Kicauan burung menghilang setelah Ayumi membereskan sisa makanan. Remahan roti menyelinap di sela bibir, dengan cepat ia menariknya ke dalam mulut. Tak lama, sepasang manusia memasuki ruang kelas, senyum berseri keduanya menyamarkan sinar mentari.
Ayumi mendesah saat menyadari waktu istirahat masih panjang. Pandangannya berkeliling setelah suntuk membaca buku. Seperti magnet dengan kutub yang berbeda, mata Ayumi melirik selembar kertas di meja seberang. Lukisan setengah jadi itu berada di bawah pensil yang terbagi dua. “Dasar aneh,” cibirnya memalingkan muka. Sialnya karena pelarian tersebut, netra Ayumi harus beradu dengan Arkan. Pria itu kini berjalan santai ke arahnya. Jemari sebelah kanan miliknya bergerak-gerak menurunkan lipatan pada baju bagian lengan. “Bukankah ini sudah kali kedua kamu tertarik dengan hasil gambarku?” Mendengar itu Ayumi mendelik, bibirnya mengerut menahan umpatan. “Apakah sebagus itu?” tanya Arkan setelah membawa lukisannya ke hadapan Ayumi. Sketsa wajah seorang gadis berambut hitam lurus itu memenuhi penglihatan. Bahunya mengerucut karena kedua tangan diletakkan di depan. “Biasa aja tuh!” Ayumi menimpali dengan raut tak peduli. Meski begitu, guratan penasaran tak kunjung mereda pada ujung matanya. Sekilas Arkan tersenyum, lagi-lagi ia menjauh dengan ayunan pelan. Suara tarikan kursi terdengar saat Ayumi meluruskan badan. Diam-diam ia mencuri pandang pada karya sekaligus pemiliknya. Ada begitu banyak gadis dengan rambut lurus di kelas, ia jadi kesulitan untuk menerka siapa yang Arkan gambar. Apalagi hidung dan bibirnya belum benar-benar selesai. Namun tanda titik di kedua pipi itu kembali menjadi sumber perhatiannya. “Apa itu tahi lalat?” terka Ayumi sembari menopang dagu. Jari-jari tangannya bergerak riang, beberapa kali kedua telunjuk itu menyentuh cekungan di pipi. Belum selesai ia berdamai dengan isi kepala, pembelajaran dimulai setelah Guru Zia memasuki ruangan. Buru-buru Ayumi menepis pertanyaan yang sedari tadi menghuni pikiran. Hal-hal tak berguna itu keluar seiring dengan materi yang terlontar. Di saat semburat jingga memenuhi langit, gerbang sekolah tertutup rapat. Kaki Ayumi melenggang tanpa ragu, menapaki jalanan berbatu menuju tempat persinggahan yang lain. “Permisi,” ujarnya setelah mengetuk pintu berapa kali. Balasan dari dalam rumah terdengar samar. Gesekan antara pintu kayu dan lantai mulai menghiasi pendengaran. “Masuk Ay, Kinan udah nungguin kamu di kamarnya.” Langkah Ayumi kembali terayun, melewati ruang tamu hingga akhirnya sampai pada ruangan yang dituju. Begitu pintu terbuka, bayangan tubuh kecil terpapar sinar lampu. Rambut ikat duanya menjuntai melewati bahu. Baju lengan panjangnya digulung seperempat, jemari kanannya meliuk-liuk di atas buku yang terbuka. “Sore, Kinan.” Sapaan dari Ayumi berhasil membuatnya menoleh. Tak lama, tangan mungil itu melambai kegirangan. Bibirnya tersenyum lebar, mewakili perasaan yang tengah berbahagia. “Tugas buat besok udah selesai?” Anggukan kecil dari Kinan menggoda Ayumi untuk memberikan elusan di kepala. Tumpukan buku yang tadinya menggunung sudah mulai berkurang, beberapa diantaranya berserakan di lantai. Sembari menunggu Kinan menyelesaikan latihan soal, Ayumi merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. Jam dinding yang sedari tadi bersuara itu