"Ish, lo senang banget sih narik-narik tas gue?" gerutu Veline kesal, sambil menepis tangan kekar Hero yang mencengkeram tasnya kuat. Hero hanya menghela napas panjang, tatapannya begitu dingin saat melihat gadis itu. "Sebelum lo bersihin toilet, lo hapus dulu make up lo!" ujarnya datar, sambil menatap Veline dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan gadis itu memang selalu mencolok, dan hal itu membuat darah Hero berdesir, bukan karena terpesona, tapi kesal. Wajah Veline penuh dengan riasan tebal, alisnya dibentuk tajam, lipstiknya merah menyala. Bukannya terlihat seperti siswi SMA pada umumnya, Veline lebih mirip seperti akan pergi ke pesta malam. Namun, bukan hanya itu yang mengganggu Hero. Seragam sekolah Veline, yang seharusnya longgar dan rapi, justru begitu ketat, sampai menonjolkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Rok yang semestinya selutut, dipendekkan hingga di atas paha, melihat itu membuat Hero semakin frustrasi. "Hah? Maksud lo apa?" Veline memandang Hero bi
"Lo napa diem, Ro? Lo lihat cegil di mana?" tanya Noval sambil mengangkat alis, ketika melihat Hero yang sedari tadi hanya diam melamun. "Atau jangan-jangan, cewek gila yang biasa lewat depan sekolah?" timpal Raka sambil cekikikan. "Njir, mana iya lagi, kemarin gue lihat dia nggak pakai baju, mana itunya udah turun banget." Noval berkata dengan serius, tapi malah membuat Raka mengernyit. "Apanya yang turun, bego?" Raka langsung menimpuk kepala Noval dengan buku yang ada di tangannya. "Dua gunungnya, anjir!" Noval mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat ditimpuk Raka. Raka malah ngakak mendengar itu, sementara Adrian dan Hero malah bengong. "Jangan-jangan lo lihatin tuh cegil sampe ngences, iya, kan?" tanya Raka sampai terkikik geli. "Mana ada, anjir! Gue lihat aja gak ada napsu-napsunya," sahut Noval sambil mendengkus. Adrian sedari tadi hanya mengerutkan kening. Dia memang sudah terbiasa dengan percakapan absurd Noval dan Raka, tapi kali ini perhatiannya tertuju pad
Tangan Hero mengepal kuat di sisi tubuhnya, tatkala melihat pemandangan yang membuatnya merasa geram. Entah apa yang dilakukan dua orang tersebut di dalam toilet, yang jelas Hero tak suka melihatnya. "Sedang apa kalian?" Kedua orang yang ada di dalam toilet langsung menatap ke arah pintu, di mana mereka melihat Hero yang berdiri dengan tegak. "He-Hero …," gumam Freya. Tangan Veline yang sedang menarik rambut Freya pun langsung terlepas, sementara itu Freya langsung berlari ke arah Hero. "Hero, tolong! Rambut gue dijambak sama Veline," adunya sambil merengek "Kenapa lo jambak rambut Freya?" Hero bertanya sambil menatap ke arah Veline yang hanya diam mematung. Veline terdiam sejenak, mengatur napasnya yang masih memburu. Sementara itu, Freya memeluk lengan Hero untuk mencari perlindungan. Pertengkaran antara Veline dan Freya bukanlah hal baru. Keduanya sudah sering berselisih paham di sekolah, dari masalah kecil hingga pertengkaran besar. "Gue nggak bakal lakuin itu k
Hero menatap wajah Veline dengan nanar. Dalam benaknya, gadis itu benar-benar sudah kehilangan akal. Bisa-bisanya dia meminta sesuatu yang begitu absurd, dan di sekolah pula. Hero merasa kesabarannya diuji habis-habisan. "Lo udah bener-bener gila ya, Vel? Bisa-bisanya lo nyuruh gue buat beliin begituan." "Gilaan mana gue sama lo," balas Veline santai. "Lo udah tahu seragam gue basah kuyup. Baju dalam gue juga basah. Kenapa lo nggak sekalian beliin?" Hero mendengkus pelan. Wanita itu memang selalu punya cara untuk membuat darahnya mendidih. Ucapannya, tindakannya, semuanya terasa seperti ujian kesabaran yang tak ada habisnya. Alih-alih melanjutkan perdebatan yang tak akan berujung, Hero hanya berdecak kesal. Ia lantas berdiri dari kursinya dengan cepat. "Lo mau ke mana? Hero!" teriak Veline, suaranya menggema di seluruh kelas. Sontak, perhatian para siswa beralih ke arah mereka. Tatapan rasa ingin tahu terpancang pada Veline, sampai membuat gadis itu sedikit jengah. "Ngapa
