Hero berteriak lantang ketika melihat Veline yang tiba-tiba terjatuh. "Veline ...."
Dengan keadaan panik, Hero lantas berlari menghampiri gadis itu yang sudah tak sadarkan diri. Lelaki tampan itu langsung berjongkok dengan lutut ditekuk. Tangan kekarnya langsung meraih kepala Veline dan menepuk wajahnya dengan pelan. "Veline, bangun!" Sudah beberapa kali Hero menepuk wajah gadis itu. Namun, sepertinya Veline tak kunjung sadar. "Veline sadarlah, ayo bangun!" Karena sudah panik dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, Hero pun lantas langsung mengangkat tubuh Veline, membawanya ke dalam mobil. Setelah pintu mobil ia buka dengan susah payah, akhirnya Veline berhasil ia letakkan di jok mobil paling depan. Hero menutup pintu mobil, lalu segera mengambil koper Veline yang sudah basah oleh hujan. Ia pun menyimpan koper gadis itu di bagasi mobil, setelah itu, Hero memasuki mobil, meski pakaiannya juga basah kuyup dan tubuhnya menggigil kedinginan, tapi ia tak peduli. Yang penting sekarang, ia harus segera membawa Veline pulang. Ketika mobil sudah melaju, sesekali Hero menatap gadis yang ada di sampingnya. Veline masih tak sadar diri, wajahnya juga terlihat pucat. Hero sendiri tak tahu mengapa Veline bisa tiba-tiba pingsan. 10 menit mengendarai mobil, akhirnya ia sampai di rumah. Hero segera turun dari mobil, berjalan ke arah pintu satunya lagi, setelah pintu mobil berhasil dibuka, Hero segera mengangkat tubuh Veline, dan langsung membawa gadis itu masuk ke dalam rumah. Dimas dan Amanda yang sedang duduk di ruang keluarga. Mereka terkejut ketika melihat Hero sudah pulang dengan menggendong Veline yang tak sadarkan diri. "Hero, ada apa dengan Veline?" tanya Dimas yang langsung berdiri, begitu juga dengan Amanda. "Hero nggak tahu, Pa. Tadi ketika Hero ngajak Veline pulang, dia sudah pingsan." "Ya sudah, kamu bawa langsung Veline ke kamarnya." Hero mengangguk dan langsung membawa Veline ke kamarnya yang ada di lantai dua. Sementara itu, Amanda merasa khawatir dengan keadaan Veline. Ia lalu berkata, "Ya ampun, Mas, kenapa Veline bisa pingsan?" "Aku juga tidak tahu, Ma. Aku mau telepon dokter dulu." "Baik, Mas. Aku akan melihat keadaan Veline sekarang." Dimas mengangguk, lalu segera menghubungi dokter keluarga, sementara Amanda bergegas menuju kamar Veline untuk melihat keadaan gadis itu. Sesampainya di kamar Veline, Amanda melihat Hero sedang meletakkan tubuh Veline yang basah kuyup di atas ranjang. Karena khawatir Hero juga akan masuk angin, Amanda segera berkata, "Hero, tante akan mengganti pakaian Veline dulu. Kamu juga ganti pakaianmu, ya." Hero hanya mengangguk dan segera keluar dari kamar Veline untuk mengganti pakaiannya juga yang basah kuyup, sementara Amanda mulai mengganti pakaian Veline dengan hati-hati. Setelah mengganti pakaian Veline, Amanda mencari minyak angin di dalam laci, ketika sudah menemukannya, ia kembali berjalan ke arah ranjang, dan mulai menggosokkan minyak angin itu pada tangan dan kaki Veline yang dingin. Amanda juga mengoleskan sedikit minyak angin di hidung gadis itu. Beberapa saat kemudian, Veline mulai mengerjapkan matanya. Amanda tersenyum lega melihat Veline mulai sadar. "Sayang, kamu sudah bangun." Veline mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. "Tante … Veline di mana?" "Kamu ada di rumah, Sayang." "Di rumah …?" "Iya, Sayang. Hero yang membawamu kembali ke rumah. Kenapa kamu bisa pingsan, Sayang?" tanyanya, sambil mengusap tangan Veline. Veline menunduk sejenak, mencoba merasakan apa yang terjadi pada tubuhnya. "Gak tahu, Tante. Kepala Veline rasanya berat banget … pusing .