menarik atensinya. Langit senja sudah sepenuhnya menghilang. Di balik kaca kamar itu hanya ada sinar rembulan. Bintang-bintang yang biasanya turut hadir tengah mengambil jatah libur. “Hati-hati kak Ay!” Suara Kinan mengalun kencang ketika tubuh lelah itu keluar dari pekarangan rumah. Wajah Ayumi terlalu suram untuk remaja seusianya. Ketika anak-anak lain dapat menikmati waktu luang dengan bersantai, ia harus rela bolak-balik mengumpulkan uang. Di sepanjang jalan, perumahan yang kokoh itu berdiri berjauhan. Pohon-pohon di sekitarnya terlihat mengerikan dalam kegelapan. Pagar kayu sepinggang berhasil Ayumi tarik dengan satu tangan. Lampu redup di teras hanya mampu menerangi area pintu yang tertutup. “Bibi, Ay pulang.” Suaranya memelan begitu mendapati Airil sudah terlelap di tempatnya. Kepalanya melongok ke sana kemari guna mencari keberadaan Bibi Gadis. “Mungkin keluar sebentar,” ujarnya menyerah akan usaha yang sia-sia. Perlahan tas di punggung ia letakkan di dekat lemari. Buru-buru tangan kurus itu meraih handuk yang menggantung. Dalam perjalannya Ayumi berhenti sejenak, membenarkan posisi selimut yang sudah beralih ke ujung kaki. “Selamat malam, Ai.” Rambut ikal Airil bergerak ringan karena elusan. Dalam diam Ayumi memandangi anak lelaki itu lekat-lekat. “Jangan mulai deh,” racaunya menutup perhatian. Kembali ia melenggang perlahan, mencapai gorden kamar mandi dengan mata terbelalak. “Bibi!” Jeritannya mampu mengguncang seisi rumah. Airil yang sejak tadi merajut mimpi pun kini berdiri linglung. Tanpa menanggapi pertanyaan yang dilontarkan sang adik, Ayumi berlari tunggang-langgang. Kakinya beberapa kali tergores bebatuan, bahkan ujung telunjuknya masih mengeluarkan darah akibat jarum tajam yang terpasang di sisi gorden sebelah kanan. “Tolong!” Teriakannya menggema bersama suara para jangkrik di semak-semak. Pelukan angin malam semakin membekukan sanubari, Ayumi terus menangis sejadi-jadinya. “Tolong!” Dari sekian banyak orang yang ia kenal, Bunda Rea menjadi satu-satunya jawaban. Dengan bibir menahan isakan, langkahnya terus beradu melawan kesialan. “Bunda! Bunda tolong Bibi, Bunda.” Kepalan tangannya mengetuk dengan cepat. Bibir mungil itu tak henti-hentinya mengucapkan permohonan. Lama Ayumi harus menunggu, kesepian di dalam sana masih bertahan hingga membuatnya lunglai di jalanan. “Ayumi?” Keputusasaan yang hampir saja memenuhi hatinya terhambat oleh sebuah panggilan. Ayumi berbalik dengan cepat, mengabaikan seragam sekolahnya yang sudah tak layak pakai. Noda dan keringat menjadi hiasan terindah di antara motif lain. “Tolong, tolong Bibi. Dia—dia pingsan di rumah, Arkan!” Gadis itu memelas dengan sungguh-sungguh. Kedua tangannya memeluk erat jari-jemari Arkan. Tanpa jeda, ia terus menggumamkan permohonan. “Kamu tenang dulu. Aku akan masuk ke dalam dan bangunkan Bunda. Setelah itu kita bawa Bibi kamu ke rumah sakit, ya?” Cekalan keduanya mulai melonggar. Ayumi mengangguk penuh harapan, melepaskan Arkan yang sudah menghilang dari pandangan.Langit semakin pekat, angin semakin dingin. Namun gejolak di dada Ayumi tak kunjung membaik. Empat ban hitam itu melenggang perlahan, batu-batu kasar di sepanjang jalan menjadi penyebabnya. “Bi.” Suara Ayumi terdengar lirih. Pandangan gadis itu terpaku pada seorang wanita yang kini berbaring di pangkuannya. Diam-diam