Share

Bab 2 : Salah Sangka

Author: Vanilla_Nilla
last update Last Updated: 2024-10-02 15:02:14

Veline memperhatikan pemandangan dari kaca jendela mobil, angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya melalui jendela kaca yang terbuka. Gadis itu memegang sebatang dedaunan berwarna merah, yang ia bawa dari pemakaman sang ayah.

Wanita yang mengenakan jam tangan berwarna coklat dengan bingkai persegi itu memandang ke arah langit. Langit di atas terlihat mendung, awan kelabu menggantung seakan turut mengerti perasaannya yang masih berduka.

Setelah mempertimbangkan dengan cukup matang, Veline akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama Dimas, sahabat dari almarhum ayahnya. Ini memang keputusan yang sulit, terutama setelah melihat pertengkaran yang kerap muncul di antara om dan tantenya saat mereka membahas siapa yang akan merawatnya. Gadis itu tak ingin menjadi beban yang memicu keributan dalam keluarga. Jadi, ia pun terpaksa menerima tawaran Dimas.

"Kita sudah sampai." Dimas berkata setelah beberapa saat hening. Sepanjang perjalanan, Dimas sesekali mencoba mengajak Veline berbicara, berusaha mengalihkan perhatian gadis itu dari rasa sedih.

"Om … seriusan, ini rumah Om?" Veline bertanya seraya memperhatikan rumah Dimas yang begitu mewah, seperti bak istana dongeng yang sering ia lihat di televisi.

Dimas tersenyum kecil melihat ekspresi takjub di wajah Veline. "Iya, ini rumah om."

"Wah, rumah Om mewah banget, jangan-jangan … Om anak sultan."

"Iya, om memang anak sultan."

Kedua bola mata Veline terbelalak mendengar itu. "Hah? Seriusan, Om?"

Dimas terkekeh melihat wajah polos Veline. "Hahaha … nggak, om cuma bercanda, kok. Sudah, ayo turun," katanya sambil melepas seat belt dan membuka pintu mobil, begitu juga dengan Veline.

Tak lama setelah itu, Dimas melambaikan tangan pada sopir pribadinya yang baru saja turun dari mobil. "Tolong bawa barang-barang Veline ke dalam, ya," perintahnya.

"Baik, Pak," jawab sopir itu, ia pun segera mengambil koper dan tas Veline dari bagasi.

"Ayo, masuk," ajak Dimas seraya menatap Veline.

"Em, tapi, Om …." Veline merasa ragu, ia berhenti sejenak di ambang pintu.

Dimas menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Veline dengan alis terangkat. "Ada apa?"

"Veline takut nanti keluarga Om nggak suka lagi Veline tinggal di sini .…"

Dimas tersenyum, gegas menepuk bahu Veline untuk menenangkan wanita itu. "Tenang saja, mereka pasti akan suka sama kamu. Kamu tidak perlu khawatir, ya."

Veline mengangguk meski ia masih ragu, gadis cantik itu lantas mengikuti Dimas masuk ke rumah. Begitu memasuki ruang tamu, mata Veline tertuju pada seorang wanita yang tampak cantik dan anggun meski usianya sudah tak muda lagi. Mungkin itu istri Om Dimas, pikirnya.

"Mas, kamu sudah pulang?" sapa wanita itu sambil tersenyum.

"Iya, sudah. Aku pulang membawa Veline. Mulai sekarang, Veline akan tinggal bersama kita."

"Oh, ya? Bagus sekali, jadi aku punya teman di rumah," kata wanita itu sambil menatap Veline dengan ramah.

"Veline," panggil Dimas, ia kembali menoleh ke arah Veline yang ada di sampingnya.

"Iya, Om."

"Kenalkan, ini Amanda, istri om."

"Oh, hai, Tante. Saya Veline." Veline sedikit canggung saat pertama kali berkenalan dengan Amanda.

"Tante senang, loh, Veline, kamu bisa tinggal di sini."

Wajah Amanda berubah sedih ketika menatap Veline. Saat suaminya memberitahu bahwa sahabat baiknya, Burhan, sudah meninggal, Amanda pun turut sedih. Apalagi selama ini sahabat Dimas itu sudah berjasa besar bagi keluarganya. "Tante turut berduka cita, ya, atas meninggalnya ayahmu."

