Share

Bab 5 : Kembalilah

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-02 15:02:27

"Om nggak perlu memilih apa pun, karena Veline yang akan pergi." Veline yang melihat kebingungan di wajah Dimas, hanya membuat dadanya terasa semakin sesak. Ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah tersebut.

Dimas menarik napas panjang, menatap sedih ke arah gadis yang ada di hadapannya. "Veline ...."

"Terima kasih, Om, Tante, kalian sudah baik sama Veline."

Veline lantas berbalik, sambil menyeret koper. Air mata yang telah ia tahan sedari tadi mulai jatuh lagi saat sudah berada di ambang pintu.

"Veline, kamu mau pergi ke mana, Sayang? Ini sudah malam, di luar juga sedang hujan deras!" Amanda berteriak, ia terlihat cemas melihat Veline yang pergi begitu saja, apalagi di luar sedang hujan deras.

Namun, Veline tak menjawab, ia tetap melangkah tanpa menoleh ke belakang. Ia merasa tak ada tempat baginya di sini. Jadi, lebih baik ia pergi saja.

Dimas berbalik menatap Hero dengan rahang yang sudah mengeras, matanya juga sudah menyala merah. "Kamu benar-benar keterlaluan, Hero! Apa kamu nggak punya hati sedikit pun? Kamu tahu ayahnya Veline baru saja meninggal, tapi kamu malah mengusirnya seperti ini!" Dimas mengumpat, sambil menatap putranya dengan amarah yang membara. "Sekarang, susul Veline dan bawa dia kembali! Kalau tidak, papa akan menghapus nama kamu dari keluarga ini!"

Melihat suaminya yang semakin kalap, Amanda dengan cepat menenangkan Dimas, sambil mengusap punggung suaminya. "Sabar, Mas, tenang ... jangan emosi."

"Bagaimana aku bisa sabar kalau punya anak yang tidak punya hati seperti dia!" hardik Dimas, sambil menatap nyalang ke arah Hero.

Amanda beralih pada Hero. "Hero, Sayang, tolong susul Veline, ya? Dia wanita loh, nggak baik kalau pergi sendirian di malam hari, apalagi di luar sedang hujan."

Hero hanya mematung, rahangnya mengeras, napasnya sudah memburu karena emosi. Setelah mendengar ultimatum dari ayahnya, hatinya terasa sedikit terusik. Meski ada perasaan iba, ego yang tinggi tetap menahannya agar tak pergi.

Lelaki itu menghela napas panjang, setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia mengalah. Hero gegas keluar, memasuki mobil, lalu menyalakan mesin. Hero memegang erat setir, memandang kosong ke depan sambil mengingat wajah Veline yang terluka.

"Sial!"

Sepanjang perjalanan, Hero melirik ke segala arah, matanya mencari-cari sosok gadis yang sudah ia sakiti beberapa waktu lalu. Berulang kali ia memukul setir dan mencaci dirinya sendiri.

Hati Hero berdegup kencang saat dari kejauhan ia melihat sosok yang berdiri di tepi jalan. Bajunya sudah basah kuyup, tubuhnya gemetar, dan wajahnya tertunduk lemah. Tanpa pikir panjang, Hero menambah kecepatan laju mobilnya, ketika sudah di dekat Veline, ia menginjak pedal rem, sampai mobil berhenti tepat di depan gadis itu.

Lelaki tampan yang hanya mengenakan kaos oblong berwarna hitam itu lekas membuka pintu dan keluar, membiarkan hujan deras menerpa tubuhnya. Dinginnya angin malam ini, sampai menembus hingga ulu hati, tapi Hero tak memperdulikan itu.

"Ayo pulang." Dua kata itu yang pertama kali keluar dari mulut Hero saat berada di hadapan Veline.

Veline mengangkat wajahnya, menatap Hero dengan nanar. "Apa lo udah pikun? Beberapa waktu lalu, lo yang nyuruh gue pergi. Sekarang lo nyuruh gue pulang."

