Share

Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah
Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah
Penulis: Vanilla_Nilla

Bab 1 : Kehilangan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-07 10:27:53

Maysha Jemma Eveline adalah sosok gadis yang pembangkang, keras kepala, dan tidak mudah diatur. Ia selalu ingin terlihat mencolok di setiap penampilannya. Bahkan, teman-temannya sering menjulukinya 'ratu onar.' Tidak hanya dikenal sebagai gadis barbar, Veline—begitu ia biasa disapa—juga kerap melanggar aturan yang ada.

Namun saat ini, bukan perilaku negatifnya yang ia sedang tunjukkan, melainkan perasaan sedih yang menggerogoti hatinya.

Hati anak mana yang tak sakit saat kehilangan ayahnya? Ayah yang telah menjaga dan merawatnya selama ini.

Begitu juga dengan Veline. Di balik sikap keras kepalanya selama ini yang sering membuat orang lain kesal, sebenarnya hatinya begitu rapuh. Dua tahun yang lalu saat ia berusia 16 tahun, ia harus menerima kenyataan pahit atas kehilangan ibunya. Namun kali ini, ia juga harus kehilangan sosok ayah yang luar biasa dalam hidupnya.

"Maafin, Veline, Yah. Selama ini Veline selalu berbuat nakal. Selalu tak mendengar nasihat Ayah, jadi anak pembangkang, dan selalu bikin Ayah frustrasi karena sikap Veline."

Gadis berusia 18 tahun itu sedari tadi terus menangis, sambil mengelus batu nisan ayahnya.

Veline begitu sangat menyesal atas perilakunya selama ini. Andai ia bisa mengulang waktu, ia ingin menghapus semua kesalahan dan menunjukkan bahwa ia bisa menjadi anak yang lebih baik, anak yang bisa membanggakan ayahnya. Namun kini, semua itu hanyalah angan-angan belaka.

Sejak dokter mengatakan bahwa ayahnya, Burhan, mengidap penyakit gagal ginjal stadium akhir, hidup Veline seakan berubah drastis. Ia masih ingat dengan jelas saat dokter memberitahu bahwa tak ada lagi yang bisa dilakukan. Penyakit itu sudah terlalu parah, dan Burhan pun sudah tak bisa ditolong hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhir.

"Yah … Veline cuma mau bilang, kalau Veline sayang Ayah. Sayang … banget. Veline sudah ikhlas kok kalau Ayah mau pergi. Ayah juga pasti rindu sama Bunda, kan? Ayah pasti ingin berkumpul dengan Bunda di surga? Tolong titip salam buat Bunda, bilang kalau Veline sangat merindukannya. Veline rindu pelukan hangat Bunda, senyum manis Bunda, masakan Bunda, dan semuanya tentang Bunda .…"

Hiks!

Veline menundukkan pandangan, menatap ke tanah merah yang masih basah, tubuhnya bergetar, hatinya juga terasa perih saat mengingat kenangan-kenangan indah dulu bersama kedua orang tuanya.

Air matanya sedari tadi terus jatuh silih berganti, meninggalkan jejak luka yang tak akan pernah sembuh. Jari jemari lentiknya terus mengelus batu nisan sang ayah, seolah berharap bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk.

Selama ini, Veline selalu berusaha menjadi sosok yang kuat di depan semua orang, seolah tak ada satupun yang bisa menggoyahkan hatinya. Sikapnya yang tegas dan terkadang keras kepala sering disalahpahami teman-temannya. Banyak yang mengira bahwa ia sombong atau terlalu barbar, padahal ia hanya tak ingin terlihat lemah.

Namun kini, saat ia berada di depan makam kedua orang tuanya, tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Ia terus menangis tanpa henti, tidak peduli orang lain mau berkata apa tentangnya.

"Sayang, tolong jangan menangis lagi. Kita pulang sekarang, ya? Biarkan ayahmu tenang di alam sana."

Rania mengelus bahu keponakannya yang sejak tadi tak henti menangis. Berita kepergian Burhan, satu-satunya kakak yang ia miliki, begitu menghancurkan hati Rania. Kehilangan ini bukan hanya dirasakannya, tapi juga terpampang jelas di wajah Veline yang kini sudah yatim piatu.

Veline mendongak, mengangkat wajahnya menatap ke arah Rania. "Tapi, Tante. Veline mau pulang ke mana? Veline sudah nggak punya siapa-siapa lagi."

Rania tersenyum, meski hatinya turut terluka melihat Veline yang kini kehilangan arah. Ia menghapus air mata Veline yang masih mengalir. "Sayang, kamu masih punya tante. Kamu bisa tinggal di rumah tante, jangan khawatir."

Mendengar perkataan itu membuat Rio, suami dari Rania, mendengkus kesal. Pasalnya, ia tak mungkin menghidupi Veline. Terlebih, gadis itu selalu menghambur-hamburkan uang, dan kondisinya sendiri sangat memprihatinkan. Rio hanya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik dengan penghasilan yang pas-pasan, ia sendiri cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, apalagi kebutuhan Veline.

Masih mending bila Burhan meninggalkan harta warisan, tapi pria itu tak ada satupun harta yang bisa diwariskan, karena semua aset yang dimiliki Burhan telah disita bank untuk membayar semua utang.

Kehidupan mereka dulu memang sangat baik, tapi seiring waktu karena Burhan sering sakit-sakitan, ia tak lagi fokus bekerja dan mengalami kemunduran. Usahanya perlahan merosot, hingga satu per satu asetnya dijual untuk menutupi biaya pengobatan dan kebutuhan sehari-hari.

"Tinggal bersama kita? Kamu tidak tahu kalau kita sendiri juga sedang susah, kan? Kita punya anak dan tanggungan lain. Kita bahkan masih bayar cicilan rumah."

"Tapi, Mas, Veline sekarang hanya punya aku. Dia nggak punya siapa-siapa lagi selain aku."

Rania menatap nanar ke arah suaminya. Hidup mereka memang tidaklah mudah, rumah tangganya sering diwarnai masalah yang membuat wanita paruh baya itu merasa seolah berjalan di atas duri.

Selama ini, Rio bukanlah suami yang lembut dan pengertian. Sikapnya keras, bahkan kasar, dan pertengkaran di antara mereka telah menjadi hal yang tabu. Setiap kali ada masalah, Rio lebih sering meluapkan amarahnya ketimbang mencari solusi bersama. Namun, Rania selalu berusaha bersabar, meyakini bahwa semua ini adalah bagian dari takdir yang harus ia terima.

Meski demikian, untuk kali ini, Rania merasa ia harus bersikeras. Veline tak punya siapa-siapa lagi, dan ia tak sanggup membiarkan keponakannya hidup sendirian.

"Mas, tolong … biarkan Veline tinggal dengan kita. Dia sudah kehilangan ayahnya. Aku nggak tega kalau dia harus sendirian di luar sana."

"Kamu pikir kita bisa menghidupi satu orang lagi? Kita sendiri sudah pas-pasan, Rania. Kita bukan orang kaya!"

Rio tetap bersikukuh dengan pendiriannya, ia tak mau menanggung apa pun lagi demi gadis itu. Apalagi, ia masih ingat bila selama ini Burhan tak pernah merestui hubungannya dengan Rania. Dan selalu merendahkannya karena tak bisa menjadi suami yang baik.

Dimas, sahabat Burhan yang sejak tadi mendengar pertengkaran Rania dan Rio di pemakaman, merasa bahwa apa yang mereka lakukan sungguh tak elok. Apalagi, Burhan baru saja pergi dari dunia ini. Melihat Veline yang masih menangis pilu, hati Dimas pun merasa iba.

"Sudahlah, kalian tidak perlu bertengkar di sini. Apa kalian tidak malu? Kalian bertengkar di pemakaman Burhan, padahal dia baru saja pergi. Hormatilah dia, jangan rusak suasana ini!" tegur Dimas, seraya menatap Rio dan Rania dengan tajam.

Benar saja, saat Dimas berkata, Rio dan Rania langsung terdiam. Suasana di sekitar mereka pun mendadak hening.

Dimas menghela napas panjang, lalu menatap Veline kembali yang masih terlihat rapuh dan bingung. Ia lalu berkata, "Veline, kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa tinggal di rumah om. Om akan menjagamu seperti Burhan menjaga kamu selama ini."

Veline menatap lelaki yang mengenakan jas hitam dan kacamata yang berwarna senada itu. Meski usianya tak lagi muda, sosok pria yang ada di hadapannya masih terlihat berwibawa.

"Tapi, Om, Veline gak mau ngerepotin Om Dimas."

Veline tahu siapa lelaki itu. Dimas adalah sahabat lama ayahnya. Namun, sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu karena Dimas selama ini tinggal di luar negeri. Meski ia sangat berterima kasih, ada rasa sungkan yang membuatnya ragu.

"Tidak, Veline. Om tidak merasa direpotkan. Om sudah menganggap kamu sebagai anak om sendiri. Om juga senang bila kamu mau tinggal bersama om. Mau, ya?"

Veline terdiam, hatinya terenyuh mendengar kata-kata itu. Di saat ia merasa sendirian, ada seseorang yang masih peduli dan ingin menjaganya, tapi … apa yang harus ia lakukan sekarang? Tinggal bersama tantenya, Rania, omnya pasti tak akan pernah setuju. Ia juga tak ingin membuat hubungan Rania dan Rio renggang karena ulahnya, terlebih selama ini kehidupan mereka pun serba pas-pasan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Novi Setio Wibowo
mulai .....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 2 : Salah Sangka

    Veline memperhatikan pemandangan dari kaca jendela mobil, angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya melalui jendela kaca yang terbuka. Gadis itu memegang sebatang dedaunan berwarna merah, yang ia bawa dari pemakaman sang ayah. Wanita yang mengenakan jam tangan berwarna coklat dengan bingkai persegi itu memandang ke arah langit. Langit di atas terlihat mendung, awan kelabu menggantung seakan turut mengerti perasaannya yang masih berduka. Setelah mempertimbangkan dengan cukup matang, Veline akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama Dimas, sahabat dari almarhum ayahnya. Ini memang keputusan yang sulit, terutama setelah melihat pertengkaran yang kerap muncul di antara om dan tantenya saat mereka membahas siapa yang akan merawatnya. Gadis itu tak ingin menjadi beban yang memicu keributan dalam keluarga. Jadi, ia pun terpaksa menerima tawaran Dimas."Kita sudah sampai." Dimas berkata setelah beberapa saat hening. Sepanjang perjalanan, Dimas sesekali mencoba mengajak Veline berbicara, berusaha me

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 3 : Mengulang Sejarah

    "Ada apa ini?"Dimas segera bergegas naik ke lantai dua saat mendengar suara keributan. Begitu sampai, ia melihat Hero dan Veline yang tengah bersitegang."Kenapa wanita ini ada di sini?" tanya Hero sambil menatap ayahnya dingin."Veline akan tinggal di sini mulai sekarang."Mendengar perkataan ayahnya, Hero merasa kesal. Bagaimana bisa wanita yang selalu membuat Hero naik pitam akan tinggal di rumahnya?Selama ini, mereka berdua memang selalu seperti kucing dan anjing di sekolah. Hero, sebagai ketua OSIS, sudah berkali-kali menghukum Veline karena kenakalannya. Tak terhitung berapa kali gadis itu melanggar aturan, bolos kelas, atau membuat keonaran di sekolah. Namun, alih-alih jera, Veline justru semakin berani menentang setiap kali ia mendapat hukuman. Sikap keras kepala Veline membuat Hero merasa frustrasi dan semakin kesal dengan kehadirannya di rumah."Apa Papa pikir rumah ini yayasan? Baru seminggu yang lalu Papa membawa istri baru ke sini, dan sekarang Papa bawa lagi seorang pe

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 4 : Diantara Dua Pilihan

    Veline mengangkat bahu. "Gak ada. Gue cuma ingin bicara aja sama lo."Hero menutup buku dengan kasar, lalu meletakkan buku itu di atas meja. Ia berdiri dari kursi dan mendekat ke arah Veline yang masih berdiri di ambang pintu. Tatapan tajamnya menelusuri wajah Veline. Memang, gadis itu terlihat cantik—wajahnya selalu tampak segar, meskipun kali ini ada sedikit semburat kesedihan yang tak bisa disembunyikan.Namun, kecantikan itu tidak mengubah perasaan Hero sedikit pun. Setiap kali melihat Veline, rasa benci yang ia pendam seolah makin membara, mengingatkannya pada masalah yang ia anggap datang bersamaan dengan kehadirannya di rumah ini."Lo sengaja, kan, datang ke rumah gue cuma buat ngerasain harta keluarga gue? Atau jangan-jangan …." Hero mendekatkan wajahnya ke arah Veline, suaranya menurun sambil berbisik menghina gadis itu. "Jangan-jangan, lo juga selingkuhan bokap gue."Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Hero. Hero terkesiap ketika Veline tiba-tiba menamparnya, begitu juga d

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 5 : Kembalilah

    "Om nggak perlu memilih apa pun, karena Veline yang akan pergi." Veline yang melihat kebingungan di wajah Dimas, hanya membuat dadanya terasa semakin sesak. Ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah tersebut.Dimas menarik napas panjang, menatap sedih ke arah gadis yang ada di hadapannya. "Veline ....""Terima kasih, Om, Tante, kalian sudah baik sama Veline."Veline lantas berbalik, sambil menyeret koper. Air mata yang telah ia tahan sedari tadi mulai jatuh lagi saat sudah berada di ambang pintu."Veline, kamu mau pergi ke mana, Sayang? Ini sudah malam, di luar juga sedang hujan deras!" Amanda berteriak, ia terlihat cemas melihat Veline yang pergi begitu saja, apalagi di luar sedang hujan deras. Namun, Veline tak menjawab, ia tetap melangkah tanpa menoleh ke belakang. Ia merasa tak ada tempat baginya di sini. Jadi, lebih baik ia pergi saja.Dimas berbalik menatap Hero dengan rahang yang sudah mengeras, matanya juga sudah menyala merah. "Kamu benar-benar keterlaluan, Hero! Apa kamu ngg

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 6 : Takut Suntikan

    Hero berteriak lantang ketika melihat Veline yang tiba-tiba terjatuh. "Veline ...." Dengan keadaan panik, Hero lantas berlari menghampiri gadis itu yang sudah tak sadarkan diri. Lelaki tampan itu langsung berjongkok dengan lutut ditekuk. Tangan kekarnya langsung meraih kepala Veline dan menepuk wajahnya dengan pelan. "Veline, bangun!" Sudah beberapa kali Hero menepuk wajah gadis itu. Namun, sepertinya Veline tak kunjung sadar. "Veline sadarlah, ayo bangun!" Karena sudah panik dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, Hero pun lantas langsung mengangkat tubuh Veline, membawanya ke dalam mobil. Setelah pintu mobil ia buka dengan susah payah, akhirnya Veline berhasil ia letakkan di jok mobil paling depan. Hero menutup pintu mobil, lalu segera mengambil koper Veline yang sudah basah oleh hujan. Ia pun menyimpan koper gadis itu di bagasi mobil, setelah itu, Hero memasuki mobil, meski pakaiannya juga basah kuyup dan tubuhnya menggigil kedinginan, tapi ia tak peduli. Yang penting seka

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 7 : Harus Patuh

    Hero keluar dari kamar mandi, sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk, sampai membuat beberapa helai rambutnya jatuh berantakan di dahi. Setelah libur tengah semester berakhir, akhirnya hari ini ia akan kembali bersekolah. Lelaki tampan itu berjalan menuju lemari, membuka pintu, dan mengambil seragam sekolah yang sudah rapi tergantung di sana. Saat mulai mengenakannya, Hero memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Tubuh tegapnya terlihat semakin berwibawa saat mengenakan seragam putih abu-abu. Tinggi dan wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, serta sepasang mata tajam yang seakan memiliki daya tarik tersendiri, sampai membuatnya digilai oleh banyak siswi di sekolah. Setelah rapi mengenakan seragamnya, Hero mengambil botol parfum dari meja, lalu menyemprotkannya pada tubuh. Aroma maskulin sudah menyeruak menyebar di ruangan tersebut. Sebelum meninggalkan kamar, ia merapikan rambutnya terlebih dulu. Lalu memasang jam tangan di pergelangan tangan kiri dan

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 8 : Peduli

    Seharian sudah, Veline menghabiskan waktu di dalam kamar. Namun, rasa bosan perlahan mulai menghampiri. Setelah melihat gelas air minumnya kosong, ia memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil air. Kondisinya memang sudah jauh lebih baik, terutama berkat perhatian Amanda yang tak pernah lelah merawatnya. Wanita itu selalu memastikan Veline mendapatkan makanan bergizi dan buah-buahan segar sepanjang hari. Amanda memperlakukannya seperti putri kandung sendiri, sampai membuat Veline merasa nyaman. Kehangatan itu menghadirkan kembali sosok ibu yang selama ini ia rindukan dalam diri Amanda. Namun bukan hanya Amanda, Dimas, juga selalu baik padanya. Veline merasa sangat beruntung, karena Tuhan mempertemukannya dengan orang-orang yang tulus dan begitu peduli. Sesampainya di dapur, Veline melihat Amanda sedang menyiapkan makan malam bersama Bi Ranti. "Malam, Tante, Bi Ranti," sapa Veline kepada dua wanita yang sedang sibuk di dapur. Amanda menoleh ke arah Veline yang ada di belakang

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 9 : Hukuman

    Bunyi alarm terus menggema di dalam kamar seorang gadis yang masih terlelap dalam tidurnya. Tangan Veline terulur, mencari alarm di atas nakas. Namun, alih-alih bangun, ia hanya mematikan dan melemparnya ke sembarang arah, lalu tidur kembali. Kebiasaan Veline memang seperti itu. Namun ketika matahari mulai naik dan sinarnya menyilaukan wajah Veline, matanya pun mengerjap pelan. Setelah sedikit sadar, ia langsung terbangun. Ia mengambil jam alarm yang tergeletak di samping tempat tidur dan matanya terbelalak ketika melihat jarum pendek jam sudah menunjukkan angka tujuh. "Ya ampun! Gue telat!" serunya panik. Veline langsung menuju kamar mandi. Ia memutuskan untuk tidak mandi—itu akan memakan waktu lama, apalagi ia suka berlama-lama saat mandi. Gadis yang masih mengenakan piyama itu pun memilih hanya untuk menggosok gigi dan membasuh muka saja. Selesai membersihkan wajahnya, Veline berlari ke kamar sambil mengeringkan wajah dengan handuk. Dengan terburu-buru, ia mengambil seragam p

Bab terbaru

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 33 : Ada Yang Aneh

    "Daripada bagi link, mending kita praktek aja," ujar Hero santai, sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Mulut Veline langsung menganga lebar mendengar kalimat itu. Tubuhnya menegang seketika, bulu kuduknya berdiri seperti kena sengatan listrik. "Praktek?" Hero mengangkat alis, memandang Veline bingung. "Kenapa? Kok lo gugup gitu?" tanya Hero sambil memiringkan kepala. "Kita kan udah nikah. Emang gak boleh praktek?" "Hah?!" Veline semakin terkejut. Pikirannya langsung melayang entah ke mana. "Ih, tapi ... gue belum siap." Hero melipat tangan di dada. "Siap apaan?" "Itu ... praktek." Wajah Veline sudah mulai merah. Hero menyipitkan mata. "Besok kan kita praktek." "Apa? Besok?! Tapi gue masih datang bulan!" Hero mengerutkan kening. "Emang kenapa kalau datang bulan?" "Ya nggak boleh lah, Hero! Kalau datang bulan tuh gak boleh praktek!" Hero hanya menggelengkan kepala pelan, lalu bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah santai, ia berjalan mendekati Veline. Sesam

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 32 : Teman Luck Nut Asli

    Kamar Hero tampak redup, hanya diterangi oleh cahaya biru dari lampu LED di sudut ruangan. Di atas meja, sebuah monitor menyala terang, memancarkan kilatan cahaya dari permainan yang sedang berlangsung. Malam ini, Hero mengenakan hoodie putih yang terlihat kontras dengan suasana kamar yang gelap. Di kepalanya terpasang headphone berwarna putih yang menutupi telinganya dengan sempurna. Tangannya begitu cekatan menggerakkan mouse dan menekan keyboard, sementara matanya fokus menatap layar monitor. Sesekali, bibirnya bergerak, mungkin memberikan perintah kepada rekan timnya melalui mikrofon. Di tengah intensitas permainan, Hero meraih cangkir putih di sampingnya. Ia menyesap isinya perlahan, membiarkan cairan hangat itu melewati tenggorokannya sebelum meletakkan cangkir itu kembali di meja. Wajahnya tetap fokus, meskipun matanya sedikit menyipit. Di belakangnya, beberapa poster tergantung di dinding. Sebuah rak kecil di pojok kamar menampung koleksi figure dan game favoritnya. Mes

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 31 : Kekonyolan Theo

    Veline terkejut saat Leona tiba-tiba menepuk tangannya ketika mereka baru saja keluar dari cafe. "Ada apa sih, Le?" tanya Veline yang terlihat bingung. "Vel, lihat ke sana!" jawab Leona sambil menunjuk ke arah salah satu sudut area cafe. Veline mengikuti arah yang ditunjuk Leona, ia seketika menghela napas panjang. Matanya menangkap sosok adik sepupunya, Theo, yang sedang duduk santai bersama teman-temannya. Yang membuat suasana semakin menyebalkan, Theo mulai berdiri dan berjalan menghampiri mereka. "Eh, ada kakak-kakakku yang cantik," sapa Theo sambil tersenyum lebar. Leona membalas dengan senyum ramah, sementara Veline memutar matanya jengah. Bertemu Theo di saat seperti ini? Veline sudah siap-siap untuk naik darah. "Lo ngapain di sini, bocil?" tanya Veline ketus. Theo langsung cemberut. "Jangan panggil gue bocil dong, Kak. Gue udah SMA." "Yaelah, baru juga SMA kelas satu. Tetep aja masih bocil," balas Veline sambil melipat tangan di dada. Theo menyeringai licik.

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 30 : Cafe

    "Emang lo sama dia mau ketemuan di mana?" tanya Hero saat melihat Veline yang cemberut "Di halte." "Rumah dia kan jauh dari halte. Kita pasti nyampe duluan. Gue cuma nganter sampe halte, kok." Veline menghela napas panjang, ia akhirnya mengangguk. "Ya udah deh." Akhirnya, dengan sedikit enggan, Veline menerima tawaran Hero. Ia mengambil helm dari motor lelaki itu, lalu mengenakannya. Hero sudah lebih dulu naik ke motor, menyalakan mesin, lalu menoleh ke Veline. "Yuk, naik." Veline menaiki motor dengan hati-hati, duduk agak jauh dari Hero. Tapi begitu motor mulai melaju, ia terpaksa memegang pinggiran jaket Hero agar tidak kehilangan keseimbangan. Sepanjang jalan, Veline menggerutu dalam hati, merasa ini situasi paling canggung yang pernah ia alami. Namun, di sisi lain, ia juga tak bisa memungkiri bahwa ada sedikit rasa aman ketika berada di dekat Hero, meskipun ia takkan pernah mengakuinya. Beberapa saat kemudian, mereka tiba di halte. Veline segera turun dari motor Hero

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 29 : Jalan Bareng

    Hero meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu menekan tombol hijau. "Halo, Le. Ada apa?" "Ro, lo ada di mana?" "Gue di rumah," jawab Hero sambil menyandarkan tubuhnya ke meja. "Lo hari ini ada acara nggak?" "Mm ... gue udah janji kumpul sama anak-anak. Kenapa?" Leona terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Oh, gitu ya. Nggak apa-apa, kok. Tadinya gue kira lo kosong. Gue mau ngajak lo ke toko buku, soalnya udah lama banget nggak jalan bareng." "Wah, maaf ya, Le. Gue udah janji sama anak-anak dari kemarin. Kalau nggak, pasti gue temenin lo." "Iya, nggak apa-apa, Ro. Santai aja. Nanti gue ajak Veline aja, biar dia nemenin gue ke toko buku." "Oh, ya udah." Leona tersenyum meski Hero tidak bisa melihatnya. "Ya udah, Ro, gue nggak ganggu lo lagi. Have fun, ya." "Oke, Le." Setelah panggilan berakhir, Hero meletakkan ponselnya kembali di meja, kemudian, ia langsung duduk di kursi untuk segera sarapan, sementara Veline sedari tadi masih sibuk di dapur. ***

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 28 : Belajar Masak

    Pagi ini udara terasa dingin, kabut tipis masih menyelimuti taman di luar. Dengan mata yang masih terkantuk, Veline menuruni anak tangga menuju dapur. Langkahnya pelan, sesekali ia menguap sambil menggosok matanya. Sepanjang perjalanan, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut rumah, tapi tak menemukan siapapun di sana. Namun, setelah berada di dapur, ia melihat Bi Ranti yang tengah sibuk mencuci piring. "Pagi, Bi," sapanya. "Oh, pagi, Non! Udah bangun?" jawab Bi Ranti sambil tersenyum hangat menoleh ke arah gadis itu. "Iya, Bi. Yang lain pada ke mana? Kok rumah sepi banget." "Oh, Pak Dimas lagi pergi main golf sama teman-temannya, kalau Bu Amanda sedang pergi arisan," jelas Bi Ranti sambil terus menggosok panci yang kotor di wastafel. Veline manggut-manggut. "Oh … Bibi udah masak?" "Udah, Non. Tadi bibi masak nasi goreng, tapi kayaknya udah habis. Mau bibi masakin lagi?" Veline menggeleng sambil tersenyum kecil. "Nggak usah, Bi. Biar Veline aja yang masak sendiri."

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 27 : Jarang Nongkrong

    Kening Veline berkerut saat mendengar perkataan Hero barusan. Apakah lelaki itu serius atau hanya bercanda? Sikapnya yang belakangan ini begitu perhatian benar-benar membuat Veline bingung. Biasanya, Hero selalu bersikap dingin dan ketus, tapi sekarang ... dia terlihat berbeda. Veline sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba Hero berubah seperti ini. Perhatian yang ia berikan terasa aneh. Namun di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya nyaman. "Kenapa lo diem?" Veline tergugah dari lamunannya. Lelaki itu menatapnya dengan serius, seolah tahu ada banyak hal yang berkecamuk di kepala Veline. Tangan Hero terulur, merapikan helaian rambut Veline yang jatuh menutupi wajahnya. "Gue serius. Dengan begitu, lo nggak perlu ngalamin ini lagi, kan?" Veline tersentak dari pikirannya. Dengan kesal, ia memukul lengan Hero. "Elo kesambet apaan, sih?" Hero tertawa kecil, melihat wajah Veline yang merona karena malu. Tatapan jahil di matanya semakin membuat Veline gemas. "Santai aja, gue c

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 26 : Perhatian Hero

    Veline menatap lekat lelaki yang ada di hadapannya, matanya tak berkedip sedikitpun saat manik Hero terus saja menatapnya dengan tajam. Tanpa aba-aba, Hero tiba-tiba menyentuh pergelangan tangan Veline dan menarik gadis itu pergi bersamanya, sampai membuat Veline terkejut. Bukan hanya Veline yang kaget, beberapa pasang mata di lapangan juga terbelalak melihat perlakuan Hero yang tak biasa. Veline sempat menoleh ke arah Arnold dan Yudha, sebelum pergi dari lapangan, sepertinya kedua lelaki itu juga tampak bingung saat Hero tiba-tiba membawa Veline pergi. "Wuah, gue nggak salah lihat, kan? Itu Hero ...." "Bukannya mereka sering berantem, ya? Kok Hero jadi sweet gitu sih sama Veline?" "Tapi kalau dilihat-lihat, mereka cocok juga." Bisik-bisik para siswi sudah terdengar. Para siswa yang memperhatikan Veline dan Hero merasa heran. Selama ini, Hero dikenal sebagai sosok dingin yang jarang sekali menunjukkan perhatian, apalagi kepada seorang wanita. Namun kini, ia terlihat

  • Jodoh Dadakan Wasiat dari Ayah   Bab 25 : Direbutin Dua Cowok

    "Kenapa lo jadi nyalahin gue?" Veline menatap Leona dengan ekspresi tak percaya. "Gue gak minta mereka duel, Le! Mereka aja yang sok jagoan." Leona mendesah, lalu melirik ke arah lapangan. "Ya, ya, gue gak nyalahin lo kok," ujarnya gugup. "Em, Vel, lo pilih siapa? Yudha atau Arnold?" Veline hanya terdiam, matanya fokus memperhatikan duel sengit di lapangan. Melihat Veline yang diam, Leona semakin penasaran. "Gue tahu, lo kan lagi marah sama Arnold. Jadi sekarang, lo pasti pilih Yudha, kan?" Veline menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Ya iyalah gue pilih Yudha. Ngapain juga gue pilih Arnold?" Pernyataan Veline membuat Leona bersorak kegirangan. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung berteriak lantang. "Yudha, semangat mainnya! Tenang aja, Veline pilih elo kok. Dia yakin lo pasti menang!" Suara heboh Leona langsung menarik perhatian para siswa di lapangan. Mereka mulai berbisik-bisik, dan sadar bahwa pertandingan itu untuk merebutkan hati Veline. Yudha yang mendengar

DMCA.com Protection Status