"Terima kasih, Tante."

"Iya, sudah, Ma. Aku akan antar Veline ke kamarnya dulu."

"Baik, Mas."

Dimas membawa Veline ke lantai dua, sambil memberitahunya ruangan-ruangan yang ada di rumah tersebut. Sesampainya di lantai dua, ia menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke arah salah satu kamar yang pintunya tertutup rapat. Itu kamar anaknya, yang memang jarang sekali di rumah.

"Veline, ini kamar kamu," ujar Dimas sambil membuka pintu kamar tersebut. "Sedangkan di sebelah sini, ini kamar anak om."

"Anak om?" tanya Veline sambil sedikit mengernyit penasaran.

"Iya, dia juga seumuran sama kamu. Oh, iya, ngomong-ngomong, kamu sekolah di mana sekarang?"

"SMA Pandawa, Om."

"Wah, kalau begitu kalian satu sekolah. Anak om juga sekolah di SMA Pandawa. Kamu kenal sama Hero?"

Veline tertegun, ia terkejut mendengar nama itu. Nama yang selalu membuatnya kesal, tapi ia berharap bukan Hero itu yang dimaksud Om Dimas.

"Kenapa, Veline? Kamu kenal sama anak om?" Lagi, Dimas bertanya ketika Veline terdiam.

"Em ... nggak tahu, Om. Soalnya, nama Hero itu kan banyak di sekolah," jawab Veline sambil tersenyum tipis.

Dimas mengangguk. "Oh, iya juga, ya. Nggak apa-apa. Nanti kamu bisa kenalan sama dia. Ngomong-ngomong, gimana kamarnya? Kamu suka?"

Veline memperhatikan kamar itu dengan seksama. Kamar tersebut cukup luas. Di sudut ruangan terdapat ranjang besar dengan seprai putih bersih dan bantal-bantal empuk. Ada lemari besar berwarna kayu, meja belajar yang rapi, serta rak buku di dekat jendela. Dindingnya dihiasi dengan warna-warna netral yang menenangkan, membuat kamar itu terlihat nyaman.

"Suka, Om … tapi ini terlalu mewah." Veline merasa sedikit tidak enak dengan kebaikan Dimas terhadapnya, apalagi kamar ini terlalu mewah baginya.

"Kamu harus menerimanya, Veline. Anggap saja ini rumah sendiri."

"Baik, Om. Terima kasih."

"Iya, sudah. Kamu istirahat dulu, ya. Kalau ada apa-apa, kamu bisa panggil om atau Tante. Oh, iya, kamar mandinya ada di depan kamarmu."

"Baik, Om."

Setelah melihat Dimas pergi, Veline berdiri di tengah kamarnya yang begitu luas, memandang sekeliling dengan takjub. Kamar ini jauh lebih besar dari kamarnya yang dulu.

"Om Dimas dan istrinya baik banget. Pasti Ayah beruntung memiliki sahabat sebaik Om Dimas," gumam Veline bermonolog sambil terus memandangi kamar tersebut dengan kagum.

Merasa tubuhnya sudah lengket, Veline memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Ia mengambil perlengkapan mandinya, lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di seberang kamar.

15 menit telah berlalu, Veline keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe, tapi ketika ia membuka pintu kamar mandi, ia terkejut ketika melihat seorang lelaki berdiri di ambang pintu.

"Aa …! Hantu!" Veline memekik sambil memukul lelaki itu dengan tangan kosong.

"Aduh! Sakit! Berhenti!" Lelaki itu meringis kesakitan sambil menangkis pukulan-pukulan Veline.

Namun, Veline tak mendengarkan rintihan lelaki itu, ia tetap memukulnya tanpa ampun. "Ngapain lo di sini? Mau maling, ya?"

Lelaki itu menatap Veline tajam. "Ngapain gue maling di rumah sendiri?! Lo yang gue malah curigai! Kenapa elo ada di sini?"

"Rumah Lo?"

Lelaki itu mengangguk, menatap wanita yang ada di hadapannya dengan heran. Ia tak tahu mengapa wanita menyebalkan itu ada di rumahnya. "Iya, ini rumah gue."