…" Pada saat itu, Dimas masuk ke dalam kamar Veline bersama dokter. "Veline, kamu sudah siuman?" tanya Dimas. "Sudah, Om." Dokter mulai mendekati Veline yang masih terbaring lemah di tempat tidur. "Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanyanya, sambil meletakkan tas yang ia bawa di lantai. "Em, kepala saya pusing, Dok ... perut juga terasa mual, seperti terbakar gitu," jawab Veline lemas. Dokter mengangguk sambil mengeluarkan alat-alat medis dari dalam tas, lalu mulai memeriksa tekanan darah dan mendengarkan detak jantung Veline dengan stetoskop. "Sepertinya asam lambungmu naik. Selain pusing dan mual, ada keluhan lain? Seperti nyeri di dada atau kesulitan menelan?" Amanda dan Dimas terkejut saat mengetahui bahwa Veline memiliki masalah asam lambung, terutama ketika Dimas tiba-tiba teringat bahwa Veline belum makan apa pun sejak tadi pagi. Veline mengangguk. "Iya, Dok. Dada terasa sakit. Kadang kalau makan atau minum, rasanya nggak nyaman di tenggorokan." Dokter memasukkan kembali alat-alat medisnya ke dalam tas, lalu mengambil kotak obat dari dalam tasnya. "Baik, saya akan meresepkan obat untukmu agar lebih cepat sembuh." "Ja-jangan, Dok," kilah Veline sambil menggelengkan kepala. "Kenapa, Sayang?" Amanda yang sedari tadi berdiri di sisi tempat tidur, merasa heran dengan reaksi Veline. "Veline nggak suka obat," sahut Veline, lalu menatap dokter kembali. "Dok, bisa nggak jangan kasih saya obat? Soalnya kalau nelen obat itu suka keluar lagi obatnya." Dimas dan Amanda tersenyum melihat tingkah polos Veline. "Kamu nggak bisa nelen obat, Veline?" tanya Dimas, sambil menahan tawa. Veline mengangguk pelan. "Iya, Om." Dokter tersenyum. "Baik, ada beberapa pasien yang memang mengalami kesulitan menelan obat. Untuk kondisi seperti ini, saya bisa memberikan obat dalam bentuk suntikan." "S-su ... suntikan?" Mata Veline terbelalak ketika dokter mulai mengeluarkan suntikan dari dalam tas. "D-dok, maksudnya saya akan disuntik?" "Tentu saja. Bukankah kamu bilang tidak bisa menelan obat?" "T-tapi, Dok ... saya takut disuntik. Bisa nggak, jangan suntik saya?" pinta Veline dengan wajah memelas. Amanda tersenyum dan menasihati Veline. "Sayang, kamu harus diobati agar cepat sembuh. Tante tahu kamu takut, tapi ini untuk kebaikanmu." "Tapi, Tante, Veline takut …," rengek Veline, sambil terus memandang jarum suntik itu dengan mata terbelalak, apalagi saat dokter mulai memasukkan cairan ke dalam suntikan. "Ayo, Veline. Kamu pasti bisa. Tante di sini menemani, ya?" Amanda mencoba menenangkan sambil mengusap bahu Veline. Veline menarik tangan Amanda, berusaha bersembunyi di balik tangan itu. "Gak mau, Tante … tolong Veline," gumamnya lirih sambil melirik ke arah jarum suntik yang menurutnya terlihat besar dan menakutkan. "Aw, gede banget itunya, pasti sakit nanti. Gak mau, Tante, tolong ...." Amanda tersenyum sambil mengelus rambut Veline. "Tutup matanya, ya, Sayang. Jangan lihat." Amanda membantu menutupi mata Veline dengan tangannya agar gadis itu tak perlu melihat suntikan. Dokter pun mulai mengusap lengan Veline menggunakan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik. Namun, saat dokter baru menyentuh lengannya, Veline sudah menjerit. "Aw! Aw! Sakit …!" teriak Veline sambil menggenggam tangan Amanda dengan erat. Dimas yang sedari tadi berusaha menahan tawa, akhirnya tak bisa menahan dirinya lagi. "Belum, Veline, belum …," katanya sambil terkekeh. "Dokter belum memasukkan jarumnya ke kulit kamu. Kamu udah teriak kesakitan duluan." Veline membuka matanya sejenak dan menatap Dimas dengan bingung. "Belum disuntik, Om? Tapi rasanya sakit, kok .