Share

Bab 5 : Kembalilah

"Om nggak perlu memilih apa pun, karena Veline yang akan pergi." Veline yang melihat kebingungan di wajah Dimas, hanya membuat dadanya terasa semakin sesak. Ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah tersebut.

Dimas menarik napas panjang, menatap sedih ke arah gadis yang ada di hadapannya. "Veline ...."

"Terima kasih, Om, Tante, kalian sudah baik sama Veline."

Veline lantas berbalik, sambil menyeret koper. Air mata yang telah ia tahan sedari tadi mulai jatuh lagi saat sudah berada di ambang pintu.

"Veline, kamu mau pergi ke mana, Sayang? Ini sudah malam, di luar juga sedang hujan deras!" Amanda berteriak, ia terlihat cemas melihat Veline yang pergi begitu saja, apalagi di luar sedang hujan deras.

Namun, Veline tak menjawab, ia tetap melangkah tanpa menoleh ke belakang. Ia merasa tak ada tempat baginya di sini. Jadi, lebih baik ia pergi saja.

Dimas berbalik menatap Hero dengan rahang yang sudah mengeras, matanya juga sudah menyala merah. "Kamu benar-benar keterlaluan, Hero! Apa kamu nggak punya hati sedikit pun? Kamu tahu ayahnya Veline baru saja meninggal, tapi kamu malah mengusirnya seperti ini!" Dimas mengumpat, sambil menatap putranya dengan amarah yang membara. "Sekarang, susul Veline dan bawa dia kembali! Kalau tidak, papa akan menghapus nama kamu dari keluarga ini!"

Melihat suaminya yang semakin kalap, Amanda dengan cepat menenangkan Dimas, sambil mengusap punggung suaminya. "Sabar, Mas, tenang ... jangan emosi."

"Bagaimana aku bisa sabar kalau punya anak yang tidak punya hati seperti dia!" hardik Dimas, sambil menatap nyalang ke arah Hero.

Amanda beralih pada Hero. "Hero, Sayang, tolong susul Veline, ya? Dia wanita loh, nggak baik kalau pergi sendirian di malam hari, apalagi di luar sedang hujan."

Hero hanya mematung, rahangnya mengeras, napasnya sudah memburu karena emosi. Setelah mendengar ultimatum dari ayahnya, hatinya terasa sedikit terusik. Meski ada perasaan iba, ego yang tinggi tetap menahannya agar tak pergi.

Lelaki itu menghela napas panjang, setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia mengalah. Hero gegas keluar, memasuki mobil, lalu menyalakan mesin. Hero memegang erat setir, memandang kosong ke depan sambil mengingat wajah Veline yang terluka.

"Sial!"

Sepanjang perjalanan, Hero melirik ke segala arah, matanya mencari-cari sosok gadis yang sudah ia sakiti beberapa waktu lalu. Berulang kali ia memukul setir dan mencaci dirinya sendiri.

Hati Hero berdegup kencang saat dari kejauhan ia melihat sosok yang berdiri di tepi jalan. Bajunya sudah basah kuyup, tubuhnya gemetar, dan wajahnya tertunduk lemah. Tanpa pikir panjang, Hero menambah kecepatan laju mobilnya, ketika sudah di dekat Veline, ia menginjak pedal rem, sampai mobil berhenti tepat di depan gadis itu.

Lelaki tampan yang hanya mengenakan kaos oblong berwarna hitam itu lekas membuka pintu dan keluar, membiarkan hujan deras menerpa tubuhnya. Dinginnya angin malam ini, sampai menembus hingga ulu hati, tapi Hero tak memperdulikan itu.

"Ayo pulang." Dua kata itu yang pertama kali keluar dari mulut Hero saat berada di hadapan Veline.

Veline mengangkat wajahnya, menatap Hero dengan nanar. "Apa lo udah pikun? Beberapa waktu lalu, lo yang nyuruh gue pergi. Sekarang lo nyuruh gue pulang."

