Share

Bab 2 : Salah Sangka

Author: Vanilla_Nilla
last update Last Updated: 2024-10-02 15:02:14

Veline memperhatikan pemandangan dari kaca jendela mobil, angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya melalui jendela kaca yang terbuka. Gadis itu memegang sebatang dedaunan berwarna merah, yang ia bawa dari pemakaman sang ayah.

Wanita yang mengenakan jam tangan berwarna coklat dengan bingkai persegi itu memandang ke arah langit. Langit di atas terlihat mendung, awan kelabu menggantung seakan turut mengerti perasaannya yang masih berduka.

Setelah mempertimbangkan dengan cukup matang, Veline akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama Dimas, sahabat dari almarhum ayahnya. Ini memang keputusan yang sulit, terutama setelah melihat pertengkaran yang kerap muncul di antara om dan tantenya saat mereka membahas siapa yang akan merawatnya. Gadis itu tak ingin menjadi beban yang memicu keributan dalam keluarga. Jadi, ia pun terpaksa menerima tawaran Dimas.

"Kita sudah sampai." Dimas berkata setelah beberapa saat hening. Sepanjang perjalanan, Dimas sesekali mencoba mengajak Veline berbicara, berusaha mengalihkan perhatian gadis itu dari rasa sedih.

"Om … seriusan, ini rumah Om?" Veline bertanya seraya memperhatikan rumah Dimas yang begitu mewah, seperti bak istana dongeng yang sering ia lihat di televisi.

Dimas tersenyum kecil melihat ekspresi takjub di wajah Veline. "Iya, ini rumah om."

"Wah, rumah Om mewah banget, jangan-jangan … Om anak sultan."

"Iya, om memang anak sultan."

Kedua bola mata Veline terbelalak mendengar itu. "Hah? Seriusan, Om?"

Dimas terkekeh melihat wajah polos Veline. "Hahaha … nggak, om cuma bercanda, kok. Sudah, ayo turun," katanya sambil melepas seat belt dan membuka pintu mobil, begitu juga dengan Veline.

Tak lama setelah itu, Dimas melambaikan tangan pada sopir pribadinya yang baru saja turun dari mobil. "Tolong bawa barang-barang Veline ke dalam, ya," perintahnya.

"Baik, Pak," jawab sopir itu, ia pun segera mengambil koper dan tas Veline dari bagasi.

"Ayo, masuk," ajak Dimas seraya menatap Veline.

"Em, tapi, Om …." Veline merasa ragu, ia berhenti sejenak di ambang pintu.

Dimas menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Veline dengan alis terangkat. "Ada apa?"

"Veline takut nanti keluarga Om nggak suka lagi Veline tinggal di sini .…"

Dimas tersenyum, gegas menepuk bahu Veline untuk menenangkan wanita itu. "Tenang saja, mereka pasti akan suka sama kamu. Kamu tidak perlu khawatir, ya."

Veline mengangguk meski ia masih ragu, gadis cantik itu lantas mengikuti Dimas masuk ke rumah. Begitu memasuki ruang tamu, mata Veline tertuju pada seorang wanita yang tampak cantik dan anggun meski usianya sudah tak muda lagi. Mungkin itu istri Om Dimas, pikirnya.

"Mas, kamu sudah pulang?" sapa wanita itu sambil tersenyum.

"Iya, sudah. Aku pulang membawa Veline. Mulai sekarang, Veline akan tinggal bersama kita."

"Oh, ya? Bagus sekali, jadi aku punya teman di rumah," kata wanita itu sambil menatap Veline dengan ramah.

"Veline," panggil Dimas, ia kembali menoleh ke arah Veline yang ada di sampingnya.

"Iya, Om."

"Kenalkan, ini Amanda, istri om."

"Oh, hai, Tante. Saya Veline." Veline sedikit canggung saat pertama kali berkenalan dengan Amanda.

"Tante senang, loh, Veline, kamu bisa tinggal di sini."

Wajah Amanda berubah sedih ketika menatap Veline. Saat suaminya memberitahu bahwa sahabat baiknya, Burhan, sudah meninggal, Amanda pun turut sedih. Apalagi selama ini sahabat Dimas itu sudah berjasa besar bagi keluarganya. "Tante turut berduka cita, ya, atas meninggalnya ayahmu."