…" Dokter dan Amanda ikut tersenyum melihat tingkah Veline, dan Amanda kembali menenangkan gadis itu. "Sabar, ya, Sayang. Sebentar aja, kok. Nanti setelah ini kamu akan merasa lebih baik." Veline mengangguk meski masih ragu, lalu menggigit bibir bawahnya. Ia menutup mata kembali dan menggenggam erat tangan Amanda. Dokter pun mulai menyuntikkan cairan di lengan Veline, sampai membuat gadis itu menjerit kesakitan. "Awww … sakit …!" cicit Veline, sambil mencengkram tangan Amanda kuat. Setelah beberapa detik, dokter menarik jarum suntik dan tersenyum pada Veline. "Sudah selesai. Kamu butuh istirahat dan makan teratur. Nanti, lambungmu akan membaik dan rasa pusing juga akan hilang." Veline menatap dokter itu dengan wajah kesal. "Dokter harus tanggung jawab!" ucapnya sambil merengut. Dimas, Amanda, dan dokter menatap Veline bersamaan, mereka sedikit terkejut dengan ucapan gadis itu. "Tanggung jawab untuk apa, Sayang?" tanya Amanda. Veline menggembungkan pipinya kesal. "Gara-gara dokter, tangan mulus Veline jadi sakit!" rengeknya manja. Dimas tertawa kecil melihat tingkah gadis itu. "Kamu ini ada-ada saja, Veline. Nanti juga tanganmu baik lagi." Dokter hanya menggeleng sambil tersenyum.Hero keluar dari kamar mandi, sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk, sampai membuat beberapa helai rambutnya jatuh berantakan di dahi. Setelah libur tengah semester berakhir, akhirnya hari ini ia akan kembali bersekolah. Lelaki tampan itu berjalan menuju lemari, membuka pintu, dan mengambil seragam sekolah yang sudah rapi tergantung di sana. Saat mulai mengenakannya, Hero memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Tubuh tegapnya terlihat semakin berwibawa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tinggi dan wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, serta sepasang mata tajam yang seakan memiliki daya tarik tersendiri, sampai membuatnya digilai oleh banyak siswi di sekolah. Setelah rapi mengenakan seragamnya, Hero mengambil botol parfum dari meja, lalu menyemprotkannya pada tubuh. Aroma maskulin sudah menyeruak menyebar di ruangan tersebut. Sebelum meninggalkan kamar, ia merapikan rambutnya terlebih dulu. Lalu memasang jam tangan di pergelangan tangan kiri dan
Seharian sudah, Veline menghabiskan waktu di dalam kamar. Namun, rasa bosan perlahan mulai menghampiri. Setelah melihat gelas air minumnya kosong, ia memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil air. Kondisinya memang sudah jauh lebih baik, terutama berkat perhatian Amanda yang tak pernah lelah merawatnya. Wanita itu selalu memastikan Veline mendapatkan makanan bergizi dan buah-buahan segar sepanjang hari. Amanda memperlakukannya seperti putri kandung sendiri, sampai membuat Veline merasa nyaman. Kehangatan itu menghadirkan kembali sosok ibu yang selama ini ia rindukan dalam diri Amanda. Namun bukan hanya Amanda, Dimas, juga selalu baik padanya. Veline merasa sangat beruntung, karena Tuhan mempertemukannya dengan orang-orang yang tulus dan begitu peduli. Sesampainya di dapur, Veline melihat Amanda sedang menyiapkan makan malam bersama Bi Ranti. "Malam, Tante, Bi Ranti," sapa Veline kepada dua wanita yang sedang sibuk di dapur. Amanda menoleh ke arah Veline yang ada di belakang
Bunyi alarm terus menggema di dalam kamar seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya. Tangan Veline terulur, mencari alarm di atas nakas. Namun, alih-alih bangun, ia hanya mematikan dan melemparnya ke sembarang arah, lalu tidur kembali. Kebiasaan Veline memang seperti itu. Namun ketika matahari mulai naik dan sinarnya menyilaukan wajah Veline, matanya pun mengerjap pelan. Setelah sedikit sadar, ia langsung terbangun. Ia mengambil jam alarm yang tergeletak di samping tempat tidur dan matanya terbelalak ketika melihat jarum pendek jam sudah menunjukkan angka tujuh. "Ya ampun! Gue telat!" serunya panik. Veline langsung menuju kamar mandi. Ia memutuskan untuk tidak mandi—itu akan memakan waktu lama, apalagi ia suka berlama-lama saat mandi. Gadis yang masih mengenakan piyama itu pun memilih hanya untuk menggosok gigi dan membasuh muka saja. Selesai membersihkan wajahnya, Veline berlari ke kamar sambil mengeringkan wajah dengan handuk. Dengan terburu-buru, ia mengambil seragam p
