Maysha Jemma Eveline adalah sosok gadis yang pembangkang, keras kepala, dan tidak mudah diatur. Ia selalu ingin terlihat mencolok di setiap penampilannya. Bahkan, teman-temannya sering menjulukinya 'ratu onar.' Tidak hanya dikenal sebagai gadis barbar, Veline—begitu ia biasa disapa—juga kerap melanggar aturan yang ada.
Namun saat ini, bukan perilaku negatifnya yang ia sedang tunjukkan, melainkan perasaan sedih yang menggerogoti hatinya.
Hati anak mana yang tak sakit saat kehilangan ayahnya? Ayah yang telah menjaga dan merawatnya selama ini.
Begitu juga dengan Veline. Di balik sikap keras kepalanya selama ini yang sering membuat orang lain kesal, sebenarnya hatinya begitu rapuh. Dua tahun yang lalu saat ia berusia 16 tahun, ia harus menerima kenyataan pahit atas kehilangan ibunya. Namun kali ini, ia juga harus kehilangan sosok ayah yang luar biasa dalam hidupnya.
"Maafin, Veline, Yah. Selama ini Veline selalu berbuat nakal. Selalu tak mendengar nasihat Ayah, jadi anak pembangkang, dan selalu bikin Ayah frustrasi karena sikap Veline."
Gadis berusia 18 tahun itu sedari tadi terus menangis, sambil mengelus batu nisan ayahnya.
Veline begitu sangat menyesal atas perilakunya selama ini. Andai ia bisa mengulang waktu, ia ingin menghapus semua kesalahan dan menunjukkan bahwa ia bisa menjadi anak yang lebih baik, anak yang bisa membanggakan ayahnya. Namun kini, semua itu hanyalah angan-angan belaka.
Sejak dokter mengatakan bahwa ayahnya, Burhan, mengidap penyakit gagal ginjal stadium akhir, hidup Veline seakan berubah drastis. Ia masih ingat dengan jelas saat dokter memberitahu bahwa tak ada lagi yang bisa dilakukan. Penyakit itu sudah terlalu parah, dan Burhan pun sudah tak bisa ditolong hingga akhirnya ia menghembuskan napas terakhir.
"Yah … Veline cuma mau bilang, kalau Veline sayang Ayah. Sayang … banget. Veline sudah ikhlas kok kalau Ayah mau pergi. Ayah juga pasti rindu sama Bunda, kan? Ayah pasti ingin berkumpul dengan Bunda di surga? Tolong titip salam buat Bunda, bilang kalau Veline sangat merindukannya. Veline rindu pelukan hangat Bunda, senyum manis Bunda, masakan Bunda, dan semuanya tentang Bunda .…"
Hiks!
Veline menundukkan pandangan, menatap ke tanah merah yang masih basah, tubuhnya bergetar, hatinya juga terasa perih saat mengingat kenangan-kenangan indah dulu bersama kedua orang tuanya.
Air matanya sedari tadi terus jatuh silih berganti, meninggalkan jejak luka yang tak akan pernah sembuh. Jari jemari lentiknya terus mengelus batu nisan sang ayah, seolah berharap bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk.
Selama ini, Veline selalu berusaha menjadi sosok yang kuat di depan semua orang, seolah tak ada satupun yang bisa menggoyahkan hatinya. Sikapnya yang tegas dan terkadang keras kepala sering disalahpahami teman-temannya. Banyak yang mengira bahwa ia sombong atau terlalu barbar, padahal ia hanya tak ingin terlihat lemah.
Namun kini, saat ia berada di depan makam kedua orang tuanya, tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Ia terus menangis tanpa henti, tidak peduli orang lain mau berkata apa tentangnya.
"Sayang, tolong jangan menangis lagi. Kita pulang sekarang, ya? Biarkan ayahmu tenang di alam sana."
Rania mengelus bahu keponakannya yang sejak tadi tak henti menangis. Berita kepergian Burhan, satu-satunya kakak yang ia miliki, begitu menghancurkan hati Rania. Kehilangan ini bukan hanya dirasakannya, tapi juga terpampang jelas di wajah Veline yang kini sudah yatim piatu.
Veline mendongak, mengangkat wajahnya menatap ke arah Rania. "Tapi, Tante. Veline mau pulang ke mana? Veline sudah nggak punya siapa-siapa lagi."
Rania tersenyum, meski hatinya turut terluka melihat Veline yang kini kehilangan arah. Ia menghapus air mata Veline yang masih mengalir. "Sayang, kamu masih punya tante. Kamu bisa tinggal di rumah tante, jangan khawatir."
Mendengar perkataan itu membuat Rio, suami dari Rania, mendengkus kesal. Pasalnya, ia tak mungkin menghidupi Veline. Terlebih, gadis itu selalu menghambur-hamburkan uang, dan kondisinya sendiri sangat memprihatinkan. Rio hanya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik dengan penghasilan yang pas-pasan, ia sendiri cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, apalagi kebutuhan Veline.
Masih mending bila Burhan meninggalkan harta warisan, tapi pria itu tak ada satupun harta yang bisa diwariskan, karena semua aset yang dimiliki Burhan telah disita bank untuk membayar semua utang.
Kehidupan mereka dulu memang sangat baik, tapi seiring waktu karena Burhan sering sakit-sakitan, ia tak lagi fokus bekerja dan mengalami kemunduran. Usahanya perlahan merosot, hingga satu per satu asetnya dijual untuk menutupi biaya pengobatan dan kebutuhan sehari-hari.
"Tinggal bersama kita? Kamu tidak tahu kalau kita sendiri juga sedang susah, kan? Kita punya anak dan tanggungan lain. Kita bahkan masih bayar cicilan rumah."
"Tapi, Mas, Veline sekarang hanya punya aku. Dia nggak punya siapa-siapa lagi selain aku."
Rania menatap nanar ke arah suaminya. Hidup mereka memang tidaklah mudah, rumah tangganya sering diwarnai masalah yang membuat wanita paruh baya itu merasa seolah berjalan di atas duri.
Selama ini, Rio bukanlah suami yang lembut dan pengertian. Sikapnya keras, bahkan kasar, dan pertengkaran di antara mereka telah menjadi hal yang tabu. Setiap kali ada masalah, Rio lebih sering meluapkan amarahnya ketimbang mencari solusi bersama. Namun, Rania selalu berusaha bersabar, meyakini bahwa semua ini adalah bagian dari takdir yang harus ia terima.
Meski demikian, untuk kali ini, Rania merasa ia harus bersikeras. Veline tak punya siapa-siapa lagi, dan ia tak sanggup membiarkan keponakannya hidup sendirian.
"Mas, tolong … biarkan Veline tinggal dengan kita. Dia sudah kehilangan ayahnya. Aku nggak tega kalau dia harus sendirian di luar sana."
"Kamu pikir kita bisa menghidupi satu orang lagi? Kita sendiri sudah pas-pasan, Rania. Kita bukan orang kaya!"
Rio tetap bersikukuh dengan pendiriannya, ia tak mau menanggung apa pun lagi demi gadis itu. Apalagi, ia masih ingat bila selama ini Burhan tak pernah merestui hubungannya dengan Rania. Dan selalu merendahkannya karena tak bisa menjadi suami yang baik.
Dimas, sahabat Burhan yang sejak tadi mendengar pertengkaran Rania dan Rio di pemakaman, merasa bahwa apa yang mereka lakukan sungguh tak elok. Apalagi, Burhan baru saja pergi dari dunia ini. Melihat Veline yang masih menangis pilu, hati Dimas pun merasa iba.
"Sudahlah, kalian tidak perlu bertengkar di sini. Apa kalian tidak malu? Kalian bertengkar di pemakaman Burhan, padahal dia baru saja pergi. Hormatilah dia, jangan rusak suasana ini!" tegur Dimas, seraya menatap Rio dan Rania dengan tajam.
Benar saja, saat Dimas berkata, Rio dan Rania langsung terdiam. Suasana di sekitar mereka pun mendadak hening.
Dimas menghela napas panjang, lalu menatap Veline kembali yang masih terlihat rapuh dan bingung. Ia lalu berkata, "Veline, kamu tidak perlu khawatir. Kamu bisa tinggal di rumah om. Om akan menjagamu seperti Burhan menjaga kamu selama ini."
Veline menatap lelaki yang mengenakan jas hitam dan kacamata yang berwarna senada itu. Meski usianya tak lagi muda, sosok pria yang ada di hadapannya masih terlihat berwibawa.
"Tapi, Om, Veline gak mau ngerepotin Om Dimas."
Veline tahu siapa lelaki itu. Dimas adalah sahabat lama ayahnya. Namun, sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu karena Dimas selama ini tinggal di luar negeri. Meski ia sangat berterima kasih, ada rasa sungkan yang membuatnya ragu.
"Tidak, Veline. Om tidak merasa direpotkan. Om sudah menganggap kamu sebagai anak om sendiri. Om juga senang bila kamu mau tinggal bersama om. Mau, ya?"
Veline terdiam, hatinya terenyuh mendengar kata-kata itu. Di saat ia merasa sendirian, ada seseorang yang masih peduli dan ingin menjaganya, tapi … apa yang harus ia lakukan sekarang? Tinggal bersama tantenya, Rania, omnya pasti tak akan pernah setuju. Ia juga tak ingin membuat hubungan Rania dan Rio renggang karena ulahnya, terlebih selama ini kehidupan mereka pun serba pas-pasan.