"Terima kasih, Tante."

"Iya, sudah, Ma. Aku akan antar Veline ke kamarnya dulu."

"Baik, Mas."

Dimas membawa Veline ke lantai dua, sambil memberitahunya ruangan-ruangan yang ada di rumah tersebut. Sesampainya di lantai dua, ia menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke arah salah satu kamar yang pintunya tertutup rapat. Itu kamar anaknya, yang memang jarang sekali di rumah.

"Veline, ini kamar kamu," ujar Dimas sambil membuka pintu kamar tersebut. "Sedangkan di sebelah sini, ini kamar anak om."

"Anak om?" tanya Veline sambil sedikit mengernyit penasaran.

"Iya, dia juga seumuran sama kamu. Oh, iya, ngomong-ngomong, kamu sekolah di mana sekarang?"

"SMA Pandawa, Om."

"Wah, kalau begitu kalian satu sekolah. Anak om juga sekolah di SMA Pandawa. Kamu kenal sama Hero?"

Veline tertegun, ia terkejut mendengar nama itu. Nama yang selalu membuatnya kesal, tapi ia berharap bukan Hero itu yang dimaksud Om Dimas.

"Kenapa, Veline? Kamu kenal sama anak om?" Lagi, Dimas bertanya ketika Veline terdiam.

"Em ... nggak tahu, Om. Soalnya, nama Hero itu kan banyak di sekolah," jawab Veline sambil tersenyum tipis.

Dimas mengangguk. "Oh, iya juga, ya. Nggak apa-apa. Nanti kamu bisa kenalan sama dia. Ngomong-ngomong, gimana kamarnya? Kamu suka?"

Veline memperhatikan kamar itu dengan seksama. Kamar tersebut cukup luas. Di sudut ruangan terdapat ranjang besar dengan seprai putih bersih dan bantal-bantal empuk. Ada lemari besar berwarna kayu, meja belajar yang rapi, serta rak buku di dekat jendela. Dindingnya dihiasi dengan warna-warna netral yang menenangkan, membuat kamar itu terlihat nyaman.

"Suka, Om … tapi ini terlalu mewah." Veline merasa sedikit tidak enak dengan kebaikan Dimas terhadapnya, apalagi kamar ini terlalu mewah baginya.

"Kamu harus menerimanya, Veline. Anggap saja ini rumah sendiri."

"Baik, Om. Terima kasih."

"Iya, sudah. Kamu istirahat dulu, ya. Kalau ada apa-apa, kamu bisa panggil om atau Tante. Oh, iya, kamar mandinya ada di depan kamarmu."

"Baik, Om."

Setelah melihat Dimas pergi, Veline berdiri di tengah kamarnya yang begitu luas, memandang sekeliling dengan takjub. Kamar ini jauh lebih besar dari kamarnya yang dulu.

"Om Dimas dan istrinya baik banget. Pasti Ayah beruntung memiliki sahabat sebaik Om Dimas," gumam Veline bermonolog sambil terus memandangi kamar tersebut dengan kagum.

Merasa tubuhnya sudah lengket, Veline memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Ia mengambil perlengkapan mandinya, lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di seberang kamar.

15 menit telah berlalu, Veline keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe, tapi ketika ia membuka pintu kamar mandi, ia terkejut ketika melihat seorang lelaki berdiri di ambang pintu.

"Aa …! Hantu!" Veline memekik sambil memukul lelaki itu dengan tangan kosong.

"Aduh! Sakit! Berhenti!" Lelaki itu meringis kesakitan sambil menangkis pukulan-pukulan Veline.

Namun, Veline tak mendengarkan rintihan lelaki itu, ia tetap memukulnya tanpa ampun. "Ngapain lo di sini? Mau maling, ya?"

Lelaki itu menatap Veline tajam. "Ngapain gue maling di rumah sendiri?! Lo yang gue malah curigai! Kenapa elo ada di sini?"

"Rumah Lo?"

Lelaki itu mengangguk, menatap wanita yang ada di hadapannya dengan heran. Ia tak tahu mengapa wanita menyebalkan itu ada di rumahnya. "Iya, ini rumah gue."