Hero menghela napas panjang sambil menatap wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu adalah sosok yang selalu berhasil membuat hari-harinya kesal, wanita yang tak pernah patuh pada aturan, selalu membuat masalah di sekolah. Seringkali, Veline bolos tanpa alasan yang jelas, terlibat dalam keributan dengan siswa lain, dan tak jarang menentang perintah Hero.

Namun, sekarang, Veline yang ada di hadapannya terlihat jauh berbeda. Wanita yang biasanya berapi-api dan sering kali melawannya kini tampak rapuh. Tidak ada lagi tatapan berani atau sikap acuh yang biasa ia tunjukkan. Untuk pertama kalinya, Hero melihat Veline dalam keadaan yang begitu rentan.

Hero mendekat, menatap Veline dengan pandangan yang lebih lembut meskipun masih tertahan oleh egonya. "Gue nggak suka lo di sini sendirian. Gue tahu lo keras kepala, tapi ini udah terlalu bahaya. Gue ... gue cuma nggak mau terjadi apa-apa sama lo."

Veline terkejut mendengar nada berbeda dari Hero. Masih terasa kemarahan dalam dirinya karena ucapan Hero sebelumnya, tapi ada sesuatu yang janggal dari tatapan lelaki itu sekarang, seolah ada sisi lain yang tersembunyi di balik dinginnya lelaki itu.

"Lo tahu, gak? Perkataan lo tuh udah nyakitin gue. Gue emang cewek nakal, tapi senakal-nakalnya gue. Gue gak mungkin jadi simpanan om-om, apalagi bokap lo yang udah baik banget sama gue."

Veline terisak di tengah derasnya hujan yang turun tanpa ampun. Malam ini begitu terasa dingin, tapi ia tak peduli meski tubuhnya sendiri sudah menggigil.

"Gue tahu, perkataan gue tadi memang keterlaluan. Gue gak bisa ngontrol emosi gue. Gue—"

"Lo gak tahu apa pun." Veline menyela perkataan Hero. "Lo gak tahu perasaan gue. Lo gak tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tua. Bagaimana rasanya tidak punya tempat tinggal. Lo gak tahu apa-apa, Hero."

Bibir Veline bergetar, matanya berkaca-kaca, ia berusaha mencoba menahan air mata agar tak jatuh lagi, tapi berulang kali ia menahannya, air mata itu terus saja jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Rasa sakit dan kesepian yang selama ini ia pendam kini tak lagi bisa ditahan. Tubuhnya sedikit membungkuk, seolah menahan beban yang terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.

Hero terdiam melihat Veline dengan tatapan yang tak lagi dengan perasaan benci, seolah kata-kata gadis itu menggugurkan sebagian besar egonya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini? Bagaimana caranya agar ia bisa menenangkan Veline? Sementara selama ini mereka tak pernah akur.

Setelah beberapa saat hening, Hero akhirnya berkata, "Maaf."

Veline mendongak, wajah sembabnya menatap Hero dengan sorot tak percaya. Seumur hidupnya mengenal Hero, baru kali ini ia mendengar kata 'maaf' dari lelaki itu. Apa ia tidak salah dengar? Apa itu benar-benar kata yang keluar dari mulut Hero? Atau karena suara hujan deras yang membuatnya salah menangkap?

"Apa?"

Hero menarik napas dalam, suaranya lebih lembut meski masih canggung. "Gue bilang ... maaf."

Veline merasa aneh dengan sikap lelaki itu, selalu berubah-ubah tak menentu. Kadang bersikap seperti malaikat, kadang juga bersikap seperti iblis.

"Gue terima maaf lo, tapi itu nggak akan mengubah keputusan gue. Gue tetap nggak akan pulang." Veline menarik koper dan melangkah menjauh dari Hero.

Namun, saat Veline berjalan ke arah samping mobil, ia semakin ke tengah jalan yang dipadati lalu lintas. Kilatan cahaya dari sebuah mobil yang melaju kencang mendadak menyilaukan pandangan.

Pandangan Veline menjadi kabur, ia tak bisa melihat apa-apa lagi, sampai ia tak sadar bila tubuhnya terjatuh ke aspal yang keras.