Veline terkejut, tapi ia teringat ketika Dimas bilang bahwa ia memiliki anak bernama Hero. "He-Hero?"

"Iya, gue Hero. Kenapa? Baru sadar? Kaget? Sekarang giliran gue tanya, lo ngapain di sini?"

Veline menelan ludah, tapi lidahnya terasa kelu saat melihat wajah Hero yang menatapnya dengan tajam. Ia juga tak menyangka bila akan bertemu dengan lelaki yang paling ia benci di muka bumi ini.

Related chapters

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 3 : Mengulang Sejarah

    "Ada apa ini?"Dimas segera bergegas naik ke lantai dua saat mendengar suara keributan. Begitu sampai, ia melihat Hero dan Veline yang tengah bersitegang."Kenapa wanita ini ada di sini?" tanya Hero sambil menatap ayahnya dingin."Veline akan tinggal di sini mulai sekarang."Mendengar perkataan ayahnya, Hero merasa kesal. Bagaimana bisa wanita yang selalu membuat Hero naik pitam akan tinggal di rumahnya?Selama ini, mereka berdua memang selalu seperti kucing dan anjing di sekolah. Hero, sebagai ketua OSIS, sudah berkali-kali menghukum Veline karena kenakalannya. Tak terhitung berapa kali gadis itu melanggar aturan, bolos kelas, atau membuat keonaran di sekolah. Namun, alih-alih jera, Veline justru semakin berani menentang setiap kali ia mendapat hukuman. Sikap keras kepala Veline membuat Hero merasa frustrasi dan semakin kesal dengan kehadirannya di rumah."Apa Papa pikir rumah ini yayasan? Baru seminggu yang lalu Papa membawa istri baru ke sini, dan sekarang Papa bawa lagi seorang pe

    Last Updated : 2024-10-02
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 4 : Diantara Dua Pilihan

    Veline mengangkat bahu. "Gak ada. Gue cuma ingin bicara aja sama lo."Hero menutup buku dengan kasar, lalu meletakkan buku itu di atas meja. Ia berdiri dari kursi dan mendekat ke arah Veline yang masih berdiri di ambang pintu. Tatapan tajamnya menelusuri wajah Veline. Memang, gadis itu terlihat cantik—wajahnya selalu tampak segar, meskipun kali ini ada sedikit semburat kesedihan yang tak bisa disembunyikan.Namun, kecantikan itu tidak mengubah perasaan Hero sedikit pun. Setiap kali melihat Veline, rasa benci yang ia pendam seolah makin membara, mengingatkannya pada masalah yang ia anggap datang bersamaan dengan kehadirannya di rumah ini."Lo sengaja, kan, datang ke rumah gue cuma buat ngerasain harta keluarga gue? Atau jangan-jangan …." Hero mendekatkan wajahnya ke arah Veline, suaranya menurun sambil berbisik menghina gadis itu. "Jangan-jangan, lo juga selingkuhan bokap gue."Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Hero. Hero terkesiap ketika Veline tiba-tiba menamparnya, begitu juga d

    Last Updated : 2024-10-02
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 5 : Kembalilah

    "Om nggak perlu memilih apa pun, karena Veline yang akan pergi." Veline yang melihat kebingungan di wajah Dimas, hanya membuat dadanya terasa semakin sesak. Ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah tersebut.Dimas menarik napas panjang, menatap sedih ke arah gadis yang ada di hadapannya. "Veline ....""Terima kasih, Om, Tante, kalian sudah baik sama Veline."Veline lantas berbalik, sambil menyeret koper. Air mata yang telah ia tahan sedari tadi mulai jatuh lagi saat sudah berada di ambang pintu."Veline, kamu mau pergi ke mana, Sayang? Ini sudah malam, di luar juga sedang hujan deras!" Amanda berteriak, ia terlihat cemas melihat Veline yang pergi begitu saja, apalagi di luar sedang hujan deras. Namun, Veline tak menjawab, ia tetap melangkah tanpa menoleh ke belakang. Ia merasa tak ada tempat baginya di sini. Jadi, lebih baik ia pergi saja.Dimas berbalik menatap Hero dengan rahang yang sudah mengeras, matanya juga sudah menyala merah. "Kamu benar-benar keterlaluan, Hero! Apa kamu ngg