Veline terkejut, tapi ia teringat ketika Dimas bilang bahwa ia memiliki anak bernama Hero. "He-Hero?"

"Iya, gue Hero. Kenapa? Baru sadar? Kaget? Sekarang giliran gue tanya, lo ngapain di sini?"

Veline menelan ludah, tapi lidahnya terasa kelu saat melihat wajah Hero yang menatapnya dengan tajam. Ia juga tak menyangka bila akan bertemu dengan lelaki yang paling ia benci di muka bumi ini.

Related chapters

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 3 : Mengulang Sejarah

    "Ada apa ini?"Dimas segera bergegas naik ke lantai dua saat mendengar suara keributan. Begitu sampai, ia melihat Hero dan Veline yang tengah bersitegang."Kenapa wanita ini ada di sini?" tanya Hero sambil menatap ayahnya dingin."Veline akan tinggal di sini mulai sekarang."Mendengar perkataan ayahnya, Hero merasa kesal. Bagaimana bisa wanita yang selalu membuat Hero naik pitam akan tinggal di rumahnya?Selama ini, mereka berdua memang selalu seperti kucing dan anjing di sekolah. Hero, sebagai ketua OSIS, sudah berkali-kali menghukum Veline karena kenakalannya. Tak terhitung berapa kali gadis itu melanggar aturan, bolos kelas, atau membuat keonaran di sekolah. Namun, alih-alih jera, Veline justru semakin berani menentang setiap kali ia mendapat hukuman. Sikap keras kepala Veline membuat Hero merasa frustrasi dan semakin kesal dengan kehadirannya di rumah."Apa Papa pikir rumah ini yayasan? Baru seminggu yang lalu Papa membawa istri baru ke sini, dan sekarang Papa bawa lagi seorang pe

    Last Updated : 2024-10-02
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 4 : Diantara Dua Pilihan

    Veline mengangkat bahu. "Gak ada. Gue cuma ingin bicara aja sama lo."Hero menutup buku dengan kasar, lalu meletakkan buku itu di atas meja. Ia berdiri dari kursi dan mendekat ke arah Veline yang masih berdiri di ambang pintu. Tatapan tajamnya menelusuri wajah Veline. Memang, gadis itu terlihat cantik—wajahnya selalu tampak segar, meskipun kali ini ada sedikit semburat kesedihan yang tak bisa disembunyikan.Namun, kecantikan itu tidak mengubah perasaan Hero sedikit pun. Setiap kali melihat Veline, rasa benci yang ia pendam seolah makin membara, mengingatkannya pada masalah yang ia anggap datang bersamaan dengan kehadirannya di rumah ini."Lo sengaja, kan, datang ke rumah gue cuma buat ngerasain harta keluarga gue? Atau jangan-jangan …." Hero mendekatkan wajahnya ke arah Veline, suaranya menurun sambil berbisik menghina gadis itu. "Jangan-jangan, lo juga selingkuhan bokap gue."Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Hero. Hero terkesiap ketika Veline tiba-tiba menamparnya, begitu juga d

    Last Updated : 2024-10-02
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 5 : Kembalilah

    "Om nggak perlu memilih apa pun, karena Veline yang akan pergi." Veline yang melihat kebingungan di wajah Dimas, hanya membuat dadanya terasa semakin sesak. Ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah tersebut.Dimas menarik napas panjang, menatap sedih ke arah gadis yang ada di hadapannya. "Veline ....""Terima kasih, Om, Tante, kalian sudah baik sama Veline."Veline lantas berbalik, sambil menyeret koper. Air mata yang telah ia tahan sedari tadi mulai jatuh lagi saat sudah berada di ambang pintu."Veline, kamu mau pergi ke mana, Sayang? Ini sudah malam, di luar juga sedang hujan deras!" Amanda berteriak, ia terlihat cemas melihat Veline yang pergi begitu saja, apalagi di luar sedang hujan deras. Namun, Veline tak menjawab, ia tetap melangkah tanpa menoleh ke belakang. Ia merasa tak ada tempat baginya di sini. Jadi, lebih baik ia pergi saja.Dimas berbalik menatap Hero dengan rahang yang sudah mengeras, matanya juga sudah menyala merah. "Kamu benar-benar keterlaluan, Hero! Apa kamu ngg

