Share

Bab 3 : Mengulang Sejarah

"Ada apa ini?"

Dimas segera bergegas naik ke lantai dua saat mendengar suara keributan. Begitu sampai, ia melihat Hero dan Veline yang tengah bersitegang.

"Kenapa wanita ini ada di sini?" tanya Hero sambil menatap ayahnya dingin.

"Veline akan tinggal di sini mulai sekarang."

Mendengar perkataan ayahnya, Hero merasa kesal. Bagaimana bisa wanita yang selalu membuat Hero naik pitam akan tinggal di rumahnya?

Selama ini, mereka berdua memang selalu seperti kucing dan anjing di sekolah. Hero, sebagai ketua OSIS, sudah berkali-kali menghukum Veline karena kenakalannya. Tak terhitung berapa kali gadis itu melanggar aturan, bolos kelas, atau membuat keonaran di sekolah. Namun, alih-alih jera, Veline justru semakin berani menentang setiap kali ia mendapat hukuman. Sikap keras kepala Veline membuat Hero merasa frustrasi dan semakin kesal dengan kehadirannya di rumah.

"Apa Papa pikir rumah ini yayasan? Baru seminggu yang lalu Papa membawa istri baru ke sini, dan sekarang Papa bawa lagi seorang perempuan yang asal-usulnya bahkan nggak jelas."

"Hero, ngomong apa kamu ini?" bentak Dimas sambil melotot.

Namun, kata-kata Hero tidak berhenti di situ. Rasa benci yang telah lama ia pendam terhadap ayahnya kini muncul ke permukaan. Hero memang sudah lama tidak menyukai sikap ayahnya. Baginya, Dimas bukan sosok ayah yang ia banggakan.

Dimas bahkan membawa istri barunya ke rumah, padahal Zahira, ibu Hero, masih hidup. Kondisi Zahira kini sangat memprihatinkan—ia mengalami gangguan mental.

Semua dimulai dari 10 tahun yang lalu, ketika ibunya mulai tertekan dengan kehidupan rumah tangga mereka yang terus diterpa badai perselingkuhan. Dimas sering kali mengabaikan perasaan Zahira dan berkali-kali menjalin hubungan dengan wanita lain.

Pernikahan Zahira dan Dimas ada karena hasil perjodohan. Zahira berusaha menjadi istri yang baik bagi Dimas. Ia mencoba bertahan dalam pernikahan itu, berusaha menjadi ibu dan istri yang sempurna. Namun, perlakuan Dimas yang terus mengkhianatinya membuat Zahira semakin terpuruk. Setiap luka yang Dimas torehkan membuatnya semakin terjerumus dalam kegelapan hingga, pada akhirnya, mentalnya pun tak sanggup bertahan.

Dimas mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha menahan emosinya yang hampir meluap. Matanya beralih ke arah Veline, dan ia berkata lebih lembut kepada gadis itu. "Veline, kamu masuk ke kamar dulu, ya."

"Baik, Om." Veline mengerti keadaan yang sudah tidak kondusif, ia pun tak ingin membuat keributan lagi karena jujur saja ia sudah lelah. Gadis itu lalu berjalan menuju kamarnya. Setelah pintu kamar tertutup dan Veline menghilang dari pandangan, Dimas kembali menatap putranya.

"Papa ingin bicara dengan kamu, Hero." Dimas menghela napas terlebih dulu sebelum melanjutkan perkataannya. "Bisa tidak kamu bicara tanpa nada kasar? Veline baru saja kehilangan ayahnya, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Itu sebabnya papa bawa dia ke sini."

"Kenapa harus bawa dia ke sini?" Hero merasa heran, dia dan Veline tidak sedarah, saudara saja bukan, apalagi keluarga, tapi ayahnya dengan seenak jidat membawa wanita itu ke rumah. "Kenapa nggak Papa bawa dia ke tempat lain saja?"

Hero mencoba menahan gejolak amarahnya yang hampir meledak. Lelaki itu melanjutkan perkataannya lagi. "Papa nggak tahu bagaimana tingkahnya di sekolah. Dia nggak pernah ikut aturan, selalu bolos, bikin masalah. Dan setelah berkali-kali dihukum, dia nggak pernah jera, Pa."

"Hero, dengarkan papa baik-baik. Sikap Veline yang keras itu karena dia butuh kasih sayang. Mungkin kamu tidak tahu, tapi Burhan, ayah Veline, adalah sahabat terdekat papa. Kalau bukan karena Burhan, kita mungkin masih hidup serba kekurangan sampai sekarang. Dialah yang membantu papa bangkit saat kita nyaris kehilangan segalanya."

Dimas terdiam sejenak, matanya menerawang, mengingat masa-masa sulit di mana usahanya hampir bangkrut. Burhan datang sebagai penolong saat itu, memberikan modal tanpa syarat, menyelamatkan usahanya dari kebangkrutan. Dengan bantuan Burhan, Dimas bisa kembali berdiri dan membangun bisnisnya hingga sukses seperti sekarang.

"Dan, ada satu hal lagi. Dulu, papa dan almarhum Om Burhan sudah sepakat. Kalau kami memiliki anak laki-laki, maka kami akan menjadikannya saudara, tapi jika salah satu dari kami memiliki anak perempuan, maka kami akan menjodohkannya. Itu janji kami sejak dulu."

Hero tercengang mendengar kata-kata ayahnya, raut wajahnya berubah menjadi keras lagi. "Apa maksud Papa?"

Dimas menatap putranya dengan serius. "Apa kamu masih belum mengerti? Papa dan almarhum Om Burhan sudah menjodohkan kamu dengan Veline sejak kalian belum lahir."

Hero menatap ayahnya dengan tajam, sorot matanya terlihat begitu marah. "Apa Papa lupa kalau Papa dan Mama juga dijodohkan? Lalu, lihat hasilnya. Mama sekarang berakhir di rumah sakit jiwa!" Hero memekik seraya menatap ayahnya heran. "Apa Papa merasa bahagia selama ini? Nggak, kan? Jadi kenapa sekarang Papa ingin membuat sejarah itu terulang lagi?"

Setelah kata-kata itu terlontar dari mulutnya, Hero berbalik dan berjalan menuju kamar. Tangannya menggenggam kenop pintu, lalu membantingnya dengan keras.

Dimas hanya mematung, menatap ke arah pintu yang kini tertutup rapat di hadapannya. Ucapan Hero benar adanya. Bayangan wajah Zahira, istri pertamanya, perlahan membuat pikirannya kacau. Zahira yang dulu selalu berusaha menjadi istri yang baik, bahkan ketika dirinya menghadapi kenyataan pahit pernikahan yang tanpa cinta. Betapa beratnya beban yang harus Zahira pikul, terutama sejak Dimas sering abai dan tak setia.

Sementara itu, di dalam kamar, Veline yang sudah mengenakan pakaian. duduk dengan tubuh gemetar. Suara pertengkaran antara Hero dan Dimas di luar sana semakin membuat hatinya tersayat. Ia tak pernah bermaksud menjadi sumber keributan di rumah ini, apalagi memicu pertengkaran antara Dimas dan Hero.

Kenapa rasanya semua orang menolak kehadirannya? Apa mungkin karena semua masalah selalu berawal darinya?

Tenggorokan Veline terasa kering, dadanya terasa sesak, matanya juga mulai berair. Ia mengambil ponsel dari meja, lalu menatap layar yang terpampang foto dirinya bersama kedua orang tuanya yang sudah tiada.

"Bunda sudah pergi, Ayah juga sudah pergi, tapi kenapa kalian gak bawa Veline pergi bersama kalian? Kenapa kalian meninggalkan Veline sendirian di sini, di tengah semua orang yang bahkan mungkin gak menginginkan Veline?"

Air matanya mulai menetes membasahi layar ponsel. Gadis itu sedang membayangkan, andai saja kedua orang tuanya masih ada, pasti kini ibunya tengah memeluknya dengan erat. Ayahnya tersenyum sambil menenangkannya. Namun semua itu, hanya angan-angannya semata.

Veline mengusap kasar air matanya. Ia tidak boleh terus larut dalam kesedihan. Ia harus tegar, harus kuat, meskipun itu terasa sulit. Gadis cantik itu lalu meletakkan ponselnya kembali di atas meja, berdiri, dan melangkah keluar dari kamar.

Ketika berjalan di lorong, pandangannya tertuju pada pintu kamar Hero yang tertutup rapat. Ada dorongan dalam hatinya untuk berbicara dengan lelaki itu, meskipun ia sendiri tak yakin apa yang ingin disampaikan. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu. Namun, ia merasa ragu.

Setelah beberapa saat terdiam, Veline menarik napas dalam-dalam, dan akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu tersebut.

Tok! Tok!

"Gue boleh masuk?"

Hening.

Tak ada jawaban dari dalam kamar. Tapi entah mengapa, keberanian muncul dari dalam diri Veline. Perlahan, Veline meraih gagang pintu dan membukanya. Ketika pintu terbuka, ia mendapati Hero duduk di kursi belajar sambil memegang buku. Tatapan tajam lelaki itu langsung tertuju padanya, sampai membuat nyali Veline menjadi ciut.

"Siapa yang suruh lo masuk?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status