"Ish, lo senang banget sih narik-narik tas gue?" gerutu Veline kesal, sambil menepis tangan kekar Hero yang mencengkeram tasnya kuat. Hero hanya menghela napas panjang, tatapannya begitu dingin saat melihat gadis itu. "Sebelum lo bersihin toilet, lo hapus dulu make up lo!" ujarnya datar, sambil menatap Veline dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan gadis itu memang selalu mencolok, dan hal itu membuat darah Hero berdesir, bukan karena terpesona, tapi kesal. Wajah Veline penuh dengan riasan tebal, alisnya dibentuk tajam, lipstiknya merah menyala. Bukannya terlihat seperti siswi SMA pada umumnya, Veline lebih mirip seperti akan pergi ke pesta malam. Namun, bukan hanya itu yang mengganggu Hero. Seragam sekolah Veline, yang seharusnya longgar dan rapi, justru begitu ketat, sampai menonjolkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Rok yang semestinya selutut, dipendekkan hingga di atas paha, melihat itu membuat Hero semakin frustrasi. "Hah? Maksud lo apa?" Veline memandang Hero bi
"Lo napa diem, Ro? Lo lihat cegil di mana?" tanya Noval sambil mengangkat alis, ketika melihat Hero yang sedari tadi hanya diam melamun. "Atau jangan-jangan, cewek gila yang biasa lewat depan sekolah?" timpal Raka sambil cekikikan. "Njir, mana iya lagi, kemarin gue lihat dia nggak pakai baju, mana itunya udah turun banget." Noval berkata dengan serius, tapi malah membuat Raka mengernyit. "Apanya yang turun, bego?" Raka langsung menimpuk kepala Noval dengan buku yang ada di tangannya. "Dua gunungnya, anjir!" Noval mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat ditimpuk Raka. Raka malah ngakak mendengar itu, sementara Adrian dan Hero malah bengong. "Jangan-jangan lo lihatin tuh cegil sampe ngences, iya, kan?" tanya Raka sampai terkikik geli. "Mana ada, anjir! Gue lihat aja gak ada napsu-napsunya," sahut Noval sambil mendengkus. Adrian sedari tadi hanya mengerutkan kening. Dia memang sudah terbiasa dengan percakapan absurd Noval dan Raka, tapi kali ini perhatiannya tertuju pad
Tangan Hero mengepal kuat di sisi tubuhnya, tatkala melihat pemandangan yang membuatnya merasa geram. Entah apa yang dilakukan dua orang tersebut di dalam toilet, yang jelas Hero tak suka melihatnya. "Sedang apa kalian?" Kedua orang yang ada di dalam toilet langsung menatap ke arah pintu, di mana mereka melihat Hero yang berdiri dengan tegak. "He-Hero …," gumam Freya. Tangan Veline yang sedang menarik rambut Freya pun langsung terlepas, sementara itu Freya langsung berlari ke arah Hero. "Hero, tolong! Rambut gue dijambak sama Veline," adunya sambil merengek "Kenapa lo jambak rambut Freya?" Hero bertanya sambil menatap ke arah Veline yang hanya diam mematung. Veline terdiam sejenak, mengatur napasnya yang masih memburu. Sementara itu, Freya memeluk lengan Hero untuk mencari perlindungan. Pertengkaran antara Veline dan Freya bukanlah hal baru. Keduanya sudah sering berselisih paham di sekolah, dari masalah kecil hingga pertengkaran besar. "Gue nggak bakal lakuin itu k
