Jalanan setapak menuju gerbang sekolah dipenuhi guguran bunga kencana. Cokelatnya tanah tertimbun oleh lautan berwarna ungu, beberapa dedaunan juga turut menambah keindahan. Langit yang menaungi insan berlalu-lalang pun ikut berseri, menampilkan cahaya keemasan untuk hari yang akan segera berakhir.
Ayumi melangkah semakin cepat, beban di pundaknya terlihat begitu berat. Kedua tangan putih itu ikut menyangga dari bawah, membagi penderitaan agar tetap merata. Tiba-tiba Ayumi berhenti berjalan, derap langkah di belakang berhasil menusuk pendengaran. “Jangan mengikutiku,” ujarnya setelah membalikkan badan. Rambut panjang terikatnya berputar mengikuti gerakan kepala. Jika saja Arkan tidak cepat menghindar, helaian yang menyatu itu pasti menampar wajahnya. Arkan menaikan alis dengan bingung, sebelah tangan ia masukan ke saku celana. “Apa yang kamu katakan? Rumahku juga ada di sana.” Telunjuk rampingnya mengarah ke jalan yang Ayumi punggungi. Karena tak ingin berdebat, gadis itu memilih untuk melanjutkan perjalanan. Kaki mereka terayun senada, Ayumi dengan pandangan menunduk dan Arkan yang tak henti-hentinya memerhatikan. Lambat laun, gerakan Ayumi memelan. Ia seringkali terganggu oleh keberadaan tas yang menggantung di punggungnya. “Apa yang kamu bawa di tas? Perpustakaan?” Pandangan mereka beradu tanpa ada yang mau memutus lebih dulu. Cekalan Arkan di tasnya membuat Ayumi ikut berjinjit. “Jalan!” Masih dengan kepala penuh tanya, Ayumi menggerakkan kakinya perlahan. Matanya tak berhenti menatap Arkan yang kini mengalihkan pandangan. “Bisa lepaskan tanganmu? Aku tidak nyaman.” Di sepanjang jalan, ucapan dari Ayumi tak kunjung mendapatkan balasan. Dengan kesal ia menyikuti perut Arkan kencang. Dalam sekejap, pria itu mengaduh sembari menyangga pendaratan. “Dari tadi aku sudah memperingatkanmu, jadi itu bukan salahku.” Tanpa belas kasihan, Ayumi menutup perhatian. Kedua kaki beralaskan sepatu hitam putih itu mulai berjalan menjauh. Hingga tiba-tiba panggilan dari belakang kembali membuatnya menolehkan kepala. “Arkan?” Itu adalah panggilan kedua yang terlontar, seorang wanita berbaju panjang turut menekuk lutut di tanah. Karena ragu untuk meninggalkan, pada akhirnya Ayumi berjalan mendekat. Mengamati kedua insan hingga matanya membelalak. “Bunda?” tanyanya sembari meletakkan jari-jemari di mulut. Bunda Rea mengangkat dagu, keningnya mengerut untuk beberapa saat sampai kemudian ia berseru senang. Perhatiannya untuk Arkan benar-benar terputus, yang tersisa hanyalah nama Ayumi yang terus keluar dari bibir tipisnya. “Senang bisa melihatmu lagi,” tuturnya setelah melebarkan tangan. Kedua wanita itu berpelukan dengan erat, melupakan keberadaan Arkan yang kini masih melongo di tempat. “Bunda kenapa bisa ada di sini? Bukannya Bunda udah lama pindah?” Perbincangan mereka benar-benar tak bisa dihentikan. Padahal sejak tadi seseorang di belakang garis kerinduan bertanya tanpa jeda. “Bunda tinggal di sini lagi sekarang, kapan-kapan Ay main ke rumah ya.” Dengan cepat Ayumi mengangguk, karena sejak dulu ia seringkali menghabiskan waktu di rumah itu. Rumah besar yang isinya hanya ada Bunda Rea seorang. “Bunda?” Tepat setelah Arkan mengeluarkan suara itu, Ayumi berbalik sinis. Ia benar-benar tidak suka jikalau pria itu mengucapkan sapaan yang sama. “Aduh