Share

Bab 2 : Salah Sangka

Veline memperhatikan pemandangan dari kaca jendela mobil, angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya melalui jendela kaca yang terbuka. Gadis itu memegang sebatang dedaunan berwarna merah, yang ia bawa dari pemakaman sang ayah.

Wanita yang mengenakan jam tangan berwarna coklat dengan bingkai persegi itu memandang ke arah langit. Langit di atas terlihat mendung, awan kelabu menggantung seakan turut mengerti perasaannya yang masih berduka.

Setelah mempertimbangkan dengan cukup matang, Veline akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama Dimas, sahabat dari almarhum ayahnya. Ini memang keputusan yang sulit, terutama setelah melihat pertengkaran yang kerap muncul di antara om dan tantenya saat mereka membahas siapa yang akan merawatnya. Gadis itu tak ingin menjadi beban yang memicu keributan dalam keluarga. Jadi, ia pun terpaksa menerima tawaran Dimas.

"Kita sudah sampai." Dimas berkata setelah beberapa saat hening. Sepanjang perjalanan, Dimas sesekali mencoba mengajak Veline berbicara, berusaha mengalihkan perhatian gadis itu dari rasa sedih.

"Om … seriusan, ini rumah Om?" Veline bertanya seraya memperhatikan rumah Dimas yang begitu mewah, seperti bak istana dongeng yang sering ia lihat di televisi.

Dimas tersenyum kecil melihat ekspresi takjub di wajah Veline. "Iya, ini rumah om."

"Wah, rumah Om mewah banget, jangan-jangan … Om anak sultan."

"Iya, om memang anak sultan."

Kedua bola mata Veline terbelalak mendengar itu. "Hah? Seriusan, Om?"

Dimas terkekeh melihat wajah polos Veline. "Hahaha … nggak, om cuma bercanda, kok. Sudah, ayo turun," katanya sambil melepas seat belt dan membuka pintu mobil, begitu juga dengan Veline.

Tak lama setelah itu, Dimas melambaikan tangan pada sopir pribadinya yang baru saja turun dari mobil. "Tolong bawa barang-barang Veline ke dalam, ya," perintahnya.

"Baik, Pak," jawab sopir itu, ia pun segera mengambil koper dan tas Veline dari bagasi.

"Ayo, masuk," ajak Dimas seraya menatap Veline.

"Em, tapi, Om …." Veline merasa ragu, ia berhenti sejenak di ambang pintu.

Dimas menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Veline dengan alis terangkat. "Ada apa?"

"Veline takut nanti keluarga Om nggak suka lagi Veline tinggal di sini .…"

Dimas tersenyum, gegas menepuk bahu Veline untuk menenangkan wanita itu. "Tenang saja, mereka pasti akan suka sama kamu. Kamu tidak perlu khawatir, ya."

Veline mengangguk meski ia masih ragu, gadis cantik itu lantas mengikuti Dimas masuk ke rumah. Begitu memasuki ruang tamu, mata Veline tertuju pada seorang wanita yang tampak cantik dan anggun meski usianya sudah tak muda lagi. Mungkin itu istri Om Dimas, pikirnya.

"Mas, kamu sudah pulang?" sapa wanita itu sambil tersenyum.

"Iya, sudah. Aku pulang membawa Veline. Mulai sekarang, Veline akan tinggal bersama kita."

"Oh, ya? Bagus sekali, jadi aku punya teman di rumah," kata wanita itu sambil menatap Veline dengan ramah.

"Veline," panggil Dimas, ia kembali menoleh ke arah Veline yang ada di sampingnya.

"Iya, Om."

"Kenalkan, ini Amanda, istri om."

"Oh, hai, Tante. Saya Veline." Veline sedikit canggung saat pertama kali berkenalan dengan Amanda.

"Tante senang, loh, Veline, kamu bisa tinggal di sini."

Wajah Amanda berubah sedih ketika menatap Veline. Saat suaminya memberitahu bahwa sahabat baiknya, Burhan, sudah meninggal, Amanda pun turut sedih. Apalagi selama ini sahabat Dimas itu sudah berjasa besar bagi keluarganya. "Tante turut berduka cita, ya, atas meninggalnya ayahmu."

"Terima kasih, Tante."

"Iya, sudah, Ma. Aku akan antar Veline ke kamarnya dulu."

"Baik, Mas."

Dimas membawa Veline ke lantai dua, sambil memberitahunya ruangan-ruangan yang ada di rumah tersebut. Sesampainya di lantai dua, ia menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke arah salah satu kamar yang pintunya tertutup rapat. Itu kamar anaknya, yang memang jarang sekali di rumah.

"Veline, ini kamar kamu," ujar Dimas sambil membuka pintu kamar tersebut. "Sedangkan di sebelah sini, ini kamar anak om."

"Anak om?" tanya Veline sambil sedikit mengernyit penasaran.

"Iya, dia juga seumuran sama kamu. Oh, iya, ngomong-ngomong, kamu sekolah di mana sekarang?"

"SMA Pandawa, Om."

"Wah, kalau begitu kalian satu sekolah. Anak om juga sekolah di SMA Pandawa. Kamu kenal sama Hero?"

Veline tertegun, ia terkejut mendengar nama itu. Nama yang selalu membuatnya kesal, tapi ia berharap bukan Hero itu yang dimaksud Om Dimas.

"Kenapa, Veline? Kamu kenal sama anak om?" Lagi, Dimas bertanya ketika Veline terdiam.

"Em ... nggak tahu, Om. Soalnya, nama Hero itu kan banyak di sekolah," jawab Veline sambil tersenyum tipis.

Dimas mengangguk. "Oh, iya juga, ya. Nggak apa-apa. Nanti kamu bisa kenalan sama dia. Ngomong-ngomong, gimana kamarnya? Kamu suka?"

Veline memperhatikan kamar itu dengan seksama. Kamar tersebut cukup luas. Di sudut ruangan terdapat ranjang besar dengan seprai putih bersih dan bantal-bantal empuk. Ada lemari besar berwarna kayu, meja belajar yang rapi, serta rak buku di dekat jendela. Dindingnya dihiasi dengan warna-warna netral yang menenangkan, membuat kamar itu terlihat nyaman.

"Suka, Om … tapi ini terlalu mewah." Veline merasa sedikit tidak enak dengan kebaikan Dimas terhadapnya, apalagi kamar ini terlalu mewah baginya.

"Kamu harus menerimanya, Veline. Anggap saja ini rumah sendiri."

"Baik, Om. Terima kasih."

"Iya, sudah. Kamu istirahat dulu, ya. Kalau ada apa-apa, kamu bisa panggil om atau Tante. Oh, iya, kamar mandinya ada di depan kamarmu."

"Baik, Om."

Setelah melihat Dimas pergi, Veline berdiri di tengah kamarnya yang begitu luas, memandang sekeliling dengan takjub. Kamar ini jauh lebih besar dari kamarnya yang dulu.

"Om Dimas dan istrinya baik banget. Pasti Ayah beruntung memiliki sahabat sebaik Om Dimas," gumam Veline bermonolog sambil terus memandangi kamar tersebut dengan kagum.

Merasa tubuhnya sudah lengket, Veline memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Ia mengambil perlengkapan mandinya, lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di seberang kamar.

15 menit telah berlalu, Veline keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe, tapi ketika ia membuka pintu kamar mandi, ia terkejut ketika melihat seorang lelaki berdiri di ambang pintu.

"Aa …! Hantu!" Veline memekik sambil memukul lelaki itu dengan tangan kosong.

"Aduh! Sakit! Berhenti!" Lelaki itu meringis kesakitan sambil menangkis pukulan-pukulan Veline.

Namun, Veline tak mendengarkan rintihan lelaki itu, ia tetap memukulnya tanpa ampun. "Ngapain lo di sini? Mau maling, ya?"

Lelaki itu menatap Veline tajam. "Ngapain gue maling di rumah sendiri?! Lo yang gue malah curigai! Kenapa elo ada di sini?"

"Rumah Lo?"

Lelaki itu mengangguk, menatap wanita yang ada di hadapannya dengan heran. Ia tak tahu mengapa wanita menyebalkan itu ada di rumahnya. "Iya, ini rumah gue."

Veline terkejut, tapi ia teringat ketika Dimas bilang bahwa ia memiliki anak bernama Hero. "He-Hero?"

"Iya, gue Hero. Kenapa? Baru sadar? Kaget? Sekarang giliran gue tanya, lo ngapain di sini?"

Veline menelan ludah, tapi lidahnya terasa kelu saat melihat wajah Hero yang menatapnya dengan tajam. Ia juga tak menyangka bila akan bertemu dengan lelaki yang paling ia benci di muka bumi ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status