    Last Updated : 2024-10-02
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 6 : Takut Suntikan

    Hero berteriak lantang ketika melihat Veline yang tiba-tiba terjatuh. "Veline ...." Dengan keadaan panik, Hero lantas berlari menghampiri gadis itu yang sudah tak sadarkan diri. Lelaki tampan itu langsung berjongkok dengan lutut ditekuk. Tangan kekarnya langsung meraih kepala Veline dan menepuk wajahnya dengan pelan. "Veline, bangun!" Sudah beberapa kali Hero menepuk wajah gadis itu. Namun, sepertinya Veline tak kunjung sadar. "Veline sadarlah, ayo bangun!" Karena sudah panik dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, Hero pun lantas langsung mengangkat tubuh Veline, membawanya ke dalam mobil. Setelah pintu mobil ia buka dengan susah payah, akhirnya Veline berhasil ia letakkan di jok mobil paling depan. Hero menutup pintu mobil, lalu segera mengambil koper Veline yang sudah basah oleh hujan. Ia pun menyimpan koper gadis itu di bagasi mobil, setelah itu, Hero memasuki mobil, meski pakaiannya juga basah kuyup dan tubuhnya menggigil kedinginan, tapi ia tak peduli. Yang penting seka

    Last Updated : 2024-11-08
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 7 : Harus Patuh

    Hero keluar dari kamar mandi, sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk, sampai membuat beberapa helai rambutnya jatuh berantakan di dahi. Setelah libur tengah semester berakhir, akhirnya hari ini ia akan kembali bersekolah. Lelaki tampan itu berjalan menuju lemari, membuka pintu, dan mengambil seragam sekolah yang sudah rapi tergantung di sana. Saat mulai mengenakannya, Hero memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Tubuh tegapnya terlihat semakin berwibawa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tinggi dan wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, serta sepasang mata tajam yang seakan memiliki daya tarik tersendiri, sampai membuatnya digilai oleh banyak siswi di sekolah. Setelah rapi mengenakan seragamnya, Hero mengambil botol parfum dari meja, lalu menyemprotkannya pada tubuh. Aroma maskulin sudah menyeruak menyebar di ruangan tersebut. Sebelum meninggalkan kamar, ia merapikan rambutnya terlebih dulu. Lalu memasang jam tangan di pergelangan tangan kiri dan

    Last Updated : 2024-11-08
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 8 : Peduli

    Seharian sudah, Veline menghabiskan waktu di dalam kamar. Namun, rasa bosan perlahan mulai menghampiri. Setelah melihat gelas air minumnya kosong, ia memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil air. Kondisinya memang sudah jauh lebih baik, terutama berkat perhatian Amanda yang tak pernah lelah merawatnya. Wanita itu selalu memastikan Veline mendapatkan makanan bergizi dan buah-buahan segar sepanjang hari. Amanda memperlakukannya seperti putri kandung sendiri, sampai membuat Veline merasa nyaman. Kehangatan itu menghadirkan kembali sosok ibu yang selama ini ia rindukan dalam diri Amanda. Namun bukan hanya Amanda, Dimas, juga selalu baik padanya. Veline merasa sangat beruntung, karena Tuhan mempertemukannya dengan orang-orang yang tulus dan begitu peduli. Sesampainya di dapur, Veline melihat Amanda sedang menyiapkan makan malam bersama Bi Ranti. "Malam, Tante, Bi Ranti," sapa Veline kepada dua wanita yang sedang sibuk di dapur. Amanda menoleh ke arah Veline yang ada di belakang

    Last Updated : 2024-11-08
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 9 : Hukuman

    Bunyi alarm terus menggema di dalam kamar seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya. Tangan Veline terulur, mencari alarm di atas nakas. Namun, alih-alih bangun, ia hanya mematikan dan melemparnya ke sembarang arah, lalu tidur kembali. Kebiasaan Veline memang seperti itu. Namun ketika matahari mulai naik dan sinarnya menyilaukan wajah Veline, matanya pun mengerjap pelan. Setelah sedikit sadar, ia langsung terbangun. Ia mengambil jam alarm yang tergeletak di samping tempat tidur dan matanya terbelalak ketika melihat jarum pendek jam sudah menunjukkan angka tujuh. "Ya ampun! Gue telat!" serunya panik. Veline langsung menuju kamar mandi. Ia memutuskan untuk tidak mandi—itu akan memakan waktu lama, apalagi ia suka berlama-lama saat mandi. Gadis yang masih mengenakan piyama itu pun memilih hanya untuk menggosok gigi dan membasuh muka saja. Selesai membersihkan wajahnya, Veline berlari ke kamar sambil mengeringkan wajah dengan handuk. Dengan terburu-buru, ia mengambil seragam p