"Veline!" Hero berteriak lantang ketika melihat Veline terjatuh dan sudah tak sadarkan diri.

Bab terkait

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 6 : Takut Suntikan

    Hero berteriak lantang ketika melihat Veline yang tiba-tiba terjatuh. "Veline ...." Dengan keadaan panik, Hero lantas berlari menghampiri gadis itu yang sudah tak sadarkan diri. Lelaki tampan itu langsung berjongkok dengan lutut ditekuk. Tangan kekarnya langsung meraih kepala Veline dan menepuk wajahnya dengan pelan. "Veline, bangun!" Sudah beberapa kali Hero menepuk wajah gadis itu. Namun, sepertinya Veline tak kunjung sadar. "Veline sadarlah, ayo bangun!" Karena sudah panik dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, Hero pun lantas langsung mengangkat tubuh Veline, membawanya ke dalam mobil. Setelah pintu mobil ia buka dengan susah payah, akhirnya Veline berhasil ia letakkan di jok mobil paling depan. Hero menutup pintu mobil, lalu segera mengambil koper Veline yang sudah basah oleh hujan. Ia pun menyimpan koper gadis itu di bagasi mobil, setelah itu, Hero memasuki mobil, meski pakaiannya juga basah kuyup dan tubuhnya menggigil kedinginan, tapi ia tak peduli. Yang penting seka

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 7 : Harus Patuh

    Hero keluar dari kamar mandi, sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk, sampai membuat beberapa helai rambutnya jatuh berantakan di dahi. Setelah libur tengah semester berakhir, akhirnya hari ini ia akan kembali bersekolah. Lelaki tampan itu berjalan menuju lemari, membuka pintu, dan mengambil seragam sekolah yang sudah rapi tergantung di sana. Saat mulai mengenakannya, Hero memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Tubuh tegapnya terlihat semakin berwibawa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tinggi dan wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, serta sepasang mata tajam yang seakan memiliki daya tarik tersendiri, sampai membuatnya digilai oleh banyak siswi di sekolah. Setelah rapi mengenakan seragamnya, Hero mengambil botol parfum dari meja, lalu menyemprotkannya pada tubuh. Aroma maskulin sudah menyeruak menyebar di ruangan tersebut. Sebelum meninggalkan kamar, ia merapikan rambutnya terlebih dulu. Lalu memasang jam tangan di pergelangan tangan kiri dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 8 : Peduli

    Seharian sudah, Veline menghabiskan waktu di dalam kamar. Namun, rasa bosan perlahan mulai menghampiri. Setelah melihat gelas air minumnya kosong, ia memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil air. Kondisinya memang sudah jauh lebih baik, terutama berkat perhatian Amanda yang tak pernah lelah merawatnya. Wanita itu selalu memastikan Veline mendapatkan makanan bergizi dan buah-buahan segar sepanjang hari. Amanda memperlakukannya seperti putri kandung sendiri, sampai membuat Veline merasa nyaman. Kehangatan itu menghadirkan kembali sosok ibu yang selama ini ia rindukan dalam diri Amanda. Namun bukan hanya Amanda, Dimas, juga selalu baik padanya. Veline merasa sangat beruntung, karena Tuhan mempertemukannya dengan orang-orang yang tulus dan begitu peduli. Sesampainya di dapur, Veline melihat Amanda sedang menyiapkan makan malam bersama Bi Ranti. "Malam, Tante, Bi Ranti," sapa Veline kepada dua wanita yang sedang sibuk di dapur. Amanda menoleh ke arah Veline yang ada di belakang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 9 : Hukuman

