Pikiran Ayumi kacau, seluruh energi yang ia punya ditarik secara paksa ke dasar bumi. Di kamar mandi yang gelap itu ia menunduk dengan punggung bergetar. Tangannya meremas wastafel sekuat tenaga, memberikan rasa kebas pada jemarinya yang tak berdaya.
Samar-samar perbincangannya dengan pria paruh baya tadi mengaburkan pandangan."Pengangkatan rahim?"Tanda tanya besar mencuat diantara rambut. Rentetan angka nol pada kertas administrasi membuat kepalanya pening. Bibi Gadis tidak memiliki tabungan karena habis untuk biaya harian dan uang sekolah Airil.Lagi-lagi ia mendesah. Hidupnya terlalu buruk untuk bahagia."Permisi!"Manusia lain berjalan masuk, buru-buru Ayumi mengusap pipi dan tersenyum. Mempersilahkan wanita itu mencuci tangan di tempatnya barusan.Di atas lantai yang dingin, raga yang hampa itu seperti tak bernyawa. Kursi-kursi kosong memanggilnya untuk menepi. Airil sudah terlelap di kamar inap, begitu pun dengHujan turun dengan deras malam ini. Tetesan airnya terlihat dari balik kaca. Mereka mengepung dengan kejam, seolah bulir-bulir itu tengah meluncurkan serangan. Tepat ketika petir menyambar, suara ketukan terdengar dari luar. "Ay!" panggil seseorang kencang.Mata yang hampir terlelap itu Ayumi gosok perlahan. Dengan wajah linglung ia menatap sekitar.Pelan-pelan dia merangkak ke depan setelah membenarkan posisi tidur anak laki-laki di sampingnya. Tanpa bisa ditahan, decitan pintu meminimalisir keheningan. Ada raut penuh tanya ketika sebuah pelukan datang tiba-tiba. Isakan yang diiringi usapan itu membuat Ayumi menegang. "Bunda?" Suara seraknya keluar ragu-ragu. Tak ingin mengulur waktu, Ayumi menangkap bahu Bunda Rea dan mendorongnya mundur. Bibir tipisnya bergetar, "Ada apa?""Dokter bilang operasinya harus segera dilakukan."Kalimat itu terlontar samar, namun mampu mematirasakan semua hal yang ada pada dirinya.Kilatan cahaya menyelinap diantara pelukan yang kembali tercipta. Ha
Petikan berirama terdengar dari benda yang Arkan pangku, orang-orang di sekelilingnya berusaha mengeluarkan suara terbaik. Ini adalah jenis latihan yang paling indah sebelum ujian praktik dimulai.Kelas tampak ramai namun tidak terlalu padat. Berkat meja-meja yang tadinya tertata berbaris kini disingkirkan ke ujung ruangan. Menyisakan panggung sederhana untuk penampilan seni esok hari.Rangkulan pada lengan, Sava lepaskan perlahan. Bibirnya berbisik dengan pelan, "Tunggu sebentar."Langkah riangnya dengan pasti melesat, Dian hanya memakukan pandangan di tempat. Jari-jari manis Sava mengetuk meja beberapa kali, senyumnya cerah seperti biasa. "Bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya mencondongkan tubuh. Saat ini Arkan tidak memiliki alasan untuk menolak, terlebih ketika ia menyaksikan Ayumi berpaling dengan kejam. Tanpa banyak berpikir, pria itu menganggukkan kepala, "Tentu saja."Di luar jendela ada langit yang cerah. Sinarnya menerpa kulit, menutupi mereka dengan cahaya keemasan.
Hari terus berlalu, burung-burung gereja di atap rumah sudah memasuki musim berkembang biak. Ada lima telur dalam sangkar, salah satunya pecah seolah menertawakan masa depan gadis di bawahnya.Acara kelulusan tiba dalam dua jam, tetapi Ayumi masih berkutat dengan barang-barang di tangan. Satu koper hitam ia tarik, menapaki jalan setapak menuju terminal. Ada banyak orang di sana, termasuk Bunda Rea."Bunda, Ay titip Bibi ya."Pelukan mereka sehangat matahari pagi, dalam senyum Bunda Rea menepuk kepala Ayumi."Tentu saja," balasnya tulus.Kesehatan Bibi Gadis sudah mulai membaik, namun penghasilan keluarga jelas tak ada."Jaga diri di sana ya."Ini adalah keputusan yang berat. Sekali lagi Ayumi meninggalkan satu kota ke kota lain. Perasaan sedih tiba-tiba menyeruak, ia bahkan tidak memiliki kesempatan untuk berada di bingkai yang sama dengan Arkan."Iya Bunda, Ay bisa jaga diri. Sebaiknya Bunda kembali sekarang, Arkan pasti nunggu Bunda."Wanita itu mengangguk, sebelum pergi ia merogoh
Dunia berubah bersamaan dengan orang-orang di dalamnya. ____________________________________Agustus, 2017Di pagi hari, cahaya tipis menembus lampisan awan dan memancarkan sinar pertamanya. Udara penuh dengan aroma kopi, sisa hujan di teras masih tercium dari dalam. Ayumi menutup pintu setelah menjinjing kakinya untuk masuk. Bangunan yang tengah ia pijak menunduk diantara gedung tinggi. Gang-gang sempit di sana-sini terhubung menuju jalan utama pada persimpangan.Ketika gadis itu masih sibuk bersiap, beberapa siswi datang dengan suara penuh kehangatan. "Kakak, roti lapisnya tiga."Senyum mereka secerah mentari, pipi-pipi halus itu memerah karena senang. Ayumi mengangguk sembari menyiapkan pesanan.Bel kembali berdentang saat pintu terbuka, perhatian Ayumi juga terbagi padanya."Hai, Ay!"Gadis itu melambai dengan setumpuk kertas di tangan. Tiga pelanggan kecil tadi turut melirik dan menyapa, "Kak!"Setelah pesanan selesai, mereka berpamitan dengan tulus. Ada sedikit kesopanan dala
Gelembung panas pecah di tutup panci. Potongan daun bayam meleleh dalam diam. Warnanya jauh lebih tua dengan tekstur sedikit lunak. Ayumi mengangkatnya dan tersenyum, "Mari makan."Butiran nasi berenang dengan bebas, ada banyak kuah di mangkuk kaca. Sejak kecil ia memang suka makanan berair.Sudut-sudut kamar sempit itu penuh dengan barang, satu ranjang di dekat pintu semakin membuatnya tak memiliki ruang.Ini masih pukul enam pagi, hiruk pikuk di bawah sana belum terdengar ketika Ayumi melangkah turun. Ada tiga tikungan dan dua tangga memanjang sebelum ia mencapai tempat kerjanya."Hai!"Tangan kanannya melambai cukup tinggi, hari ini Wida tiba lebih dulu dengan celemek di badan. Ayumi mendekat dan membantunya merapikan meja. Pelanggan mulai berdatangan saat gantungan di pintu berubah menjadi 'open'.Di balik counter, Ayumi mengambil beberapa menu kue dan meletakkannya pada piring. Ia berjalan dengan hati-hati menuju tempat yang sudah memiliki papan nomor. "Selamat menikmati," tutu
Hidangan penutup tak akan pernah menjadi yang pertama, begitulah dunia bekerja.____________________________________Ayumi meletakkan tangan di dada dan melirik ke luar jendela. Daun-daun yang subur tertiup angin, embun pagi yang menempel ikut jatuh karenanya. Gadis yang duduk di samping bergerak mencapai sandaran kursi. Tatapannya sedikit tumpah dan menyipit diam-diam. Ia memerhatikan Ayumi untuk waktu yang lama."Apa kamu pernah melihatnya?"Suara itu menembus dengan pelan, Meta terkesiap lalu mengumpulkan akal sehat. "Siapa?" tanyanya setelah memangku tangan di meja.Ada keheningan yang memanjang, Ayumi menoleh dengan lambat. "Teman sekelasmu dulu."Meta tersenyum kaku, mengambil sebotol air dari tengah untuk mengisi mulutnya. "Bagaimana pun, aku tidak akan peduli."Ia berujar setelah menggosok bibir beberapa kali. Tetesan dari tepi mulut membasahi ujung bajunya yang menjuntai. Ayumi menghela napas dalam diam, "Minggu lalu aku melihat Arkan."Tiba-tiba Meta menegakkan punggung,
Hujan turun di penghujung hari. Hanya dalam dua minggu bumi berhasil meluluhlantakkan harapan Ayumi. Diantara petir dan api, ia merasa bahwa dunianya telah berangsur-angsur runtuh.Ayumi menatap tetesan yang menyelimuti tepi trotoar dan bergumam, "Apa kamu tidak merasa sakit?"Dia berjongkok dan memeluk tasnya dengan erat. "Aku sangat sakit!"Entah karena tak terdengar atau orang-orang terlalu abai, di keramaian yang panjang itu Ayumi menangis sendirian. Ia tampak seperti bunga tak bertenaga, menghempaskan diri ke bumi tanpa daya. Tidak ada perlawanan bahkan sebesar biji kacang merah.Lama gadis itu terdiam di posisi yang sama, rambut hitamnya tampak lebih mengkilap setelah terkena air hujan.Bunyi dari saku celana menyebar cepat. Satu pesan keluar dari obrolan grup yang hampir bubar.'Hanya ini yang bisa kuberikan, sekali lagi maafkan aku.'Layar ponsel kembali menyala ketika Ayumi mengeluarkannya. Tiga jam lalu ia masih memiliki pekerjaan, namun kini hal itu sudah direnggut oleh k
Mimpi yang telah rusak saling bertabrakan satu sama lain, Ayumi menunduk cukup dalam di samping bangunan. Ada tiga tetes air yang jatuh dari atap, mungkin itu sisa hujan tadi siang.Jari-jarinya sedikit membeku karena dingin. Ia mengangkat kelopak mata saat seseorang menuruni anak tangga."Sedang apa?" tanya pria itu sopan.Kepala Ayumi mengangguk untuk menyapa, kedua tangan yang gemetar bersembunyi di belakang. "Saya hanya beristirahat sebentar, sebelum pulang."Kebohongannya terlontar tanpa ragu, ternyata selama ini ia belajar membual.Tanda tanya terlukis di wajah pria itu, namun dia berhasil menutupinya dengan senyum. "Ini hanyalah perpustakaan usang. Namun jika anda ingin, saya bisa membukakan pintu."Ada sedikit kecurigaan yang terpancar, Ayumi terdiam sembari berpikir."Anda memiliki kewaspadaan yang bagus, tapi saya tak memiliki niat lain. Jadi, anda tidak perlu me-"Ucapannya terhenti karena selaan Ayumi, "Saya ingin, terima kasih."Satu senyum terbit lebih dulu, manusia di h
Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan
Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma
Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin
Tak ada salahnya mengorbankan hal kecil untuk sesuatu yang besar bersinar.____________________________________Cahaya bulan berhasil dipelintir oleh sinar mentari. Seolah menggambarkan kekalahan, burung-burung menangis mengawali hari."Jam berapa ini?" Ayumi bergumam dalam tidurnya, bibir kecil itu menguap beberapa kali. Semalam, ia terjaga cukup lama. Pelan-pelan jemari kanannya mengusap ujung mata.Sebuah suara mengalun dari atas meja, Ayumi menoleh dengan malas. "Siapa yang menelepon jam segini?"Meskipun bibirnya melontarkan kekesalan, panggilan pada layar tetap ia sambungkan. "Halo," sapanya malas.Pada awalnya, ucapan dari seberang terdengar begitu samar. Seakan-akan telinganya enggan untuk menerima.Sekali lagi ia berkata lebih kencang, "Halo?""Drafmu sudah dipublikasikan oleh pihak komunikasi atas nama Pak Rui!"Dalam jiwanya, gelegar petir saling bersahutan. Kaca-kaca transparan di dada seolah remuk tak tersisa. "Apa?"Suara Ayumi melengking nyaring, bahkan kupu-kupu ya
Dia terlalu indah untuk disembunyikan. ____________________________________Desember, 2023Semua hal berjalan seperti badai di tengah kota, ada keributan juga perasaan tertekan. Seperti sore ini, suasana kantor mendadak menjadi ruang atraksi. Lemparan map dari anggota divisi saling meluncur di meja rapat."Aku sungguh kesal!"Seorang gadis menekan kuat sandaran kursi, matanya memicing pada lembaran kertas yang sudah remuk."Orang-orang tua itu terlalu kolot."Ayumi menanggapi keluhan rekan satu timnya dengan serius, "Ini memang keterlaluan."Jari-jari lentik itu memutar pena dengan gugup. Penolakan dari atas terlalu kuat, ia harus menemukan cara untuk bebas.Saat ketegangan berkurang, Ayumi memiringkan kepala dan berkata, "Ayo pergi!"Pintu kaca didorong dengan sisa-sisa tenaga. Gerutuan dari Casandra terus terlontar menggapai kerumunan. "Siapa yang akan memasang iklan di baliho tahun ini? Benar-benar tak habis pikir!"Eky dari samping kanan menyahut, "Justru karena mereka tua, jadi
Cara terbaik untuk diam adalah hilang. ____________________________________ September, 2018 Bus melaju di tengah gersangnya hari Senin. Iklan-iklan pada baliho di jalan bergulir seperti putaran film. Ayumi turun dengan percaya diri ketika kendaraan itu menepi di halte megah dan tinggi. "Memang tidak salah lagi, ini universitas yang besar." Kepalan tangannya menenteng tas kain bergambar bunga. Ayumi mengenakan kemeja biru yang dipadukan dengan celana jeans panjang. Rambut sepundaknya terurai, menutupi sebagian tengkuk dari panasnya sinar mentari. Arsitektur di hadapannya tampak tua namun penuh dengan nilai budaya. Ada banyak pohon yang menjulang juga tanaman rambat, persis seperti negeri dongeng masa kini. Masih diselimuti kekaguman, Ayumi bergumam dalam keramaian, "Ini cantik." Tangkai rapuh yang memanjang memeluk anyaman besi dengan kencang. Daun-daun hijau itu memiliki tepi bergerigi. Bentuknya sangat unik, hampir menyerupai sebuah jantung. Ayumi berjalan bebas,
Jika kita bisa menjaga jarak aman, maka permukaan akan selalu damai. ____________________________________ Mentari bersemayam di bukit tinggi, menyaksikan hari yang terus berganti. Ayumi membanting pintu dengan kaki ketika kedua tangannya sibuk memegang kardus. Rak-rak tua tengah berdiri membentuk sekat, beberapa pengunjung memilah buku di barisan sastra. "Ini cerita yang bagus," bisik Ayumi pada salah satu gadis. Wajah berbingkai rambut halus itu menoleh, "Benarkah?" Mata hitamnya tersorot antusias ketika melihat anggukan yang diberikan. Di tengah kesenangan ia kembali terkubur dalam dunianya. "Semakin kuperhatikan, kamu tampak seperti orang yang berbeda." Meta meletakkan punggung di tembok, tangannya meraba-raba isi kotak yang Ayumi bopong. "Dulu kamu memasang tembok besar. Dan sekarang malah mudah bergaul, cih!" Decihannya sampai pada gendang telinga, Ayumi merendahkan tangan sebelum berucap, "Harusakah aku melayani orang lain seperti ini?" Raut masamny
Di pagi hari, gang-gang sempit tampak sunyi. Tidak ada yang datang dan pergi selain gema yang memanjang."Haruskah kita membeli susu kedelai?"Saat ini suasana hati Ayumi begitu ringan, seakan-akan burung gereja hitam telah membawanya pergi.Langit biru bersinar terang di atas kepala gadis itu. Ada ratusan semut yang menjalar di pepohonan, mereka tampak senang karena menemukan sesuatu yang berharga."Permisi, susu kedelainya satu ya, Bu."Ia menyapa dengan ramah. Dibandingkan hari kemarin, sosoknya terlihat jauh lebih cerah. [Sebenarnya tempat ini tidak memiliki banyak pengunjung, namun jika anda ingin datanglah.]Jari-jari gadis itu memainkan layar sebentar, membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Kak Regan tadi malam. Penciuman Ayumi begitu tajam, ketika aroma daun pandan menyebar ia langsung mengangkat pandangan. Warna putih kekuningan itu dituang ke dalam gelas plastik. Satu pipet bening ikut meluncur di detik-detik terakhir."Dibuat dengan spesial untuk pelanggan pertama, teri
Mimpi yang telah rusak saling bertabrakan satu sama lain, Ayumi menunduk cukup dalam di samping bangunan. Ada tiga tetes air yang jatuh dari atap, mungkin itu sisa hujan tadi siang.Jari-jarinya sedikit membeku karena dingin. Ia mengangkat kelopak mata saat seseorang menuruni anak tangga."Sedang apa?" tanya pria itu sopan.Kepala Ayumi mengangguk untuk menyapa, kedua tangan yang gemetar bersembunyi di belakang. "Saya hanya beristirahat sebentar, sebelum pulang."Kebohongannya terlontar tanpa ragu, ternyata selama ini ia belajar membual.Tanda tanya terlukis di wajah pria itu, namun dia berhasil menutupinya dengan senyum. "Ini hanyalah perpustakaan usang. Namun jika anda ingin, saya bisa membukakan pintu."Ada sedikit kecurigaan yang terpancar, Ayumi terdiam sembari berpikir."Anda memiliki kewaspadaan yang bagus, tapi saya tak memiliki niat lain. Jadi, anda tidak perlu me-"Ucapannya terhenti karena selaan Ayumi, "Saya ingin, terima kasih."Satu senyum terbit lebih dulu, manusia di h