    Last Updated : 2024-11-09
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 10 : Berbagi Bakteri

    "Ish, lo senang banget sih narik-narik tas gue?" gerutu Veline kesal, sambil menepis tangan kekar Hero yang mencengkeram tasnya kuat. Hero hanya menghela napas panjang, tatapannya begitu dingin saat melihat gadis itu. "Sebelum lo bersihin toilet, lo hapus dulu make up lo!" ujarnya datar, sambil menatap Veline dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan gadis itu memang selalu mencolok, dan hal itu membuat darah Hero berdesir, bukan karena terpesona, tapi kesal. Wajah Veline penuh dengan riasan tebal, alisnya dibentuk tajam, lipstiknya merah menyala. Bukannya terlihat seperti siswi SMA pada umumnya, Veline lebih mirip seperti akan pergi ke pesta malam. Namun, bukan hanya itu yang mengganggu Hero. Seragam sekolah Veline, yang seharusnya longgar dan rapi, justru begitu ketat, sampai menonjolkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Rok yang semestinya selutut, dipendekkan hingga di atas paha, melihat itu membuat Hero semakin frustrasi. "Hah? Maksud lo apa?" Veline memandang Hero bi

    Last Updated : 2024-11-09

Latest chapter

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 89 : Perubahan Veline

    Tok! Tok! Tok! "Vel, buka pintunya dong," panggil Hero sembari mengetuk pintu kamar Veline untuk kesekian kalinya. Namun, tak ada sahutan dari dalam. Hero mendengkus pelan, menatap pintu kayu itu dengan frustrasi. Jam di dinding menunjukkan pukul 6:40 pagi, dan Hero sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seragamnya rapi, tas sudah disandang. Namun, ia belum melihat tanda-tanda Veline keluar dari kamar. Semalam pun situasinya sama. Hero sudah mengetuk pintu kamar Veline berulang kali, tapi gadis itu tetap tak keluar dari kamar. "Vel, udah jam tujuh, lo nggak mau sekolah?" panggil Hero lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. Masih tidak ada balasan. Hero menghela napas panjang, merasa putus asa. Ia menempelkan dahinya ke pintu, mencoba mencari cara untuk membuat Veline keluar, tapi akhirnya menyerah. "Vel, gue berangkat duluan, ya. Kalau lo nggak mau sekolah, terserah lo," ujar Hero, nada suaranya terdengar pasrah. Ia melangkah pergi dengan lesu, meski pikir

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 88 : Kesabaran Hero

    "Lo bisa tenang sebentar nggak?" Hero menarik napas panjang, mencoba mengendalikan amarahnya. Sepasang lengannya mencengkeram tangan Veline yang masih ia tahan di atas kepala. Matanya menatap tajam, ia berharap agar gadis itu mau mendengar, agar dia berhenti meronta, dan mau sedikit bekerja sama. Namun Veline seperti tidak peduli. Tubuhnya terus bergerak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Hero. Gadis itu memaki dan meminta dilepaskan, tetapi Hero tak mendengar perkataannya. Hero memejamkan mata sejenak, mencoba bersabar. Namun semakin lama gadis itu semakin liar, dan tangannya semakin sulit ditahan. Hero menunduk sedikit, berusaha mendekatkan wajahnya. Ia mencoba menggapai sudut bibir Veline dengan lembut, mencoba membuatnya berhenti melawan, tapi gadis itu selalu menghindar, memalingkan wajah ke kiri dan kanan, seolah berusaha menjauh sejauh mungkin darinya. Kesabaran Hero akhirnya habis. Dengan sisa kendali yang ia miliki, ia mendekatkan wajahnya ke leher Veline, lal

