Sore ini kaki Ayumi mengayun sendirian, ia teringat untuk menjemput Airil dari taman dan bergegas pulang.
Jalanan di sana masih sama, hanya suasananya saja yang berbeda. Tiga hari satu pohon mangga yang tumbuh rimbun dipotong dengan kejam. Ayumi tampak sedih melihat akar yang mencuat dari tanah. Sebenarnya ini bukan hal buruk juga, karena batang yang menjulang itu sudah terlalu tua dan membahayakan pengguna jalan. "Ai-" Belum selesai ia menyapa, amukan Airil di depan sana membekukan tatapannya. "Dasar anak nakal!" Seorang ibu paruh baya yang sejak tadi ada di sana mulai berkacak pinggang. Nada suaranya yang tinggi terdengar semakin menyeramkan. Buru-buru Ayumi berlari, meraih lengan Airil dan membawanya ke balik punggung. Anak laki-laki berumur 10 tahun menangis dengan kencang di depannya. Ayumi tidak tahu apa yang terjadi, namun ia percaya bahwa sang adik punya alasan untukRambut hitam beruban yang lagi-lagi Ayumi pikirkan membuat tangan kurusnya gemetar. Ini sudah minggu ketiga, bahkan ujian yang memusingkan tak menjadikannya lupa pada siluet menyeramkan itu."Ayo pergi ke puncak liburan nanti!"Suara-suara penuh antusias menyambar dari sana-sini. Bulan desember yang dingin datang dengan cepat. Ayumi memeluk diri dan terdiam.Pada semester 1 tidak diadakan kejuaraan. Hanya selembar evaluasi nilai yang dimana Arkan selalu menjadi peringkat pertama, disusul Ayumi kemudian Sava. Tak banyak orang yang tahu, ia mengulang satu tahun karena masalah kesehatan. Meski begitu, Sava tumbuh menjadi gadis yang menyenangkan sampai membuat siswi lain merutuk iri di belakang.Ayumi mengalihkan pandangan begitu ia sadar terlahir menumpahkan perhatian pada orang yang salah. Kembali ia melirik Arkan, pria itu terduduk sembari mengepalkan tangan. Matanya jatuh pada lembaran kertas dengan murung. Secara naluriah Ayumi paham ba
Lagi-lagi hujan turun mengguyur, suara guntur terus saja terdengar. Kilatan di atas sana semakin menggila, merobek langit malam yang kian menggelap.Arkan menolehkan kepala ke samping. Tetesan air jatuh di balik kaca, menyamarkan cahaya terang dari lampu-lampu kota. Bait lagu yang dipadukan suara hujan memasuki telinganya dengan lembut.Belum lama kenyamanan itu melanda, pintu yang tertutup didorong perlahan.Sejak tadi ia sudah menjelaskan secara kasar, poin-poin apa yang ingin dirinya capai di masa depan. "Perhatikan posturmu!"Sekali lagi Arkan melirik ragu, sepasang mata menatapnya dengan tajam. Dalam pengawasan Ayah yang ketat, ia kembali menegakkan punggung. Posisinya benar-benar tampak sempurna, seperti boneka yang diikat pada sebatang kayu.Di belahan kota lain, Ayumi terbaring dengan lemah. Lipatan handuk kecil di dahinya tampak menyedihkan. Sejak semalam ia mengalami gejala demam.Seorang anak laki-laki mering
Ayumi berdiri di bawah sinar mentari, pipinya sedikit merah dan tubuhnya menjadi lebih putih. Hidung kecil itu dipenuhi butiran keringat, dengan halus ia terengah-engah. "Kamu datang!"Setelah mengembara jauh, Arkan tampak lebih kurus. Matanya terguncang menatap Ayumi yang tersenyum lebar.Punggung gadis itu tampak ringan, seolah ribuan kebahagiaan menenggelamkan hatinya."Apa liburanmu menyenangkan?"Pada saat pertanyaan itu terlontar, gowesan pertama membuat keduanya meluncur di jalanan menurun. Sisa-sisa genangan air tadi malam masih membekas, sama halnya dengan ingatan Arkan. Ia menoleh dan bergumam, "Hm."Terlalu banyak pengendara di alun-alun, deretan pedagang kaki lima memenuhi trotoar. Ini adalah kali pertama Ayumi bepergian jauh. Ada sekitar tujuh kilometer jarak yang sudah mereka tempuh. "Ke mana kita akan pergi sekarang?"Ia turun dari sepeda dan melihat sekitar dengan bingung. Di depannya ada seseorang yang mengenakan kostum badut."Ar-"Suara Ayumi terdengar mencicit, d