Mendengar kata-kata Dimas barusan, tubuh Hero dan Veline terasa merinding. Bukan karena udara yang dingin, tapi karena rasa ngeri yang menyelimuti hati mereka. Menikah? Pikiran itu tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak keduanya. Mereka masih muda, masa depan mereka masih panjang, dan seperti remaja lainnya, mereka punya impian untuk menikmati masa-masa sekolah dan bersenang-senang bersama teman-teman. Mereka ingin merasakan kebebasan, bukan dibebani tanggung jawab besar seperti pernikahan. Hero mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menekan rasa kesalnya. Beberapa hari lalu, dia sudah menolak keras rencana perjodohan ini, tetapi tampaknya penolakannya hanya dianggap angin lalu oleh sang ayah. "Pa, serius? Menikah? Hero masih sekolah, Pa. Mana mungkin Hero mikirin hal kayak gitu?" Veline pun tak kalah terkejut. "Om, ini … ini nggak masuk akal. Veline belum siap buat nikah. Lagian, Veline sama Hero … kami juga masih sekolah." Dimas menarik napas panjang, kemudian menco
Rania memasuki kamar keponakannya dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, matanya langsung tertuju pada Veline, yang duduk diam di depan cermin. Gaun pengantin putih berlengan panjang berbahan renda membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan keanggunan sekaligus keindahan mudanya. Rambut hitamnya disanggul sederhana, dihiasi oleh untaian mutiara yang membentuk mahkota kecil, membuat penampilan gadis itu tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Namun, sesuatu terasa janggal. Rania memperhatikan ekspresi Veline. Meskipun penampilannya begitu memukau, matanya redup, terpancar kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Rania mendekat, duduk di samping keponakannya, lalu mengusap lembut bahu gadis itu. "Sayang ...." Veline mengangkat kepalanya, sambil mencoba tersenyum meski seperti dipaksakan. "Tante .…" "Kenapa wajah kamu sedih? Hari ini seharusnya jadi hari yang membahagiakan untukmu." Veline terdiam sejenak, menundukkan kepalanya sebelum akhirnya berkata lirih, "Tante,
Veline dan Hero berdiri berhadapan di hadapan penghulu, dengan suasana ruangan yang begitu sakral. Hero mengenakan setelan jas berwarna gelap yang pas di tubuhnya, sementara Veline tampil anggun dengan gaun pengantin putih berhias renda dan kerudung panjang yang menjuntai di punggungnya. Mata Veline sedikit menunduk, menyembunyikan perasaan sedihnya di balik tatapan sendu. Hero perlahan mengambil cincin dari sebuah kotak kecil yang disodorkan oleh Amanda. Tangannya sedikit gemetar saat ia menyematkan cincin itu di jari manis Veline. Kemudian giliran Veline. Dengan tangan yang nyaris kaku, ia mengambil cincin lain dari kotak yang sama, lalu menyematkannya di jari manis Hero. Meski hatinya berat, ia menyelesaikan prosesi itu dengan sebaik mungkin. Sepasang cincin yang kini melingkar di jari mereka seolah menjadi simbol dari takdir baru yang harus mereka jalani, meski tak pernah terlintas sebelumnya. Setelah sesi ijab kabul selesai, Veline merasa tenggorokannya kering. Ia melangk