Bunda Rea mengambil alih kesedihan, menghibur Ayumi dengan genggaman tangan. “Jangan nangis ya,” tuturnya sembari menarik senyum. Pemeriksaan berlangsung lama, lalu-lalang di sekitar koridor sudah tak lagi terlihat. Hanya ada lampu remang-remang yang menerangi sebagian jalan. “Sekarang ada Bunda, kamu temani Airil saja.” Seolah baru tersadar, buru-buru Ayumi melempar pandangan. Mencari anak lelaki yang seharusnya ia jaga sekuat tenaga. “Ai!” Panggilan darinya berhasil membuat Airil turun dari pangkuan Arkan. Tanpa menjawab, anak kecil itu berlarian menghampiri Ayumi. “Maaf,” ungkap Ayumi di tengah pelukan yang tercipta. Dari kejauhan, Arkan menatap pe
Suara bola memantul terdengar di seisi lapangan. Para siswa itu berlarian tanpa aturan, memperebutkan benda bulat yang menari ke sana kemari. Sinar mentari semakin menyengat, namun mereka tak kunjung menghentikan permainan. Padahal jam pelajaran pertama akan segera tiba.Ayumi hanya termenung, berjalan di sepanjang koridor dengan wajah linglung. Gumpalan hitam di bawah mata menjadi pertanda betapa tak menyenangkannya malam yang ia punya.“Kalian menipuku!”Suara Redo terdengar begitu bola melayang dari tangannya. Arkan dan Dean tertawa kencang sebelum akhirnya berlari tunggang-langgang. Membelah keramaian untuk menghindari ancaman dari belakang.“Awas!”Kedua lelaki itu berseru kencang ketika mendapati Ayumi yang melenggang dari arah berlawanan. Namun ketiganya tak cukup waspada untuk menghindari seember air yang baru saja keluar dari pintu kelas dua.Cipratan air kotor itu berterbangan dengan cepat. Menghujani dua insan yang ber
Langit terlalu gelap untuk dikatakan pagi yang indah. Tetesan air masih menerpa bumi meskipun hari sudah berganti. Ayumi mengulurkan tangan untuk menggapai hujan. Lima menit sudah berlalu, namun rintik itu tak kunjung mereda. Ia terpaksa berlari dengan dikelilingi air yang menari-nari. Mendahului beberapa siswa yang sama-sama mengarah ke gerbang sekolah. "Hei, gadis monster!" Redo berteriak kencang begitu Ayumi menginjak genangan air di sampingnya. Karena kericuhan di sekitar, panggilan kesal itu mungkin tak mampu Ayumi dengar. Tangan Arkan terangkat, menutup mulut Redo yang terus saja mengumpat. "Berisik," ujarnya sembari mengambil langkah lebar. Menyusul Ayumi yang hampir mencapai jalan utama. Arkan menatap punggung gadis itu, lalu tiba-tiba tersenyum. "Apa kamu sengaja?" Tanpa ia duga, Ayumi berhenti dan berbalik dengan tenang. Matanya tersorot kesal, kedua tangan bertaut di dada. "Jika iya?" Melihat Arkan terdiam, Ayumi mulai menarik senyum. "Memang hanya kalian y
Tekstur bebatuan di sepanjang jalanan sempit Ayumi belai perlahan. Siapa sangka orang yang sejak semalam mengganggu tidurnya kini melambai senang."Ayo!"Dua pasang kaki saling mengejar, berburu tempat untuk membuktikan siapa pemenang.Mereka masih sangat muda, suasana hatinya bisa saja pasang surut dalam sekejap mata. Merasakan senang, sedih hanya karena hal-hal sederhana. Arkan membalik badan, melangkah mundur dengan senyum."Hati-hati," ujar Ayumi saat pria itu tak lagi memperhatikan jalan.Ada sepuluh anak tangga yang membentang ke bawah. Tiang listrik dengan kabel mengusut terletak di sebelah kanan."Ayo mulai permainan," bisik Arkan begitu Ayumi tiba di sampingnya. Gadis itu mengangguk, beberapa kali tangannya menyingkirkan anak rambut. "Gunting, kertas, batu!"Saat kalimat itu terlontar kencang, kedua tangan Arkan terangkat. Satu untuk permainan, sisanya membenarkan rambut Ayumi yang
Saat matahari terbenam, angin mulai berdesir. Rambut hitam halus bersinar di bawah pembiasan yang hangat. Arkan menggiring langkah ke ujung lapangan. Meninggalkan Dean yang masih sibuk memainkan bola besar. "Kemana kamu akan pergi setelah ini?" Redo melemparkan sebotol minuman setelah melontarkan pertanyaan. Pelan-pelan Arkan meneguk air, jakunnya naik turun beberapa kali. "Kenapa kamu peduli?" ujarnya memutar penutup biru. "Benar-benar sial!" Sekali lagi Redo melemparkan botol minuman, kali ini tepat mengenai dada Arkan kencang. Dengan cepat ia menyingkir, menyusul Dean untuk kembali bermain. Satu tangan meraba tas, jemari lainnya datang untuk melambai. "Aku pergi dulu," pamitnya sembari menyusuri tepi lapangan. Arkan baru saja selesai bermain, dahinya penuh oleh keringat. Ia mengenakan kaus hitam dan celana pendek selutut. Kaki panj
Selama beberapa hari, suasana hati Ayumi tidak terlalu tinggi. Terpaksa ia menyeret kedua kakinya pelan. Bibir tipis itu bertaut lucu, mata bersihnya turun cukup dalam.Tak ada lagi bunga yang bermekaran bulan ini, hanya ada setumpuk daun kering di bawah pohon tua.Sesuatu yang hangat tiba-tiba menusuk pipi, Ayumi menoleh cepat untuk menjumpai penyebabnya. "Hai," sapa Arkan tanpa melambaikan tangan. Pasalnya jemari telunjuk itu masih mendiami wajah Ayumi.Melihat secara horizontal atau pun vertikal, hasilnya tetap sama. Dia merasa bahwa Arkan terlihat semakin tampan dan semakin menarik. Apalagi saat pria itu menggodanya seperti ini. "Oh, hai!"Bola matanya berputar dengan sangat mulus. Ayumi tidak bisa menahan diri untuk tak menatapnya. Dia benar-benar terjebak dalam pesona Arkan sekarang.Gadis itu terus berjalan, mengambil langkah dua inci sekaligus. Sementara Arkan cukup melangkah pelan pun sudah bisa mengejarnya.
Dalam kegelapan, kamu adalah semanggi berdaun empatku.____________________________________Dua baris pohon pucuk merah berjejer rapi. Batang-batang kokoh itu berpegangan sangat erat, menghiasi jalanan agar tampak ramai.Sinar mentari mencuat dari belakang, kali ini ia terbit dengan senang. Menerangi punggung lebar Arkan yang agak kurus, lengan halus itu menggantung diantara pundak.Ayumi terbiasa melihat pria itu dikelilingi oleh banyak orang. Beberapa dari mereka mengajukan pertanyaan atau bahkan mengajaknya bersenda gurau."Baru bertemu tapi sekarang gadis itu sudah masuk di grupmu, mencurigakan.""Woah, dua orang paling mempesona di kelas kita adalah murid grup seni!"Arkan tidak mengambil inisiatif untuk menjawab, ia hanya menggaruk alisnya canggung. Satu persatu dari mereka mulai bergabung dengan lautan siswa di depan.Sudah hampir seminggu sejak kelas kembali dimulai, wajah-wajah ceria itu mulai tampak terbebani. Berbagai ujian sudah siap mengambil antrean, menunggu untuk dise
Langit itu indah, dan aku bahagia bisa berada di bawahnya bersama orang yang kusuka.____________________________________Dedaunan hijau berhasil menutupi sebagian besar langit biru. Hembusan angin menyapa begitu Ayumi menutup kelopak mata. Arkan tersenyum dan ikut terduduk."Ada banyak orang yang ingin bermain denganmu, mengapa mengikutiku?"Terlepas dari hubungannya, kedekatan mereka selalu memiliki dua arti. Kadang seperti teman, kadang juga seperti kekasih."Mereka berisik, tidak sepertimu."Buru-buru Ayumi menegakkan punggung, ia melirik dengan cepat, "Apa itu pujian?"Arkan tak menjawab, kepalanya mengangguk dan menggeleng bergantian."Berhenti tertawa!" dengkus Ayumi kembali bersandar dan mendongakkan wajah.Arkan mengikuti apa yang Ayumi lakukan. Tangannya terangkat membuat bingkai. "Kenapa kamu suka menggambar?"Diam-diam Ayumi melirik, memastikan Arkan berada dalam penglihat
Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan
Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma
Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin
Tak ada salahnya mengorbankan hal kecil untuk sesuatu yang besar bersinar.____________________________________Cahaya bulan berhasil dipelintir oleh sinar mentari. Seolah menggambarkan kekalahan, burung-burung menangis mengawali hari."Jam berapa ini?" Ayumi bergumam dalam tidurnya, bibir kecil itu menguap beberapa kali. Semalam, ia terjaga cukup lama. Pelan-pelan jemari kanannya mengusap ujung mata.Sebuah suara mengalun dari atas meja, Ayumi menoleh dengan malas. "Siapa yang menelepon jam segini?"Meskipun bibirnya melontarkan kekesalan, panggilan pada layar tetap ia sambungkan. "Halo," sapanya malas.Pada awalnya, ucapan dari seberang terdengar begitu samar. Seakan-akan telinganya enggan untuk menerima.Sekali lagi ia berkata lebih kencang, "Halo?""Drafmu sudah dipublikasikan oleh pihak komunikasi atas nama Pak Rui!"Dalam jiwanya, gelegar petir saling bersahutan. Kaca-kaca transparan di dada seolah remuk tak tersisa. "Apa?"Suara Ayumi melengking nyaring, bahkan kupu-kupu ya
Dia terlalu indah untuk disembunyikan. ____________________________________Desember, 2023Semua hal berjalan seperti badai di tengah kota, ada keributan juga perasaan tertekan. Seperti sore ini, suasana kantor mendadak menjadi ruang atraksi. Lemparan map dari anggota divisi saling meluncur di meja rapat."Aku sungguh kesal!"Seorang gadis menekan kuat sandaran kursi, matanya memicing pada lembaran kertas yang sudah remuk."Orang-orang tua itu terlalu kolot."Ayumi menanggapi keluhan rekan satu timnya dengan serius, "Ini memang keterlaluan."Jari-jari lentik itu memutar pena dengan gugup. Penolakan dari atas terlalu kuat, ia harus menemukan cara untuk bebas.Saat ketegangan berkurang, Ayumi memiringkan kepala dan berkata, "Ayo pergi!"Pintu kaca didorong dengan sisa-sisa tenaga. Gerutuan dari Casandra terus terlontar menggapai kerumunan. "Siapa yang akan memasang iklan di baliho tahun ini? Benar-benar tak habis pikir!"Eky dari samping kanan menyahut, "Justru karena mereka tua, jadi
Cara terbaik untuk diam adalah hilang. ____________________________________ September, 2018 Bus melaju di tengah gersangnya hari Senin. Iklan-iklan pada baliho di jalan bergulir seperti putaran film. Ayumi turun dengan percaya diri ketika kendaraan itu menepi di halte megah dan tinggi. "Memang tidak salah lagi, ini universitas yang besar." Kepalan tangannya menenteng tas kain bergambar bunga. Ayumi mengenakan kemeja biru yang dipadukan dengan celana jeans panjang. Rambut sepundaknya terurai, menutupi sebagian tengkuk dari panasnya sinar mentari. Arsitektur di hadapannya tampak tua namun penuh dengan nilai budaya. Ada banyak pohon yang menjulang juga tanaman rambat, persis seperti negeri dongeng masa kini. Masih diselimuti kekaguman, Ayumi bergumam dalam keramaian, "Ini cantik." Tangkai rapuh yang memanjang memeluk anyaman besi dengan kencang. Daun-daun hijau itu memiliki tepi bergerigi. Bentuknya sangat unik, hampir menyerupai sebuah jantung. Ayumi berjalan bebas,
Jika kita bisa menjaga jarak aman, maka permukaan akan selalu damai. ____________________________________ Mentari bersemayam di bukit tinggi, menyaksikan hari yang terus berganti. Ayumi membanting pintu dengan kaki ketika kedua tangannya sibuk memegang kardus. Rak-rak tua tengah berdiri membentuk sekat, beberapa pengunjung memilah buku di barisan sastra. "Ini cerita yang bagus," bisik Ayumi pada salah satu gadis. Wajah berbingkai rambut halus itu menoleh, "Benarkah?" Mata hitamnya tersorot antusias ketika melihat anggukan yang diberikan. Di tengah kesenangan ia kembali terkubur dalam dunianya. "Semakin kuperhatikan, kamu tampak seperti orang yang berbeda." Meta meletakkan punggung di tembok, tangannya meraba-raba isi kotak yang Ayumi bopong. "Dulu kamu memasang tembok besar. Dan sekarang malah mudah bergaul, cih!" Decihannya sampai pada gendang telinga, Ayumi merendahkan tangan sebelum berucap, "Harusakah aku melayani orang lain seperti ini?" Raut masamny
Di pagi hari, gang-gang sempit tampak sunyi. Tidak ada yang datang dan pergi selain gema yang memanjang."Haruskah kita membeli susu kedelai?"Saat ini suasana hati Ayumi begitu ringan, seakan-akan burung gereja hitam telah membawanya pergi.Langit biru bersinar terang di atas kepala gadis itu. Ada ratusan semut yang menjalar di pepohonan, mereka tampak senang karena menemukan sesuatu yang berharga."Permisi, susu kedelainya satu ya, Bu."Ia menyapa dengan ramah. Dibandingkan hari kemarin, sosoknya terlihat jauh lebih cerah. [Sebenarnya tempat ini tidak memiliki banyak pengunjung, namun jika anda ingin datanglah.]Jari-jari gadis itu memainkan layar sebentar, membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Kak Regan tadi malam. Penciuman Ayumi begitu tajam, ketika aroma daun pandan menyebar ia langsung mengangkat pandangan. Warna putih kekuningan itu dituang ke dalam gelas plastik. Satu pipet bening ikut meluncur di detik-detik terakhir."Dibuat dengan spesial untuk pelanggan pertama, teri
Mimpi yang telah rusak saling bertabrakan satu sama lain, Ayumi menunduk cukup dalam di samping bangunan. Ada tiga tetes air yang jatuh dari atap, mungkin itu sisa hujan tadi siang.Jari-jarinya sedikit membeku karena dingin. Ia mengangkat kelopak mata saat seseorang menuruni anak tangga."Sedang apa?" tanya pria itu sopan.Kepala Ayumi mengangguk untuk menyapa, kedua tangan yang gemetar bersembunyi di belakang. "Saya hanya beristirahat sebentar, sebelum pulang."Kebohongannya terlontar tanpa ragu, ternyata selama ini ia belajar membual.Tanda tanya terlukis di wajah pria itu, namun dia berhasil menutupinya dengan senyum. "Ini hanyalah perpustakaan usang. Namun jika anda ingin, saya bisa membukakan pintu."Ada sedikit kecurigaan yang terpancar, Ayumi terdiam sembari berpikir."Anda memiliki kewaspadaan yang bagus, tapi saya tak memiliki niat lain. Jadi, anda tidak perlu me-"Ucapannya terhenti karena selaan Ayumi, "Saya ingin, terima kasih."Satu senyum terbit lebih dulu, manusia di h