maaf-maaf, anak Bunda yang satu ini jadi terabaikan.” Sontak Ayumi memasang wajah masam, karena terkejut cengkraman pada ujung bajunya ikut mengerat. “Anak? Arkan anak Bunda?” Dengan polos wanita paruh baya itu mengangguk. Matanya berulangkali menatap Arkan dan Ayumi bergantian. “Bukankah wajah kami mirip?” tanyanya setelah membawa Arkan ke dalam pelukan. “Bagaimana bisa wajah menyeramkan itu mirip dengan wajah cantik Bunda?” Hampir saja Ayumi memuntahkan isi kepala, beruntung akal sehatnya lebih waras dari apa yang ia kira. Jika tidak, Arkan benar-benar akan mengibarkan bendera permusuhan sekarang. “Haha, iya ya?” Ayumi ragu untuk bergerak, tangannya menggaruk leher dengan pola tak beraturan. Sampai akhirnya kaki-kaki itu melenggang setelah berpamitan. “Bunda kok bisa kenal Ayumi?” Arkan mulai menuntut penjelasan begitu keduanya kembali berjalan. Meninggalkan jejak di sepanjang tanah yang terbentang. Rumput-rumput liar di pinggir jalan mulai bergoyang begitu angin melintas dengan kejam. Pasir-pasir yang nakal berhamburan sesukanya, membuat pejalan kaki menutup mata karena tak sanggup menghadapi serangan bertubi-tubi. “Bunda kan dulu tinggal di sini, terus Ayumi juga keponakannya Gadis.” “Gadis?” Alis tebal itu kembali terangkat, ada begitu banyak ketidaktahuan yang dirinya memiliki mengenai kehidupan sang bunda. “Itu lho, yang dulu kerja di toko kue Bunda.” Hari berakhir tanpa menyisakan sesuatu yang bermakna. Di ruangan berbeda, dua pelajar itu memaku di atas meja. Ayumi dengan buku Matematika, sedangkan Arkan dengan kanvas dan kuas. Jendela kamar yang belum terkunci baru saja tertiup angin. Ayumi melirik sembari menghela napas. Langkah lesunya terayun mendekat, sebelum menutup benda itu, matanya terlempar ke luar. Ada begitu banyak bintang malam ini, melihat kelap-kelip di atas sana membuat Ayumi memikirkan masa depan. Masa depan yang sudah ia susun sejak lama. Ada banyak hal yang ingin dirinya capai, termasuk universitas ternama di kotanya. “Ay, makan dulu!” Teriakkan dari luar menghapus pengandaian dalam benaknya. Begitu menyibak tirai, Bibi Gadis tersenyum dengan semangkuk sup ayam di tangan. “Sudah Bibi hangatkan,” ucapnya setelah menata meja. Rumah yang tak besar itu penuh kehangatan. Di ujung ruangan yang sesak ada seorang anak yang tengah meringkuk sendirian. Mimpi di kepalanya tak jauh dengan milik Ayumi, atau mungkin dengan semua orang yang merindukan kasih sayang. “Ayo dimakan, nanti malah dingin lagi.” Usapan di bahu terasa lembut. Dalam diam Ayumi mati-matian menahan tangis. Setiap kali wanita itu memperlakukannya dengan sangat baik, ia merasa tertekan. Kejahatan yang dilakukan oleh orang lain seolah menjelma menjadi kesalahannya. Airil yang tengah memeluk guling itu menjadi bukti betapa menderitanya Bibi Gadis selama ini. “Bibi juga makan sini.” Bukannya melanjutkan kegiatan, kedua insan itu malah memilih untuk saling mengeluarkan kesedihan. Sudah tujuh tahun berlalu, namun luka yang ada tak kunjung membaik. Yang tersisa dari guratan kebencian itu hanya rasa sesak di dada. Beribu permohonan maaf Ayumi lontarkan, meski pada akhirnya itu adalah tindakan yang sia-sia. Karena pada kenyataannya, kejadian tak bermoral itu sudah terlaksana. Dan yang paling mengerikan, mereka melekat dalam ingatan. Menghisap habis seluruh energi kehidupan, hingga yang tersisa hanyalah keputusasaan.Embun pagi menyelimuti dedaunan, dengan malu-malu sinar mentari menampakkan diri. Menemani ayam-ayam jantan untuk bersuara, membangunkan semua insan yang masih terlelap dalam tidurnya.Ayumi berjalan linglung sembari menyeret tas biru ke ruang tengah. Semalam ia tidur terlambat, jadilah sisa-sisa kantuk itu menggantung di bawah matanya."Ai, cepat!"Suara Ayumi menggelegar, memanggil anak laki-laki yang tengah kerepotan memasukkan buku."Pakai sepatumu," tuturnya setelah Airil tiba di samping kiri.Gerakan Ayumi memelan ketika menyadari panggilan dari Airil yang terdengar ragu. Masih dengan usahanya mengikat tali sepatu, ia menolehkan wajah."Kenapa?"Lama Airil terdiam, bibirnya bergerak-gerak menyusun kalimat."Apa Bibi itu ibuku?"Secarik kertas disodorkan ke hadapan Ayumi, tulisan Bibi Gadis terukir rapi di sana.[Untuk anakku tercinta, Airil. Selamat ulang tahun.]Buru-buru Ayumi meremas kertas itu. Kepalanya mendongak ke atas, mencari-cari pembelaan yang sepertinya sudah terkubu
Kicauan burung menghilang setelah Ayumi membereskan sisa makanan. Remahan roti menyelinap di sela bibir, dengan cepat ia menariknya ke dalam mulut. Tak lama, sepasang manusia memasuki ruang kelas, senyum berseri keduanya menyamarkan sinar mentari.Ayumi mendesah saat menyadari waktu istirahat masih panjang. Pandangannya berkeliling setelah suntuk membaca buku. Seperti magnet dengan kutub yang berbeda, mata Ayumi melirik selembar kertas di meja seberang. Lukisan setengah jadi itu berada di bawah pensil yang terbagi dua.“Dasar aneh,” cibirnya memalingkan muka.Sialnya karena pelarian tersebut, netra Ayumi harus beradu dengan Arkan. Pria itu kini berjalan santai ke arahnya. Jemari sebelah kanan miliknya bergerak-gerak menurunkan lipatan pada baju bagian lengan.“Bukankah ini sudah kali kedua kamu tertarik dengan hasil gambarku?”Mendengar itu Ayumi mendelik, bibirnya mengerut menahan umpatan.“Apakah sebagus itu?” tanya Arkan setelah membawa lukisannya ke hadapan Ayumi.Sketsa wajah seo
Langit semakin pekat, angin semakin dingin. Namun gejolak di dada Ayumi tak kunjung membaik. Empat ban hitam itu melenggang perlahan, batu-batu kasar di sepanjang jalan menjadi penyebabnya. “Bi.” Suara Ayumi terdengar lirih. Pandangan gadis itu terpaku pada seorang wanita yang kini berbaring di pangkuannya. Diam-diam Bunda Rea mengambil alih kesedihan, menghibur Ayumi dengan genggaman tangan. “Jangan nangis ya,” tuturnya sembari menarik senyum. Pemeriksaan berlangsung lama, lalu-lalang di sekitar koridor sudah tak lagi terlihat. Hanya ada lampu remang-remang yang menerangi sebagian jalan. “Sekarang ada Bunda, kamu temani Airil saja.” Seolah baru tersadar, buru-buru Ayumi melempar pandangan. Mencari anak lelaki yang seharusnya ia jaga sekuat tenaga. “Ai!” Panggilan darinya berhasil membuat Airil turun dari pangkuan Arkan. Tanpa menjawab, anak kecil itu berlarian menghampiri Ayumi. “Maaf,” ungkap Ayumi di tengah pelukan yang tercipta. Dari kejauhan, Arkan menatap pe
Suara bola memantul terdengar di seisi lapangan. Para siswa itu berlarian tanpa aturan, memperebutkan benda bulat yang menari ke sana kemari. Sinar mentari semakin menyengat, namun mereka tak kunjung menghentikan permainan. Padahal jam pelajaran pertama akan segera tiba.Ayumi hanya termenung, berjalan di sepanjang koridor dengan wajah linglung. Gumpalan hitam di bawah mata menjadi pertanda betapa tak menyenangkannya malam yang ia punya.“Kalian menipuku!”Suara Redo terdengar begitu bola melayang dari tangannya. Arkan dan Dean tertawa kencang sebelum akhirnya berlari tunggang-langgang. Membelah keramaian untuk menghindari ancaman dari belakang.“Awas!”Kedua lelaki itu berseru kencang ketika mendapati Ayumi yang melenggang dari arah berlawanan. Namun ketiganya tak cukup waspada untuk menghindari seember air yang baru saja keluar dari pintu kelas dua.Cipratan air kotor itu berterbangan dengan cepat. Menghujani dua insan yang ber
Langit terlalu gelap untuk dikatakan pagi yang indah. Tetesan air masih menerpa bumi meskipun hari sudah berganti. Ayumi mengulurkan tangan untuk menggapai hujan. Lima menit sudah berlalu, namun rintik itu tak kunjung mereda. Ia terpaksa berlari dengan dikelilingi air yang menari-nari. Mendahului beberapa siswa yang sama-sama mengarah ke gerbang sekolah. "Hei, gadis monster!" Redo berteriak kencang begitu Ayumi menginjak genangan air di sampingnya. Karena kericuhan di sekitar, panggilan kesal itu mungkin tak mampu Ayumi dengar. Tangan Arkan terangkat, menutup mulut Redo yang terus saja mengumpat. "Berisik," ujarnya sembari mengambil langkah lebar. Menyusul Ayumi yang hampir mencapai jalan utama. Arkan menatap punggung gadis itu, lalu tiba-tiba tersenyum. "Apa kamu sengaja?" Tanpa ia duga, Ayumi berhenti dan berbalik dengan tenang. Matanya tersorot kesal, kedua tangan bertaut di dada. "Jika iya?" Melihat Arkan terdiam, Ayumi mulai menarik senyum. "Memang hanya kalian y
Tekstur bebatuan di sepanjang jalanan sempit Ayumi belai perlahan. Siapa sangka orang yang sejak semalam mengganggu tidurnya kini melambai senang."Ayo!"Dua pasang kaki saling mengejar, berburu tempat untuk membuktikan siapa pemenang.Mereka masih sangat muda, suasana hatinya bisa saja pasang surut dalam sekejap mata. Merasakan senang, sedih hanya karena hal-hal sederhana. Arkan membalik badan, melangkah mundur dengan senyum."Hati-hati," ujar Ayumi saat pria itu tak lagi memperhatikan jalan.Ada sepuluh anak tangga yang membentang ke bawah. Tiang listrik dengan kabel mengusut terletak di sebelah kanan."Ayo mulai permainan," bisik Arkan begitu Ayumi tiba di sampingnya. Gadis itu mengangguk, beberapa kali tangannya menyingkirkan anak rambut. "Gunting, kertas, batu!"Saat kalimat itu terlontar kencang, kedua tangan Arkan terangkat. Satu untuk permainan, sisanya membenarkan rambut Ayumi yang
Saat matahari terbenam, angin mulai berdesir. Rambut hitam halus bersinar di bawah pembiasan yang hangat. Arkan menggiring langkah ke ujung lapangan. Meninggalkan Dean yang masih sibuk memainkan bola besar. "Kemana kamu akan pergi setelah ini?" Redo melemparkan sebotol minuman setelah melontarkan pertanyaan. Pelan-pelan Arkan meneguk air, jakunnya naik turun beberapa kali. "Kenapa kamu peduli?" ujarnya memutar penutup biru. "Benar-benar sial!" Sekali lagi Redo melemparkan botol minuman, kali ini tepat mengenai dada Arkan kencang. Dengan cepat ia menyingkir, menyusul Dean untuk kembali bermain. Satu tangan meraba tas, jemari lainnya datang untuk melambai. "Aku pergi dulu," pamitnya sembari menyusuri tepi lapangan. Arkan baru saja selesai bermain, dahinya penuh oleh keringat. Ia mengenakan kaus hitam dan celana pendek selutut. Kaki panj
Selama beberapa hari, suasana hati Ayumi tidak terlalu tinggi. Terpaksa ia menyeret kedua kakinya pelan. Bibir tipis itu bertaut lucu, mata bersihnya turun cukup dalam.Tak ada lagi bunga yang bermekaran bulan ini, hanya ada setumpuk daun kering di bawah pohon tua.Sesuatu yang hangat tiba-tiba menusuk pipi, Ayumi menoleh cepat untuk menjumpai penyebabnya. "Hai," sapa Arkan tanpa melambaikan tangan. Pasalnya jemari telunjuk itu masih mendiami wajah Ayumi.Melihat secara horizontal atau pun vertikal, hasilnya tetap sama. Dia merasa bahwa Arkan terlihat semakin tampan dan semakin menarik. Apalagi saat pria itu menggodanya seperti ini. "Oh, hai!"Bola matanya berputar dengan sangat mulus. Ayumi tidak bisa menahan diri untuk tak menatapnya. Dia benar-benar terjebak dalam pesona Arkan sekarang.Gadis itu terus berjalan, mengambil langkah dua inci sekaligus. Sementara Arkan cukup melangkah pelan pun sudah bisa mengejarnya.
Cinta muda tidak pernah mati, mereka selalu jatuh di tempatnya. ____________________________________Sekelompok burung pipit kecil melayang-layang di udara, mereka tampak sangat senang. Bulu cokelat kekuningan itu bertebaran dengan cepat, hampir memenuhi separuh atensi.Arkan berjalan di bawahnya bersama Yin. Kaki berlapis sepatu putih itu terayun hati-hati. Sebelah tangannya bersembunyi di saku celana, sementara yang lain memainkan sebuah kunci. Dari kejauhan, punggung rapuh seseorang melintas perlahan. Arkan tidak berbicara, namun langkahnya bergerak mengikuti di belakang.Mereka memasuki lorong yang sunyi, sapuan angin pada dedaunan di luar terlihat jelas dari balik kaca besar. Pot-pot bunga di sudut koridor tampak angkuh dalam kesendirian.Ayumi mendadak buta, genangan air di lantai kantor membuatnya terhuyung beberapa langkah. Mata bulat itu membola dengan tangan menggapai sekitar, meminta pertolongan. Tiga detik lagi bokongnya siap menghantam bumi, namun tiba-tiba telapak tan
Banyak orang bertanya, bagaimana dunia bekerja untuk orang sepertiku dan orang sepertimu.____________________________________Suara pintu yang dibanting mengguncang langit senja. Mata Ayumi menjadi lebih terbuka, seakan-akan ia bisa memasukan seseorang ke dalamnya. "Mengapa dia begitu menyebalkan?" Gemaannya masih terdengar bahkan ketika dia telah menapaki jalanan. Melewati barisan lampu di setiap sisi. Tepat saat Ayumi berbelok ke kanan, seseorang memasuki bangunan yang sama dari arah berlawanan. Dia tampak tersenyum sembari menenteng tas hitam. Langkahnya terayun santai, mengikuti irama lagu yang mengalun di daun telinga. Ada sekitar tiga tikungan sebelum Ayumi mencapai jalan utama. Beberapa siswa keluar dari gerbang sekolah. Tanpa sadar, Ayumi tertarik pada sepasang remaja yang baru saja melintas. Ia mengikuti dengan seksama setiap gerakan, posisi, dan ekspresi mereka yang halus. Seolah ditarik ke dasar laut, pikiran Ayumi mengalami kekosongan. Semua hal yang terekam oleh ma
Kulit ari yang tipis bergerak menggulir layar. Kacamata berbingkai perak itu turun mengikuti gerakan Eky yang menunduk. Ia berbicara terus terang, "Aku tidak mengenalnya secara pribadi, namun temanku telah lama bekerja dengannya." Diam-diam Ayumi menarik bibir, "Apa ini sebuah keberuntungan?" Angin musim hujan yang suram telah berlalu, saat ini hanya tersisa tarian kelopak bunga. Bahkan ketika kaki Ayumi berjalan mengitari lobi, senyumnya masih secerah tadi. Di jalan kenanga yang padat, kendaraan roda empat saling berpacu lebih dulu. Dari segala jenis keramaian, gadis itu mengusap permukaan lutut. Masih ada sisa waktu sebelum bus tiba, Ayumi menarik ponsel untuk sekadar mengenyahkan kesendirian. Email balasan dari Bomi sudah ia baca ratusan kali. Rasa-rasanya kalimat yang tertata rapi itu sangat nyaman untuk diucapkan. "Aku benar-benar bahagia!" Jeritan kecil berhasil membelah keheningan. Beberapa pasang mata tampak menoleh sebentar lalu kembali mengabaikan. Suara pin
Tak ada salahnya mengorbankan hal kecil untuk sesuatu yang besar bersinar.____________________________________Cahaya bulan berhasil dipelintir oleh sinar mentari. Seolah menggambarkan kekalahan, burung-burung menangis mengawali hari."Jam berapa ini?" Ayumi bergumam dalam tidurnya, bibir kecil itu menguap beberapa kali. Semalam, ia terjaga cukup lama. Pelan-pelan jemari kanannya mengusap ujung mata.Sebuah suara mengalun dari atas meja, Ayumi menoleh dengan malas. "Siapa yang menelepon jam segini?"Meskipun bibirnya melontarkan kekesalan, panggilan pada layar tetap ia sambungkan. "Halo," sapanya malas.Pada awalnya, ucapan dari seberang terdengar begitu samar. Seakan-akan telinganya enggan untuk menerima.Sekali lagi ia berkata lebih kencang, "Halo?""Drafmu sudah dipublikasikan oleh pihak komunikasi atas nama Pak Rui!"Dalam jiwanya, gelegar petir saling bersahutan. Kaca-kaca transparan di dada seolah remuk tak tersisa. "Apa?"Suara Ayumi melengking nyaring, bahkan kupu-kupu ya
Dia terlalu indah untuk disembunyikan. ____________________________________Desember, 2023Semua hal berjalan seperti badai di tengah kota, ada keributan juga perasaan tertekan. Seperti sore ini, suasana kantor mendadak menjadi ruang atraksi. Lemparan map dari anggota divisi saling meluncur di meja rapat."Aku sungguh kesal!"Seorang gadis menekan kuat sandaran kursi, matanya memicing pada lembaran kertas yang sudah remuk."Orang-orang tua itu terlalu kolot."Ayumi menanggapi keluhan rekan satu timnya dengan serius, "Ini memang keterlaluan."Jari-jari lentik itu memutar pena dengan gugup. Penolakan dari atas terlalu kuat, ia harus menemukan cara untuk bebas.Saat ketegangan berkurang, Ayumi memiringkan kepala dan berkata, "Ayo pergi!"Pintu kaca didorong dengan sisa-sisa tenaga. Gerutuan dari Casandra terus terlontar menggapai kerumunan. "Siapa yang akan memasang iklan di baliho tahun ini? Benar-benar tak habis pikir!"Eky dari samping kanan menyahut, "Justru karena mereka tua, jadi
Cara terbaik untuk diam adalah hilang. ____________________________________ September, 2018 Bus melaju di tengah gersangnya hari Senin. Iklan-iklan pada baliho di jalan bergulir seperti putaran film. Ayumi turun dengan percaya diri ketika kendaraan itu menepi di halte megah dan tinggi. "Memang tidak salah lagi, ini universitas yang besar." Kepalan tangannya menenteng tas kain bergambar bunga. Ayumi mengenakan kemeja biru yang dipadukan dengan celana jeans panjang. Rambut sepundaknya terurai, menutupi sebagian tengkuk dari panasnya sinar mentari. Arsitektur di hadapannya tampak tua namun penuh dengan nilai budaya. Ada banyak pohon yang menjulang juga tanaman rambat, persis seperti negeri dongeng masa kini. Masih diselimuti kekaguman, Ayumi bergumam dalam keramaian, "Ini cantik." Tangkai rapuh yang memanjang memeluk anyaman besi dengan kencang. Daun-daun hijau itu memiliki tepi bergerigi. Bentuknya sangat unik, hampir menyerupai sebuah jantung. Ayumi berjalan bebas,
