Hero berteriak lantang ketika melihat Veline yang tiba-tiba terjatuh. "Veline ...."
Dengan keadaan panik, Hero lantas berlari menghampiri gadis itu yang sudah tak sadarkan diri. Lelaki tampan itu langsung berjongkok dengan lutut ditekuk. Tangan kekarnya langsung meraih kepala Veline dan menepuk wajahnya dengan pelan. "Veline, bangun!" Sudah beberapa kali Hero menepuk wajah gadis itu. Namun, sepertinya Veline tak kunjung sadar. "Veline sadarlah, ayo bangun!" Karena sudah panik dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, Hero pun lantas langsung mengangkat tubuh Veline, membawanya ke dalam mobil. Setelah pintu mobil ia buka dengan susah payah, akhirnya Veline berhasil ia letakkan di jok mobil paling depan. Hero menutup pintu mobil, lalu segera mengambil koper Veline yang sudah basah oleh hujan. Ia pun menyimpan koper gadis itu di bagasi mobil, setelah itu, Hero memasuki mobil, meski pakaiannya juga basah kuyup dan tubuhnya menggigil kedinginan, tapi ia tak peduli. Yang penting sekarang, ia harus segera membawa Veline pulang. Ketika mobil sudah melaju, sesekali Hero menatap gadis yang ada di sampingnya. Veline masih tak sadar diri, wajahnya juga terlihat pucat. Hero sendiri tak tahu mengapa Veline bisa tiba-tiba pingsan. 10 menit mengendarai mobil, akhirnya ia sampai di rumah. Hero segera turun dari mobil, berjalan ke arah pintu satunya lagi, setelah pintu mobil berhasil dibuka, Hero segera mengangkat tubuh Veline, dan langsung membawa gadis itu masuk ke dalam rumah. Dimas dan Amanda yang sedang duduk di ruang keluarga. Mereka terkejut ketika melihat Hero sudah pulang dengan menggendong Veline yang tak sadarkan diri. "Hero, ada apa dengan Veline?" tanya Dimas yang langsung berdiri, begitu juga dengan Amanda. "Hero nggak tahu, Pa. Tadi ketika Hero ngajak Veline pulang, dia sudah pingsan." "Ya sudah, kamu bawa langsung Veline ke kamarnya." Hero mengangguk dan langsung membawa Veline ke kamarnya yang ada di lantai dua. Sementara itu, Amanda merasa khawatir dengan keadaan Veline. Ia lalu berkata, "Ya ampun, Mas, kenapa Veline bisa pingsan?" "Aku juga tidak tahu, Ma. Aku mau telepon dokter dulu." "Baik, Mas. Aku akan melihat keadaan Veline sekarang." Dimas mengangguk, lalu segera menghubungi dokter keluarga, sementara Amanda bergegas menuju kamar Veline untuk melihat keadaan gadis itu. Sesampainya di kamar Veline, Amanda melihat Hero sedang meletakkan tubuh Veline yang basah kuyup di atas ranjang. Karena khawatir Hero juga akan masuk angin, Amanda segera berkata, "Hero, tante akan mengganti pakaian Veline dulu. Kamu juga ganti pakaianmu, ya." Hero hanya mengangguk dan segera keluar dari kamar Veline untuk mengganti pakaiannya juga yang basah kuyup, sementara Amanda mulai mengganti pakaian Veline dengan hati-hati. Setelah mengganti pakaian Veline, Amanda mencari minyak angin di dalam laci, ketika sudah menemukannya, ia kembali berjalan ke arah ranjang, dan mulai menggosokkan minyak angin itu pada tangan dan kaki Veline yang dingin. Amanda juga mengoleskan sedikit minyak angin di hidung gadis itu. Beberapa saat kemudian, Veline mulai mengerjapkan matanya. Amanda tersenyum lega melihat Veline mulai sadar. "Sayang, kamu sudah bangun." Veline mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. "Tante … Veline di mana?" "Kamu ada di rumah, Sayang." "Di rumah …?" "Iya, Sayang. Hero yang membawamu kembali ke rumah. Kenapa kamu bisa pingsan, Sayang?" tanyanya, sambil mengusap tangan Veline. Veline menunduk sejenak, mencoba merasakan apa yang terjadi pada tubuhnya. "Gak tahu, Tante. Kepala Veline rasanya berat banget … pusing .…" Pada saat itu, Dimas masuk ke dalam kamar Veline bersama dokter. "Veline, kamu sudah siuman?" tanya Dimas. "Sudah, Om." Dokter mulai mendekati Veline yang masih terbaring lemah di tempat tidur. "Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanyanya, sambil meletakkan tas yang ia bawa di lantai. "Em, kepala saya pusing, Dok ... perut juga terasa mual, seperti terbakar gitu," jawab Veline lemas. Dokter mengangguk sambil mengeluarkan alat-alat medis dari dalam tas, lalu mulai memeriksa tekanan darah dan mendengarkan detak jantung Veline dengan stetoskop. "Sepertinya asam lambungmu naik. Selain pusing dan mual, ada keluhan lain? Seperti nyeri di dada atau kesulitan menelan?" Amanda dan Dimas terkejut saat mengetahui bahwa Veline memiliki masalah asam lambung, terutama ketika Dimas tiba-tiba teringat bahwa Veline belum makan apa pun sejak tadi pagi. Veline mengangguk. "Iya, Dok. Dada terasa sakit. Kadang kalau makan atau minum, rasanya nggak nyaman di tenggorokan." Dokter memasukkan kembali alat-alat medisnya ke dalam tas, lalu mengambil kotak obat dari dalam tasnya. "Baik, saya akan meresepkan obat untukmu agar lebih cepat sembuh." "Ja-jangan, Dok," kilah Veline sambil menggelengkan kepala. "Kenapa, Sayang?" Amanda yang sedari tadi berdiri di sisi tempat tidur, merasa heran dengan reaksi Veline. "Veline nggak suka obat," sahut Veline, lalu menatap dokter kembali. "Dok, bisa nggak jangan kasih saya obat? Soalnya kalau nelen obat itu suka keluar lagi obatnya." Dimas dan Amanda tersenyum melihat tingkah polos Veline. "Kamu nggak bisa nelen obat, Veline?" tanya Dimas, sambil menahan tawa. Veline mengangguk pelan. "Iya, Om." Dokter tersenyum. "Baik, ada beberapa pasien yang memang mengalami kesulitan menelan obat. Untuk kondisi seperti ini, saya bisa memberikan obat dalam bentuk suntikan." "S-su ... suntikan?" Mata Veline terbelalak ketika dokter mulai mengeluarkan suntikan dari dalam tas. "D-dok, maksudnya saya akan disuntik?" "Tentu saja. Bukankah kamu bilang tidak bisa menelan obat?" "T-tapi, Dok ... saya takut disuntik. Bisa nggak, jangan suntik saya?" pinta Veline dengan wajah memelas. Amanda tersenyum dan menasihati Veline. "Sayang, kamu harus diobati agar cepat sembuh. Tante tahu kamu takut, tapi ini untuk kebaikanmu." "Tapi, Tante, Veline takut …," rengek Veline, sambil terus memandang jarum suntik itu dengan mata terbelalak, apalagi saat dokter mulai memasukkan cairan ke dalam suntikan. "Ayo, Veline. Kamu pasti bisa. Tante di sini menemani, ya?" Amanda mencoba menenangkan sambil mengusap bahu Veline. Veline menarik tangan Amanda, berusaha bersembunyi di balik tangan itu. "Gak mau, Tante … tolong Veline," gumamnya lirih sambil melirik ke arah jarum suntik yang menurutnya terlihat besar dan menakutkan. "Aw, gede banget itunya, pasti sakit nanti. Gak mau, Tante, tolong ...." Amanda tersenyum sambil mengelus rambut Veline. "Tutup matanya, ya, Sayang. Jangan lihat." Amanda membantu menutupi mata Veline dengan tangannya agar gadis itu tak perlu melihat suntikan. Dokter pun mulai mengusap lengan Veline menggunakan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik. Namun, saat dokter baru menyentuh lengannya, Veline sudah menjerit. "Aw! Aw! Sakit …!" teriak Veline sambil menggenggam tangan Amanda dengan erat. Dimas yang sedari tadi berusaha menahan tawa, akhirnya tak bisa menahan dirinya lagi. "Belum, Veline, belum …," katanya sambil terkekeh. "Dokter belum memasukkan jarumnya ke kulit kamu. Kamu udah teriak kesakitan duluan." Veline membuka matanya sejenak dan menatap Dimas dengan bingung. "Belum disuntik, Om? Tapi rasanya sakit, kok .…" Dokter dan Amanda ikut tersenyum melihat tingkah Veline, dan Amanda kembali menenangkan gadis itu. "Sabar, ya, Sayang. Sebentar aja, kok. Nanti setelah ini kamu akan merasa lebih baik." Veline mengangguk meski masih ragu, lalu menggigit bibir bawahnya. Ia menutup mata kembali dan menggenggam erat tangan Amanda. Dokter pun mulai menyuntikkan cairan di lengan Veline, sampai membuat gadis itu menjerit kesakitan. "Awww … sakit …!" cicit Veline, sambil mencengkram tangan Amanda kuat. Setelah beberapa detik, dokter menarik jarum suntik dan tersenyum pada Veline. "Sudah selesai. Kamu butuh istirahat dan makan teratur. Nanti, lambungmu akan membaik dan rasa pusing juga akan hilang." Veline menatap dokter itu dengan wajah kesal. "Dokter harus tanggung jawab!" ucapnya sambil merengut. Dimas, Amanda, dan dokter menatap Veline bersamaan, mereka sedikit terkejut dengan ucapan gadis itu. "Tanggung jawab untuk apa, Sayang?" tanya Amanda. Veline menggembungkan pipinya kesal. "Gara-gara dokter, tangan mulus Veline jadi sakit!" rengeknya manja. Dimas tertawa kecil melihat tingkah gadis itu. "Kamu ini ada-ada saja, Veline. Nanti juga tanganmu baik lagi." Dokter hanya menggeleng sambil tersenyum.Hero keluar dari kamar mandi, sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk, sampai membuat beberapa helai rambutnya jatuh berantakan di dahi. Setelah libur tengah semester berakhir, akhirnya hari ini ia akan kembali bersekolah. Lelaki tampan itu berjalan menuju lemari, membuka pintu, dan mengambil seragam sekolah yang sudah rapi tergantung di sana. Saat mulai mengenakannya, Hero memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Tubuh tegapnya terlihat semakin berwibawa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tinggi dan wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, serta sepasang mata tajam yang seakan memiliki daya tarik tersendiri, sampai membuatnya digilai oleh banyak siswi di sekolah. Setelah rapi mengenakan seragamnya, Hero mengambil botol parfum dari meja, lalu menyemprotkannya pada tubuh. Aroma maskulin sudah menyeruak menyebar di ruangan tersebut. Sebelum meninggalkan kamar, ia merapikan rambutnya terlebih dulu. Lalu memasang jam tangan di pergelangan tangan kiri dan
Seharian sudah, Veline menghabiskan waktu di dalam kamar. Namun, rasa bosan perlahan mulai menghampiri. Setelah melihat gelas air minumnya kosong, ia memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil air. Kondisinya memang sudah jauh lebih baik, terutama berkat perhatian Amanda yang tak pernah lelah merawatnya. Wanita itu selalu memastikan Veline mendapatkan makanan bergizi dan buah-buahan segar sepanjang hari. Amanda memperlakukannya seperti putri kandung sendiri, sampai membuat Veline merasa nyaman. Kehangatan itu menghadirkan kembali sosok ibu yang selama ini ia rindukan dalam diri Amanda. Namun bukan hanya Amanda, Dimas, juga selalu baik padanya. Veline merasa sangat beruntung, karena Tuhan mempertemukannya dengan orang-orang yang tulus dan begitu peduli. Sesampainya di dapur, Veline melihat Amanda sedang menyiapkan makan malam bersama Bi Ranti. "Malam, Tante, Bi Ranti," sapa Veline kepada dua wanita yang sedang sibuk di dapur. Amanda menoleh ke arah Veline yang ada di belakang
Bunyi alarm terus menggema di dalam kamar seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya. Tangan Veline terulur, mencari alarm di atas nakas. Namun, alih-alih bangun, ia hanya mematikan dan melemparnya ke sembarang arah, lalu tidur kembali. Kebiasaan Veline memang seperti itu. Namun ketika matahari mulai naik dan sinarnya menyilaukan wajah Veline, matanya pun mengerjap pelan. Setelah sedikit sadar, ia langsung terbangun. Ia mengambil jam alarm yang tergeletak di samping tempat tidur dan matanya terbelalak ketika melihat jarum pendek jam sudah menunjukkan angka tujuh. "Ya ampun! Gue telat!" serunya panik. Veline langsung menuju kamar mandi. Ia memutuskan untuk tidak mandi—itu akan memakan waktu lama, apalagi ia suka berlama-lama saat mandi. Gadis yang masih mengenakan piyama itu pun memilih hanya untuk menggosok gigi dan membasuh muka saja. Selesai membersihkan wajahnya, Veline berlari ke kamar sambil mengeringkan wajah dengan handuk. Dengan terburu-buru, ia mengambil seragam p
"Ish, lo senang banget sih narik-narik tas gue?" gerutu Veline kesal, sambil menepis tangan kekar Hero yang mencengkeram tasnya kuat. Hero hanya menghela napas panjang, tatapannya begitu dingin saat melihat gadis itu. "Sebelum lo bersihin toilet, lo hapus dulu make up lo!" ujarnya datar, sambil menatap Veline dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilan gadis itu memang selalu mencolok, dan hal itu membuat darah Hero berdesir, bukan karena terpesona, tapi kesal. Wajah Veline penuh dengan riasan tebal, alisnya dibentuk tajam, lipstiknya merah menyala. Bukannya terlihat seperti siswi SMA pada umumnya, Veline lebih mirip seperti akan pergi ke pesta malam. Namun, bukan hanya itu yang mengganggu Hero. Seragam sekolah Veline, yang seharusnya longgar dan rapi, justru begitu ketat, sampai menonjolkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Rok yang semestinya selutut, dipendekkan hingga di atas paha, melihat itu membuat Hero semakin frustrasi. "Hah? Maksud lo apa?" Veline memandang Hero bi
"Lo napa diem, Ro? Lo lihat cegil di mana?" tanya Noval sambil mengangkat alis, ketika melihat Hero yang sedari tadi hanya diam melamun. "Atau jangan-jangan, cewek gila yang biasa lewat depan sekolah?" timpal Raka sambil cekikikan. "Njir, mana iya lagi, kemarin gue lihat dia nggak pakai baju, mana itunya udah turun banget." Noval berkata dengan serius, tapi malah membuat Raka mengernyit. "Apanya yang turun, bego?" Raka langsung menimpuk kepala Noval dengan buku yang ada di tangannya. "Dua gunungnya, anjir!" Noval mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat ditimpuk Raka. Raka malah ngakak mendengar itu, sementara Adrian dan Hero malah bengong. "Jangan-jangan lo lihatin tuh cegil sampe ngences, iya, kan?" tanya Raka sampai terkikik geli. "Mana ada, anjir! Gue lihat aja gak ada napsu-napsunya," sahut Noval sambil mendengkus. Adrian sedari tadi hanya mengerutkan kening. Dia memang sudah terbiasa dengan percakapan absurd Noval dan Raka, tapi kali ini perhatiannya tertuju pad
Tangan Hero mengepal kuat di sisi tubuhnya, tatkala melihat pemandangan yang membuatnya merasa geram. Entah apa yang dilakukan dua orang tersebut di dalam toilet, yang jelas Hero tak suka melihatnya. "Sedang apa kalian?" Kedua orang yang ada di dalam toilet langsung menatap ke arah pintu, di mana mereka melihat Hero yang berdiri dengan tegak. "He-Hero …," gumam Freya. Tangan Veline yang sedang menarik rambut Freya pun langsung terlepas, sementara itu Freya langsung berlari ke arah Hero. "Hero, tolong! Rambut gue dijambak sama Veline," adunya sambil merengek "Kenapa lo jambak rambut Freya?" Hero bertanya sambil menatap ke arah Veline yang hanya diam mematung. Veline terdiam sejenak, mengatur napasnya yang masih memburu. Sementara itu, Freya memeluk lengan Hero untuk mencari perlindungan. Pertengkaran antara Veline dan Freya bukanlah hal baru. Keduanya sudah sering berselisih paham di sekolah, dari masalah kecil hingga pertengkaran besar. "Gue nggak bakal lakuin itu k
Hero menatap wajah Veline dengan nanar. Dalam benaknya, gadis itu benar-benar sudah kehilangan akal. Bisa-bisanya dia meminta sesuatu yang begitu absurd, dan di sekolah pula. Hero merasa kesabarannya diuji habis-habisan. "Lo udah bener-bener gila ya, Vel? Bisa-bisanya lo nyuruh gue buat beliin begituan." "Gilaan mana gue sama lo," balas Veline santai. "Lo udah tahu seragam gue basah kuyup. Baju dalam gue juga basah. Kenapa lo nggak sekalian beliin?" Hero mendengkus pelan. Wanita itu memang selalu punya cara untuk membuat darahnya mendidih. Ucapannya, tindakannya, semuanya terasa seperti ujian kesabaran yang tak ada habisnya. Alih-alih melanjutkan perdebatan yang tak akan berujung, Hero hanya berdecak kesal. Ia lantas berdiri dari kursinya dengan cepat. "Lo mau ke mana? Hero!" teriak Veline, suaranya menggema di seluruh kelas. Sontak, perhatian para siswa beralih ke arah mereka. Tatapan rasa ingin tahu terpancang pada Veline, sampai membuat gadis itu sedikit jengah. "Ngapa
Mendengar kata-kata Dimas barusan, tubuh Hero dan Veline terasa merinding. Bukan karena udara yang dingin, tapi karena rasa ngeri yang menyelimuti hati mereka. Menikah? Pikiran itu tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak keduanya. Mereka masih muda, masa depan mereka masih panjang, dan seperti remaja lainnya, mereka punya impian untuk menikmati masa-masa sekolah dan bersenang-senang bersama teman-teman. Mereka ingin merasakan kebebasan, bukan dibebani tanggung jawab besar seperti pernikahan. Hero mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menekan rasa kesalnya. Beberapa hari lalu, dia sudah menolak keras rencana perjodohan ini, tetapi tampaknya penolakannya hanya dianggap angin lalu oleh sang ayah. "Pa, serius? Menikah? Hero masih sekolah, Pa. Mana mungkin Hero mikirin hal kayak gitu?" Veline pun tak kalah terkejut. "Om, ini … ini nggak masuk akal. Veline belum siap buat nikah. Lagian, Veline sama Hero … kami juga masih sekolah." Dimas menarik napas panjang, kemudian menco
Tok! Tok! Tok! "Vel, buka pintunya dong," panggil Hero sembari mengetuk pintu kamar Veline untuk kesekian kalinya. Namun, tak ada sahutan dari dalam. Hero mendengkus pelan, menatap pintu kayu itu dengan frustrasi. Jam di dinding menunjukkan pukul 6:40 pagi, dan Hero sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seragamnya rapi, tas sudah disandang. Namun, ia belum melihat tanda-tanda Veline keluar dari kamar. Semalam pun situasinya sama. Hero sudah mengetuk pintu kamar Veline berulang kali, tapi gadis itu tetap tak keluar dari kamar. "Vel, udah jam tujuh, lo nggak mau sekolah?" panggil Hero lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. Masih tidak ada balasan. Hero menghela napas panjang, merasa putus asa. Ia menempelkan dahinya ke pintu, mencoba mencari cara untuk membuat Veline keluar, tapi akhirnya menyerah. "Vel, gue berangkat duluan, ya. Kalau lo nggak mau sekolah, terserah lo," ujar Hero, nada suaranya terdengar pasrah. Ia melangkah pergi dengan lesu, meski pikir
"Lo bisa tenang sebentar nggak?" Hero menarik napas panjang, mencoba mengendalikan amarahnya. Sepasang lengannya mencengkeram tangan Veline yang masih ia tahan di atas kepala. Matanya menatap tajam, ia berharap agar gadis itu mau mendengar, agar dia berhenti meronta, dan mau sedikit bekerja sama. Namun Veline seperti tidak peduli. Tubuhnya terus bergerak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Hero. Gadis itu memaki dan meminta dilepaskan, tetapi Hero tak mendengar perkataannya. Hero memejamkan mata sejenak, mencoba bersabar. Namun semakin lama gadis itu semakin liar, dan tangannya semakin sulit ditahan. Hero menunduk sedikit, berusaha mendekatkan wajahnya. Ia mencoba menggapai sudut bibir Veline dengan lembut, mencoba membuatnya berhenti melawan, tapi gadis itu selalu menghindar, memalingkan wajah ke kiri dan kanan, seolah berusaha menjauh sejauh mungkin darinya. Kesabaran Hero akhirnya habis. Dengan sisa kendali yang ia miliki, ia mendekatkan wajahnya ke leher Veline, lal
"Aw, Veline!" Hero meringis kesakitan, dengan refleks ia melepaskan pelukannya pada Veline, lalu menyentuh lengannya yang kini memerah karena gigitan gadis itu. Melihat kesempatan itu, Veline langsung melesat pergi tanpa melihat ke belakang. Sementara Hero masih sibuk mengibaskan tangannya, mencoba meredakan rasa sakit pada lengannya. "Veline! Tunggu!" seru Hero sambil mulai mengejar gadis itu yang sudah pergi. Dari kejauhan, Alyssa dan Raka yang sedari tadi menyaksikan semua pertengkaran itu hanya bisa menatap bingung. Alyssa mengguncang lengan Raka pelan. "Beb, gimana dong? Kayaknya Veline masih marah banget sama Hero." Raka menghela napas, menatap Hero dan Veline yang kini mulai menjauh dari pandangan mereka. "Udah, biarin aja mereka. Itu urusan mereka, kita jangan ikut campur." "Tapi ...." Alyssa tampak ragu, lalu mendesah panjang. "Ya udah, kita ikutin mereka aja dari jauh." Raka mengerutkan kening, tapi akhirnya setuju dengan usulan kekasihnya. "Iya deh, tersera
Sepasang mata Veline membulat sempurna ketika menyadari lelaki itu kini ada di hadapannya. Napasnya memburu, bukan karena lelah dari permainan arcade yang baru selesai, melainkan karena kemarahan yang kembali membuncah. Hero tidak sendiri, Raka juga tampak berdiri di dekat sana. Keberadaan mereka membuat pikirannya langsung mengarah pada satu hal: Alyssa pasti memberitahu mereka bahwa dia ada di sini. Namun, Veline tak berniat mengkonfrontasi lebih jauh. Darahnya sudah cukup mendidih hanya dengan melihat wajah Hero. Dia berbalik, meletakan sebotol minumnya di meja, lalu meninggalkan mesin arcade, dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Akan tetapi, tiba-tiba tangan Hero meraih pergelangan tangannya. "Vel, tunggu." Suara berat lelaki itu terdengar tegas, tapi Veline tidak peduli. Dia langsung meronta. "Lepasin gue!" rintihnya, berusaha melepaskan diri dari genggaman Hero. Namun, Hero tidak mengendurkan pegangan, dan justru membawanya menjauh dari keramaian. Mereka melewati loron
Pikiran Hero melayang jauh entah ke mana, mencari kemungkinan ke mana Veline pergi. Matanya menyipit ketika ia teringat pada satu nama: Alyssa. Mungkin dia lagi bersama Alyssa, pikirnya dengan sedikit harapan. Tanpa ragu, ia segera menghubungi Raka. Setelah beberapa detik, suara Raka terdengar di seberang. "Iya, Ro? Ada apa?" "Lo lagi di mana sekarang?" tanya Hero cepat, suaranya terdengar mendesak. "Gue lagi di basecamp, bareng Adrian. Kenapa emangnya?" Hero menghela napas, mencoba meredakan kegelisahannya. "Lo gak lagi sama Alyssa?" "Nggak. Kayak yang gue bilang, gue cuma sama Adrian. Kenapa sih?" "Veline masih marah sama gue, dan dia gak ada di rumah. Gue kepikiran, mungkin dia lagi sama Alyssa. Lo bisa tanyain gak? Siapa tahu Veline lagi sama dia." "Oh, oke. Gue coba telpon Alyssa dulu." Namun, sebelum Raka menutup panggilan, Hero buru-buru berkata lagi. "Eh, tunggu dulu." "Kenapa?" "Lo jangan bilang kalau gue yang nanya." Raka terkekeh di seberang sana
"Kalau bukan Leona, lalu siapa?" Leona bertanya, ia terus memperhatikan wajah Zahira yang tampak masih bingung. Namun, Zahira hanya diam, bibirnya bergerak-gerak seolah ingin mengatakan sesuatu. Matanya kembali gelisah, pandangannya beralih ke arah pintu seakan sedang mencari seseorang. Ketegangan itu terhenti ketika pintu ruangan terbuka. Suster Ira masuk sambil membawa clipboard. "Maaf, ini saatnya Bu Zahira untuk beristirahat. Kunjungan bisa dilanjutkan lain waktu." Dimas mengangguk dengan sopan. "Baik, Suster. Terima kasih sudah mengingatkan." Hero mendekat ke ranjang ibunya. Ia menundukkan tubuhnya, mendekat hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan perlahan, ia menggenggam tangan Zahira. "Ma, Hero pulang dulu, ya. Mama baik-baik di sini, istirahat yang cukup. Hero janji bakal sering jenguk Mama." Zahira mengangkat tangannya yang lemah, menyentuh wajah putranya. Matanya menelusuri setiap sudut wajah Hero yang tampan. "Kamu hati-hati, Nak," ucap Zahira lirih.
Hero mencari ke setiap sudut sekolah, matanya menyapu lorong-lorong yang mulai lengang dan halaman belakang yang sepi. Langkahnya tak henti, tapi ia masih belum menemukan sosok Veline. Napasnya perlahan menjadi berat, bukan hanya karena lelah berjalan, tetapi juga rasa khawatir yang semakin menghimpit dadanya. Namun, ketika ia sampai di sisi taman belakang sekolah, matanya menangkap sosok yang dikenalnya. Veline berdiri di bawah pohon besar, sedang berbicara dengan Leona. Melihat itu, Hero akhirnya menghentikan langkahnya, napas panjang terembus dari bibirnya. Ia mengamati Veline dari kejauhan, memastikan gadis itu tampak baik-baik saja. Meski hatinya mendesak untuk segera menghampiri, ia sadar bahwa Veline mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri. Untuk saat ini, ia memilih menahan diri. Hero kemudian berbalik, meninggalkan taman dan menuju kantin. Begitu masuk, aroma khas makanan langsung menyambutnya. Di salah satu meja sudut, ia melihat Adrian, Raka, dan Noval sudah dud
Hero terdiam. Untuk beberapa detik, tatapannya tetap tertuju pada Veline, tapi ia tidak memberikan jawaban. Ekspresinya sulit dibaca, seperti sedang memproses pertanyaan itu. "Jawab, Hero!" desak Veline, pikirannya pun sudah kalut sedari tadi ketika melihat Hero yang hanya terdiam. Hero menarik napas panjang, lalu menatap Veline dalam-dalam. "Iya." Jawaban itu menghantam Veline seperti pukulan keras di dadanya. Mata Veline membesar, mulutnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar. Dadanya terasa semakin sesak, dan tiba-tiba dunia di sekitarnya menjadi sunyi. "Kenapa …?" Veline mencoba menggigit bibir bawahnya yang sudah bergetar, hatinya pun sudah teramat sakit. Sementara Hero hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Karena lo butuh dikasih pelajaran. Lo nggak pernah dengerin gue waktu gue bilang soal sikap lo. Gue cuma pengen lo sadar, itu aja." Penjelasan itu hanya membuat luka di hati Veline semakin dalam. Ia tidak tahu
Veline sama sekali tidak tahu apa yang ingin disampaikan Freya. Namun, rasa penasaran membuatnya terpaksa mengikuti langkah gadis itu. Langkah mereka membawa Veline ke belakang sekolah yang sunyi, hanya ada suara dedaunan bergesekan dihembus angin. Freya berhenti, mematung di tempat seolah sengaja membuat Veline menunggu. Dengan napas sedikit memburu, Veline berdiri di belakang Freya. "Sebenarnya, apa sih yang mau lo omongin? Kenapa lo ngajak gue ke sini?" tanya Veline, suaranya terdengar tajam bercampur rasa kesal. Freya berbalik perlahan, menatap Veline dengan senyum sinis yang membuat darah Veline mendidih. "Gue cuma mau kasih tahu kalau gue dan Arnold udah jadian," beber Freya, seolah kalimat itu adalah prestasi yang layak dirayakan. Veline mengangkat sebelah alis, lalu mendengkus kecil. "Ya elah, jadi lo cuma mau pamer? Terus lo pikir gue bakal ngereog denger lo sama Arnold udah jadian? Sorry, yee. Nggak penting buat gue." Freya tidak terpengaruh. Sebaliknya, senyumnya s