    Bunyi alarm terus menggema di dalam kamar seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya. Tangan Veline terulur, mencari alarm di atas nakas. Namun, alih-alih bangun, ia hanya mematikan dan melemparnya ke sembarang arah, lalu tidur kembali. Kebiasaan Veline memang seperti itu. Namun ketika matahari mulai naik dan sinarnya menyilaukan wajah Veline, matanya pun mengerjap pelan. Setelah sedikit sadar, ia langsung terbangun. Ia mengambil jam alarm yang tergeletak di samping tempat tidur dan matanya terbelalak ketika melihat jarum pendek jam sudah menunjukkan angka tujuh. "Ya ampun! Gue telat!" serunya panik. Veline langsung menuju kamar mandi. Ia memutuskan untuk tidak mandi—itu akan memakan waktu lama, apalagi ia suka berlama-lama saat mandi. Gadis yang masih mengenakan piyama itu pun memilih hanya untuk menggosok gigi dan membasuh muka saja. Selesai membersihkan wajahnya, Veline berlari ke kamar sambil mengeringkan wajah dengan handuk. Dengan terburu-buru, ia mengambil seragam p

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-09
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 10 : Berbagi Bakteri

    "Ish, lo senang banget sih narik-narik tas gue?" gerutu Veline kesal, sambil menepis tangan kekar Hero yang mencengkeram tasnya kuat. Hero hanya menghela napas panjang, tatapannya begitu dingin saat melihat gadis itu. "Sebelum lo bersihin toilet, lo hapus dulu make up lo!" ujarnya datar, sambil menatap Veline dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan gadis itu memang selalu mencolok, dan hal itu membuat darah Hero berdesir, bukan karena terpesona, tapi kesal. Wajah Veline penuh dengan riasan tebal, alisnya dibentuk tajam, lipstiknya merah menyala. Bukannya terlihat seperti siswi SMA pada umumnya, Veline lebih mirip seperti akan pergi ke pesta malam. Namun, bukan hanya itu yang mengganggu Hero. Seragam sekolah Veline, yang seharusnya longgar dan rapi, justru begitu ketat, sampai menonjolkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Rok yang semestinya selutut, dipendekkan hingga di atas paha, melihat itu membuat Hero semakin frustrasi. "Hah? Maksud lo apa?" Veline memandang Hero bi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-09
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 11 : Cewek Gila

    "Lo napa diem, Ro? Lo lihat cegil di mana?" tanya Noval sambil mengangkat alis, ketika melihat Hero yang sedari tadi hanya diam melamun. "Atau jangan-jangan, cewek gila yang biasa lewat depan sekolah?" timpal Raka sambil cekikikan. "Njir, mana iya lagi, kemarin gue lihat dia nggak pakai baju, mana itunya udah turun banget." Noval berkata dengan serius, tapi malah membuat Raka mengernyit. "Apanya yang turun, bego?" Raka langsung menimpuk kepala Noval dengan buku yang ada di tangannya. "Dua gunungnya, anjir!" Noval mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat ditimpuk Raka. Raka malah ngakak mendengar itu, sementara Adrian dan Hero malah bengong. "Jangan-jangan lo lihatin tuh cegil sampe ngences, iya, kan?" tanya Raka sampai terkikik geli. "Mana ada, anjir! Gue lihat aja gak ada napsu-napsunya," sahut Noval sambil mendengkus. Adrian sedari tadi hanya mengerutkan kening. Dia memang sudah terbiasa dengan percakapan absurd Noval dan Raka, tapi kali ini perhatiannya tertuju pad

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 12 : Gara-Gara Seragam Basah

    Tangan Hero mengepal kuat di sisi tubuhnya, tatkala melihat pemandangan yang membuatnya merasa geram. Entah apa yang dilakukan dua orang tersebut di dalam toilet, yang jelas Hero tak suka melihatnya. "Sedang apa kalian?" Kedua orang yang ada di dalam toilet langsung menatap ke arah pintu, di mana mereka melihat Hero yang berdiri dengan tegak. "He-Hero …," gumam Freya. Tangan Veline yang sedang menarik rambut Freya pun langsung terlepas, sementara itu Freya langsung berlari ke arah Hero. "Hero, tolong! Rambut gue dijambak sama Veline," adunya sambil merengek "Kenapa lo jambak rambut Freya?" Hero bertanya sambil menatap ke arah Veline yang hanya diam mematung. Veline terdiam sejenak, mengatur napasnya yang masih memburu. Sementara itu, Freya memeluk lengan Hero untuk mencari perlindungan. Pertengkaran antara Veline dan Freya bukanlah hal baru. Keduanya sudah sering berselisih paham di sekolah, dari masalah kecil hingga pertengkaran besar. "Gue nggak bakal lakuin itu k

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 13 : Permintaan Dimas

    Hero menatap wajah Veline dengan nanar. Dalam benaknya, gadis itu benar-benar sudah kehilangan akal. Bisa-bisanya dia meminta sesuatu yang begitu absurd, dan di sekolah pula. Hero merasa kesabarannya diuji habis-habisan. "Lo udah bener-bener gila ya, Vel? Bisa-bisanya lo nyuruh gue buat beliin begituan." "Gilaan mana gue sama lo," balas Veline santai. "Lo udah tahu seragam gue basah kuyup. Baju dalam gue juga basah. Kenapa lo nggak sekalian beliin?" Hero mendengkus pelan. Wanita itu memang selalu punya cara untuk membuat darahnya mendidih. Ucapannya, tindakannya, semuanya terasa seperti ujian kesabaran yang tak ada habisnya. Alih-alih melanjutkan perdebatan yang tak akan berujung, Hero hanya berdecak kesal. Ia lantas berdiri dari kursinya dengan cepat. "Lo mau ke mana? Hero!" teriak Veline, suaranya menggema di seluruh kelas. Sontak, perhatian para siswa beralih ke arah mereka. Tatapan rasa ingin tahu terpancang pada Veline, sampai membuat gadis itu sedikit jengah. "Ngapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11

Bab terbaru

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 107 : Keputusan Veline

    "Apa? Lo bilang apa barusan?!" Serpihan beling yang ada di tangannya semakin erat Leona genggam, hingga darah mengalir lebih deras dari pergelangan tangannya. "Ngebesar-besarin masalah, gue?" Leona menatap Veline nanar. "Lo pikir gue ngebesar-besarin masalah? Vel, lo bahkan gak tahu apa yang gue rasain selama ini! Lo tahu berapa lama gue bertahan nunggu Hero? Sepuluh tahun, Vel! Sepuluh tahun gue pendam perasaan gue ke dia!" Veline menelan ludah, hatinya mencelos mendengar pernyataan itu, tapi ia segera menegarkan diri. "Gue ngerti, Leona. Tapi rasa suka lo itu gak pernah jadi alasan buat lo ngerebut Hero dari gue! Hero sekarang suami gue, dan gue gak akan pernah melepaskan dia, apa pun yang lo lakuin!" "Lo gak ngerti, Vel! Kalau lo ngerti, lo gak akan ngomong kayak gitu!" Napas Leona tersengal, matanya menatap lurus ke arah Veline dengan pandangan yang sulit diartikan. "Hero itu segalanya buat gue!" lanjut Leona. "Dia adalah alasan gue terus bertahan selama ini. Lo gak tah

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 106 : Keteguhan Veline

    Tepat saat pintu terbuka, mata Leona membulat sempurna. Tubuhnya menegang ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Alih-alih Hero yang sedang ia tunggu sedari tadi, tapi nyatanya bukan. Leona menggenggam ujung bajunya erat-erat, tanpa sadar kuku-kukunya yang panjang menancap ke kulit tangannya sendiri hingga buku-buku jarinya memutih. Tatapan matanya yang semula teduh kini berubah menjadi dingin, bahkan ada rasa kecewa dan juga benci. "Ngapain lo ke sini?" Ia bertanya dengan dingin, suaranya sedikit bergetar menahan emosi. Bukannya menjawab, orang yang ada di depannya hanya tersenyum smirk. Sebuah senyum yang membuat darah Leona berdesir. "Gue cuma ingin mengunjungi rumah sahabat gue," ujar Veline dengan santai, tapi tatapan matanya begitu tajam seperti seekor serigala yang hendak memangsa mangsanya. Saat melihat notifikasi di ponsel Hero beberapa waktu lalu, Veline sempat tertegun ketika melihat pesan itu dari Leona. Karena penasaran, ia pun langsung melihat p

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 105 : Tempat Peristirahatan