    Last Updated : 2024-10-02
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 6 : Takut Suntikan

    Hero berteriak lantang ketika melihat Veline yang tiba-tiba terjatuh. "Veline ...." Dengan keadaan panik, Hero lantas berlari menghampiri gadis itu yang sudah tak sadarkan diri. Lelaki tampan itu langsung berjongkok dengan lutut ditekuk. Tangan kekarnya langsung meraih kepala Veline dan menepuk wajahnya dengan pelan. "Veline, bangun!" Sudah beberapa kali Hero menepuk wajah gadis itu. Namun, sepertinya Veline tak kunjung sadar. "Veline sadarlah, ayo bangun!" Karena sudah panik dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, Hero pun lantas langsung mengangkat tubuh Veline, membawanya ke dalam mobil. Setelah pintu mobil ia buka dengan susah payah, akhirnya Veline berhasil ia letakkan di jok mobil paling depan. Hero menutup pintu mobil, lalu segera mengambil koper Veline yang sudah basah oleh hujan. Ia pun menyimpan koper gadis itu di bagasi mobil, setelah itu, Hero memasuki mobil, meski pakaiannya juga basah kuyup dan tubuhnya menggigil kedinginan, tapi ia tak peduli. Yang penting seka

    Last Updated : 2024-11-08
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 7 : Harus Patuh

    Hero keluar dari kamar mandi, sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk, sampai membuat beberapa helai rambutnya jatuh berantakan di dahi. Setelah libur tengah semester berakhir, akhirnya hari ini ia akan kembali bersekolah. Lelaki tampan itu berjalan menuju lemari, membuka pintu, dan mengambil seragam sekolah yang sudah rapi tergantung di sana. Saat mulai mengenakannya, Hero memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Tubuh tegapnya terlihat semakin berwibawa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tinggi dan wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, serta sepasang mata tajam yang seakan memiliki daya tarik tersendiri, sampai membuatnya digilai oleh banyak siswi di sekolah. Setelah rapi mengenakan seragamnya, Hero mengambil botol parfum dari meja, lalu menyemprotkannya pada tubuh. Aroma maskulin sudah menyeruak menyebar di ruangan tersebut. Sebelum meninggalkan kamar, ia merapikan rambutnya terlebih dulu. Lalu memasang jam tangan di pergelangan tangan kiri dan

    Last Updated : 2024-11-08
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 8 : Peduli

    Seharian sudah, Veline menghabiskan waktu di dalam kamar. Namun, rasa bosan perlahan mulai menghampiri. Setelah melihat gelas air minumnya kosong, ia memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil air. Kondisinya memang sudah jauh lebih baik, terutama berkat perhatian Amanda yang tak pernah lelah merawatnya. Wanita itu selalu memastikan Veline mendapatkan makanan bergizi dan buah-buahan segar sepanjang hari. Amanda memperlakukannya seperti putri kandung sendiri, sampai membuat Veline merasa nyaman. Kehangatan itu menghadirkan kembali sosok ibu yang selama ini ia rindukan dalam diri Amanda. Namun bukan hanya Amanda, Dimas, juga selalu baik padanya. Veline merasa sangat beruntung, karena Tuhan mempertemukannya dengan orang-orang yang tulus dan begitu peduli. Sesampainya di dapur, Veline melihat Amanda sedang menyiapkan makan malam bersama Bi Ranti. "Malam, Tante, Bi Ranti," sapa Veline kepada dua wanita yang sedang sibuk di dapur. Amanda menoleh ke arah Veline yang ada di belakang

    Last Updated : 2024-11-08
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 9 : Hukuman

    Bunyi alarm terus menggema di dalam kamar seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya. Tangan Veline terulur, mencari alarm di atas nakas. Namun, alih-alih bangun, ia hanya mematikan dan melemparnya ke sembarang arah, lalu tidur kembali. Kebiasaan Veline memang seperti itu. Namun ketika matahari mulai naik dan sinarnya menyilaukan wajah Veline, matanya pun mengerjap pelan. Setelah sedikit sadar, ia langsung terbangun. Ia mengambil jam alarm yang tergeletak di samping tempat tidur dan matanya terbelalak ketika melihat jarum pendek jam sudah menunjukkan angka tujuh. "Ya ampun! Gue telat!" serunya panik. Veline langsung menuju kamar mandi. Ia memutuskan untuk tidak mandi—itu akan memakan waktu lama, apalagi ia suka berlama-lama saat mandi. Gadis yang masih mengenakan piyama itu pun memilih hanya untuk menggosok gigi dan membasuh muka saja. Selesai membersihkan wajahnya, Veline berlari ke kamar sambil mengeringkan wajah dengan handuk. Dengan terburu-buru, ia mengambil seragam p