Hero menatap wajah Veline dengan nanar. Dalam benaknya, gadis itu benar-benar sudah kehilangan akal. Bisa-bisanya dia meminta sesuatu yang begitu absurd, dan di sekolah pula. Hero merasa kesabarannya diuji habis-habisan. "Lo udah bener-bener gila ya, Vel? Bisa-bisanya lo nyuruh gue buat beliin begituan." "Gilaan mana gue sama lo," balas Veline santai. "Lo udah tahu seragam gue basah kuyup. Baju dalam gue juga basah. Kenapa lo nggak sekalian beliin?" Hero mendengkus pelan. Wanita itu memang selalu punya cara untuk membuat darahnya mendidih. Ucapannya, tindakannya, semuanya terasa seperti ujian kesabaran yang tak ada habisnya. Alih-alih melanjutkan perdebatan yang tak akan berujung, Hero hanya berdecak kesal. Ia lantas berdiri dari kursinya dengan cepat. "Lo mau ke mana? Hero!" teriak Veline, suaranya menggema di seluruh kelas. Sontak, perhatian para siswa beralih ke arah mereka. Tatapan rasa ingin tahu terpancang pada Veline, sampai membuat gadis itu sedikit jengah. "Ngapa
Mendengar kata-kata Dimas barusan, tubuh Hero dan Veline terasa merinding. Bukan karena udara yang dingin, tapi karena rasa ngeri yang menyelimuti hati mereka. Menikah? Pikiran itu tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak keduanya. Mereka masih muda, masa depan mereka masih panjang, dan seperti remaja lainnya, mereka punya impian untuk menikmati masa-masa sekolah dan bersenang-senang bersama teman-teman. Mereka ingin merasakan kebebasan, bukan dibebani tanggung jawab besar seperti pernikahan. Hero mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menekan rasa kesalnya. Beberapa hari lalu, dia sudah menolak keras rencana perjodohan ini, tetapi tampaknya penolakannya hanya dianggap angin lalu oleh sang ayah. "Pa, serius? Menikah? Hero masih sekolah, Pa. Mana mungkin Hero mikirin hal kayak gitu?" Veline pun tak kalah terkejut. "Om, ini … ini nggak masuk akal. Veline belum siap buat nikah. Lagian, Veline sama Hero … kami juga masih sekolah." Dimas menarik napas panjang, kemudian menco
Malam ini hujan turun dengan deras, menyelimuti kota dengan dingin. Di sebuah ruang bersalin di rumah sakit, Veline terbaring di ranjang, wajahnya basah oleh keringat. Rasa sakit melandanya seperti gelombang yang tak kunjung usai, tetapi genggaman tangan Hero yang erat memberinya kekuatan. "Sayang, aku di sini. Tarik napas dalam-dalam, oke? Kamu pasti bisa," ujar Hero dengan suara yang tenang meskipun matanya memancarkan kegelisahan. Veline menggigit bibirnya, berusaha menahan jeritan. "Hero … sakit banget …," suaranya bergetar. Hero mengusap rambut istrinya yang basah oleh keringat. "Kamu kuat, Sayang. Kamu selalu kuat. Nggak lama lagi kita bakal ketemu sama anak kita." Dokter dan perawat sibuk mempersiapkan semuanya. "Baik, Bu Veline, saat kontraksi berikutnya, tolong dorong sekuat tenaga, ya," kata dokter. Veline mengangguk lemah, matanya menatap Hero dengan penuh harap. Hero hanya membalas dengan senyuman yang berusaha menenangkan, meski di dalam dirinya ia merasa
Pagi ini, Zahira melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Aroma antiseptik menusuk hidung, dan langkah sepatunya yang berderap di lantai mengkilap terdengar jelas di antara kesunyian. Matanya menatap nomor ruangan di depannya. Di balik pintu itu, Amanda, wanita yang selama ini ia anggap sebagai duri dalam rumah tangganya, kini terbaring lemah. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Setelah menghela napas panjang, Zahira mengetuk pintu dan masuk. Di dalam ruangan, Amanda terbaring dengan wajah pucat. Namun, ada senyum tipis di bibirnya saat melihat Zahira masuk. Dimas yang duduk di kursi di samping ranjang segera bangkit, memberikan ruang untuk mereka. "Zahira …," suara Amanda terdengar lemah. Zahira mendekat, menatap Amanda yang terbaring dengan infus terpasang di tangan kirinya. "Aku datang untuk menjengukmu," katanya dengan nada datar, tapi matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Amanda tersenyum lemah. "Terima kasih … aku tahu ini pasti tidak mudah untukmu."