Tubuh Hero seperti membeku, tak mampu digerakkan ketika Veline dengan santainya terus membuka kancing kemejanya. Matanya menatap gadis itu dengan bingung. Entah dari mana datangnya keberanian Veline, tapi wanita itu tampak sangat santai, bahkan terlalu santai untuk seseorang yang katanya menikah karena terpaksa. Padahal, Veline pernah berkata bahwa ia tak punya pilihan lain selain menikah dengannya. Namun, sekarang, alih-alih menunjukkan rasa terpaksa, Veline justru terlihat seperti pihak yang paling agresif. Tangan mungilnya dengan lincah membuka satu per satu kancing kemeja Hero, hingga tiga kancing terlepas begitu saja. Namun, tiba-tiba terdengar suara lantang dari luar. "Veline!" panggil Rania dari luar kamar. Veline tersentak. Tangannya yang semula sibuk di dada Hero langsung berhenti. Ia menoleh ke arah pintu dengan sedikit panik. "Iya, Tante!" jawabnya cepat, sebelum bergegas keluar dari kamar Hero tanpa menoleh lagi. Rania berdiri di depan pintu dengan senyum hangat. "S
Tok! Tok! Tok! "Vel, buka pintunya dong," panggil Hero sembari mengetuk pintu kamar Veline untuk kesekian kalinya. Namun, tak ada sahutan dari dalam. Hero mendengkus pelan, menatap pintu kayu itu dengan frustrasi. Jam di dinding menunjukkan pukul 6:40 pagi, dan Hero sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seragamnya rapi, tas sudah disandang. Namun, ia belum melihat tanda-tanda Veline keluar dari kamar. Semalam pun situasinya sama. Hero sudah mengetuk pintu kamar Veline berulang kali, tapi gadis itu tetap tak keluar dari kamar. "Vel, udah jam tujuh, lo nggak mau sekolah?" panggil Hero lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. Masih tidak ada balasan. Hero menghela napas panjang, merasa putus asa. Ia menempelkan dahinya ke pintu, mencoba mencari cara untuk membuat Veline keluar, tapi akhirnya menyerah. "Vel, gue berangkat duluan, ya. Kalau lo nggak mau sekolah, terserah lo," ujar Hero, nada suaranya terdengar pasrah. Ia melangkah pergi dengan lesu, meski pikir
"Lo bisa tenang sebentar nggak?" Hero menarik napas panjang, mencoba mengendalikan amarahnya. Sepasang lengannya mencengkeram tangan Veline yang masih ia tahan di atas kepala. Matanya menatap tajam, ia berharap agar gadis itu mau mendengar, agar dia berhenti meronta, dan mau sedikit bekerja sama. Namun Veline seperti tidak peduli. Tubuhnya terus bergerak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Hero. Gadis itu memaki dan meminta dilepaskan, tetapi Hero tak mendengar perkataannya. Hero memejamkan mata sejenak, mencoba bersabar. Namun semakin lama gadis itu semakin liar, dan tangannya semakin sulit ditahan. Hero menunduk sedikit, berusaha mendekatkan wajahnya. Ia mencoba menggapai sudut bibir Veline dengan lembut, mencoba membuatnya berhenti melawan, tapi gadis itu selalu menghindar, memalingkan wajah ke kiri dan kanan, seolah berusaha menjauh sejauh mungkin darinya. Kesabaran Hero akhirnya habis. Dengan sisa kendali yang ia miliki, ia mendekatkan wajahnya ke leher Veline, lal
"Aw, Veline!" Hero meringis kesakitan, dengan refleks ia melepaskan pelukannya pada Veline, lalu menyentuh lengannya yang kini memerah karena gigitan gadis itu. Melihat kesempatan itu, Veline langsung melesat pergi tanpa melihat ke belakang. Sementara Hero masih sibuk mengibaskan tangannya, mencoba meredakan rasa sakit pada lengannya. "Veline! Tunggu!" seru Hero sambil mulai mengejar gadis itu yang sudah pergi. Dari kejauhan, Alyssa dan Raka yang sedari tadi menyaksikan semua pertengkaran itu hanya bisa menatap bingung. Alyssa mengguncang lengan Raka pelan. "Beb, gimana dong? Kayaknya Veline masih marah banget sama Hero." Raka menghela napas, menatap Hero dan Veline yang kini mulai menjauh dari pandangan mereka. "Udah, biarin aja mereka. Itu urusan mereka, kita jangan ikut campur." "Tapi ...." Alyssa tampak ragu, lalu mendesah panjang. "Ya udah, kita ikutin mereka aja dari jauh." Raka mengerutkan kening, tapi akhirnya setuju dengan usulan kekasihnya. "Iya deh, tersera
Sepasang mata Veline membulat sempurna ketika menyadari lelaki itu kini ada di hadapannya. Napasnya memburu, bukan karena lelah dari permainan arcade yang baru selesai, melainkan karena kemarahan yang kembali membuncah. Hero tidak sendiri, Raka juga tampak berdiri di dekat sana. Keberadaan mereka membuat pikirannya langsung mengarah pada satu hal: Alyssa pasti memberitahu mereka bahwa dia ada di sini. Namun, Veline tak berniat mengkonfrontasi lebih jauh. Darahnya sudah cukup mendidih hanya dengan melihat wajah Hero. Dia berbalik, meletakan sebotol minumnya di meja, lalu meninggalkan mesin arcade, dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Akan tetapi, tiba-tiba tangan Hero meraih pergelangan tangannya. "Vel, tunggu." Suara berat lelaki itu terdengar tegas, tapi Veline tidak peduli. Dia langsung meronta. "Lepasin gue!" rintihnya, berusaha melepaskan diri dari genggaman Hero. Namun, Hero tidak mengendurkan pegangan, dan justru membawanya menjauh dari keramaian. Mereka melewati loron
Pikiran Hero melayang jauh entah ke mana, mencari kemungkinan ke mana Veline pergi. Matanya menyipit ketika ia teringat pada satu nama: Alyssa. Mungkin dia lagi bersama Alyssa, pikirnya dengan sedikit harapan. Tanpa ragu, ia segera menghubungi Raka. Setelah beberapa detik, suara Raka terdengar di seberang. "Iya, Ro? Ada apa?" "Lo lagi di mana sekarang?" tanya Hero cepat, suaranya terdengar mendesak. "Gue lagi di basecamp, bareng Adrian. Kenapa emangnya?" Hero menghela napas, mencoba meredakan kegelisahannya. "Lo gak lagi sama Alyssa?" "Nggak. Kayak yang gue bilang, gue cuma sama Adrian. Kenapa sih?" "Veline masih marah sama gue, dan dia gak ada di rumah. Gue kepikiran, mungkin dia lagi sama Alyssa. Lo bisa tanyain gak? Siapa tahu Veline lagi sama dia." "Oh, oke. Gue coba telpon Alyssa dulu." Namun, sebelum Raka menutup panggilan, Hero buru-buru berkata lagi. "Eh, tunggu dulu." "Kenapa?" "Lo jangan bilang kalau gue yang nanya." Raka terkekeh di seberang sana
"Kalau bukan Leona, lalu siapa?" Leona bertanya, ia terus memperhatikan wajah Zahira yang tampak masih bingung. Namun, Zahira hanya diam, bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu. Matanya kembali gelisah, pandangannya beralih ke arah pintu seakan sedang mencari seseorang. Ketegangan itu terhenti ketika pintu ruangan terbuka. Suster Ira masuk sambil membawa clipboard. "Maaf, ini saatnya Bu Zahira untuk beristirahat. Kunjungan bisa dilanjutkan lain waktu." Dimas mengangguk dengan sopan. "Baik, Suster. Terima kasih sudah mengingatkan." Hero mendekat ke ranjang ibunya. Ia menundukkan tubuhnya, mendekat hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan perlahan, ia menggenggam tangan Zahira. "Ma, Hero pulang dulu, ya. Mama baik-baik di sini, istirahat yang cukup. Hero janji bakal sering jenguk Mama." Zahira mengangkat tangannya yang lemah, menyentuh wajah putranya. Matanya menelusuri setiap sudut wajah Hero yang tampan. "Kamu hati-hati, Nak," ucap Zahira lirih.
Hero mencari ke setiap sudut sekolah, matanya menyapu lorong-lorong yang mulai lengang dan halaman belakang yang sepi. Langkahnya tak henti, tapi ia masih belum menemukan sosok Veline. Napasnya perlahan menjadi berat, bukan hanya karena lelah berjalan, tetapi juga rasa khawatir yang semakin menghimpit dadanya. Namun, ketika ia sampai di sisi taman belakang sekolah, matanya menangkap sosok yang dikenalnya. Veline berdiri di bawah pohon besar, sedang berbicara dengan Leona. Melihat itu, Hero akhirnya menghentikan langkahnya, napas panjang terembus dari bibirnya. Ia mengamati Veline dari kejauhan, memastikan gadis itu tampak baik-baik saja. Meski hatinya mendesak untuk segera menghampiri, ia sadar bahwa Veline mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri. Untuk saat ini, ia memilih menahan diri. Hero kemudian berbalik, meninggalkan taman dan menuju kantin. Begitu masuk, aroma khas makanan langsung menyambutnya. Di salah satu meja sudut, ia melihat Adrian, Raka, dan Noval sudah dud
Hero terdiam. Untuk beberapa detik, tatapannya tetap tertuju pada Veline, tapi ia tidak memberikan jawaban. Ekspresinya sulit dibaca, seperti sedang memproses pertanyaan itu. "Jawab, Hero!" desak Veline, pikirannya pun sudah kalut sedari tadi ketika melihat Hero yang hanya terdiam. Hero menarik napas panjang, lalu menatap Veline dalam-dalam. "Iya." Jawaban itu menghantam Veline seperti pukulan keras di dadanya. Mata Veline membesar, mulutnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar. Dadanya terasa semakin sesak, dan tiba-tiba dunia di sekitarnya menjadi sunyi. "Kenapa …?" Veline mencoba menggigit bibir bawahnya yang sudah bergetar, hatinya pun sudah teramat sakit. Sementara Hero hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Karena lo butuh dikasih pelajaran. Lo nggak pernah dengerin gue waktu gue bilang soal sikap lo. Gue cuma pengen lo sadar, itu aja." Penjelasan itu hanya membuat luka di hati Veline semakin dalam. Ia tidak tahu
Veline sama sekali tidak tahu apa yang ingin disampaikan Freya. Namun, rasa penasaran membuatnya terpaksa mengikuti langkah gadis itu. Langkah mereka membawa Veline ke belakang sekolah yang sunyi, hanya ada suara dedaunan bergesekan dihembus angin. Freya berhenti, mematung di tempat seolah sengaja membuat Veline menunggu. Dengan napas sedikit memburu, Veline berdiri di belakang Freya. "Sebenarnya, apa sih yang mau lo omongin? Kenapa lo ngajak gue ke sini?" tanya Veline, suaranya terdengar tajam bercampur rasa kesal. Freya berbalik perlahan, menatap Veline dengan senyum sinis yang membuat darah Veline mendidih. "Gue cuma mau kasih tahu kalau gue dan Arnold udah jadian," beber Freya, seolah kalimat itu adalah prestasi yang layak dirayakan. Veline mengangkat sebelah alis, lalu mendengkus kecil. "Ya elah, jadi lo cuma mau pamer? Terus lo pikir gue bakal ngereog denger lo sama Arnold udah jadian? Sorry, yee. Nggak penting buat gue." Freya tidak terpengaruh. Sebaliknya, senyumnya s