    Langit berwarna kelabu menggantung di atas sana. Angin sepoi-sepoi menerpa pepohonan, sampai membuat daun-daun berguguran, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi bunga tabur. Di bawah sebuah pohon rindang, Veline berdiri di depan makam ayahnya, dengan seikat bunga mawar putih. Perlahan, Veline berlutut, meletakkan bunga di atas gundukan tanah yang telah lama menjadi tempat peristirahatan terakhir ayahnya. Tangannya gemetar saat ia merapikan bunga-bunga itu agar terlihat rapi. Di sisi lain, Hero sedang membersihkan makam ibunda Veline. Tangannya cekatan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar batu nisan, lalu ia menaburkan bunga-bunga di atasnya. Setelah semuanya selesai, Veline menyeka peluh di dahinya. Ia memandang batu nisan ayahnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—ada kerinduan, kesedihan, dan harapan yang bercampur menjadi satu. Tangannya terulur, menyentuh permukaan dingin batu nisan itu. Jari-jarinya menelusuri nama ayahnya yang terukir di

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 104 : Ujian Akhir

    Beberapa bulan telah berlalu, dan seluruh siswa kelas 12 akhirnya menyelesaikan ujian nasional mereka. Hari-hari panjang yang penuh tekanan, belajar hingga larut malam, dan berlatih soal demi soal kini telah usai. Namun, meskipun perjuangan mereka di ruang ujian sudah selesai, perjalanan mereka masih belum berakhir di sini. Bagi sebagian siswa, ini adalah awal dari babak baru untuk mengejar mimpi mereka, baik itu melanjutkan pendidikan ke universitas impian, mengikuti pelatihan kejuruan, atau bahkan memulai karier lebih awal. Sementara itu, ada juga yang masih bimbang dengan arah yang akan mereka ambil setelah ini. Sekolah yang biasanya dipenuhi suara riuh kini terasa lebih sunyi. Ruang-ruang kelas tampak lengang, meja dan kursi tertata rapi seperti menanti penghuninya kembali. Sementara seorang lelaki tengah berjalan sendirian menuju kantin, langkahnya terus diiringi dengan berbagai hal dalam benaknya. Ujian yang baru saja selesai terasa seperti beban berat yang terangkat. N

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 103 : Bekas Gudang

    "Anjir! Mata gue ternodai," seru Noval kaget. Sontak Veline dan Hero saling menjauh karena kaget juga. Veline langsung terduduk di sofa, wajahnya merah padam karena malu. Sementara Hero masih terlihat santai, kini ia pun duduk di samping Veline dengan wajah masam. "Lo semua gak bisa ketuk pintu dulu apa?" ujar Hero kesal. "Lah, buat apa, anjir? Biasanya juga kita langsung masuk," kilah Noval. Sementara Raka hanya menaruh kantong kresek ke atas meja. "Itu apa?" tanya Veline, sambil menunjuk ke kantong kresek tersebut. "Nasi Padang," jawab Raka, yang langsung membongkar isi di dalam kresek itu. "Cuma beli dua doang?" "Enggak kok, beli banyak." Tangan Raka masih sibuk mengeluarkan bungkus makanan itu satu per satu. "Oh." Raka meluruskan tubuhnya dulu sebelum berkata, "Gue ambil piring dulu." Ia lalu berjalan ke arah dapur. "Ikut, deh." Noval buru-buru mengekor di belakang Raka. "Gue gak mau jadi obat nyamuk di sini." Sebelum pergi, ia menepuk pelan bahu The

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 102 : Cinta Tak Terbalas

    Dua pria itu kini sudah berdara di balkon yang ada di basecamp, Hero berdiri sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket, pandangannya terpaku pada langit malam yang gelap. Sementara itu, Adrian bersandar pada pagar balkon, matanya menatap kendaraan yang masih ramai berlalu lalang di jalanan yang ada di bawah mereka. "Jadi ... Leona udah tahu dari dulu tentang pernikahan gue sama Veline?" Hero menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada gedung-gedung tinggi di kejauhan. Ketika Adrian memberitahu Hero bahwa Leona sebenarnya sudah mengetahui tentang pernikahannya dengan Veline sudah lama, Hero pun merasa kaget. Pasalnya, selama ini sikap Leona seakan biasa-biasa saja. Adrian juga menjelaskan bahwa waktu itu, Leona mengetahui pernikahan mereka tepat ketika mendengar pertengkaran Hero dan Veline di dalam kelas. Dari pertengkaran itu, Leona mendengar semua hal yang diucapkan oleh mereka. Meskipun Leona sudah mengetahui segalanya, ia berpura-pura tidak tahu dan be