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 87 : Setangkai Mawar

    "Aw, Veline!" Hero meringis kesakitan, dengan refleks ia melepaskan pelukannya pada Veline, lalu menyentuh lengannya yang kini memerah karena gigitan gadis itu. Melihat kesempatan itu, Veline langsung melesat pergi tanpa melihat ke belakang. Sementara Hero masih sibuk mengibaskan tangannya, mencoba meredakan rasa sakit pada lengannya. "Veline! Tunggu!" seru Hero sambil mulai mengejar gadis itu yang sudah pergi. Dari kejauhan, Alyssa dan Raka yang sedari tadi menyaksikan semua pertengkaran itu hanya bisa menatap bingung. Alyssa mengguncang lengan Raka pelan. "Beb, gimana dong? Kayaknya Veline masih marah banget sama Hero." Raka menghela napas, menatap Hero dan Veline yang kini mulai menjauh dari pandangan mereka. "Udah, biarin aja mereka. Itu urusan mereka, kita jangan ikut campur." "Tapi ...." Alyssa tampak ragu, lalu mendesah panjang. "Ya udah, kita ikutin mereka aja dari jauh." Raka mengerutkan kening, tapi akhirnya setuju dengan usulan kekasihnya. "Iya deh, tersera

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 86 : Permintaan Maaf

    Sepasang mata Veline membulat sempurna ketika menyadari lelaki itu kini ada di hadapannya. Napasnya memburu, bukan karena lelah dari permainan arcade yang baru selesai, melainkan karena kemarahan yang kembali membuncah. Hero tidak sendiri, Raka juga tampak berdiri di dekat sana. Keberadaan mereka membuat pikirannya langsung mengarah pada satu hal: Alyssa pasti memberitahu mereka bahwa dia ada di sini. Namun, Veline tak berniat mengkonfrontasi lebih jauh. Darahnya sudah cukup mendidih hanya dengan melihat wajah Hero. Dia berbalik, meletakan sebotol minumnya di meja, lalu meninggalkan mesin arcade, dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Akan tetapi, tiba-tiba tangan Hero meraih pergelangan tangannya. "Vel, tunggu." Suara berat lelaki itu terdengar tegas, tapi Veline tidak peduli. Dia langsung meronta. "Lepasin gue!" rintihnya, berusaha melepaskan diri dari genggaman Hero. Namun, Hero tidak mengendurkan pegangan, dan justru membawanya menjauh dari keramaian. Mereka melewati loron

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 85 : Arcade

    Pikiran Hero melayang jauh entah ke mana, mencari kemungkinan ke mana Veline pergi. Matanya menyipit ketika ia teringat pada satu nama: Alyssa. Mungkin dia lagi bersama Alyssa, pikirnya dengan sedikit harapan. Tanpa ragu, ia segera menghubungi Raka. Setelah beberapa detik, suara Raka terdengar di seberang. "Iya, Ro? Ada apa?" "Lo lagi di mana sekarang?" tanya Hero cepat, suaranya terdengar mendesak. "Gue lagi di basecamp, bareng Adrian. Kenapa emangnya?" Hero menghela napas, mencoba meredakan kegelisahannya. "Lo gak lagi sama Alyssa?" "Nggak. Kayak yang gue bilang, gue cuma sama Adrian. Kenapa sih?" "Veline masih marah sama gue, dan dia gak ada di rumah. Gue kepikiran, mungkin dia lagi sama Alyssa. Lo bisa tanyain gak? Siapa tahu Veline lagi sama dia." "Oh, oke. Gue coba telpon Alyssa dulu." Namun, sebelum Raka menutup panggilan, Hero buru-buru berkata lagi. "Eh, tunggu dulu." "Kenapa?" "Lo jangan bilang kalau gue yang nanya." Raka terkekeh di seberang sana

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 84 : Ngajak Jalan

    "Kalau bukan Leona, lalu siapa?" Leona bertanya, ia terus memperhatikan wajah Zahira yang tampak masih bingung. Namun, Zahira hanya diam, bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu. Matanya kembali gelisah, pandangannya beralih ke arah pintu seakan sedang mencari seseorang. Ketegangan itu terhenti ketika pintu ruangan terbuka. Suster Ira masuk sambil membawa clipboard. "Maaf, ini saatnya Bu Zahira untuk beristirahat. Kunjungan bisa dilanjutkan lain waktu." Dimas mengangguk dengan sopan. "Baik, Suster. Terima kasih sudah mengingatkan." Hero mendekat ke ranjang ibunya. Ia menundukkan tubuhnya, mendekat hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan perlahan, ia menggenggam tangan Zahira. "Ma, Hero pulang dulu, ya. Mama baik-baik di sini, istirahat yang cukup. Hero janji bakal sering jenguk Mama." Zahira mengangkat tangannya yang lemah, menyentuh wajah putranya. Matanya menelusuri setiap sudut wajah Hero yang tampan. "Kamu hati-hati, Nak," ucap Zahira lirih.

