Ayumi dan Arkan adalah teman sekelas, mereka menjalin hubungan ketika duduk di bangku SMA. Perpisahan keduanya tak berjalan baik hari itu, Ayumi hanya meninggalkan secarik kertas tanpa penjelasan. Hal itu membuat Arkan membencinya. Dibalik sikapnya yang acuh, ternyata Ayumi menyimpan banyak kekecewaan. Bibi yang selama ini merawatnya jatuh sakit. Ayumi tidak memiliki uang, dengan terpaksa biaya kuliah yang selama ini ia kumpulkan digunakan untuk membayar tagihan rumah sakit. Setahun berlalu, Ayumi masih mendambakan kehidupan layaknya teman-teman sebaya. Dengan segala upaya ia bekerja lebih keras, merantau ke pusat kota untuk menghasilkan uang. Ia mengantarkan berbagai hidangan ke meja-meja di cafe dan terkadang menjadi penjaga perpustakaan kecil di sekitar bangunan yang menjulang tinggi. Seolah mendapatkan kembali kesempatan, Ayumi berhasil memasuki universitas impiannya. Dengan penuh kebahagiaan ia mencari Arkan yang sudah menjadi mahasiswa tahun kedua. Saat itu mentari bersinar sangat terang, seolah semesta menunjukkan betapa jauh perbedaan antara dirinya dan Arkan. Pria itu sangat pintar, punya banyak teman dan hidup berkecukupan. Lambat laun ia semakin merasa rendah diri. Kenangan tentang perpisahan hari itu kembali menghantui Ayumi, diam-diam dia kembali menjauh. 5 tahun kemudian mereka di pertemukan lagi. Arkan sudah menjadi komikus dan Ayumi bekerja di perusahaan webkomik. Saat itu ide Ayumi dicuri secara paksa oleh atasannya, karena tak ingin mengakui kekalahan Ayumi bertekad untuk mendapatkan ide baru. Tak disangka komikus yang selama ini ia incar ternyata adalah mantan kekasihnya.
View MorePikiran Ayumi kacau, seluruh energi yang ia punya ditarik secara paksa ke dasar bumi. Di kamar mandi yang gelap itu ia menunduk dengan punggung bergetar. Tangannya meremas wastafel sekuat tenaga, memberikan rasa kebas pada jemarinya yang tak berdaya.Samar-samar perbincangannya dengan pria paruh baya tadi mengaburkan pandangan. "Pengangkatan rahim?"Tanda tanya besar mencuat diantara rambut. Rentetan angka nol pada kertas administrasi membuat kepalanya pening. Bibi Gadis tidak memiliki tabungan karena habis untuk biaya harian dan uang sekolah Airil. Lagi-lagi ia mendesah. Hidupnya terlalu buruk untuk bahagia."Permisi!"Manusia lain berjalan masuk, buru-buru Ayumi mengusap pipi dan tersenyum. Mempersilahkan wanita itu mencuci tangan di tempatnya barusan.Di atas lantai yang dingin, raga yang hampa itu seperti tak bernyawa. Kursi-kursi kosong memanggilnya untuk menepi. Airil sudah terlelap di kamar inap, begitu pun deng
Sentuhan jari yang sedikit dingin membuat Arkan terpana. Setelah beberapa saat dia tersenyum tanpa daya. Bibirnya terbuka dan berucap, "Tetaplah bersamaku."Ayumi mengalihkan pandangan masih dengan elusan di ujung tangan. Pemuda itu sedikit tak paham dan bangkit untuk menyejajarkan posisi."Apa terjadi sesuatu?" tanyanya dengan suara rendah.Ujung mata Ayumi bergetar, buru-buru ia menarik tangan. "Mari kita hidup dengan baik."Mendengar apa yang gadis itu katakan, Arkan hanya bisa menaikkan sudut bibir. Ia tidak mengerti mengapa hubungan antara dua orang bisa mengalami lonjakan tinggi kemudian terjun dengan cepat. Alih-alih terbuka, Ayumi memilih untuk menyembunyikannya. Kelas dimulai ketika mereka belum menyelesaikan obrolan. Di depan buku yang terbuka Ayumi kembali menelusuri file-file menyesakan dalam kepala.Kemarin sore ketika Bunda Rea memintanya untuk mampir, ledakan terjadi di benaknya."Bunda pikir kamu harus tahu tentang ini."Suara itu mengalun lembut tetapi cengkraman di