    Last Updated : 2024-11-09
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 10 : Berbagi Bakteri

    "Ish, lo senang banget sih narik-narik tas gue?" gerutu Veline kesal, sambil menepis tangan kekar Hero yang mencengkeram tasnya kuat. Hero hanya menghela napas panjang, tatapannya begitu dingin saat melihat gadis itu. "Sebelum lo bersihin toilet, lo hapus dulu make up lo!" ujarnya datar, sambil menatap Veline dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan gadis itu memang selalu mencolok, dan hal itu membuat darah Hero berdesir, bukan karena terpesona, tapi kesal. Wajah Veline penuh dengan riasan tebal, alisnya dibentuk tajam, lipstiknya merah menyala. Bukannya terlihat seperti siswi SMA pada umumnya, Veline lebih mirip seperti akan pergi ke pesta malam. Namun, bukan hanya itu yang mengganggu Hero. Seragam sekolah Veline, yang seharusnya longgar dan rapi, justru begitu ketat, sampai menonjolkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Rok yang semestinya selutut, dipendekkan hingga di atas paha, melihat itu membuat Hero semakin frustrasi. "Hah? Maksud lo apa?" Veline memandang Hero bi

    Last Updated : 2024-11-09

Latest chapter

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 131 : Nama Baby

    Di ruang keluarga yang hangat, Veline dan Hero duduk berdua di sofa, menikmati waktu bersama. Suara televisi yang menayangkan kartun mengisi keheningan, sesekali terdengar suara tawa dari karakter animasi di layar. Namun, perhatian Hero sepenuhnya tertuju pada Veline yang bersandar di bahunya, tangannya perlahan membelai lembut perut Veline yang masih datar. Veline tersenyum kecil, meski matanya tetap menatap layar. Sentuhan Hero di perutnya terasa menenangkan, seolah memberikan kehangatan yang tidak bisa ia jelaskan. "Sayang," ujar Veline pelan. "Hm?" Hero menjawab dengan gumaman, tanpa mengalihkan pandangannya dari perut Veline. Jari-jarinya masih bergerak perlahan, seperti sedang berkomunikasi dengan makhluk kecil yang mungkin ada di sana. "Kira-kira, kalau nanti anak kita lahir, namanya siapa ya?" tanya Veline sambil tersenyum, ada sedikit rona di pipinya. "Hmm, nama, ya? Kalau laki-laki, bagaimana kalau ... Vero?" usul Hero, matanya bersinar sedikit bangga. "Vero?"

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 130 : Keputusan Hero

    Hero tiba di rumah sembari mambawa surat beasiswa yang ia terima dari Pak Agus. Ketika sampai di depan pintu kamar, ia mengetuk pintu dengan pelan. Lalu, dengan hati-hati ia membuka pintu, dan menyembunyikan surat tersebut di belakang tubuhnya. Veline yang sedang duduk di ranjang, ia melamun sambil menatap test pack yang baru saja ia pakai, terkejut mendengar pintu terbuka. Refleks, ia segera menyembunyikan test pack itu di belakang tubuhnya begitu melihat Hero masuk ke dalam kamar. "Sayang, aku ingin bicara," ujar Hero, suaranya terdengar sedikit ragu. "Aku juga ingin bicara," jawab Veline. "Ya sudah, kamu duluan saja," kata Hero sambil mendekatkan diri ke meja. "Tidak, kamu dulu saja." Hero menghela napas panjang, merasa sedikit cemas. Ia akhirnya mengeluarkan surat beasiswa yang ia sembunyikan dan menaruhnya di meja depan Veline. "Ini surat penerimaan beasiswa ke luar negeri," ucapnya pelan. Veline membeku seketika mendengar kalimat itu, dan pandangannya beralih d

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 129 : Beasiswa

    Hero mengetuk pintu ruangan Pak Agus dengan ragu. Suara berat pria paruh baya itu terdengar dari dalam. "Masuk." Hero membuka pintu dan melangkah masuk. Di meja, Pak Agus sedang sibuk dengan berkas-berkas, tetapi ia langsung menatap Hero dan tersenyum lebar. "Hero, akhirnya kamu datang," ujar Pak Agus sembari menyodorkan tangan untuk berjabat. "Maaf, Pak, tadi saya sedikit terlambat," jawab Hero sambil mengambil kursi di depan meja. Pak Agus menggeleng. "Nggak masalah. Bapak sengaja memanggil kamu ke sini karena ada kabar penting." Ia mengambil sebuah amplop dari meja dan menyodorkannya kepada Hero. "Ini, baca baik-baik." Hero mengambil amplop itu dengan sedikit bingung. "Apa ini, Pak?" tanyanya sambil membuka amplop tersebut. Matanya membesar saat membaca isi suratnya. "Beasiswa ke luar negeri?" gumam Hero. Pak Agus mengangguk dengan bangga. "Kamu diterima untuk program beasiswa di salah satu universitas terbaik di Inggris. Ini kesempatan besar, Hero. Jarang-jar

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 128 : Kejahilan Hero

    Veline berlari memasuki kamar mandi, sembari melepas bathrobe putih yang membungkus tubuhnya. Aroma manis bunga sakura dari bath bomb yang telah ia memasukkan sebelumnya sudah memenuhi ruangan yang sedikit berkabut karena uap air panas. Tubuhnya yang jenjang dan mulus tampak berkilauan di bawah cahaya lampu yang temaram. Dengan perlahan, ia masuk ke dalam bathtub, membiarkan air hangat yang berbusa menyelimuti kulitnya. Sesaat kemudian, ia menyandarkan kepala ke pinggiran bathtub, menutup mata sejenak sambil menikmati suasana yang menenangkan. Ujung jari-jarinya yang lentik, dengan kuku bercat merah tua, menyentuh kulit kakinya yang terendam. Busa putih yang mengapung di atas air menutupi sebagian tubuhnya. Ia menggerakkan tangannya perlahan, menikmati sensasi air hangat yang membelai kulitnya. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Pintu kamar mandi perlahan terbuka, memperlihatkan sosok Hero yang mengenakan bathrobe putih serupa dengan miliknya. Lelaki itu

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 127 : Begitu Rendah

    "Leona!" Veline berteriak lantang begitu melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Tepat di atas ranjang, ia melihat Leona tengah memeluk Hero. Gaun Leona sedikit terbuka, sampai memperlihatkan bahu mulusnya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Sementara Hero terlihat lemah, beberapa kancing kemejanya juga telah terbuka. Pemandangan itu seperti petir yang menyambar hati Veline. Dadanya terasa sesak, matanya memanas, tapi bukan air mata yang keluar, melainkan api kemarahan yang berkobar. Bukan hanya Veline yang terkejut. Orang-orang yang sedari tadi mengikuti Veline pun tercengang. Mereka berdiri di ambang pintu, memandang tak percaya pada apa yang tengah terjadi di depan mata mereka. Tanpa banyak bicara, Veline melangkah masuk ke kamar. Kemarahannya terlihat jelas dari setiap sudut wajahnya. Dengan cepat, ia meraih tangan Leona dan menyeretnya turun dari ranjang. "Dasar jalang?!" teriak Veline. Tangannya melayang di udara, dan mendarat di pipi mulus Leona.

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 126 : Keberadaan Hero

    Kepala Hero terasa berat. Keringat mengucur di dahinya, tubuhnya seperti terbakar. Ia mencoba memfokuskan pandangannya pada wanita di hadapannya, tetapi semuanya terasa buram. "Sayang ... kamu mau bawa aku ke mana?" tanyanya dengan suara lemah. Leona tersenyum tipis, menahan dirinya untuk tidak memperlihatkan rasa puas yang begitu besar. Ia menopang tubuh Hero yang sempoyongan. "Kamu harus istirahat. Aku akan membawamu ke suatu tempat supaya kamu bisa merasa lebih baik." Langkah mereka berhenti di depan sebuah ruangan hotel. Leona mengeluarkan kunci dan membukanya dengan cepat. Saat pintu terbuka, ia memapah tubuh Hero ke dalam. Dengan susah payah, menuntun pria itu ke ranjang besar yang ada di tengah ruangan, lalu membaringkannya perlahan. Hero mengerang pelan, tubuhnya terasa seperti terbakar. "Kenapa di sini panas sekali …?" gumamnya sambil mengibaskan tangannya yang lemah, mencoba mengusir hawa panas yang seakan mencekik napasnya. Tubuh lelaki itu semakin tak berdaya,

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 125 : Kepergian Hero

    Hero tengah duduk bersandar di kursi, satu lengan terlipat di sandaran, sementara tangan lainnya menggenggam gelas air mineral di atas meja. Sementara kedua sahabatnya, Raka dan Noval tengah membahas soal rencana masa depan mereka selepas kelulusan. Saat itu juga, pandangan Raka teralihkan, ia melihat Hero yang tampak terdiam. "Ro, lo kok diem aja? Lagi ngelamunin siapa, tuh?" godanya. "Jangan-jangan ... dia lagi mikirin Veline yang habis berdansa sama Arnold," sela Noval, ia tertawa sambil menunjuk ke arah Veline yang terlihat sibuk berbincang dengan teman-temannya. "Lo berdua ini rese banget." Hero mengangkat gelasnya dari meja. "Udah, toast aja." Raka dan Noval mengangkat gelas juga, dan mereka pun bersulang. "Untuk kelulusan kita," seru Noval. Bunyi dentingan gelas terdengar, diiringi tawa mereka. Hero menyesap air yang ada di gelas hingga tandas. Namun, begitu cairan itu masuk ke dalam tenggorokannya, ia merasakan sesuatu yang aneh. Rasanya tidak seperti air. Ada

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 124 : Makanan Terlezat

    Veline menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak emosi yang hampir meledak di dalam dirinya. Wajah Arnold yang ada tepat di depannya sudah cukup memicu kemarahannya saat ini. Namun, pemandangan Leona dan Hero yang berdansa di bawah sana seperti menambahkan bahan bakar ke api yang sedang berkobar di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggigit bibir bawahnya untuk menahan diri agar tidak melakukan sesuatu yang akan mempermalukan dirinya di depan umum. "Kita turun aja yuk," ujar Veline, suaranya terdengar lebih tenang dari biasanya. "Dansa bareng sama yang lain." Merasa heran dengan sikap Veline yang tiba-tiba manis, Arnold hanya mengangkat sebelah alisnya. "Boleh juga." Tanpa banyak bicara, Veline mulai melangkah turun dari panggung, diikuti oleh Arnold yang setia di belakangnya. Veline memasuki kerumunan, matanya tanpa sadar kembali tertuju pada Hero dan Leona yang berdansa tak jauh dari tempatnya berdiri. Leona tampak begitu santai, tangannya melingkar di leher Hero,

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 123 : Lantai Dansa

    Tepat ketika Veline melangkahkan kaki ke atas panggung, langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya membelalak saat melihat seseorang yang berjalan dari sisi lain panggung. Sosok itu tampak begitu percaya diri, mengenakan pakaian rapi yang membuatnya sulit untuk tidak diperhatikan. Veline tanpa sadar memperhatikan lelaki itu dari ujung sepatu pantofelnya yang hitam mengkilap. Celana panjang kain hitam yang dikenakan tampak disetrika dengan sempurna. Pandangannya naik ke atas, melihat kemeja putih berlengan panjang yang terpasang rapi. Rambut hitam lelaki itu sedikit berantakan, tetapi justru menambah kesan kasual yang memikat. Dan di sanalah Arnold—mantan kekasihnya, berdiri dengan senyuman yang membuat darah Veline mendidih. 'Kenapa harus dia, sih?' gerutu Veline dalam hati. Ia menahan napas, mencoba menenangkan diri, tetapi rasa kesal sudah menyeruak. Bagaimana mungkin undian ini mempertemukannya dengan seseorang yang paling ingin ia hindari? Arnold menatapnya dengan santai. Se

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status