Xaviera Hanske, gadis berusia 17 tahun yang terlahir dari keluarga kaya raya. Hidupnya sempurna dengan fasilitas mewah dan keluarga yang harmonis. Namun, semua berubah saat perjodohan yang tidak ia inginkan datang menghampiri. Ian, guru matematika killer di sekolahnya, ternyata adalah pria pilihan orangtuanya. Seorang pria dingin dan kaku yang bahkan tidak pernah menunjukkan kehangatan sedikitpun padanya. Xaviera semakin frustasi karena nilai matematikanya yang selalu di bawah rata-rata justru membuat ia harus lebih sering berinteraksi dengan calon suaminya itu. Di tengah keresahannya menghadapi perjodohan, muncul sosok Felix - kapten tim basket sekolah yang tampan dan pintar. Kedekatan mereka sebagai teman sekelas perlahan mulai menumbuhkan perasaan lain di hati Xaviera. Felix yang gentle, perhatian, dan pengertian sangat berbeda dengan Ian yang seolah menganggap pernikahan hanya sebagai formalitas belaka. Xaviera terjebak dalam dilema. Di satu sisi, ia tidak bisa menolak perjodohan yang sudah diatur keluarganya. Di sisi lain, hatinya mulai tertarik pada Felix yang selalu ada untuknya. Sementara Ian, meski akan menjadi suaminya, tetap memperlakukannya dengan dingin bahkan di sekolah. Akankah Xaviera memberontak demi cintanya pada Felix? Atau dia akan pasrah menerima takdirnya menikah dengan Ian? Bagaimana ia mengatasi perasaannya yang semakin rumit seiring berjalannya waktu?
Lihat lebih banyak"Jadi..." Ian memecah keheningan setelah tawa mereka mereda. "Kamu masih marah sama aku?"Viera menghela napas panjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan setelah bangun tidur. "Menurut Tuan Ian bagaimana?""Aku tau aku salah," Ian bergeser sedikit lebih dekat. "Aku harusnya percaya sama kamu. Harusnya aku nggak langsung marah-marah waktu itu.""Kamu tau nggak sih rasanya dituduh nyontek?" Viera menatap Ian dengan mata berkaca-kaca. "Apalagi sama orang terdekat. Aku kira kamu yang paling tau aku kayak gimana."Ian mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Viera dengan lembut. "Iya, aku tau. Makanya aku minta maaf. Aku... aku cuma takut dengan masa depanmu.""Maksudnya?""
Setelah kepulangan Mama, Viera kembali ke kelasnya dengan perasaan lebih ringan. Renna dan Fanny yang sudah menunggunya langsung menghampiri. Dengan suara pelan, Viera menceritakan semua yang terjadi di ruang kepala sekolah, termasuk pengakuan Pak Karyo tentang keterlibatan Reggina."Tuh kan, gue bilang juga apa," Renna memeluk Viera erat. "Loe nggak mungkin ngelakuin hal kayak itu."Fanny ikut memeluk dari sisi lain. "Kita selalu percaya sama loe, Ra. Tapi ngomong-ngomong, Reggina nggak masuk hari ini.""Mungkin dia udah tau kalo bakal ketahuan," Felix tiba-tiba muncul dan bergabung dalam pembicaraan. "Aku juga nggak pernah percaya kalo kamu nyontek, Ra. Nggak masuk akal aja."Meski kebenaran sudah terungkap, Viera masih bisa mendengar bisik-bisik di sekitarnya. Beberap
"Dan kalau kita lihat rekaman hari berikutnya..." Mama meminta staf IT memindahkan ke rekaman hari selanjutnya. "Reggina memberikan amplop pada Pak Karyo."Wajah Pak Darto memucat. Tanpa diminta, ia segera menelepon Pak Karyo.Beberapa menit kemudian, Pak Karyo masuk ke ruangan dengan wajah tertunduk, kedua tangannya saling meremas dengan gugup."Pak Karyo," Pak Darto memulai dengan suara tegas, "bisa jelaskan kenapa Reggina memberikan amplop kepada Bapak?"Pak Karyo terdiam sejenak, keringat mulai membasahi dahinya. "Sa-saya..." suaranya bergetar."Pak Karyo," Mama Viera berkata lembut, ada empati dalam suaranya, "tolong ceritakan yang sebenarnya. