Pemberontakan

Angin bertiup dari luar jendela, membawa aroma bunga yang berguguran di sekeliling bangunan.

Pada saat ini, waktu istirahat sedang berlangsung. Teman-teman sekelas mulai berhamburan keluar. Tidak ada yang memerhatikan Ayumi meski pun gadis itu menunduk sangat dalam.

Meta menarik kursi setelah memasukkan permen ke mulutnya. Diam-diam dia menatap Ayumi yang tengah berjuang menyelesaikan soal-soal Kimia.

“Bahkan setelah kelas berakhir pun kamu akan tetap belajar?”

Suara napasnya terdengar lembut, dagu runcing itu menubruk meja perlahan. Jari telunjuknya berkeliling di sekitar, menulis dengan acak apa yang terlintas di kepala.

“Sekarang aku tahu mengapa aku membencimu,” gumamnya masih melanjutkan apa yang dilakukan.

Setelahnya Meta tak lagi bersuara, wajahnya benar-benar tertanam di meja. Keheningan yang tercipta membuat Ayumi menoleh padanya.

“Orang bilang ucapan dari musuh itu adalah kejujuran.”

Tiba-tiba Ayumi mendekat, pena yang digenggamnya bergerak menyingkirkan anak rambut. Dia dan Meta tidak akrab, namun secara kebetulan mereka terus dipertemukan. Saling mendorong dan mengabaikan sudah menjadi rutinitas keduanya sejak Sekolah Menengah Pertama. Tak ada yang istimewa, Ayumi hanya enggan membuka diri, begitu pun sebaliknya.

Kelas masih sepi dan tidak ada suara. Sinar mentari yang hangat menguasai sebagian ruangan. Di ambang pintu yang terang, Arkan berjalan menenteng kemeja putihnya. Karena setelah ini adalah pelajaran olahraga, para siswa bersemangat untuk mengganti pakaian.

Ayumi menepi setelah selesai membersihkan meja. Satu set baju olahraga ia keluarkan dari dalam tas. Perjalanan menuju pintu terhalang oleh kerumunan.

“Bukankah gadis-gadis juga bisa mengganti pakaiannya di sini? Itu jauh lebih mudah.”

“Pantatmu!”

Perdebatan itu membuat Ayumi tak tahan untuk terus terdiam. Tanpa suara ia melemparkan bahu dan melewati mereka.

Arkan menyeringai begitu Ayumi tiba di hadapannya. Pria itu mencondongkan tubuh ke depan, memamerkan bahu lebarnya dengan senyuman jahat.

“Apakah kamu juga akan melakukannya padaku?”

Tangannya yang berkeringat membawa kehangatan pada dagu Ayumi. Dengan banyaknya pasang mata yang memerhatikan, gadis itu menahan napas. Aroma tubuh Arkan lebih kuat daripada terakhir kali. Rambutnya yang basah menyatu di beberapa sisi.

“Singkirkan tangan kotormu itu!”

Perasaan aneh mulai meluap di hatinya. Ayumi kesal diperlakukan semena-mena seperti ini, namun ia juga berdebar. Hanya dengan sentuhan ringan, gadis itu merasakan sensasi geli di perut. Pipinya memanas tanpa alasan, dalam pandangannya hanya ada Arkan yang menyebalkan.

Beruntung lonceng berdentang lebih dulu, perkumpulan yang padat itu mengurai dengan sendirinya. Sekali lagi Ayumi menegakkan bahu, menubruk Arkan sesuai permintaannya.

“Berhenti menggangguku!”

Tanpa perlu repot berbalik, langkah Ayumi berlangsung seperti biasanya. Tak ada rambut terurai yang menari bersama angin, hanya ada ekor kuda yang melambai dalam keheningan.

Arkan menggerakkan lengannya, dia melipat seragam sembari mendengarkan celotehan Redo dan Dean. Kedua pemuda itu masih sibuk memprotes tingkah sembrono Ayumi, mulut mereka bahkan sampai berbusa karena melontarkan keburukan.

Kelas kembali dimulai, namun dengan suasana berbeda. Sinar matahari yang menyengat seolah berpindah ke kepala. Peluh-peluh di dahi sudah meluncur ke bawah, padahal mereka baru saja pemanasan.

“Hari ini kita akan latihan untuk praktik bulu tangkis minggu depan. Kelompoknya dibagi sesuai absensi, jadi silahkan dengarkan.”