Jika kita bisa menjaga jarak aman, maka permukaan akan selalu damai. ____________________________________ Mentari bersemayam di bukit tinggi, menyaksikan hari yang terus berganti. Ayumi membanting pintu dengan kaki ketika kedua tangannya sibuk memegang kardus. Rak-rak tua tengah berdiri membentuk sekat, beberapa pengunjung memilah buku di barisan sastra. "Ini cerita yang bagus," bisik Ayumi pada salah satu gadis. Wajah berbingkai rambut halus itu menoleh, "Benarkah?" Mata hitamnya tersorot antusias ketika melihat anggukan yang diberikan. Di tengah kesenangan ia kembali terkubur dalam dunianya. "Semakin kuperhatikan, kamu tampak seperti orang yang berbeda." Meta meletakkan punggung di tembok, tangannya meraba-raba isi kotak yang Ayumi bopong. "Dulu kamu memasang tembok besar. Dan sekarang malah mudah bergaul, cih!" Decihannya sampai pada gendang telinga, Ayumi merendahkan tangan sebelum berucap, "Harusakah aku melayani orang lain seperti ini?" Raut masamny
Di pagi hari, gang-gang sempit tampak sunyi. Tidak ada yang datang dan pergi selain gema yang memanjang."Haruskah kita membeli susu kedelai?"Saat ini suasana hati Ayumi begitu ringan, seakan-akan burung gereja hitam telah membawanya pergi.Langit biru bersinar terang di atas kepala gadis itu. Ada ratusan semut yang menjalar di pepohonan, mereka tampak senang karena menemukan sesuatu yang berharga."Permisi, susu kedelainya satu ya, Bu."Ia menyapa dengan ramah. Dibandingkan hari kemarin, sosoknya terlihat jauh lebih cerah. [Sebenarnya tempat ini tidak memiliki banyak pengunjung, namun jika anda ingin datanglah.]Jari-jari gadis itu memainkan layar sebentar, membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Kak Regan tadi malam. Penciuman Ayumi begitu tajam, ketika aroma daun pandan menyebar ia langsung mengangkat pandangan. Warna putih kekuningan itu dituang ke dalam gelas plastik. Satu pipet bening ikut meluncur di detik-detik terakhir."Dibuat dengan spesial untuk pelanggan pertama, teri
Mimpi yang telah rusak saling bertabrakan satu sama lain, Ayumi menunduk cukup dalam di samping bangunan. Ada tiga tetes air yang jatuh dari atap, mungkin itu sisa hujan tadi siang.Jari-jarinya sedikit membeku karena dingin. Ia mengangkat kelopak mata saat seseorang menuruni anak tangga."Sedang apa?" tanya pria itu sopan.Kepala Ayumi mengangguk untuk menyapa, kedua tangan yang gemetar bersembunyi di belakang. "Saya hanya beristirahat sebentar, sebelum pulang."Kebohongannya terlontar tanpa ragu, ternyata selama ini ia belajar membual.Tanda tanya terlukis di wajah pria itu, namun dia berhasil menutupinya dengan senyum. "Ini hanyalah perpustakaan usang. Namun jika anda ingin, saya bisa membukakan pintu."Ada sedikit kecurigaan yang terpancar, Ayumi terdiam sembari berpikir."Anda memiliki kewaspadaan yang bagus, tapi saya tak memiliki niat lain. Jadi, anda tidak perlu me-"Ucapannya terhenti karena selaan Ayumi, "Saya ingin, terima kasih."Satu senyum terbit lebih dulu, manusia di h