Bagaimana jadinya jika dua orang yang selalu bermusuhan tiba-tiba harus tinggal seatap? Setelah kehilangan ayahnya dan harta kekayaan yang disita bank, Veline terpaksa menerima tawaran sahabat ayahnya untuk tinggal bersama mereka. Namun, harapannya untuk hidup tenang hancur saat mengetahui putra dari sahabat ayahnya adalah musuh bebuyutannya di sekolah. Hero Arjuna Wiratama, lelaki tampan dan populer, digilai banyak wanita karena pesonanya. Meski sikapnya terkadang cuek dan dingin, banyak yang justru semakin tertarik pada lelaki itu, tetapi tidak bagi Veline. Namun, siapa sangka, di balik permusuhan itu ternyata tersimpan takdir yang mengejutkan—orang tua mereka diam-diam telah menjodohkan mereka sejak lama. Akankah perasaan benci mereka berubah menjadi cinta? Lalu, mampukah mereka mengesampingkan ego masing-masing dan menerima perjodohan tersebut?
View MoreKamar Hero tampak redup, hanya diterangi oleh cahaya biru dari lampu LED di sudut ruangan. Di atas meja, sebuah monitor menyala terang, memancarkan kilatan cahaya dari permainan yang sedang berlangsung. Malam ini, Hero mengenakan hoodie putih yang terlihat kontras dengan suasana kamar yang gelap. Di kepalanya terpasang headphone berwarna putih yang menutupi telinganya dengan sempurna. Tangannya begitu cekatan menggerakkan mouse dan menekan keyboard, sementara matanya fokus menatap layar monitor. Sesekali, bibirnya bergerak, mungkin memberikan perintah kepada rekan timnya melalui mikrofon. Di tengah intensitas permainan, Hero meraih cangkir putih di sampingnya. Ia menyesap isinya perlahan, membiarkan cairan hangat itu melewati tenggorokannya sebelum meletakkan cangkir itu kembali di meja. Wajahnya tetap fokus, meskipun matanya sedikit menyipit. Di belakangnya, beberapa poster tergantung di dinding. Sebuah rak kecil di pojok kamar menampung koleksi figure dan game favoritnya. Mes
Veline terkejut saat Leona tiba-tiba menepuk tangannya ketika mereka baru saja keluar dari cafe. "Ada apa sih, Le?" tanya Veline yang terlihat bingung. "Vel, lihat ke sana!" jawab Leona sambil menunjuk ke arah salah satu sudut area cafe. Veline mengikuti arah yang ditunjuk Leona, ia seketika menghela napas panjang. Matanya menangkap sosok adik sepupunya, Theo, yang sedang duduk santai bersama teman-temannya. Yang membuat suasana semakin menyebalkan, Theo mulai berdiri dan berjalan menghampiri mereka. "Eh, ada kakak-kakakku yang cantik," sapa Theo sambil tersenyum lebar. Leona membalas dengan senyum ramah, sementara Veline memutar matanya jengah. Bertemu Theo di saat seperti ini? Veline sudah siap-siap untuk naik darah. "Lo ngapain di sini, bocil?" tanya Veline ketus. Theo langsung cemberut. "Jangan panggil gue bocil dong, Kak. Gue udah SMA." "Yaelah, baru juga SMA kelas satu. Tetep aja masih bocil," balas Veline sambil melipat tangan di dada. Theo menyeringai licik.