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 83 : Butuh Waktu

    Hero mencari ke setiap sudut sekolah, matanya menyapu lorong-lorong yang mulai lengang dan halaman belakang yang sepi. Langkahnya tak henti, tapi ia masih belum menemukan sosok Veline. Napasnya perlahan menjadi berat, bukan hanya karena lelah berjalan, tetapi juga rasa khawatir yang semakin menghimpit dadanya. Namun, ketika ia sampai di sisi taman belakang sekolah, matanya menangkap sosok yang dikenalnya. Veline berdiri di bawah pohon besar, sedang berbicara dengan Leona. Melihat itu, Hero akhirnya menghentikan langkahnya, napas panjang terembus dari bibirnya. Ia mengamati Veline dari kejauhan, memastikan gadis itu tampak baik-baik saja. Meski hatinya mendesak untuk segera menghampiri, ia sadar bahwa Veline mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri. Untuk saat ini, ia memilih menahan diri. Hero kemudian berbalik, meninggalkan taman dan menuju kantin. Begitu masuk, aroma khas makanan langsung menyambutnya. Di salah satu meja sudut, ia melihat Adrian, Raka, dan Noval sudah dud

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 82 : Sekecewa Itu

    Hero terdiam. Untuk beberapa detik, tatapannya tetap tertuju pada Veline, tapi ia tidak memberikan jawaban. Ekspresinya sulit dibaca, seperti sedang memproses pertanyaan itu. "Jawab, Hero!" desak Veline, pikirannya pun sudah kalut sedari tadi ketika melihat Hero yang hanya terdiam. Hero menarik napas panjang, lalu menatap Veline dalam-dalam. "Iya." Jawaban itu menghantam Veline seperti pukulan keras di dadanya. Mata Veline membesar, mulutnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar. Dadanya terasa semakin sesak, dan tiba-tiba dunia di sekitarnya menjadi sunyi. "Kenapa …?" Veline mencoba menggigit bibir bawahnya yang sudah bergetar, hatinya pun sudah teramat sakit. Sementara Hero hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Karena lo butuh dikasih pelajaran. Lo nggak pernah dengerin gue waktu gue bilang soal sikap lo. Gue cuma pengen lo sadar, itu aja." Penjelasan itu hanya membuat luka di hati Veline semakin dalam. Ia tidak tahu

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 81 : Kebenaran yang Menyakitkan

    Veline sama sekali tidak tahu apa yang ingin disampaikan Freya. Namun, rasa penasaran membuatnya terpaksa mengikuti langkah gadis itu. Langkah mereka membawa Veline ke belakang sekolah yang sunyi, hanya ada suara dedaunan bergesekan dihembus angin. Freya berhenti, mematung di tempat seolah sengaja membuat Veline menunggu. Dengan napas sedikit memburu, Veline berdiri di belakang Freya. "Sebenarnya, apa sih yang mau lo omongin? Kenapa lo ngajak gue ke sini?" tanya Veline, suaranya terdengar tajam bercampur rasa kesal. Freya berbalik perlahan, menatap Veline dengan senyum sinis yang membuat darah Veline mendidih. "Gue cuma mau kasih tahu kalau gue dan Arnold udah jadian," beber Freya, seolah kalimat itu adalah prestasi yang layak dirayakan. Veline mengangkat sebelah alis, lalu mendengkus kecil. "Ya elah, jadi lo cuma mau pamer? Terus lo pikir gue bakal ngereog denger lo sama Arnold udah jadian? Sorry, yee. Nggak penting buat gue." Freya tidak terpengaruh. Sebaliknya, senyumnya s

DMCA.com Protection Status