Veline dan Yudha berjalan perlahan menuju parkiran rumah sakit. Udara malam terasa menusuk. Namun, langkah mereka tetap tenang di tengah suasana sunyi. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menambah kesan hening di sekitar. Namun, langkah Veline tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arah Yudha dan berkata, "Yud, gue mau beli minum dulu sebentar." Yudha menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. "Ya udah, kita ke minimarket aja. Itu ada di dekat sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah minimarket kecil tak jauh dari parkiran. Mereka kemudian melangkah menuju minimarket tersebut. Saat sampai, Veline masuk ke dalam tanpa ragu, sementara Yudha memilih menunggu di luar. Ia bersandar pada salah satu tiang dekat pintu masuk, pandangannya mengawasi sekitar dengan santai, meski raut wajahnya masih terlihat tegang setelah kejadian di rumah sakit tadi. Namun, suasana hening itu tiba-tiba berubah ketika Yudha melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah sakit. S
Amanda tergeletak di atas aspal, tubuhnya berlumuran darah yang terus mengalir, membasahi pakaian dan jalanan di sekitarnya. Matanya perlahan membuka, lemah, seolah mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Di sisi lain, Dimas berdiri terpaku sebelum akhirnya teriakannya menggema. "Amanda!" Dimas berteriak dengan suara yang serak dan penuh kegelisahan. Kakinya melangkah cepat, lututnya hampir jatuh saat ia berlutut di samping tubuh Amanda. Dengan kedua tangannya yang bergetar, ia mengangkat kepala Amanda, memeluknya dengan erat meskipun darah terus mengalir di tangannya. "Amanda, kenapa kamu melakukan ini?" Amanda hanya tersenyum samar, bibirnya bergetar mencoba mengeluarkan kata-kata. Namun, tidak ada suara yang terdengar. Di dekat mereka, Veline berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari genangan darah di sekitar tubuh Amanda. Wajahnya pucat, sementara pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa syok. "Ma ... Mama ...." Hero yang tadinya diam
Dimas berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya terkulai lemas. Wajahnya yang biasanya tampak tegas kini terlihat kusut. Napasnya terdengar berat, dan matanya seakan kehilangan semangat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. "Mas, kenapa kamu diam saja? Ayo, cepat kejar Zahira! Kamu mau dia pergi begitu saja?" Amanda mengguncang bahu Dimas, mencoba menyadarkannya. Namun, Dimas hanya berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Ia tahu semuanya sudah terlambat. Amanda menghela napas frustrasi. "Aku yang harus mengejarnya?" gerutunya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari rumah, berusaha mengejar Zahira yang sudah meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat. Di dalam rumah, suasana menjadi semakin canggung. Veline dan Hero yang baru saja turun dari tangga, heran melihat Amanda berlari keluar dengan terburu-buru, seolah sedang mengejar seseorang. "Mama, kenapa itu?" tanya Veline dengan suara penasaran, ma