"Emang lo sama dia mau ketemuan di mana?" tanya Hero saat melihat Veline yang cemberut "Di halte." "Rumah dia kan jauh dari halte. Kita pasti nyampe duluan. Gue cuma nganter sampe halte, kok." Veline menghela napas panjang, ia akhirnya mengangguk. "Ya udah deh." Akhirnya, dengan sedikit enggan, Veline menerima tawaran Hero. Ia mengambil helm dari motor lelaki itu, lalu mengenakannya. Hero sudah lebih dulu naik ke motor, menyalakan mesin, lalu menoleh ke Veline. "Yuk, naik." Veline menaiki motor dengan hati-hati, duduk agak jauh dari Hero. Tapi begitu motor mulai melaju, ia terpaksa memegang pinggiran jaket Hero agar tidak kehilangan keseimbangan. Sepanjang jalan, Veline menggerutu dalam hati, merasa ini situasi paling canggung yang pernah ia alami. Namun, di sisi lain, ia juga tak bisa memungkiri bahwa ada sedikit rasa aman ketika berada di dekat Hero, meskipun ia takkan pernah mengakuinya. Beberapa saat kemudian, mereka tiba di halte. Veline segera turun dari motor Hero
Hero meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu menekan tombol hijau. "Halo, Le. Ada apa?" "Ro, lo ada di mana?" "Gue di rumah," jawab Hero sambil menyandarkan tubuhnya ke meja. "Lo hari ini ada acara nggak?" "Mm ... gue udah janji kumpul sama anak-anak. Kenapa?" Leona terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Oh, gitu ya. Nggak apa-apa, kok. Tadinya gue kira lo kosong. Gue mau ngajak lo ke toko buku, soalnya udah lama banget nggak jalan bareng." "Wah, maaf ya, Le. Gue udah janji sama anak-anak dari kemarin. Kalau nggak, pasti gue temenin lo." "Iya, nggak apa-apa, Ro. Santai aja. Nanti gue ajak Veline aja, biar dia nemenin gue ke toko buku." "Oh, ya udah." Leona tersenyum meski Hero tidak bisa melihatnya. "Ya udah, Ro, gue nggak ganggu lo lagi. Have fun, ya." "Oke, Le." Setelah panggilan berakhir, Hero meletakkan ponselnya kembali di meja, kemudian, ia langsung duduk di kursi untuk segera sarapan, sementara Veline sedari tadi masih sibuk di dapur. ***
Pagi ini udara terasa dingin, kabut tipis masih menyelimuti taman di luar. Dengan mata yang masih terkantuk, Veline menuruni anak tangga menuju dapur. Langkahnya pelan, sesekali ia menguap sambil menggosok matanya. Sepanjang perjalanan, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut rumah, tapi tak menemukan siapapun di sana. Namun, setelah berada di dapur, ia melihat Bi Ranti yang tengah sibuk mencuci piring. "Pagi, Bi," sapanya. "Oh, pagi, Non! Udah bangun?" jawab Bi Ranti sambil tersenyum hangat menoleh ke arah gadis itu. "Iya, Bi. Yang lain pada ke mana? Kok rumah sepi banget." "Oh, Pak Dimas lagi pergi main golf sama teman-temannya, kalau Bu Amanda sedang pergi arisan," jelas Bi Ranti sambil terus menggosok panci yang kotor di wastafel. Veline manggut-manggut. "Oh … Bibi udah masak?" "Udah, Non. Tadi bibi masak nasi goreng, tapi kayaknya udah habis. Mau bibi masakin lagi?" Veline menggeleng sambil tersenyum kecil. "Nggak usah, Bi. Biar Veline aja yang masak sendiri."
Kening Veline berkerut saat mendengar perkataan Hero barusan. Apakah lelaki itu serius atau hanya bercanda? Sikapnya yang belakangan ini begitu perhatian benar-benar membuat Veline bingung. Biasanya, Hero selalu bersikap dingin dan ketus, tapi sekarang ... dia terlihat berbeda. Veline sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba Hero berubah seperti ini. Perhatian yang ia berikan terasa aneh. Namun di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya nyaman. "Kenapa lo diem?" Veline tergugah dari lamunannya. Lelaki itu menatapnya dengan serius, seolah tahu ada banyak hal yang berkecamuk di kepala Veline. Tangan Hero terulur, merapikan helaian rambut Veline yang jatuh menutupi wajahnya. "Gue serius. Dengan begitu, lo nggak perlu ngalamin ini lagi, kan?" Veline tersentak dari pikirannya. Dengan kesal, ia memukul lengan Hero. "Elo kesambet apaan, sih?" Hero tertawa kecil, melihat wajah Veline yang merona karena malu. Tatapan jahil di matanya semakin membuat Veline gemas. "Santai aja, gue c