Hero menghela napas panjang sambil menatap wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu adalah sosok yang selalu berhasil membuat hari-harinya kesal, wanita yang tak pernah patuh pada aturan, selalu membuat masalah di sekolah. Seringkali, Veline bolos tanpa alasan yang jelas, terlibat dalam keributan dengan siswa lain, dan tak jarang menentang perintah Hero.

Namun, sekarang, Veline yang ada di hadapannya terlihat jauh berbeda. Wanita yang biasanya berapi-api dan sering kali melawannya kini tampak rapuh. Tidak ada lagi tatapan berani atau sikap acuh yang biasa ia tunjukkan. Untuk pertama kalinya, Hero melihat Veline dalam keadaan yang begitu rentan.

Hero mendekat, menatap Veline dengan pandangan yang lebih lembut meskipun masih tertahan oleh egonya. "Gue nggak suka lo di sini sendirian. Gue tahu lo keras kepala, tapi ini udah terlalu bahaya. Gue ... gue cuma nggak mau terjadi apa-apa sama lo."

Veline terkejut mendengar nada berbeda dari Hero. Masih terasa kemarahan dalam dirinya karena ucapan Hero sebelumnya, tapi ada sesuatu yang janggal dari tatapan lelaki itu sekarang, seolah ada sisi lain yang tersembunyi di balik dinginnya lelaki itu.

"Lo tahu, gak? Perkataan lo tuh udah nyakitin gue. Gue emang cewek nakal, tapi senakal-nakalnya gue. Gue gak mungkin jadi simpanan om-om, apalagi bokap lo yang udah baik banget sama gue."

Veline terisak di tengah derasnya hujan yang turun tanpa ampun. Malam ini begitu terasa dingin, tapi ia tak peduli meski tubuhnya sendiri sudah menggigil.

"Gue tahu, perkataan gue tadi memang keterlaluan. Gue gak bisa ngontrol emosi gue. Gue—"

"Lo gak tahu apa pun." Veline menyela perkataan Hero. "Lo gak tahu perasaan gue. Lo gak tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tua. Bagaimana rasanya tidak punya tempat tinggal. Lo gak tahu apa-apa, Hero."

Bibir Veline bergetar, matanya berkaca-kaca, ia berusaha mencoba menahan air mata agar tak jatuh lagi, tapi berulang kali ia menahannya, air mata itu terus saja jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Rasa sakit dan kesepian yang selama ini ia pendam kini tak lagi bisa ditahan. Tubuhnya sedikit membungkuk, seolah menahan beban yang terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.

Hero terdiam melihat Veline dengan tatapan yang tak lagi dengan perasaan benci, seolah kata-kata gadis itu menggugurkan sebagian besar egonya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini? Bagaimana caranya agar ia bisa menenangkan Veline? Sementara selama ini mereka tak pernah akur.

Setelah beberapa saat hening, Hero akhirnya berkata, "Maaf."

Veline mendongak, wajah sembabnya menatap Hero dengan sorot tak percaya. Seumur hidupnya mengenal Hero, baru kali ini ia mendengar kata 'maaf' dari lelaki itu. Apa ia tidak salah dengar? Apa itu benar-benar kata yang keluar dari mulut Hero? Atau karena suara hujan deras yang membuatnya salah menangkap?

"Apa?"

Hero menarik napas dalam, suaranya lebih lembut meski masih canggung. "Gue bilang ... maaf."

Veline merasa aneh dengan sikap lelaki itu, selalu berubah-ubah tak menentu. Kadang bersikap seperti malaikat, kadang juga bersikap seperti iblis.

"Gue terima maaf lo, tapi itu nggak akan mengubah keputusan gue. Gue tetap nggak akan pulang." Veline menarik koper dan melangkah menjauh dari Hero.

Namun, saat Veline berjalan ke arah samping mobil, ia semakin ke tengah jalan yang dipadati lalu lintas. Kilatan cahaya dari sebuah mobil yang melaju kencang mendadak menyilaukan pandangan.

Pandangan Veline menjadi kabur, ia tak bisa melihat apa-apa lagi, sampai ia tak sadar bila tubuhnya terjatuh ke aspal yang keras.

"Veline!" Hero berteriak lantang ketika melihat Veline terjatuh dan sudah tak sadarkan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status