Suara Guru Torik menyapu pendengaran, Ayumi mengerucutkan bibir begitu mendengar namanya disebutkan setelah Arkan. Untuk beberapa saat ia lupa jikalau namanya berdempetan dengan manusia itu di absensi kelas.

Arkan mengubah langkahnya menjadi lebih cepat, ia menghampiri rekan satu timnya yang berada di barisan paling kanan. Pada saat itu Ayumi percaya bahwa kebencian akan membawa Arkan semakin dekat.

“Milikmu!”

Sebuah raket sengaja ditempelkan pada kepala, Ayumi mendengkus sembari menerima benda itu. Kok di kanan dan kiri sudah melambung sejak tadi. Bulu-bulu putih itu terus berbalik menjauhi pemukul. Dengan lesu Ayumi menyeret kedua kakinya, sebelah tangan menjewer kok dan yang lainnya menarik diri ke belakang. Pukulan pertama terbang dengan indah, permainan berlangsung dalam rentang waktu yang singkat. Karena di pukulan ketiga, benda kecil itu melenceng ke sisi kiri. Ia menyapa kepala seseorang yang kini tengah mengaduh kesakitan.

“Kamu bisa main gak, sih?” berangnya melemparkan kembali kok itu ke arah Ayumi.

Anggota dari dua tim yang berbeda itu mulai beradu mulut. Arkan dan Dava yang menjadi pasangannya hanya bisa menekuk lutut, menunggu akhir dari perdebatan yang panjang.

“Sudahlah, sekarang aku tak ingin bermain. Temanmu memuakkan!”

Tiba-tiba Ayumi berbalik dan berjalan lebih cepat. Seperti banteng, ia menubruk dada Arkan yang baru saja bangkit dengan raket. Ketiga pria yang ditinggalkan melongo bingung, Redo yang berada di sisi lain pun mulai mencuri-curi pandang.

Arkan tak tahan untuk diam, kakinya ikut terayun di belakang. Peralatan yang tadi mereka gunakan sudah diletakkan di pinggir lapangan. Jadi ia tak perlu khawatir itu akan rusak karena terinjak oleh seseorang.

“Hei,” panggilnya ketika mencapai pintu kelas.

“Sekarang nilai kita sedang dipertaruhkan.”

Ayumi mendadak tuli, gadis itu tak bereaksi meski pun Arkan berteriak di telinganya.

“Apa kamu senang menghancurkan nilaimu sendiri?”

Jari-jari rampingnya menutup setengah buku yang terbuka. Perlahan Arkan menarik lembaran kertas itu agar turun dari meja. Menjauhkan mereka dari tangan Ayumi yang kini mengacak-acak udara.

“Aku akan menulis materi bulu tangkis sebagai gantinya. Jadi kamu silahkan pergi.”

Hanya dengan mengubah metode, Ayumi berhasil mendapatkan kembali miliknya. Perlahan ia menuruni kursi, gerakan hati-hatinya terekam oleh mata Arkan. Buru-buru pria itu menahan sandaran dari samping, memastikan Ayumi mendarat dengan selamat.

“Ayumi! Arkan!”

Bentakan yang diiringi pukulan pada kaca itu membekukan keduanya. Dengan perasaan berdebar sepasang remaja itu mematung di tempat.

“Bukannya latihan, kalian malah asik pacaran?”

Guru Torik meletakkan tangan di pinggang, baju kekecilannya semakin menunjukkan dada yang membusung.

“Sana, lari tiga putaran!”

Botol minum di tangannya siap memukul punggung Arkan. Namun ia kembali menariknya begitu mengingat benda itu berbahan aluminium.

Setelah itu Guru Torik menggiring keduanya untuk segera mencapai lapangan. Sorot penuh tanya dari siswa-siswi lain berhasil menghentikan permainan. Kok yang awalnya berlalu-lalang sudah jatuh berserakan. Tangan para pelajar terkulai dengan raket yang hampir menyentuh tanah.

“Kalian juga ingin seperti mereka?”

Pertanyaan penuh amarah itu di tanggapi gelengan, sedetik kemudian aktivitas kembali seperti semula.

“Anak-anak nakal itu,” gumamnya mengeluarkan napas terberat.

Ada begitu banyak pemberontakan di masa muda, dan yang paling parah ketika mereka melakukannya bersama-sama.