Hari ini Ayumi terlihat sedikit lebih pendiam. Meta yang berada di luar kelas menatapnya tanpa sengaja. Sorot itu membawa suasana menyedihkan. Dari atas meja kosong, seekor laba-laba jenis punggung duri melompat ke lantai. Ia mengeluarkan benang-benang sutra dari tubuh bagian belakang, dalam sekejap makhluk itu menghilang dari penglihatan.Sekelompok siswa memasuki ruang kelas, diantaranya terdapat Arkan yang kini menghampiri tempat duduk Ayumi.Tidak ada yang tahu kapan daun menggantung itu akan jatuh. Tetapi Arkan yakin bahwasanya suasana hati Ayumi dalam proses kemerosotan. Ia melemparkan bola pada Dean kemudian meletakkan kedua tangannya di saku celana.Hari ini formulir pendidikan jenjang atas akan dibagikan. Pria itu sudah lebih dulu mendapatkannya dari Guru Liam. Ia membawa dua lembar sekaligus agar Ayumi bisa memikirkannya lebih serius. Gesekan pelan terjadi diantara mereka. Format besar pada kolom itu masih kosong, Ayumi menatap dengan bingung. "Apa ini?" tanyanya setelah
Sentuhan jari yang sedikit dingin membuat Arkan terpana. Setelah beberapa saat dia tersenyum tanpa daya. Bibirnya terbuka dan berucap, "Tetaplah bersamaku."Ayumi mengalihkan pandangan masih dengan elusan di ujung tangan. Pemuda itu sedikit tak paham dan bangkit untuk menyejajarkan posisi."Apa terjadi sesuatu?" tanyanya dengan suara rendah.Ujung mata Ayumi bergetar, buru-buru ia menarik tangan. "Mari kita hidup dengan baik."Mendengar apa yang gadis itu katakan, Arkan hanya bisa menaikkan sudut bibir. Ia tidak mengerti mengapa hubungan antara dua orang bisa mengalami lonjakan tinggi kemudian terjun dengan cepat. Alih-alih terbuka, Ayumi memilih untuk menyembunyikannya. Kelas dimulai ketika mereka belum menyelesaikan obrolan. Di depan buku yang terbuka Ayumi kembali menelusuri file-file menyesakan dalam kepala.Kemarin sore ketika Bunda Rea memintanya untuk mampir, ledakan terjadi di benaknya."Bunda pikir kamu harus tahu tentang ini."Suara itu mengalun lembut tetapi cengkraman di
Pikiran Ayumi kacau, seluruh energi yang ia punya ditarik secara paksa ke dasar bumi. Di kamar mandi yang gelap itu ia menunduk dengan punggung bergetar. Tangannya meremas wastafel sekuat tenaga, memberikan rasa kebas pada jemarinya yang tak berdaya.Samar-samar perbincangannya dengan pria paruh baya tadi mengaburkan pandangan. "Pengangkatan rahim?"Tanda tanya besar mencuat diantara rambut. Rentetan angka nol pada kertas administrasi membuat kepalanya pening. Bibi Gadis tidak memiliki tabungan karena habis untuk biaya harian dan uang sekolah Airil. Lagi-lagi ia mendesah. Hidupnya terlalu buruk untuk bahagia."Permisi!"Manusia lain berjalan masuk, buru-buru Ayumi mengusap pipi dan tersenyum. Mempersilahkan wanita itu mencuci tangan di tempatnya barusan.Di atas lantai yang dingin, raga yang hampa itu seperti tak bernyawa. Kursi-kursi kosong memanggilnya untuk menepi. Airil sudah terlelap di kamar inap, begitu pun deng
Hujan turun dengan deras malam ini. Tetesan airnya terlihat dari balik kaca. Mereka mengepung dengan kejam, seolah bulir-bulir itu tengah meluncurkan serangan. Tepat ketika petir menyambar, suara ketukan terdengar dari luar. "Ay!" panggil seseorang kencang.Mata yang hampir terlelap itu Ayumi gosok perlahan. Dengan wajah linglung ia menatap sekitar.Pelan-pelan dia merangkak ke depan setelah membenarkan posisi tidur anak laki-laki di sampingnya. Tanpa bisa ditahan, decitan pintu meminimalisir keheningan. Ada raut penuh tanya ketika sebuah pelukan datang tiba-tiba. Isakan yang diiringi usapan itu membuat Ayumi menegang. "Bunda?" Suara seraknya keluar ragu-ragu. Tak ingin mengulur waktu, Ayumi menangkap bahu Bunda Rea dan mendorongnya mundur. Bibir tipisnya bergetar, "Ada apa?""Dokter bilang operasinya harus segera dilakukan."Kalimat itu terlontar samar, namun mampu mematirasakan semua hal yang ada pada dirinya.Kilatan cahaya menyelinap diantara pelukan yang kembali tercipta. Ha
Petikan berirama terdengar dari benda yang Arkan pangku, orang-orang di sekelilingnya berusaha mengeluarkan suara terbaik. Ini adalah jenis latihan yang paling indah sebelum ujian praktik dimulai.Kelas tampak ramai namun tidak terlalu padat. Berkat meja-meja yang tadinya tertata berbaris kini disingkirkan ke ujung ruangan. Menyisakan panggung sederhana untuk penampilan seni esok hari.Rangkulan pada lengan, Sava lepaskan perlahan. Bibirnya berbisik dengan pelan, "Tunggu sebentar."Langkah riangnya dengan pasti melesat, Dian hanya memakukan pandangan di tempat. Jari-jari manis Sava mengetuk meja beberapa kali, senyumnya cerah seperti biasa. "Bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya mencondongkan tubuh. Saat ini Arkan tidak memiliki alasan untuk menolak, terlebih ketika ia menyaksikan Ayumi berpaling dengan kejam. Tanpa banyak berpikir, pria itu menganggukkan kepala, "Tentu saja."Di luar jendela ada langit yang cerah. Sinarnya menerpa kulit, menutupi mereka dengan cahaya keemasan.
Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan
Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma
Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin
Tak ada salahnya mengorbankan hal kecil untuk sesuatu yang besar bersinar.____________________________________Cahaya bulan berhasil dipelintir oleh sinar mentari. Seolah menggambarkan kekalahan, burung-burung menangis mengawali hari."Jam berapa ini?" Ayumi bergumam dalam tidurnya, bibir kecil itu menguap beberapa kali. Semalam, ia terjaga cukup lama. Pelan-pelan jemari kanannya mengusap ujung mata.Sebuah suara mengalun dari atas meja, Ayumi menoleh dengan malas. "Siapa yang menelepon jam segini?"Meskipun bibirnya melontarkan kekesalan, panggilan pada layar tetap ia sambungkan. "Halo," sapanya malas.Pada awalnya, ucapan dari seberang terdengar begitu samar. Seakan-akan telinganya enggan untuk menerima.Sekali lagi ia berkata lebih kencang, "Halo?""Drafmu sudah dipublikasikan oleh pihak komunikasi atas nama Pak Rui!"Dalam jiwanya, gelegar petir saling bersahutan. Kaca-kaca transparan di dada seolah remuk tak tersisa. "Apa?"Suara Ayumi melengking nyaring, bahkan kupu-kupu ya
Dia terlalu indah untuk disembunyikan. ____________________________________Desember, 2023Semua hal berjalan seperti badai di tengah kota, ada keributan juga perasaan tertekan. Seperti sore ini, suasana kantor mendadak menjadi ruang atraksi. Lemparan map dari anggota divisi saling meluncur di meja rapat."Aku sungguh kesal!"Seorang gadis menekan kuat sandaran kursi, matanya memicing pada lembaran kertas yang sudah remuk."Orang-orang tua itu terlalu kolot."Ayumi menanggapi keluhan rekan satu timnya dengan serius, "Ini memang keterlaluan."Jari-jari lentik itu memutar pena dengan gugup. Penolakan dari atas terlalu kuat, ia harus menemukan cara untuk bebas.Saat ketegangan berkurang, Ayumi memiringkan kepala dan berkata, "Ayo pergi!"Pintu kaca didorong dengan sisa-sisa tenaga. Gerutuan dari Casandra terus terlontar menggapai kerumunan. "Siapa yang akan memasang iklan di baliho tahun ini? Benar-benar tak habis pikir!"Eky dari samping kanan menyahut, "Justru karena mereka tua, jadi
Cara terbaik untuk diam adalah hilang. ____________________________________ September, 2018 Bus melaju di tengah gersangnya hari Senin. Iklan-iklan pada baliho di jalan bergulir seperti putaran film. Ayumi turun dengan percaya diri ketika kendaraan itu menepi di halte megah dan tinggi. "Memang tidak salah lagi, ini universitas yang besar." Kepalan tangannya menenteng tas kain bergambar bunga. Ayumi mengenakan kemeja biru yang dipadukan dengan celana jeans panjang. Rambut sepundaknya terurai, menutupi sebagian tengkuk dari panasnya sinar mentari. Arsitektur di hadapannya tampak tua namun penuh dengan nilai budaya. Ada banyak pohon yang menjulang juga tanaman rambat, persis seperti negeri dongeng masa kini. Masih diselimuti kekaguman, Ayumi bergumam dalam keramaian, "Ini cantik." Tangkai rapuh yang memanjang memeluk anyaman besi dengan kencang. Daun-daun hijau itu memiliki tepi bergerigi. Bentuknya sangat unik, hampir menyerupai sebuah jantung. Ayumi berjalan bebas,
Jika kita bisa menjaga jarak aman, maka permukaan akan selalu damai. ____________________________________ Mentari bersemayam di bukit tinggi, menyaksikan hari yang terus berganti. Ayumi membanting pintu dengan kaki ketika kedua tangannya sibuk memegang kardus. Rak-rak tua tengah berdiri membentuk sekat, beberapa pengunjung memilah buku di barisan sastra. "Ini cerita yang bagus," bisik Ayumi pada salah satu gadis. Wajah berbingkai rambut halus itu menoleh, "Benarkah?" Mata hitamnya tersorot antusias ketika melihat anggukan yang diberikan. Di tengah kesenangan ia kembali terkubur dalam dunianya. "Semakin kuperhatikan, kamu tampak seperti orang yang berbeda." Meta meletakkan punggung di tembok, tangannya meraba-raba isi kotak yang Ayumi bopong. "Dulu kamu memasang tembok besar. Dan sekarang malah mudah bergaul, cih!" Decihannya sampai pada gendang telinga, Ayumi merendahkan tangan sebelum berucap, "Harusakah aku melayani orang lain seperti ini?" Raut masamny
Di pagi hari, gang-gang sempit tampak sunyi. Tidak ada yang datang dan pergi selain gema yang memanjang."Haruskah kita membeli susu kedelai?"Saat ini suasana hati Ayumi begitu ringan, seakan-akan burung gereja hitam telah membawanya pergi.Langit biru bersinar terang di atas kepala gadis itu. Ada ratusan semut yang menjalar di pepohonan, mereka tampak senang karena menemukan sesuatu yang berharga."Permisi, susu kedelainya satu ya, Bu."Ia menyapa dengan ramah. Dibandingkan hari kemarin, sosoknya terlihat jauh lebih cerah. [Sebenarnya tempat ini tidak memiliki banyak pengunjung, namun jika anda ingin datanglah.]Jari-jari gadis itu memainkan layar sebentar, membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Kak Regan tadi malam. Penciuman Ayumi begitu tajam, ketika aroma daun pandan menyebar ia langsung mengangkat pandangan. Warna putih kekuningan itu dituang ke dalam gelas plastik. Satu pipet bening ikut meluncur di detik-detik terakhir."Dibuat dengan spesial untuk pelanggan pertama, teri
Mimpi yang telah rusak saling bertabrakan satu sama lain, Ayumi menunduk cukup dalam di samping bangunan. Ada tiga tetes air yang jatuh dari atap, mungkin itu sisa hujan tadi siang.Jari-jarinya sedikit membeku karena dingin. Ia mengangkat kelopak mata saat seseorang menuruni anak tangga."Sedang apa?" tanya pria itu sopan.Kepala Ayumi mengangguk untuk menyapa, kedua tangan yang gemetar bersembunyi di belakang. "Saya hanya beristirahat sebentar, sebelum pulang."Kebohongannya terlontar tanpa ragu, ternyata selama ini ia belajar membual.Tanda tanya terlukis di wajah pria itu, namun dia berhasil menutupinya dengan senyum. "Ini hanyalah perpustakaan usang. Namun jika anda ingin, saya bisa membukakan pintu."Ada sedikit kecurigaan yang terpancar, Ayumi terdiam sembari berpikir."Anda memiliki kewaspadaan yang bagus, tapi saya tak memiliki niat lain. Jadi, anda tidak perlu me-"Ucapannya terhenti karena selaan Ayumi, "Saya ingin, terima kasih."Satu senyum terbit lebih dulu, manusia di h