita mungkin dimulai dengan kontrak, tapi sekarang ini sudah lebih dari sekadar itu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja." Luna menatap mata Daehan, merasakan amarah yang tersimpan di dalamnya. Namun, ia juga melihat sesuatu yang lain—sesuatu yang membuatnya ragu dengan keputusannya. "Apa maksudmu, Pak Daehan? Kau sendiri yang selalu menekankan bahwa pernikahan kita ha
Malam hari, Daehan merasakan kekosongan di ruang kamarnya. [Haloo, Hana, tolong kau daftarkan pernikahanku dengan Luna supaya resmi] [Tapi tuan... anda akan sulit berpisah dengannya nanti, karena harus melalui proses sidang perceraian] [Tidak apa-apa aku sudah memikirkan hal itu] Pagi itu, Luna bangun seperti biasa, siap-siap untuk berangkat kerja. Namun, saat membuka pintu depan, pandangannya tertuju pada sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman rumahnya yang sederhana. Matanya membulat kaget. Itu mobil Daehan. Ayah Luna, Arya, yang baru saja keluar dari dapur pun sama terkejutnya. "Luna, siapa itu?" tanya Arya bingung, menatap mobil hitam berkilau yang tampak mencolok di antara deretan rumah sederhana di lingkungan mereka. Sebelum Luna sempat menjawab, Daehan keluar dari mobilnya dengan langkah percaya diri. Dia mengenakan setelan jas rapi, wajahnya dingin dan serius seperti biasa. Arya berdiri di ambang pintu, terkejut melihat sosok Daehan yang tak pernah dia sangka
"Itu perjanjian awal dan kau menanda tanganinya." "Heuhhh, aku tak mengerti .."Luna mendengus. "Uangmu akan ku kembalikan dan kau kembali bersamaku, kau tak bisa pergi begitu saja." Saat sampai di mansion milik Daehan, dia menyiapkan sebuah minuman untuk Luna. "Nona, ini jus alpukat kesukaan nona."Seorang pelayan membawakan minuman untuk Luna. "Terimakasih, mbok."Luna langsung meminumnya tanpa curiga sedikitpun. Tak lama tubuhnya terasa panas dan dia pergi ke kamar mandi. "Ada apa denganku mengapa rasanya panas sekali, aku... merasa ingin berendam lama di bathtub."gumam Luna. "Kau kenapa heumm?". "Aku... kenapa aneh begini."Luna menatap sayu ke arah Daehan yang hanya memakai kimono. "Kau... butuh bantuan heumm." "Pak, aku ... ahhhh, butuh bantuan kamu ini.. kenapa."Luna meraup bibir Daehan meski khawatir. Tanpa sadar Luna membuka pakaiannya sendiri. "Aku akan membantumu, apa kau yakin tidak akan menyesal ?" "Tidak ... aku menginginkannya sekarang," Daehan menc
Setelah tiba di mansion Daehan, suasana di antara mereka terasa sangat tegang meski beberapa saat sebelumnya mereka telah berbagi momen intim bersama. Luna masih merasa canggung, mencoba memahami perasaannya sendiri sekaligus menghadapi perasaan yang rumit terhadap Daehan. Mereka membersihkan diri, dan suasana hening menghantui setiap gerak langkah mereka. Di dalam hati, Luna tahu bahwa ia harus mengatakan yang sebenarnya, sesuatu yang telah lama ia pendam. Saat mereka duduk di ruang tamu, Luna menatap Daehan yang terlihat fokus pada ponselnya, dan akhirnya, dengan suara gemetar, dia memberanikan diri untuk berbicara. "Pak, Daehan... ada sesuatu yang harus aku katakan padamu," ucap Luna perlahan, matanya penuh dengan keraguan. Daehan mengangkat wajahnya, menatap Luna dengan sedikit kebingungan. "Apa itu?" tanyanya, meski nada suaranya tetap tenang. Luna menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan. "Ibu tirimu... dia adalah ibu kandungku,"
Satu bulan berlalu sejak perpisahan Luna dan Daehan, dan meski mereka masih berada di lingkungan kerja yang sama, jarak antara mereka terasa semakin jauh. Setiap kali mereka berpapasan, terutama di lift atau di koridor kantor, Daehan selalu menghindari tatapan Luna. Bahkan ketika Luna mencoba menyapanya dengan ramah, Daehan hanya berpaling tanpa memberi respon. Luna berusaha terlihat tegar, namun di hatinya tetap tersisa luka yang tak mudah hilang. Hal yang membuat Luna semakin bingung adalah bahwa Daehan belum juga mengurus perceraian mereka. Padahal, pernikahan mereka terdaftar secara resmi, dan ia tak mengerti mengapa Daehan tampak seolah tidak peduli. Luna sudah mencoba menghubungi asisten dan bahkan pengacara perusahaan untuk memastikan Daehan segera mengurus perpisahan mereka, namun tak ada perkembangan. Daehan seolah sengaja menunda, membuat Luna terjebak dalam pernikahan yang sebenarnya ingin segera ia tinggalkan. Luna mulai merasa lelah dengan ketidakpastian ini. Setiap ha