Hero tiba di rumah dengan langkah berat, tangan kanannya memegang mangga muda yang sudah ia perjuangkan dari tengah malam hingga pagi. Ia memasukkan motor ke halaman depan rumah dengan pelan, berusaha tidak membuat suara berisik. Sesampainya di kamar, Hero membuka pintu dengan hati-hati, melihat Veline yang tampak sudah terlelap dengan nyenyak di tempat tidur. Ia memandangnya sejenak, senyumnya merekah meski ada rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya. Namun, sesaat setelah melihat wajah Veline yang begitu tenang, semua rasa lelah itu terasa sedikit lebih ringan. Dengan hati-hati, Hero duduk di tepi ranjang, menggoyangkan bahu Veline dengan lembut. "Sayang, bangun ... nih, mangga mudanya." Veline yang masih terlelap hanya menggerakkan bibirnya sedikit. Namun, tidak membuka mata. "Apa sih, ganggu aja ...," jawabnya dengan suara serak, tapi suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tidak tertarik untuk bangun. "Sayang, bangun ... ini mangga mudanya." Hero mengulangi, kali ini sedikit
Hero mengenakan jaket hitam tebalnya dengan tergesa-gesa. Malam ini udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan hembusan angin yang menyapu wajahnya saat keluar dari rumah membuatnya merasa semakin terjaga. Ia menurunkan helm dari motor dan meletakkannya di atas jok, berencana untuk menelepon beberapa temannya sebelum melanjutkan perjalanan. Pikirannya terfokus pada satu hal saja—mendapatkan mangga muda yang diminta oleh Veline. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena suhu udara yang dingin, Hero meraih ponselnya dan membuka kontak. Nama Raka muncul di layar, dan tanpa ragu ia menekan tombol telepon. "Raka, lo lagi di mana?" Tak lama kemudian, suara Raka terdengar dari ujung telepon. "Gue lagi di basecamp, sama Noval sama Adrian. Kenapa, Ro?" "Ke sekolah sekarang!" "Ngapain ke sekolah? Ini udah malam." "Pokoknya ke sekolah aja dulu, nanti gue jelasin. Ajak Noval sama Adrian juga." "Ya udah deh." Hero menutup telepon itu dengan cepat, menghela napas, dan mengam
Di ruang tamu yang diterangi lampu hangat, Veline duduk di sofa dengan Hero. Mereka baru saja selesai makan malam, dan suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Veline menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memulai pembicaraan. Ia menatap secangkir teh hangat di tangannya, mengaduknya perlahan meski tidak ada gula yang perlu larut di sana. "Sayang," ujar Veline, memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara ketenangan malam. Hero yang sedang memainkan ponselnya menoleh, menatap Veline dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa? Kamu kelihatan serius banget," katanya sambil meletakkan ponselnya di meja. Perhatiannya kini sepenuhnya terarah pada istrinya. Veline menghela napas panjang, menaruh cangkirnya di meja, lalu bersandar ke sofa. Matanya menatap ke arah jendela, meski yang terlihat hanya bayangan gelap malam. "Aku tadi habis ke rumah Leona," ucapnya. Hero terkejut, tapi ia tidak langsung menyela. Ia hanya mengan
Sejak kejadian itu, Leona mengurung dirinya di dalam kamar. Pintu kamarnya yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat, seakan mencerminkan dinding yang ia bangun untuk memisahkan dirinya dari dunia luar. Tirai jendela pun tertutup, membiarkan kegelapan menguasai ruangannya. Suara tangis terkadang terdengar lirih dari balik pintu, tetapi tak ada yang cukup berani untuk mengetuk dan mencoba bicara dengannya. Veline yang mengetahui keadaan sahabatnya merasa dilematis. Meski hatinya masih dipenuhi amarah karena ulah Leona yang terus mencoba memisahkannya dari Hero, rasa iba perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mengingat bagaimana video yang memperlihatkan tindakan tidak terpuji Leona tersebar luas di media sosial. Video itu menjadi bahan cibiran dan ejekan. Orang-orang terus mencela Leona tanpa ampun, menghakimi tanpa memberi ruang untuk pembelaan. Akun media sosial Leona dipenuhi komentar pedas, seolah seluruh dunia bersekongkol untuk menjatuhkannya. "Kenapa dia harus sebodoh