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 101 : Berhenti Berharap

    Langit malam ini begitu gelap. Namun, gelapnya malam ini terlihat begitu indah saat berbagai bintang menghiasi langit. Gedung-gedung tinggi berdiri megah, dikelilingi lampu-lampu yang berkelip seperti berlian. Udara malam ini memang begitu dingin, tapi dinginnya tak mampu membuat dua insan yang berdiri di atas jembatan tak urung pergi. Hanya sebuah pagar jembatan yang kini mampu menopang tubuh Leona, ia bersandar di sana, seakan hanya itu yang ia miliki untuk bersandar saat ini. Pemandangan dari atas jembatan terlihat begitu cantik, ia dapat melihat kendaraan yang berlalu lalang di bawah. Sesekali ia menyesap soda dari kaleng yang ada di tangannya. Sementara itu, seorang lelaki tengah berdiri di sampingnya. Ia juga tengah termenung memikirkan sesuatu yang ada dalam benaknya. Adrian menyanggah tubuh, menggenggam pembatas jembatan dengan erat sambil memcoba menghela napas dalam sebelum berkata, "Gue lihat malam ini, lo nggak baik-baik saja." Mendengar perkataan itu, Leon

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 100 : Tahun Baru

    Hero yang sedari tadi duduk diam sambil menatap buku di tangannya, akhirnya berkata, "Kita mau mulai belajar kapan?" "Ah, sekarang aja, Ro. Ngapain nunggu tahun depan, kelamaan," sahut Raka. Tentu saja, hal itu mendapatkan cibiran dari Noval. "Anjir, tahun depan tinggal beberapa jam lagi, pea! Lagian, ngapain sih kita harus belajar di tahun baru? Yang ada, tuh, ya, yang lain pada asyik tahun baruan. Lah, kita? Masa belajar." Adrian yang mendengar ocehan Noval langsung meremas sebuah tisu dan memasukannya ke mulut lelaki itu. "Anjir!" Noval gegas membuang tisu yang ada di mulutnya. "Somplak, lo!" hardiknya kesal, menatap ke arah Adrian dengan tajam. Helaan napas Hero terdengar berat ketika melihat temannya selalu saja bertengkar. "Ya udah, mau mulai dari pelajaran apa dulu?" Raka yang duduk santai dengan tangan disandarkan di belakang kepala, menyahut tanpa terburu-buru. "Yang gampang-gampang dulu aja, Ro. Jangan yang bikin pusing kepala." "Yang gampang gimana maksudnya?"

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 99 : Pasangan Hits

    Napas Veline memburu hebat saat tangan Hero terus bergerak perlahan di pinggangnya. Sentuhan itu begitu lembut, sampai membuat bulu kuduk Veline meremang. Jari-jari kekar Hero dengan mahir menjelajahi sisi tubuhnya, terus bergerak hingga menyentuh ujung kain lingerie yang Veline kenakan. Kain tipis itu sedikit terangkat ketika Hero terus menggesernya ke atas, sampai memperlihatkan paha mulus Veline yang begitu indah di pandang. Bibir Hero tidak tinggal diam. Ia membiarkan bibirnya menelusuri leher Veline. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi lebih intens, sampai meninggalkan bekas kemerahan—jejak kepemilikan yang sengaja ia tinggalkan di sana. Napas Veline tercekat, dadanya naik turun seiring sensasi yang mengalir dari sentuhan Hero. Veline menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan desahan yang hampir lolos. Tangannya melingkar di leher kokoh Hero, sampai tubuh Hero tertarik lebih dekat ke arahnya. Rambut hitam Veline berantakan di atas bantal, dan wajahnya memerah

DMCA.com Protection Status