Untuk sebagian orang, masa putih abu adalah masa yang menyenangkan. Dan untuk sebagian orang lainnya, tak ada yang berbeda.
____________________________________ Juli, 2014 Tahun pelajaran baru resmi digelar. Siswa-siswi yang beberapa waktu lalu menikmati hari liburnya mulai memasuki gerbang sekolah. Di sepanjang jalan menuju bangunan, ribuan bunga kencana menyambut dengan bahagia. Sosoknya yang bermekaran di pagi hari menjadi simbol semangat. Namun ketika malam tiba, mereka kehabisan tenaga dan memilih untuk menjatuhkan diri ke bumi. Meski begitu jangan ragukan kegigihannya, karena esok hari bunga kencana itu akan tumbuh lagi. Ayumi berjalan sembari membaca buku. Sebelah tangannya mengetuk dagu dengan hafalan yang terus dilontarkan. Gadis itu tidak tinggi, apalagi ukuran bajunya yang kebesaran membuat dia terlihat semakin kecil. Rambut hitam yang diikat menjadi satu pun menambah kesan biasa saja. Satu-satunya hal yang mencolok darinya hanyalah cekungan di kedua pipi yang timbul ketika ia tersenyum. Kelas masih sepi, Ayumi memutuskan untuk kembali terkubur bersama buku-buku pelajarannya. Mencatat materi dengan tenang sembari menunggu pembelajaran dimulai. "Apa-apaan ini?" Suara yang menggema tak berhasil mengganggunya. Dengan posisi menunduk, Ayumi menekuri tulisannya. "Ini sudah tahun keempat, apa kamu tidak bosan sekelas denganku?" "Benar-benar bikin gila," dengkus Meta masih mengacau di meja Ayumi. Setelah berucap demikian, gadis itu mendudukkan diri di tempat yang sama. Wajahnya menekuk, dengan cepat kedua tangannya menopang dagu. "Kenapa aku duduk di sini?" tanyanya pada diri sendiri. Ayumi melirik dengan gelengan kepala, lantas kembali membisu dalam dunianya. Bisikan dari meja depan membuat Ayumi mengangkat dagu. Meta yang tadinya cemberut pun kini tengah menerbitkan senyum. Seorang pria keluar dari kerumunan. Tingginya yang menjulang melewati sela-sela meja. Jika saja pria itu tidak menghempaskan tas dengan kencang, pasti Ayumi enggan untuk peduli. "Maaf," tuturnya setelah mendudukkan diri di kursi. Ayumi tak menjawab, ia memutar matanya malas dan kembali membatasi diri. Melihat itu, Arkan melirik dengan santai. Gadis di seberangnya tengah memakukan pandangan pada buku yang terbuka. Rambut ekor kudanya bergerak ke sana kemari ketika ia menggeleng dengan kencang. Tubuhnya kurus, namun ia memiliki kulit yang putih. Sontak Arkan menggeleng, merutuki isi kepala yang tidak ada gunanya. "Selama tiga tahun ke depan kalian akan berada di kelas yang sama. Silahkan untuk saling mengenal dan berkerjasama. Tak peduli kamu merasa pintar atau tidak, beradaptasi dengan lingkungan sekitar adalah prioritas utama." Setelah kalimat pembuka itu terlontar, pembelajaran benar-benar dimulai. Suasana yang awalnya bising kini sudah meredup. Suara coretan di papan tulis menjelma menjadi melodi yang indah. Burung-burung yang bersantai di ranting pohon ikut bernyanyi. Mereka semua bersorak gembira untuk para remaja yang tengah menata masa depannya. Ayumi terdiam, penjelasan yang baru saja sampai ke telinganya terdengar begitu asing. Dengan cepat ia membalik halaman pada salah satu buku yang menumpuk di meja. Menelisik daftar isi dengan hati-hati. "Hei." Arkan menggerakkan penanya di udara, ia berusaha keras untuk menarik perhatian gadis di samping kanannya. "Apa?" Dengan kesal Ayumi berbalik. Tatapan tajam ia todongkan pada manusia yang tak henti-hentinya bersuara. "Daftar isi pun dipelajari," ujarnya sembari menarik ujung bibir. Ada raut mencibir yang tergambar samar di wajah tampannya. Satu tangan menopang dagu, dan tangan lainnya memutar pena. Melihat tingkah pemuda itu, Ayumi mendelik. Ia menutup rapat buku yang terbuka dengan kedua tangan. "Bukan urusan kamu," ucapnya setelah mengalihkan pandangan. Matahari sudah berada di puncak. Beberapa kali angin berhembus kencang, membiarkan tirai yang menggantung menari bersamanya. Seseorang di barisan belakang mulai terkantuk-kantuk. Belajar selama empat jam membuat seperempat penghuni ruangan kewalahan, sisanya masih baik-baik saja. Ketika hari mulai kehilangan masa jayanya, dan rasa semangat sudah hilang dari tempatnya, pembelajaran resmi berakhir. Ayumi sedang memasukkan buku saat tiba-tiba sebuah pensil meluncur ke arahnya. "Maaf-maaf!" Tepat setelah benda itu mendarat di kepala bagian kiri, serobotan dari meja seberang membuat Ayumi menggeram kesal. Tangan kirinya meremas pensil hingga patah. Dua orang di barisan belakang saling memandang, mereka tersentak oleh pemandangan yang tengah bersitegang. "Berhenti bermain-main!" Sembari berlalu Ayumi melemparkan potongan kayu itu ke tempat semula. Mengikuti punggungnya yang menjauh, tatapan-tatapan tak habis pikir mengarah ke pintu. Arkan masih membeku di tempat, jemari kanannya memungut pensil yang patah dengan mulut terbuka. Tampaknya perdebatan ia dengan sang teman membuat benda itu menjumpai tempat yang salah. "Dia seperti monster!" seru Redo yang tadi menjadi dalang kejahatan. "Monster dengan dua tanduk merah," sambung Dean meletakkan kedua jari telunjuknya di kepala. Siswa-siswi yang masih tersisa mulai tertawa terbahak-bahak. Tingkah para pemuda tampan itu berhasil meramaikan kelas yang hampir kosong. Di tengah rasa lelah, tawa bahagia melintas tanpa rencana. Arkan menunduk dengan napas berhembus pelan. Jari kirinya yang ramping menyentuh alis, kedua matanya terpaku pada benda dalam genggaman. Satu senyuman terbit, secara alami wajahnya menjadi lebih tampan. Rambutnya terpotong rapi, mungkin karena hari ini adalah hari pertamanya di SMA Cendana. "Sudahlah, ayo pulang." Tanpa diduga, Arkan memasukkan potongan pensil itu ke dalam tas. "Mengapa kamu memasukkan benda itu?" tanya Redo dengan dahi mengerut. Baginya bukan hanya pikiran gadis-gadis saja yang tidak terbaca, namun pria di hadapannya juga. "Bukan urusan kamu!" Saat kalimat itu selesai diucapkan, wajah kesal Ayumi melintas jelas di benak Arkan. Lagi-lagi satu senyuman terbit tanpa alasan. Redupnya langit tak menjadi alasan untuk Arkan tetap bersinar. Tiga pria tampan itu berpisah di jalan bercabang. Arkan melanjutkan langkah dengan sebelah tangan mendiami saku celana. Di ujung taman, ia mendapati seorang gadis tengah bermain ayunan. Tubuh berseragam kebesaran itu bergerak riang. Tarikan di bibir membuatnya terlihat semakin cantik, apalagi dua lesung pipit ikut timbul ke permukaan. Untuk sepersekian detik, Arkan terpesona padanya. Rambut hitam yang tadinya terikat tinggi mulai turun ke bawah. Beberapa anak rambut yang nakal menjelma menjadi bingkai. Di bawah sinar rembulan, ia menjumpai keindahan yang tiada duanya.Seekor kupu-kupu mengelilingi ruang kelas. Orang bilang itu adalah tanda sebuah kedatangan, namun Ayumi tak peduli. Di atas meja yang bersih, ia meletakkan kepala dengan helaan napas. Ada begitu banyak kekesalan yang tersangkut di tenggorokannya, apalagi kejadian kemarin kembali melintas dengan kejam.“Hei.”Arkan berjalan dengan kaki panjangnya. Ia menarik kursi dan duduk menyamping. Senyuman di wajah tampannya terlihat mengerikan.“Hei.”Sekali lagi Arkan bersuara, menyapa Ayumi yang sibuk memalingkan muka.“Aku memanggilmu.”Sebuah tangan terulur cepat, Ayumi tidak memiliki waktu untuk bersembunyi lagi. Jadi, ia terpaksa bertemu tatap dengan Arkan.“Kamu menyebalkan!”Ayumi mendorong dada Arkan, dagunya kembali bertumpu di atas meja. Kicauan burung hari ini terdengar bising di telinganya. Mereka berterbangan dengan bebas di udara. Bulu-bulu gelapnya menari-nari bersama angin yang berhembus.Diam-diam Arkan memerhatikan gadis di hadapannya. Kedua tangan putih itu terlipat di meja, k
Angin bertiup dari luar jendela, membawa aroma bunga yang berguguran di sekeliling bangunan.Pada saat ini, waktu istirahat sedang berlangsung. Teman-teman sekelas mulai berhamburan keluar. Tidak ada yang memerhatikan Ayumi meski pun gadis itu menunduk sangat dalam.Meta menarik kursi setelah memasukkan permen ke mulutnya. Diam-diam dia menatap Ayumi yang tengah berjuang menyelesaikan soal-soal Kimia.“Bahkan setelah kelas berakhir pun kamu akan tetap belajar?”Suara napasnya terdengar lembut, dagu runcing itu menubruk meja perlahan. Jari telunjuknya berkeliling di sekitar, menulis dengan acak apa yang terlintas di kepala.“Sekarang aku tahu mengapa aku membencimu,” gumamnya masih melanjutkan apa yang dilakukan.Setelahnya Meta tak lagi bersuara, wajahnya benar-benar tertanam di meja. Keheningan yang tercipta membuat Ayumi menoleh padanya.“Orang bilang ucapan dari musuh itu adalah kejujuran.”Tiba-tiba Ayumi mendekat, pena yang digenggamnya bergerak menyingkirkan anak rambut. Dia dan
Jalanan setapak menuju gerbang sekolah dipenuhi guguran bunga kencana. Cokelatnya tanah tertimbun oleh lautan berwarna ungu, beberapa dedaunan juga turut menambah keindahan. Langit yang menaungi insan berlalu-lalang pun ikut berseri, menampilkan cahaya keemasan untuk hari yang akan segera berakhir.Ayumi melangkah semakin cepat, beban di pundaknya terlihat begitu berat. Kedua tangan putih itu ikut menyangga dari bawah, membagi penderitaan agar tetap merata.Tiba-tiba Ayumi berhenti berjalan, derap langkah di belakang berhasil menusuk pendengaran.“Jangan mengikutiku,” ujarnya setelah membalikkan badan.Rambut panjang terikatnya berputar mengikuti gerakan kepala. Jika saja Arkan tidak cepat menghindar, helaian yang menyatu itu pasti menampar wajahnya.Arkan menaikan alis dengan bingung, sebelah tangan ia masukan ke saku celana.“Apa yang kamu katakan? Rumahku juga ada di sana.”Telunjuk rampingnya mengarah ke jalan yang Ayumi punggungi. Karena tak ingin berdebat, gadis itu memilih untu
Embun pagi menyelimuti dedaunan, dengan malu-malu sinar mentari menampakkan diri. Menemani ayam-ayam jantan untuk bersuara, membangunkan semua insan yang masih terlelap dalam tidurnya.Ayumi berjalan linglung sembari menyeret tas biru ke ruang tengah. Semalam ia tidur terlambat, jadilah sisa-sisa kantuk itu menggantung di bawah matanya."Ai, cepat!"Suara Ayumi menggelegar, memanggil anak laki-laki yang tengah kerepotan memasukkan buku."Pakai sepatumu," tuturnya setelah Airil tiba di samping kiri.Gerakan Ayumi memelan ketika menyadari panggilan dari Airil yang terdengar ragu. Masih dengan usahanya mengikat tali sepatu, ia menolehkan wajah."Kenapa?"Lama Airil terdiam, bibirnya bergerak-gerak menyusun kalimat."Apa Bibi itu ibuku?"Secarik kertas disodorkan ke hadapan Ayumi, tulisan Bibi Gadis terukir rapi di sana.[Untuk anakku tercinta, Airil. Selamat ulang tahun.]Buru-buru Ayumi meremas kertas itu. Kepalanya mendongak ke atas, mencari-cari pembelaan yang sepertinya sudah terkubu
Kicauan burung menghilang setelah Ayumi membereskan sisa makanan. Remahan roti menyelinap di sela bibir, dengan cepat ia menariknya ke dalam mulut. Tak lama, sepasang manusia memasuki ruang kelas, senyum berseri keduanya menyamarkan sinar mentari.Ayumi mendesah saat menyadari waktu istirahat masih panjang. Pandangannya berkeliling setelah suntuk membaca buku. Seperti magnet dengan kutub yang berbeda, mata Ayumi melirik selembar kertas di meja seberang. Lukisan setengah jadi itu berada di bawah pensil yang terbagi dua.“Dasar aneh,” cibirnya memalingkan muka.Sialnya karena pelarian tersebut, netra Ayumi harus beradu dengan Arkan. Pria itu kini berjalan santai ke arahnya. Jemari sebelah kanan miliknya bergerak-gerak menurunkan lipatan pada baju bagian lengan.“Bukankah ini sudah kali kedua kamu tertarik dengan hasil gambarku?”Mendengar itu Ayumi mendelik, bibirnya mengerut menahan umpatan.“Apakah sebagus itu?” tanya Arkan setelah membawa lukisannya ke hadapan Ayumi.Sketsa wajah seo
Langit semakin pekat, angin semakin dingin. Namun gejolak di dada Ayumi tak kunjung membaik. Empat ban hitam itu melenggang perlahan, batu-batu kasar di sepanjang jalan menjadi penyebabnya. “Bi.” Suara Ayumi terdengar lirih. Pandangan gadis itu terpaku pada seorang wanita yang kini berbaring di pangkuannya. Diam-diam Bunda Rea mengambil alih kesedihan, menghibur Ayumi dengan genggaman tangan. “Jangan nangis ya,” tuturnya sembari menarik senyum. Pemeriksaan berlangsung lama, lalu-lalang di sekitar koridor sudah tak lagi terlihat. Hanya ada lampu remang-remang yang menerangi sebagian jalan. “Sekarang ada Bunda, kamu temani Airil saja.” Seolah baru tersadar, buru-buru Ayumi melempar pandangan. Mencari anak lelaki yang seharusnya ia jaga sekuat tenaga. “Ai!” Panggilan darinya berhasil membuat Airil turun dari pangkuan Arkan. Tanpa menjawab, anak kecil itu berlarian menghampiri Ayumi. “Maaf,” ungkap Ayumi di tengah pelukan yang tercipta. Dari kejauhan, Arkan menatap pe
Suara bola memantul terdengar di seisi lapangan. Para siswa itu berlarian tanpa aturan, memperebutkan benda bulat yang menari ke sana kemari. Sinar mentari semakin menyengat, namun mereka tak kunjung menghentikan permainan. Padahal jam pelajaran pertama akan segera tiba.Ayumi hanya termenung, berjalan di sepanjang koridor dengan wajah linglung. Gumpalan hitam di bawah mata menjadi pertanda betapa tak menyenangkannya malam yang ia punya.“Kalian menipuku!”Suara Redo terdengar begitu bola melayang dari tangannya. Arkan dan Dean tertawa kencang sebelum akhirnya berlari tunggang-langgang. Membelah keramaian untuk menghindari ancaman dari belakang.“Awas!”Kedua lelaki itu berseru kencang ketika mendapati Ayumi yang melenggang dari arah berlawanan. Namun ketiganya tak cukup waspada untuk menghindari seember air yang baru saja keluar dari pintu kelas dua.Cipratan air kotor itu berterbangan dengan cepat. Menghujani dua insan yang ber
Langit terlalu gelap untuk dikatakan pagi yang indah. Tetesan air masih menerpa bumi meskipun hari sudah berganti. Ayumi mengulurkan tangan untuk menggapai hujan. Lima menit sudah berlalu, namun rintik itu tak kunjung mereda. Ia terpaksa berlari dengan dikelilingi air yang menari-nari. Mendahului beberapa siswa yang sama-sama mengarah ke gerbang sekolah. "Hei, gadis monster!" Redo berteriak kencang begitu Ayumi menginjak genangan air di sampingnya. Karena kericuhan di sekitar, panggilan kesal itu mungkin tak mampu Ayumi dengar. Tangan Arkan terangkat, menutup mulut Redo yang terus saja mengumpat. "Berisik," ujarnya sembari mengambil langkah lebar. Menyusul Ayumi yang hampir mencapai jalan utama. Arkan menatap punggung gadis itu, lalu tiba-tiba tersenyum. "Apa kamu sengaja?" Tanpa ia duga, Ayumi berhenti dan berbalik dengan tenang. Matanya tersorot kesal, kedua tangan bertaut di dada. "Jika iya?" Melihat Arkan terdiam, Ayumi mulai menarik senyum. "Memang hanya kalian y
Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan
Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma
Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin
Tak ada salahnya mengorbankan hal kecil untuk sesuatu yang besar bersinar.____________________________________Cahaya bulan berhasil dipelintir oleh sinar mentari. Seolah menggambarkan kekalahan, burung-burung menangis mengawali hari."Jam berapa ini?" Ayumi bergumam dalam tidurnya, bibir kecil itu menguap beberapa kali. Semalam, ia terjaga cukup lama. Pelan-pelan jemari kanannya mengusap ujung mata.Sebuah suara mengalun dari atas meja, Ayumi menoleh dengan malas. "Siapa yang menelepon jam segini?"Meskipun bibirnya melontarkan kekesalan, panggilan pada layar tetap ia sambungkan. "Halo," sapanya malas.Pada awalnya, ucapan dari seberang terdengar begitu samar. Seakan-akan telinganya enggan untuk menerima.Sekali lagi ia berkata lebih kencang, "Halo?""Drafmu sudah dipublikasikan oleh pihak komunikasi atas nama Pak Rui!"Dalam jiwanya, gelegar petir saling bersahutan. Kaca-kaca transparan di dada seolah remuk tak tersisa. "Apa?"Suara Ayumi melengking nyaring, bahkan kupu-kupu ya
Dia terlalu indah untuk disembunyikan. ____________________________________Desember, 2023Semua hal berjalan seperti badai di tengah kota, ada keributan juga perasaan tertekan. Seperti sore ini, suasana kantor mendadak menjadi ruang atraksi. Lemparan map dari anggota divisi saling meluncur di meja rapat."Aku sungguh kesal!"Seorang gadis menekan kuat sandaran kursi, matanya memicing pada lembaran kertas yang sudah remuk."Orang-orang tua itu terlalu kolot."Ayumi menanggapi keluhan rekan satu timnya dengan serius, "Ini memang keterlaluan."Jari-jari lentik itu memutar pena dengan gugup. Penolakan dari atas terlalu kuat, ia harus menemukan cara untuk bebas.Saat ketegangan berkurang, Ayumi memiringkan kepala dan berkata, "Ayo pergi!"Pintu kaca didorong dengan sisa-sisa tenaga. Gerutuan dari Casandra terus terlontar menggapai kerumunan. "Siapa yang akan memasang iklan di baliho tahun ini? Benar-benar tak habis pikir!"Eky dari samping kanan menyahut, "Justru karena mereka tua, jadi
Cara terbaik untuk diam adalah hilang. ____________________________________ September, 2018 Bus melaju di tengah gersangnya hari Senin. Iklan-iklan pada baliho di jalan bergulir seperti putaran film. Ayumi turun dengan percaya diri ketika kendaraan itu menepi di halte megah dan tinggi. "Memang tidak salah lagi, ini universitas yang besar." Kepalan tangannya menenteng tas kain bergambar bunga. Ayumi mengenakan kemeja biru yang dipadukan dengan celana jeans panjang. Rambut sepundaknya terurai, menutupi sebagian tengkuk dari panasnya sinar mentari. Arsitektur di hadapannya tampak tua namun penuh dengan nilai budaya. Ada banyak pohon yang menjulang juga tanaman rambat, persis seperti negeri dongeng masa kini. Masih diselimuti kekaguman, Ayumi bergumam dalam keramaian, "Ini cantik." Tangkai rapuh yang memanjang memeluk anyaman besi dengan kencang. Daun-daun hijau itu memiliki tepi bergerigi. Bentuknya sangat unik, hampir menyerupai sebuah jantung. Ayumi berjalan bebas,
Jika kita bisa menjaga jarak aman, maka permukaan akan selalu damai. ____________________________________ Mentari bersemayam di bukit tinggi, menyaksikan hari yang terus berganti. Ayumi membanting pintu dengan kaki ketika kedua tangannya sibuk memegang kardus. Rak-rak tua tengah berdiri membentuk sekat, beberapa pengunjung memilah buku di barisan sastra. "Ini cerita yang bagus," bisik Ayumi pada salah satu gadis. Wajah berbingkai rambut halus itu menoleh, "Benarkah?" Mata hitamnya tersorot antusias ketika melihat anggukan yang diberikan. Di tengah kesenangan ia kembali terkubur dalam dunianya. "Semakin kuperhatikan, kamu tampak seperti orang yang berbeda." Meta meletakkan punggung di tembok, tangannya meraba-raba isi kotak yang Ayumi bopong. "Dulu kamu memasang tembok besar. Dan sekarang malah mudah bergaul, cih!" Decihannya sampai pada gendang telinga, Ayumi merendahkan tangan sebelum berucap, "Harusakah aku melayani orang lain seperti ini?" Raut masamny
Di pagi hari, gang-gang sempit tampak sunyi. Tidak ada yang datang dan pergi selain gema yang memanjang."Haruskah kita membeli susu kedelai?"Saat ini suasana hati Ayumi begitu ringan, seakan-akan burung gereja hitam telah membawanya pergi.Langit biru bersinar terang di atas kepala gadis itu. Ada ratusan semut yang menjalar di pepohonan, mereka tampak senang karena menemukan sesuatu yang berharga."Permisi, susu kedelainya satu ya, Bu."Ia menyapa dengan ramah. Dibandingkan hari kemarin, sosoknya terlihat jauh lebih cerah. [Sebenarnya tempat ini tidak memiliki banyak pengunjung, namun jika anda ingin datanglah.]Jari-jari gadis itu memainkan layar sebentar, membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Kak Regan tadi malam. Penciuman Ayumi begitu tajam, ketika aroma daun pandan menyebar ia langsung mengangkat pandangan. Warna putih kekuningan itu dituang ke dalam gelas plastik. Satu pipet bening ikut meluncur di detik-detik terakhir."Dibuat dengan spesial untuk pelanggan pertama, teri
Mimpi yang telah rusak saling bertabrakan satu sama lain, Ayumi menunduk cukup dalam di samping bangunan. Ada tiga tetes air yang jatuh dari atap, mungkin itu sisa hujan tadi siang.Jari-jarinya sedikit membeku karena dingin. Ia mengangkat kelopak mata saat seseorang menuruni anak tangga."Sedang apa?" tanya pria itu sopan.Kepala Ayumi mengangguk untuk menyapa, kedua tangan yang gemetar bersembunyi di belakang. "Saya hanya beristirahat sebentar, sebelum pulang."Kebohongannya terlontar tanpa ragu, ternyata selama ini ia belajar membual.Tanda tanya terlukis di wajah pria itu, namun dia berhasil menutupinya dengan senyum. "Ini hanyalah perpustakaan usang. Namun jika anda ingin, saya bisa membukakan pintu."Ada sedikit kecurigaan yang terpancar, Ayumi terdiam sembari berpikir."Anda memiliki kewaspadaan yang bagus, tapi saya tak memiliki niat lain. Jadi, anda tidak perlu me-"Ucapannya terhenti karena selaan Ayumi, "Saya ingin, terima kasih."Satu senyum terbit lebih dulu, manusia di h