Hari ini Ayumi terlihat sedikit lebih pendiam. Meta yang berada di luar kelas menatapnya tanpa sengaja. Sorot itu membawa suasana menyedihkan. Dari atas meja kosong, seekor laba-laba jenis punggung duri melompat ke lantai. Ia mengeluarkan benang-benang sutra dari tubuh bagian belakang, dalam sekejap makhluk itu menghilang dari penglihatan.Sekelompok siswa memasuki ruang kelas, diantaranya terdapat Arkan yang kini menghampiri tempat duduk Ayumi.Tidak ada yang tahu kapan daun menggantung itu akan jatuh. Tetapi Arkan yakin bahwasanya suasana hati Ayumi dalam proses kemerosotan. Ia melemparkan bola pada Dean kemudian meletakkan kedua tangannya di saku celana.Hari ini formulir pendidikan jenjang atas akan dibagikan. Pria itu sudah lebih dulu mendapatkannya dari Guru Liam. Ia membawa dua lembar sekaligus agar Ayumi bisa memikirkannya lebih serius. Gesekan pelan terjadi diantara mereka. Format besar pada kolom itu masih kosong, Ayumi menatap dengan bingung. "Apa ini?" tanyanya setelah
Ayumi berdiri di bawah sinar mentari, pipinya sedikit merah dan tubuhnya menjadi lebih putih. Hidung kecil itu dipenuhi butiran keringat, dengan halus ia terengah-engah. "Kamu datang!"Setelah mengembara jauh, Arkan tampak lebih kurus. Matanya terguncang menatap Ayumi yang tersenyum lebar.Punggung gadis itu tampak ringan, seolah ribuan kebahagiaan menenggelamkan hatinya."Apa liburanmu menyenangkan?"Pada saat pertanyaan itu terlontar, gowesan pertama membuat keduanya meluncur di jalanan menurun. Sisa-sisa genangan air tadi malam masih membekas, sama halnya dengan ingatan Arkan. Ia menoleh dan bergumam, "Hm."Terlalu banyak pengendara di alun-alun, deretan pedagang kaki lima memenuhi trotoar. Ini adalah kali pertama Ayumi bepergian jauh. Ada sekitar tujuh kilometer jarak yang sudah mereka tempuh. "Ke mana kita akan pergi sekarang?"Ia turun dari sepeda dan melihat sekitar dengan bingung. Di depannya ada seseorang yang mengenakan kostum badut."Ar-"Suara Ayumi terdengar mencicit, d
Lagi-lagi hujan turun mengguyur, suara guntur terus saja terdengar. Kilatan di atas sana semakin menggila, merobek langit malam yang kian menggelap.Arkan menolehkan kepala ke samping. Tetesan air jatuh di balik kaca, menyamarkan cahaya terang dari lampu-lampu kota. Bait lagu yang dipadukan suara hujan memasuki telinganya dengan lembut.Belum lama kenyamanan itu melanda, pintu yang tertutup didorong perlahan.Sejak tadi ia sudah menjelaskan secara kasar, poin-poin apa yang ingin dirinya capai di masa depan. "Perhatikan posturmu!"Sekali lagi Arkan melirik ragu, sepasang mata menatapnya dengan tajam. Dalam pengawasan Ayah yang ketat, ia kembali menegakkan punggung. Posisinya benar-benar tampak sempurna, seperti boneka yang diikat pada sebatang kayu.Di belahan kota lain, Ayumi terbaring dengan lemah. Lipatan handuk kecil di dahinya tampak menyedihkan. Sejak semalam ia mengalami gejala demam.Seorang anak laki-laki mering
Rambut hitam beruban yang lagi-lagi Ayumi pikirkan membuat tangan kurusnya gemetar. Ini sudah minggu ketiga, bahkan ujian yang memusingkan tak menjadikannya lupa pada siluet menyeramkan itu."Ayo pergi ke puncak liburan nanti!"Suara-suara penuh antusias menyambar dari sana-sini. Bulan desember yang dingin datang dengan cepat. Ayumi memeluk diri dan terdiam.Pada semester 1 tidak diadakan kejuaraan. Hanya selembar evaluasi nilai yang dimana Arkan selalu menjadi peringkat pertama, disusul Ayumi kemudian Sava. Tak banyak orang yang tahu, ia mengulang satu tahun karena masalah kesehatan. Meski begitu, Sava tumbuh menjadi gadis yang menyenangkan sampai membuat siswi lain merutuk iri di belakang.Ayumi mengalihkan pandangan begitu ia sadar terlahir menumpahkan perhatian pada orang yang salah. Kembali ia melirik Arkan, pria itu terduduk sembari mengepalkan tangan. Matanya jatuh pada lembaran kertas dengan murung. Secara naluriah Ayumi paham ba
Sore ini kaki Ayumi mengayun sendirian, ia teringat untuk menjemput Airil dari taman dan bergegas pulang. Jalanan di sana masih sama, hanya suasananya saja yang berbeda. Tiga hari satu pohon mangga yang tumbuh rimbun dipotong dengan kejam. Ayumi tampak sedih melihat akar yang mencuat dari tanah. Sebenarnya ini bukan hal buruk juga, karena batang yang menjulang itu sudah terlalu tua dan membahayakan pengguna jalan. "Ai-" Belum selesai ia menyapa, amukan Airil di depan sana membekukan tatapannya. "Dasar anak nakal!" Seorang ibu paruh baya yang sejak tadi ada di sana mulai berkacak pinggang. Nada suaranya yang tinggi terdengar semakin menyeramkan. Buru-buru Ayumi berlari, meraih lengan Airil dan membawanya ke balik punggung. Anak laki-laki berumur 10 tahun menangis dengan kencang di depannya. Ayumi tidak tahu apa yang terjadi, namun ia percaya bahwa sang adik punya alasan untuk
Senja membentang dengan indah. Di dalam rumah yang hangat, sorot itu membias melalui jendela. "Bun!" Kepulan asap menggumpal, Arkan berteriak untuk menyadarkan Bunda Rea dari lamunannya. "Oh astaga!" Cepat-cepat ia membuka tutup panci, sebelah tangannya yang leluasa mengibas ke sana kemari. Dari sudut ruangan, Arkan menghampiri dengan resah. Akhir-akhir ini Bunda Rea menjadi lebih sering melupakan sesuatu. "Ini masih baik-baik saja, ayo makan." Sembari menyiapkan meja, lampu-lampu ruangan mulai dinyalakan. Empat kursi kayu yang melingkar hanya terisi setengahnya. Ini adalah tahun kedua Arkan kembali tinggal bersama ibunya, setelah sembilan tahun hidup terpisah. "Makan yang banyak," ucap Bunda Rea meletakkan sepotong daging. Di tempat yang berbeda Ayumi tengah memangku wajah. Mata bulatnya sibuk memerhatikan kegiatan Airil di hadapannya. "Coba hitung lagi." Di atas meja yang hanya setinggi lutut, kedua kakak beradik itu merajut masa depan. Tiga lembar kertas latiha
Arkan dan Ayumi berjalan sangat dekat, bahkan lengan keduanya sampai bersentuhan. Mereka tampak seperti dua batang es loli yang tak bisa dipisahkan. Jiwa yang segar itu seolah meleleh di bawah sinar mentari. Di sepanjang jalan pandangan mereka penuh dengan aroma mengepul dari gerobak ayam bakar. Beberapa pelanggan mengantre untuk mendapatkan bagian.Tepat ketika asap itu menerpa wajah Ayumi, sesuatu berbunyi samar. Sontak sebuah tawa terdengar dalam pendengaran. "Lapar?" tanya Arkan tak mampu menyembunyikan senyuman.Ayumi menoleh, sebelah tangannya mengusap perut dengan malu."Ujian hari ini begitu melelahkan, aku kewalahan."Bibir tipisnya bergumam tak jelas, mencari-cari pembenaran untuk dirinya yang tengah terpojokkan. "Ingin makan apa?"Bola mata Arkan menyapu sekitar, menunjuk beberapa gerobak sembari menunggu persetujuan gadis di sebelahnya. "Siomay itu sepertinya enak," ucap Ayumi pada antre
Untuk sebagian orang, masa putih abu adalah masa yang menyenangkan. Dan untuk sebagian orang lainnya, tak ada yang berbeda.____________________________________Juli, 2014Tahun pelajaran baru resmi digelar. Siswa-siswi yang beberapa waktu lalu menikmati hari liburnya mulai memasuki gerbang sekolah.Di sepanjang jalan menuju bangunan, ribuan bunga kencana menyambut dengan bahagia. Sosoknya yang bermekaran di pagi hari menjadi simbol semangat. Namun ketika malam tiba, mereka kehabisan tenaga dan memilih untuk menjatuhkan diri ke bumi. Meski begitu jangan ragukan kegigihannya, karena esok hari bunga kencana itu akan tumbuh lagi.Ayumi berjalan sembari membaca buku. Sebelah tangannya mengetuk dagu dengan hafalan yang terus dilontarkan.Gadis itu tidak tinggi, apalagi ukuran bajunya yang kebesaran membuat dia terlihat semakin kecil. Rambut hitam yang diikat menjadi satu pun menambah kesan biasa saja. Satu-satunya hal yang mencolok darinya hanyalah cekungan di kedua pipi yang timbul ketika
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments