Selama beberapa hari, suasana hati Ayumi tidak terlalu tinggi. Terpaksa ia menyeret kedua kakinya pelan. Bibir tipis itu bertaut lucu, mata bersihnya turun cukup dalam.
Tak ada lagi bunga yang bermekaran bulan ini, hanya ada setumpuk daun kering di bawah pohon tua.Sesuatu yang hangat tiba-tiba menusuk pipi, Ayumi menoleh cepat untuk menjumpai penyebabnya."Hai," sapa Arkan tanpa melambaikan tangan. Pasalnya jemari telunjuk itu masih mendiami wajah Ayumi.Melihat secara horizontal atau pun vertikal, hasilnya tetap sama. Dia merasa bahwa Arkan terlihat semakin tampan dan semakin menarik. Apalagi saat pria itu menggodanya seperti ini."Oh, hai!"Bola matanya berputar dengan sangat mulus. Ayumi tidak bisa menahan diri untuk tak menatapnya. Dia benar-benar terjebak dalam pesona Arkan sekarang.Gadis itu terus berjalan, mengambil langkah dua inci sekaligus. Sementara Arkan cukup melangkah pelan pun sudah bisa mengejarnya. <Dalam kegelapan, kamu adalah semanggi berdaun empatku.____________________________________Dua baris pohon pucuk merah berjejer rapi. Batang-batang kokoh itu berpegangan sangat erat, menghiasi jalanan agar tampak ramai.Sinar mentari mencuat dari belakang, kali ini ia terbit dengan senang. Menerangi punggung lebar Arkan yang agak kurus, lengan halus itu menggantung diantara pundak.Ayumi terbiasa melihat pria itu dikelilingi oleh banyak orang. Beberapa dari mereka mengajukan pertanyaan atau bahkan mengajaknya bersenda gurau."Baru bertemu tapi sekarang gadis itu sudah masuk di grupmu, mencurigakan.""Woah, dua orang paling mempesona di kelas kita adalah murid grup seni!"Arkan tidak mengambil inisiatif untuk menjawab, ia hanya menggaruk alisnya canggung. Satu persatu dari mereka mulai bergabung dengan lautan siswa di depan.Sudah hampir seminggu sejak kelas kembali dimulai, wajah-wajah ceria itu mulai tampak terbebani. Berbagai ujian sudah siap mengambil antrean, menunggu untuk dise
Langit itu indah, dan aku bahagia bisa berada di bawahnya bersama orang yang kusuka.____________________________________Dedaunan hijau berhasil menutupi sebagian besar langit biru. Hembusan angin menyapa begitu Ayumi menutup kelopak mata. Arkan tersenyum dan ikut terduduk."Ada banyak orang yang ingin bermain denganmu, mengapa mengikutiku?"Terlepas dari hubungannya, kedekatan mereka selalu memiliki dua arti. Kadang seperti teman, kadang juga seperti kekasih."Mereka berisik, tidak sepertimu."Buru-buru Ayumi menegakkan punggung, ia melirik dengan cepat, "Apa itu pujian?"Arkan tak menjawab, kepalanya mengangguk dan menggeleng bergantian."Berhenti tertawa!" dengkus Ayumi kembali bersandar dan mendongakkan wajah.Arkan mengikuti apa yang Ayumi lakukan. Tangannya terangkat membuat bingkai. "Kenapa kamu suka menggambar?"Diam-diam Ayumi melirik, memastikan Arkan berada dalam penglihat
Daun trambesi yang berwarna hijau tua jatuh di luar jendela, dan burung-burung hitam terbang menjauh karenanya. Seekor kupu-kupu melayang dalam diam. Memasuki musim panas, kedua pipi Ayumi ikut tersipu tanpa malu.Arkan menunggu di pintu masuk. Ketika Ayumi tiba, ia sudah bersandar di kusen kayu. Berbicara dengan beberapa penghuni kelas yang baru saja melangkah masuk. Pria itu benar-benar bisa berbicara dengan siapa pun. Di tengah keramaian, sosoknya tak pernah luput dari perhatian. "Pagi," sapanya begitu Ayumi mengambil langkah lebih cepat.Seperti kucing yang penurut, Arkan mulai mengekor di belakang.Satu tas ransel terjun menimpa kursi dan Ayumi duduk dengan tenang. Sembari menelisik sekitar, pandangannya tertuju pada Arkan."Revisi terbaru."Pemuda itu mendekat, membawa secarik kertas yang sudah selesai ia gambar.Jika saja kebahagiaan bisa dilukiskan, mungkin ini adalah jawabannya. Di bawah langit senja
Arkan dan Ayumi berjalan sangat dekat, bahkan lengan keduanya sampai bersentuhan. Mereka tampak seperti dua batang es loli yang tak bisa dipisahkan. Jiwa yang segar itu seolah meleleh di bawah sinar mentari. Di sepanjang jalan pandangan mereka penuh dengan aroma mengepul dari gerobak ayam bakar. Beberapa pelanggan mengantre untuk mendapatkan bagian.Tepat ketika asap itu menerpa wajah Ayumi, sesuatu berbunyi samar. Sontak sebuah tawa terdengar dalam pendengaran. "Lapar?" tanya Arkan tak mampu menyembunyikan senyuman.Ayumi menoleh, sebelah tangannya mengusap perut dengan malu."Ujian hari ini begitu melelahkan, aku kewalahan."Bibir tipisnya bergumam tak jelas, mencari-cari pembenaran untuk dirinya yang tengah terpojokkan. "Ingin makan apa?"Bola mata Arkan menyapu sekitar, menunjuk beberapa gerobak sembari menunggu persetujuan gadis di sebelahnya. "Siomay itu sepertinya enak," ucap Ayumi pada antre
Senja membentang dengan indah. Di dalam rumah yang hangat, sorot itu membias melalui jendela. "Bun!" Kepulan asap menggumpal, Arkan berteriak untuk menyadarkan Bunda Rea dari lamunannya. "Oh astaga!" Cepat-cepat ia membuka tutup panci, sebelah tangannya yang leluasa mengibas ke sana kemari. Dari sudut ruangan, Arkan menghampiri dengan resah. Akhir-akhir ini Bunda Rea menjadi lebih sering melupakan sesuatu. "Ini masih baik-baik saja, ayo makan." Sembari menyiapkan meja, lampu-lampu ruangan mulai dinyalakan. Empat kursi kayu yang melingkar hanya terisi setengahnya. Ini adalah tahun kedua Arkan kembali tinggal bersama ibunya, setelah sembilan tahun hidup terpisah. "Makan yang banyak," ucap Bunda Rea meletakkan sepotong daging. Di tempat yang berbeda Ayumi tengah memangku wajah. Mata bulatnya sibuk memerhatikan kegiatan Airil di hadapannya. "Coba hitung lagi." Di atas meja yang hanya setinggi lutut, kedua kakak beradik itu merajut masa depan. Tiga lembar kertas latiha
Sore ini kaki Ayumi mengayun sendirian, ia teringat untuk menjemput Airil dari taman dan bergegas pulang. Jalanan di sana masih sama, hanya suasananya saja yang berbeda. Tiga hari satu pohon mangga yang tumbuh rimbun dipotong dengan kejam. Ayumi tampak sedih melihat akar yang mencuat dari tanah. Sebenarnya ini bukan hal buruk juga, karena batang yang menjulang itu sudah terlalu tua dan membahayakan pengguna jalan. "Ai-" Belum selesai ia menyapa, amukan Airil di depan sana membekukan tatapannya. "Dasar anak nakal!" Seorang ibu paruh baya yang sejak tadi ada di sana mulai berkacak pinggang. Nada suaranya yang tinggi terdengar semakin menyeramkan. Buru-buru Ayumi berlari, meraih lengan Airil dan membawanya ke balik punggung. Anak laki-laki berumur 10 tahun menangis dengan kencang di depannya. Ayumi tidak tahu apa yang terjadi, namun ia percaya bahwa sang adik punya alasan untuk
Rambut hitam beruban yang lagi-lagi Ayumi pikirkan membuat tangan kurusnya gemetar. Ini sudah minggu ketiga, bahkan ujian yang memusingkan tak menjadikannya lupa pada siluet menyeramkan itu."Ayo pergi ke puncak liburan nanti!"Suara-suara penuh antusias menyambar dari sana-sini. Bulan desember yang dingin datang dengan cepat. Ayumi memeluk diri dan terdiam.Pada semester 1 tidak diadakan kejuaraan. Hanya selembar evaluasi nilai yang dimana Arkan selalu menjadi peringkat pertama, disusul Ayumi kemudian Sava. Tak banyak orang yang tahu, ia mengulang satu tahun karena masalah kesehatan. Meski begitu, Sava tumbuh menjadi gadis yang menyenangkan sampai membuat siswi lain merutuk iri di belakang.Ayumi mengalihkan pandangan begitu ia sadar terlahir menumpahkan perhatian pada orang yang salah. Kembali ia melirik Arkan, pria itu terduduk sembari mengepalkan tangan. Matanya jatuh pada lembaran kertas dengan murung. Secara naluriah Ayumi paham ba