Veline menatap lekat lelaki yang ada di hadapannya, matanya tak berkedip sedikitpun saat manik Hero terus saja menatapnya dengan tajam. Tanpa aba-aba, Hero tiba-tiba menyentuh pergelangan tangan Veline dan menarik gadis itu pergi bersamanya, sampai membuat Veline terkejut. Bukan hanya Veline yang kaget, beberapa pasang mata di lapangan juga terbelalak melihat perlakuan Hero yang tak biasa. Veline sempat menoleh ke arah Arnold dan Yudha, sebelum pergi dari lapangan, sepertinya kedua lelaki itu juga tampak bingung saat Hero tiba-tiba membawa Veline pergi. "Wuah, gue nggak salah lihat, kan? Itu Hero ...." "Bukannya mereka sering berantem, ya? Kok Hero jadi sweet gitu sih sama Veline?" "Tapi kalau dilihat-lihat, mereka cocok juga." Bisik-bisik para siswi sudah terdengar. Para siswa yang memperhatikan Veline dan Hero merasa heran. Selama ini, Hero dikenal sebagai sosok dingin yang jarang sekali menunjukkan perhatian, apalagi kepada seorang wanita. Namun kini, ia terlihat
"Kenapa lo jadi nyalahin gue?" Veline menatap Leona dengan ekspresi tak percaya. "Gue gak minta mereka duel, Le! Mereka aja yang sok jagoan." Leona mendesah, lalu melirik ke arah lapangan. "Ya, ya, gue gak nyalahin lo kok," ujarnya gugup. "Em, Vel, lo pilih siapa? Yudha atau Arnold?" Veline hanya terdiam, matanya fokus memperhatikan duel sengit di lapangan. Melihat Veline yang diam, Leona semakin penasaran. "Gue tahu, lo kan lagi marah sama Arnold. Jadi sekarang, lo pasti pilih Yudha, kan?" Veline menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Ya iyalah gue pilih Yudha. Ngapain juga gue pilih Arnold?" Pernyataan Veline membuat Leona bersorak kegirangan. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung berteriak lantang. "Yudha, semangat mainnya! Tenang aja, Veline pilih elo kok. Dia yakin lo pasti menang!" Suara heboh Leona langsung menarik perhatian para siswa di lapangan. Mereka mulai berbisik-bisik, dan sadar bahwa pertandingan itu untuk merebutkan hati Veline. Yudha yang mendengar
Veline terkesiap ketika tiba-tiba ada seseorang yang menarik tangannya dengan kuat, sampai pergelangannya terasa nyeri. "Ish, apa-apaan sih? Kenapa lo tarik-tarik tangan gue? Sakit tahu!" umpat Veline sambil menepis tangan lelaki itu dengan kasar. Begitu berhasil melepaskan tangannya, Veline menatap tajam lelaki yang berdiri di depannya. "Lo apa-apaan sih? Mau lo apa, hah?" Lelaki yang memiliki rambut hitam pendek yang sedikit berantakan seperti tidak pernah disisir rapi, menghela napas panjang. "Gue cuma ingin minta maaf sama lo, Vel. Gue mohon, gue bener-bener nyesel. Gue nyesel karena udah mengkhianati lo." "Penyesalan itu memang selalu datang belakangan, kalau di awal namanya pendaftaran, Arnold. Lo pikir maaf lo itu cukup buat gue?" "Vel, gue serius. Gue tahu gue salah. Gue gak bisa lupain lo. Gue mohon, beri gue kesempatan lagi." Arnold terus memohon, berharap Veline mau menerima maafnya. Namun, Veline hanya tertawa. "Kesempatan? Lo masih punya muka buat ngomongin k
Maysha Jemma Eveline adalah sosok gadis yang pembangkang, keras kepala, dan tidak mudah diatur. Ia selalu ingin terlihat mencolok di setiap penampilannya. Bahkan, teman-temannya sering menjulukinya 'ratu onar.' Tidak hanya dikenal sebagai gadis barbar, Veline—begitu ia biasa disapa—juga kerap melanggar aturan yang ada.Namun saat ini, bukan perilaku negatifnya yang ia sedang tunjukkan, melainkan perasaan sedih yang menggerogoti hatinya.Hati anak mana yang tak sakit saat kehilangan ayahnya? Ayah yang telah menjaga dan merawatnya selama ini.Begitu juga dengan Veline. Di balik sikap keras kepalanya selama ini yang sering membuat orang lain kesal, sebenarnya hatinya begitu rapuh. Dua tahun yang lalu saat ia berusia 16 tahun, ia harus menerima kenyataan pahit atas kehilangan ibunya. Namun kali ini, ia juga harus kehilangan sosok ayah yang luar biasa dalam hidupnya."Maafin, Veline, Yah. Selama ini Veline selalu berbuat nakal. Selalu tak mendengar nasihat Ayah, jadi anak pembangkang, dan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments