Hero berteriak lantang ketika melihat Veline yang tiba-tiba terjatuh. "Veline ...."
Dengan keadaan panik, Hero lantas berlari menghampiri gadis itu yang sudah tak sadarkan diri. Lelaki tampan itu langsung berjongkok dengan lutut ditekuk. Tangan kekarnya langsung meraih kepala Veline dan menepuk wajahnya dengan pelan. "Veline, bangun!" Sudah beberapa kali Hero menepuk wajah gadis itu. Namun, sepertinya Veline tak kunjung sadar. "Veline sadarlah, ayo bangun!" Karena sudah panik dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, Hero pun lantas langsung mengangkat tubuh Veline, membawanya ke dalam mobil. Setelah pintu mobil ia buka dengan susah payah, akhirnya Veline berhasil ia letakkan di jok mobil paling depan. Hero menutup pintu mobil, lalu segera mengambil koper Veline yang sudah basah oleh hujan. Ia pun menyimpan koper gadis itu di bagasi mobil, setelah itu, Hero memasuki mobil, meski pakaiannya juga basah kuyup dan tubuhnya menggigil kedinginan, tapi ia tak peduli. Yang penting sekarang, ia harus segera membawa Veline pulang. Ketika mobil sudah melaju, sesekali Hero menatap gadis yang ada di sampingnya. Veline masih tak sadar diri, wajahnya juga terlihat pucat. Hero sendiri tak tahu mengapa Veline bisa tiba-tiba pingsan. 10 menit mengendarai mobil, akhirnya ia sampai di rumah. Hero segera turun dari mobil, berjalan ke arah pintu satunya lagi, setelah pintu mobil berhasil dibuka, Hero segera mengangkat tubuh Veline, dan langsung membawa gadis itu masuk ke dalam rumah. Dimas dan Amanda yang sedang duduk di ruang keluarga. Mereka terkejut ketika melihat Hero sudah pulang dengan menggendong Veline yang tak sadarkan diri. "Hero, ada apa dengan Veline?" tanya Dimas yang langsung berdiri, begitu juga dengan Amanda. "Hero nggak tahu, Pa. Tadi ketika Hero ngajak Veline pulang, dia sudah pingsan." "Ya sudah, kamu bawa langsung Veline ke kamarnya." Hero mengangguk dan langsung membawa Veline ke kamarnya yang ada di lantai dua. Sementara itu, Amanda merasa khawatir dengan keadaan Veline. Ia lalu berkata, "Ya ampun, Mas, kenapa Veline bisa pingsan?" "Aku juga tidak tahu, Ma. Aku mau telepon dokter dulu." "Baik, Mas. Aku akan melihat keadaan Veline sekarang." Dimas mengangguk, lalu segera menghubungi dokter keluarga, sementara Amanda bergegas menuju kamar Veline untuk melihat keadaan gadis itu. Sesampainya di kamar Veline, Amanda melihat Hero sedang meletakkan tubuh Veline yang basah kuyup di atas ranjang. Karena khawatir Hero juga akan masuk angin, Amanda segera berkata, "Hero, tante akan mengganti pakaian Veline dulu. Kamu juga ganti pakaianmu, ya." Hero hanya mengangguk dan segera keluar dari kamar Veline untuk mengganti pakaiannya juga yang basah kuyup, sementara Amanda mulai mengganti pakaian Veline dengan hati-hati. Setelah mengganti pakaian Veline, Amanda mencari minyak angin di dalam laci, ketika sudah menemukannya, ia kembali berjalan ke arah ranjang, dan mulai menggosokkan minyak angin itu pada tangan dan kaki Veline yang dingin. Amanda juga mengoleskan sedikit minyak angin di hidung gadis itu. Beberapa saat kemudian, Veline mulai mengerjapkan matanya. Amanda tersenyum lega melihat Veline mulai sadar. "Sayang, kamu sudah bangun." Veline mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. "Tante … Veline di mana?" "Kamu ada di rumah, Sayang." "Di rumah …?" "Iya, Sayang. Hero yang membawamu kembali ke rumah. Kenapa kamu bisa pingsan, Sayang?" tanyanya, sambil mengusap tangan Veline. Veline menunduk sejenak, mencoba merasakan apa yang terjadi pada tubuhnya. "Gak tahu, Tante. Kepala Veline rasanya berat banget … pusing .…" Pada saat itu, Dimas masuk ke dalam kamar Veline bersama dokter. "Veline, kamu sudah siuman?" tanya Dimas. "Sudah, Om." Dokter mulai mendekati Veline yang masih terbaring lemah di tempat tidur. "Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanyanya, sambil meletakkan tas yang ia bawa di lantai. "Em, kepala saya pusing, Dok ... perut juga terasa mual, seperti terbakar gitu," jawab Veline lemas. Dokter mengangguk sambil mengeluarkan alat-alat medis dari dalam tas, lalu mulai memeriksa tekanan darah dan mendengarkan detak jantung Veline dengan stetoskop. "Sepertinya asam lambungmu naik. Selain pusing dan mual, ada keluhan lain? Seperti nyeri di dada atau kesulitan menelan?" Amanda dan Dimas terkejut saat mengetahui bahwa Veline memiliki masalah asam lambung, terutama ketika Dimas tiba-tiba teringat bahwa Veline belum makan apa pun sejak tadi pagi. Veline mengangguk. "Iya, Dok. Dada terasa sakit. Kadang kalau makan atau minum, rasanya nggak nyaman di tenggorokan." Dokter memasukkan kembali alat-alat medisnya ke dalam tas, lalu mengambil kotak obat dari dalam tasnya. "Baik, saya akan meresepkan obat untukmu agar lebih cepat sembuh." "Ja-jangan, Dok," kilah Veline sambil menggelengkan kepala. "Kenapa, Sayang?" Amanda yang sedari tadi berdiri di sisi tempat tidur, merasa heran dengan reaksi Veline. "Veline nggak suka obat," sahut Veline, lalu menatap dokter kembali. "Dok, bisa nggak jangan kasih saya obat? Soalnya kalau nelen obat itu suka keluar lagi obatnya." Dimas dan Amanda tersenyum melihat tingkah polos Veline. "Kamu nggak bisa nelen obat, Veline?" tanya Dimas, sambil menahan tawa. Veline mengangguk pelan. "Iya, Om." Dokter tersenyum. "Baik, ada beberapa pasien yang memang mengalami kesulitan menelan obat. Untuk kondisi seperti ini, saya bisa memberikan obat dalam bentuk suntikan." "S-su ... suntikan?" Mata Veline terbelalak ketika dokter mulai mengeluarkan suntikan dari dalam tas. "D-dok, maksudnya saya akan disuntik?" "Tentu saja. Bukankah kamu bilang tidak bisa menelan obat?" "T-tapi, Dok ... saya takut disuntik. Bisa nggak, jangan suntik saya?" pinta Veline dengan wajah memelas. Amanda tersenyum dan menasihati Veline. "Sayang, kamu harus diobati agar cepat sembuh. Tante tahu kamu takut, tapi ini untuk kebaikanmu." "Tapi, Tante, Veline takut …," rengek Veline, sambil terus memandang jarum suntik itu dengan mata terbelalak, apalagi saat dokter mulai memasukkan cairan ke dalam suntikan. "Ayo, Veline. Kamu pasti bisa. Tante di sini menemani, ya?" Amanda mencoba menenangkan sambil mengusap bahu Veline. Veline menarik tangan Amanda, berusaha bersembunyi di balik tangan itu. "Gak mau, Tante … tolong Veline," gumamnya lirih sambil melirik ke arah jarum suntik yang menurutnya terlihat besar dan menakutkan. "Aw, gede banget itunya, pasti sakit nanti. Gak mau, Tante, tolong ...." Amanda tersenyum sambil mengelus rambut Veline. "Tutup matanya, ya, Sayang. Jangan lihat." Amanda membantu menutupi mata Veline dengan tangannya agar gadis itu tak perlu melihat suntikan. Dokter pun mulai mengusap lengan Veline menggunakan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik. Namun, saat dokter baru menyentuh lengannya, Veline sudah menjerit. "Aw! Aw! Sakit …!" teriak Veline sambil menggenggam tangan Amanda dengan erat. Dimas yang sedari tadi berusaha menahan tawa, akhirnya tak bisa menahan dirinya lagi. "Belum, Veline, belum …," katanya sambil terkekeh. "Dokter belum memasukkan jarumnya ke kulit kamu. Kamu udah teriak kesakitan duluan." Veline membuka matanya sejenak dan menatap Dimas dengan bingung. "Belum disuntik, Om? Tapi rasanya sakit, kok .…" Dokter dan Amanda ikut tersenyum melihat tingkah Veline, dan Amanda kembali menenangkan gadis itu. "Sabar, ya, Sayang. Sebentar aja, kok. Nanti setelah ini kamu akan merasa lebih baik." Veline mengangguk meski masih ragu, lalu menggigit bibir bawahnya. Ia menutup mata kembali dan menggenggam erat tangan Amanda. Dokter pun mulai menyuntikkan cairan di lengan Veline, sampai membuat gadis itu menjerit kesakitan. "Awww … sakit …!" cicit Veline, sambil mencengkram tangan Amanda kuat. Setelah beberapa detik, dokter menarik jarum suntik dan tersenyum pada Veline. "Sudah selesai. Kamu butuh istirahat dan makan teratur. Nanti, lambungmu akan membaik dan rasa pusing juga akan hilang." Veline menatap dokter itu dengan wajah kesal. "Dokter harus tanggung jawab!" ucapnya sambil merengut. Dimas, Amanda, dan dokter menatap Veline bersamaan, mereka sedikit terkejut dengan ucapan gadis itu. "Tanggung jawab untuk apa, Sayang?" tanya Amanda. Veline menggembungkan pipinya kesal. "Gara-gara dokter, tangan mulus Veline jadi sakit!" rengeknya manja. Dimas tertawa kecil melihat tingkah gadis itu. "Kamu ini ada-ada saja, Veline. Nanti juga tanganmu baik lagi." Dokter hanya menggeleng sambil tersenyum.Hero keluar dari kamar mandi, sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk, sampai membuat beberapa helai rambutnya jatuh berantakan di dahi. Setelah libur tengah semester berakhir, akhirnya hari ini ia akan kembali bersekolah. Lelaki tampan itu berjalan menuju lemari, membuka pintu, dan mengambil seragam sekolah yang sudah rapi tergantung di sana. Saat mulai mengenakannya, Hero memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Tubuh tegapnya terlihat semakin berwibawa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tinggi dan wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, serta sepasang mata tajam yang seakan memiliki daya tarik tersendiri, sampai membuatnya digilai oleh banyak siswi di sekolah. Setelah rapi mengenakan seragamnya, Hero mengambil botol parfum dari meja, lalu menyemprotkannya pada tubuh. Aroma maskulin sudah menyeruak menyebar di ruangan tersebut. Sebelum meninggalkan kamar, ia merapikan rambutnya terlebih dulu. Lalu memasang jam tangan di pergelangan tangan kiri dan
Seharian sudah, Veline menghabiskan waktu di dalam kamar. Namun, rasa bosan perlahan mulai menghampiri. Setelah melihat gelas air minumnya kosong, ia memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil air. Kondisinya memang sudah jauh lebih baik, terutama berkat perhatian Amanda yang tak pernah lelah merawatnya. Wanita itu selalu memastikan Veline mendapatkan makanan bergizi dan buah-buahan segar sepanjang hari. Amanda memperlakukannya seperti putri kandung sendiri, sampai membuat Veline merasa nyaman. Kehangatan itu menghadirkan kembali sosok ibu yang selama ini ia rindukan dalam diri Amanda. Namun bukan hanya Amanda, Dimas, juga selalu baik padanya. Veline merasa sangat beruntung, karena Tuhan mempertemukannya dengan orang-orang yang tulus dan begitu peduli. Sesampainya di dapur, Veline melihat Amanda sedang menyiapkan makan malam bersama Bi Ranti. "Malam, Tante, Bi Ranti," sapa Veline kepada dua wanita yang sedang sibuk di dapur. Amanda menoleh ke arah Veline yang ada di belakang
Bunyi alarm terus menggema di dalam kamar seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya. Tangan Veline terulur, mencari alarm di atas nakas. Namun, alih-alih bangun, ia hanya mematikan dan melemparnya ke sembarang arah, lalu tidur kembali. Kebiasaan Veline memang seperti itu. Namun ketika matahari mulai naik dan sinarnya menyilaukan wajah Veline, matanya pun mengerjap pelan. Setelah sedikit sadar, ia langsung terbangun. Ia mengambil jam alarm yang tergeletak di samping tempat tidur dan matanya terbelalak ketika melihat jarum pendek jam sudah menunjukkan angka tujuh. "Ya ampun! Gue telat!" serunya panik. Veline langsung menuju kamar mandi. Ia memutuskan untuk tidak mandi—itu akan memakan waktu lama, apalagi ia suka berlama-lama saat mandi. Gadis yang masih mengenakan piyama itu pun memilih hanya untuk menggosok gigi dan membasuh muka saja. Selesai membersihkan wajahnya, Veline berlari ke kamar sambil mengeringkan wajah dengan handuk. Dengan terburu-buru, ia mengambil seragam p
"Ish, lo senang banget sih narik-narik tas gue?" gerutu Veline kesal, sambil menepis tangan kekar Hero yang mencengkeram tasnya kuat. Hero hanya menghela napas panjang, tatapannya begitu dingin saat melihat gadis itu. "Sebelum lo bersihin toilet, lo hapus dulu make up lo!" ujarnya datar, sambil menatap Veline dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan gadis itu memang selalu mencolok, dan hal itu membuat darah Hero berdesir, bukan karena terpesona, tapi kesal. Wajah Veline penuh dengan riasan tebal, alisnya dibentuk tajam, lipstiknya merah menyala. Bukannya terlihat seperti siswi SMA pada umumnya, Veline lebih mirip seperti akan pergi ke pesta malam. Namun, bukan hanya itu yang mengganggu Hero. Seragam sekolah Veline, yang seharusnya longgar dan rapi, justru begitu ketat, sampai menonjolkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Rok yang semestinya selutut, dipendekkan hingga di atas paha, melihat itu membuat Hero semakin frustrasi. "Hah? Maksud lo apa?" Veline memandang Hero bi
"Lo napa diem, Ro? Lo lihat cegil di mana?" tanya Noval sambil mengangkat alis, ketika melihat Hero yang sedari tadi hanya diam melamun. "Atau jangan-jangan, cewek gila yang biasa lewat depan sekolah?" timpal Raka sambil cekikikan. "Njir, mana iya lagi, kemarin gue lihat dia nggak pakai baju, mana itunya udah turun banget." Noval berkata dengan serius, tapi malah membuat Raka mengernyit. "Apanya yang turun, bego?" Raka langsung menimpuk kepala Noval dengan buku yang ada di tangannya. "Dua gunungnya, anjir!" Noval mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat ditimpuk Raka. Raka malah ngakak mendengar itu, sementara Adrian dan Hero malah bengong. "Jangan-jangan lo lihatin tuh cegil sampe ngences, iya, kan?" tanya Raka sampai terkikik geli. "Mana ada, anjir! Gue lihat aja gak ada napsu-napsunya," sahut Noval sambil mendengkus. Adrian sedari tadi hanya mengerutkan kening. Dia memang sudah terbiasa dengan percakapan absurd Noval dan Raka, tapi kali ini perhatiannya tertuju pad
Tangan Hero mengepal kuat di sisi tubuhnya, tatkala melihat pemandangan yang membuatnya merasa geram. Entah apa yang dilakukan dua orang tersebut di dalam toilet, yang jelas Hero tak suka melihatnya. "Sedang apa kalian?" Kedua orang yang ada di dalam toilet langsung menatap ke arah pintu, di mana mereka melihat Hero yang berdiri dengan tegak. "He-Hero …," gumam Freya. Tangan Veline yang sedang menarik rambut Freya pun langsung terlepas, sementara itu Freya langsung berlari ke arah Hero. "Hero, tolong! Rambut gue dijambak sama Veline," adunya sambil merengek "Kenapa lo jambak rambut Freya?" Hero bertanya sambil menatap ke arah Veline yang hanya diam mematung. Veline terdiam sejenak, mengatur napasnya yang masih memburu. Sementara itu, Freya memeluk lengan Hero untuk mencari perlindungan. Pertengkaran antara Veline dan Freya bukanlah hal baru. Keduanya sudah sering berselisih paham di sekolah, dari masalah kecil hingga pertengkaran besar. "Gue nggak bakal lakuin itu k
Hero menatap wajah Veline dengan nanar. Dalam benaknya, gadis itu benar-benar sudah kehilangan akal. Bisa-bisanya dia meminta sesuatu yang begitu absurd, dan di sekolah pula. Hero merasa kesabarannya diuji habis-habisan. "Lo udah bener-bener gila ya, Vel? Bisa-bisanya lo nyuruh gue buat beliin begituan." "Gilaan mana gue sama lo," balas Veline santai. "Lo udah tahu seragam gue basah kuyup. Baju dalam gue juga basah. Kenapa lo nggak sekalian beliin?" Hero mendengkus pelan. Wanita itu memang selalu punya cara untuk membuat darahnya mendidih. Ucapannya, tindakannya, semuanya terasa seperti ujian kesabaran yang tak ada habisnya. Alih-alih melanjutkan perdebatan yang tak akan berujung, Hero hanya berdecak kesal. Ia lantas berdiri dari kursinya dengan cepat. "Lo mau ke mana? Hero!" teriak Veline, suaranya menggema di seluruh kelas. Sontak, perhatian para siswa beralih ke arah mereka. Tatapan rasa ingin tahu terpancang pada Veline, sampai membuat gadis itu sedikit jengah. "Ngapa
Mendengar kata-kata Dimas barusan, tubuh Hero dan Veline terasa merinding. Bukan karena udara yang dingin, tapi karena rasa ngeri yang menyelimuti hati mereka. Menikah? Pikiran itu tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak keduanya. Mereka masih muda, masa depan mereka masih panjang, dan seperti remaja lainnya, mereka punya impian untuk menikmati masa-masa sekolah dan bersenang-senang bersama teman-teman. Mereka ingin merasakan kebebasan, bukan dibebani tanggung jawab besar seperti pernikahan. Hero mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menekan rasa kesalnya. Beberapa hari lalu, dia sudah menolak keras rencana perjodohan ini, tetapi tampaknya penolakannya hanya dianggap angin lalu oleh sang ayah. "Pa, serius? Menikah? Hero masih sekolah, Pa. Mana mungkin Hero mikirin hal kayak gitu?" Veline pun tak kalah terkejut. "Om, ini … ini nggak masuk akal. Veline belum siap buat nikah. Lagian, Veline sama Hero … kami juga masih sekolah." Dimas menarik napas panjang, kemudian menco
Di ruang keluarga yang hangat, Veline dan Hero duduk berdua di sofa, menikmati waktu bersama. Suara televisi yang menayangkan kartun mengisi keheningan, sesekali terdengar suara tawa dari karakter animasi di layar. Namun, perhatian Hero sepenuhnya tertuju pada Veline yang bersandar di bahunya, tangannya perlahan membelai lembut perut Veline yang masih datar. Veline tersenyum kecil, meski matanya tetap menatap layar. Sentuhan Hero di perutnya terasa menenangkan, seolah memberikan kehangatan yang tidak bisa ia jelaskan. "Sayang," ujar Veline pelan. "Hm?" Hero menjawab dengan gumaman, tanpa mengalihkan pandangannya dari perut Veline. Jari-jarinya masih bergerak perlahan, seperti sedang berkomunikasi dengan makhluk kecil yang mungkin ada di sana. "Kira-kira, kalau nanti anak kita lahir, namanya siapa ya?" tanya Veline sambil tersenyum, ada sedikit rona di pipinya. "Hmm, nama, ya? Kalau laki-laki, bagaimana kalau ... Vero?" usul Hero, matanya bersinar sedikit bangga. "Vero?"
Hero tiba di rumah sembari mambawa surat beasiswa yang ia terima dari Pak Agus. Ketika sampai di depan pintu kamar, ia mengetuk pintu dengan pelan. Lalu, dengan hati-hati ia membuka pintu, dan menyembunyikan surat tersebut di belakang tubuhnya. Veline yang sedang duduk di ranjang, ia melamun sambil menatap test pack yang baru saja ia pakai, terkejut mendengar pintu terbuka. Refleks, ia segera menyembunyikan test pack itu di belakang tubuhnya begitu melihat Hero masuk ke dalam kamar. "Sayang, aku ingin bicara," ujar Hero, suaranya terdengar sedikit ragu. "Aku juga ingin bicara," jawab Veline. "Ya sudah, kamu duluan saja," kata Hero sambil mendekatkan diri ke meja. "Tidak, kamu dulu saja." Hero menghela napas panjang, merasa sedikit cemas. Ia akhirnya mengeluarkan surat beasiswa yang ia sembunyikan dan menaruhnya di meja depan Veline. "Ini surat penerimaan beasiswa ke luar negeri," ucapnya pelan. Veline membeku seketika mendengar kalimat itu, dan pandangannya beralih d
Hero mengetuk pintu ruangan Pak Agus dengan ragu. Suara berat pria paruh baya itu terdengar dari dalam. "Masuk." Hero membuka pintu dan melangkah masuk. Di meja, Pak Agus sedang sibuk dengan berkas-berkas, tetapi ia langsung menatap Hero dan tersenyum lebar. "Hero, akhirnya kamu datang," ujar Pak Agus sembari menyodorkan tangan untuk berjabat. "Maaf, Pak, tadi saya sedikit terlambat," jawab Hero sambil mengambil kursi di depan meja. Pak Agus menggeleng. "Nggak masalah. Bapak sengaja memanggil kamu ke sini karena ada kabar penting." Ia mengambil sebuah amplop dari meja dan menyodorkannya kepada Hero. "Ini, baca baik-baik." Hero mengambil amplop itu dengan sedikit bingung. "Apa ini, Pak?" tanyanya sambil membuka amplop tersebut. Matanya membesar saat membaca isi suratnya. "Beasiswa ke luar negeri?" gumam Hero. Pak Agus mengangguk dengan bangga. "Kamu diterima untuk program beasiswa di salah satu universitas terbaik di Inggris. Ini kesempatan besar, Hero. Jarang-jar
Veline berlari memasuki kamar mandi, sembari melepas bathrobe putih yang membungkus tubuhnya. Aroma manis bunga sakura dari bath bomb yang telah ia memasukkan sebelumnya sudah memenuhi ruangan yang sedikit berkabut karena uap air panas. Tubuhnya yang jenjang dan mulus tampak berkilauan di bawah cahaya lampu yang temaram. Dengan perlahan, ia masuk ke dalam bathtub, membiarkan air hangat yang berbusa menyelimuti kulitnya. Sesaat kemudian, ia menyandarkan kepala ke pinggiran bathtub, menutup mata sejenak sambil menikmati suasana yang menenangkan. Ujung jari-jarinya yang lentik, dengan kuku bercat merah tua, menyentuh kulit kakinya yang terendam. Busa putih yang mengapung di atas air menutupi sebagian tubuhnya. Ia menggerakkan tangannya perlahan, menikmati sensasi air hangat yang membelai kulitnya. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Pintu kamar mandi perlahan terbuka, memperlihatkan sosok Hero yang mengenakan bathrobe putih serupa dengan miliknya. Lelaki itu
"Leona!" Veline berteriak lantang begitu melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Tepat di atas ranjang, ia melihat Leona tengah memeluk Hero. Gaun Leona sedikit terbuka, sampai memperlihatkan bahu mulusnya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Sementara Hero terlihat lemah, beberapa kancing kemejanya juga telah terbuka. Pemandangan itu seperti petir yang menyambar hati Veline. Dadanya terasa sesak, matanya memanas, tapi bukan air mata yang keluar, melainkan api kemarahan yang berkobar. Bukan hanya Veline yang terkejut. Orang-orang yang sedari tadi mengikuti Veline pun tercengang. Mereka berdiri di ambang pintu, memandang tak percaya pada apa yang tengah terjadi di depan mata mereka. Tanpa banyak bicara, Veline melangkah masuk ke kamar. Kemarahannya terlihat jelas dari setiap sudut wajahnya. Dengan cepat, ia meraih tangan Leona dan menyeretnya turun dari ranjang. "Dasar jalang?!" teriak Veline. Tangannya melayang di udara, dan mendarat di pipi mulus Leona.
Kepala Hero terasa berat. Keringat mengucur di dahinya, tubuhnya seperti terbakar. Ia mencoba memfokuskan pandangannya pada wanita di hadapannya, tetapi semuanya terasa buram. "Sayang ... kamu mau bawa aku ke mana?" tanyanya dengan suara lemah. Leona tersenyum tipis, menahan dirinya untuk tidak memperlihatkan rasa puas yang begitu besar. Ia menopang tubuh Hero yang sempoyongan. "Kamu harus istirahat. Aku akan membawamu ke suatu tempat supaya kamu bisa merasa lebih baik." Langkah mereka berhenti di depan sebuah ruangan hotel. Leona mengeluarkan kunci dan membukanya dengan cepat. Saat pintu terbuka, ia memapah tubuh Hero ke dalam. Dengan susah payah, menuntun pria itu ke ranjang besar yang ada di tengah ruangan, lalu membaringkannya perlahan. Hero mengerang pelan, tubuhnya terasa seperti terbakar. "Kenapa di sini panas sekali …?" gumamnya sambil mengibaskan tangannya yang lemah, mencoba mengusir hawa panas yang seakan mencekik napasnya. Tubuh lelaki itu semakin tak berdaya,
Hero tengah duduk bersandar di kursi, satu lengan terlipat di sandaran, sementara tangan lainnya menggenggam gelas air mineral di atas meja. Sementara kedua sahabatnya, Raka dan Noval tengah membahas soal rencana masa depan mereka selepas kelulusan. Saat itu juga, pandangan Raka teralihkan, ia melihat Hero yang tampak terdiam. "Ro, lo kok diem aja? Lagi ngelamunin siapa, tuh?" godanya. "Jangan-jangan ... dia lagi mikirin Veline yang habis berdansa sama Arnold," sela Noval, ia tertawa sambil menunjuk ke arah Veline yang terlihat sibuk berbincang dengan teman-temannya. "Lo berdua ini rese banget." Hero mengangkat gelasnya dari meja. "Udah, toast aja." Raka dan Noval mengangkat gelas juga, dan mereka pun bersulang. "Untuk kelulusan kita," seru Noval. Bunyi dentingan gelas terdengar, diiringi tawa mereka. Hero menyesap air yang ada di gelas hingga tandas. Namun, begitu cairan itu masuk ke dalam tenggorokannya, ia merasakan sesuatu yang aneh. Rasanya tidak seperti air. Ada
Veline menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak emosi yang hampir meledak di dalam dirinya. Wajah Arnold yang ada tepat di depannya sudah cukup memicu kemarahannya saat ini. Namun, pemandangan Leona dan Hero yang berdansa di bawah sana seperti menambahkan bahan bakar ke api yang sedang berkobar di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggigit bibir bawahnya untuk menahan diri agar tidak melakukan sesuatu yang akan mempermalukan dirinya di depan umum. "Kita turun aja yuk," ujar Veline, suaranya terdengar lebih tenang dari biasanya. "Dansa bareng sama yang lain." Merasa heran dengan sikap Veline yang tiba-tiba manis, Arnold hanya mengangkat sebelah alisnya. "Boleh juga." Tanpa banyak bicara, Veline mulai melangkah turun dari panggung, diikuti oleh Arnold yang setia di belakangnya. Veline memasuki kerumunan, matanya tanpa sadar kembali tertuju pada Hero dan Leona yang berdansa tak jauh dari tempatnya berdiri. Leona tampak begitu santai, tangannya melingkar di leher Hero,
Tepat ketika Veline melangkahkan kaki ke atas panggung, langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya membelalak saat melihat seseorang yang berjalan dari sisi lain panggung. Sosok itu tampak begitu percaya diri, mengenakan pakaian rapi yang membuatnya sulit untuk tidak diperhatikan. Veline tanpa sadar memperhatikan lelaki itu dari ujung sepatu pantofelnya yang hitam mengkilap. Celana panjang kain hitam yang dikenakan tampak disetrika dengan sempurna. Pandangannya naik ke atas, melihat kemeja putih berlengan panjang yang terpasang rapi. Rambut hitam lelaki itu sedikit berantakan, tetapi justru menambah kesan kasual yang memikat. Dan di sanalah Arnold—mantan kekasihnya, berdiri dengan senyuman yang membuat darah Veline mendidih. 'Kenapa harus dia, sih?' gerutu Veline dalam hati. Ia menahan napas, mencoba menenangkan diri, tetapi rasa kesal sudah menyeruak. Bagaimana mungkin undian ini mempertemukannya dengan seseorang yang paling ingin ia hindari? Arnold menatapnya dengan santai. Se