Lagi-lagi hujan turun mengguyur, suara guntur terus saja terdengar. Kilatan di atas sana semakin menggila, merobek langit malam yang kian menggelap.Arkan menolehkan kepala ke samping. Tetesan air jatuh di balik kaca, menyamarkan cahaya terang dari lampu-lampu kota. Bait lagu yang dipadukan suara hujan memasuki telinganya dengan lembut.Belum lama kenyamanan itu melanda, pintu yang tertutup didorong perlahan.Sejak tadi ia sudah menjelaskan secara kasar, poin-poin apa yang ingin dirinya capai di masa depan. "Perhatikan posturmu!"Sekali lagi Arkan melirik ragu, sepasang mata menatapnya dengan tajam. Dalam pengawasan Ayah yang ketat, ia kembali menegakkan punggung. Posisinya benar-benar tampak sempurna, seperti boneka yang diikat pada sebatang kayu.Di belahan kota lain, Ayumi terbaring dengan lemah. Lipatan handuk kecil di dahinya tampak menyedihkan. Sejak semalam ia mengalami gejala demam.Seorang anak laki-laki mering
Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan
Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma
Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin
Tak ada salahnya mengorbankan hal kecil untuk sesuatu yang besar bersinar.____________________________________Cahaya bulan berhasil dipelintir oleh sinar mentari. Seolah menggambarkan kekalahan, burung-burung menangis mengawali hari."Jam berapa ini?" Ayumi bergumam dalam tidurnya, bibir kecil itu menguap beberapa kali. Semalam, ia terjaga cukup lama. Pelan-pelan jemari kanannya mengusap ujung mata.Sebuah suara mengalun dari atas meja, Ayumi menoleh dengan malas. "Siapa yang menelepon jam segini?"Meskipun bibirnya melontarkan kekesalan, panggilan pada layar tetap ia sambungkan. "Halo," sapanya malas.Pada awalnya, ucapan dari seberang terdengar begitu samar. Seakan-akan telinganya enggan untuk menerima.Sekali lagi ia berkata lebih kencang, "Halo?""Drafmu sudah dipublikasikan oleh pihak komunikasi atas nama Pak Rui!"Dalam jiwanya, gelegar petir saling bersahutan. Kaca-kaca transparan di dada seolah remuk tak tersisa. "Apa?"Suara Ayumi melengking nyaring, bahkan kupu-kupu ya
Dia terlalu indah untuk disembunyikan. ____________________________________Desember, 2023Semua hal berjalan seperti badai di tengah kota, ada keributan juga perasaan tertekan. Seperti sore ini, suasana kantor mendadak menjadi ruang atraksi. Lemparan map dari anggota divisi saling meluncur di meja rapat."Aku sungguh kesal!"Seorang gadis menekan kuat sandaran kursi, matanya memicing pada lembaran kertas yang sudah remuk."Orang-orang tua itu terlalu kolot."Ayumi menanggapi keluhan rekan satu timnya dengan serius, "Ini memang keterlaluan."Jari-jari lentik itu memutar pena dengan gugup. Penolakan dari atas terlalu kuat, ia harus menemukan cara untuk bebas.Saat ketegangan berkurang, Ayumi memiringkan kepala dan berkata, "Ayo pergi!"Pintu kaca didorong dengan sisa-sisa tenaga. Gerutuan dari Casandra terus terlontar menggapai kerumunan. "Siapa yang akan memasang iklan di baliho tahun ini? Benar-benar tak habis pikir!"Eky dari samping kanan menyahut, "Justru karena mereka tua, jadi
Cara terbaik untuk diam adalah hilang. ____________________________________ September, 2018 Bus melaju di tengah gersangnya hari Senin. Iklan-iklan pada baliho di jalan bergulir seperti putaran film. Ayumi turun dengan percaya diri ketika kendaraan itu menepi di halte megah dan tinggi. "Memang tidak salah lagi, ini universitas yang besar." Kepalan tangannya menenteng tas kain bergambar bunga. Ayumi mengenakan kemeja biru yang dipadukan dengan celana jeans panjang. Rambut sepundaknya terurai, menutupi sebagian tengkuk dari panasnya sinar mentari. Arsitektur di hadapannya tampak tua namun penuh dengan nilai budaya. Ada banyak pohon yang menjulang juga tanaman rambat, persis seperti negeri dongeng masa kini. Masih diselimuti kekaguman, Ayumi bergumam dalam keramaian, "Ini cantik." Tangkai rapuh yang memanjang memeluk anyaman besi dengan kencang. Daun-daun hijau itu memiliki tepi bergerigi. Bentuknya sangat unik, hampir menyerupai sebuah jantung. Ayumi berjalan bebas,
Jika kita bisa menjaga jarak aman, maka permukaan akan selalu damai. ____________________________________ Mentari bersemayam di bukit tinggi, menyaksikan hari yang terus berganti. Ayumi membanting pintu dengan kaki ketika kedua tangannya sibuk memegang kardus. Rak-rak tua tengah berdiri membentuk sekat, beberapa pengunjung memilah buku di barisan sastra. "Ini cerita yang bagus," bisik Ayumi pada salah satu gadis. Wajah berbingkai rambut halus itu menoleh, "Benarkah?" Mata hitamnya tersorot antusias ketika melihat anggukan yang diberikan. Di tengah kesenangan ia kembali terkubur dalam dunianya. "Semakin kuperhatikan, kamu tampak seperti orang yang berbeda." Meta meletakkan punggung di tembok, tangannya meraba-raba isi kotak yang Ayumi bopong. "Dulu kamu memasang tembok besar. Dan sekarang malah mudah bergaul, cih!" Decihannya sampai pada gendang telinga, Ayumi merendahkan tangan sebelum berucap, "Harusakah aku melayani orang lain seperti ini?" Raut masamny
Di pagi hari, gang-gang sempit tampak sunyi. Tidak ada yang datang dan pergi selain gema yang memanjang."Haruskah kita membeli susu kedelai?"Saat ini suasana hati Ayumi begitu ringan, seakan-akan burung gereja hitam telah membawanya pergi.Langit biru bersinar terang di atas kepala gadis itu. Ada ratusan semut yang menjalar di pepohonan, mereka tampak senang karena menemukan sesuatu yang berharga."Permisi, susu kedelainya satu ya, Bu."Ia menyapa dengan ramah. Dibandingkan hari kemarin, sosoknya terlihat jauh lebih cerah. [Sebenarnya tempat ini tidak memiliki banyak pengunjung, namun jika anda ingin datanglah.]Jari-jari gadis itu memainkan layar sebentar, membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Kak Regan tadi malam. Penciuman Ayumi begitu tajam, ketika aroma daun pandan menyebar ia langsung mengangkat pandangan. Warna putih kekuningan itu dituang ke dalam gelas plastik. Satu pipet bening ikut meluncur di detik-detik terakhir."Dibuat dengan spesial untuk pelanggan pertama, teri
Mimpi yang telah rusak saling bertabrakan satu sama lain, Ayumi menunduk cukup dalam di samping bangunan. Ada tiga tetes air yang jatuh dari atap, mungkin itu sisa hujan tadi siang.Jari-jarinya sedikit membeku karena dingin. Ia mengangkat kelopak mata saat seseorang menuruni anak tangga."Sedang apa?" tanya pria itu sopan.Kepala Ayumi mengangguk untuk menyapa, kedua tangan yang gemetar bersembunyi di belakang. "Saya hanya beristirahat sebentar, sebelum pulang."Kebohongannya terlontar tanpa ragu, ternyata selama ini ia belajar membual.Tanda tanya terlukis di wajah pria itu, namun dia berhasil menutupinya dengan senyum. "Ini hanyalah perpustakaan usang. Namun jika anda ingin, saya bisa membukakan pintu."Ada sedikit kecurigaan yang terpancar, Ayumi terdiam sembari berpikir."Anda memiliki kewaspadaan yang bagus, tapi saya tak memiliki niat lain. Jadi, anda tidak perlu me-"Ucapannya terhenti karena selaan Ayumi, "Saya ingin, terima kasih."Satu senyum terbit lebih dulu, manusia di h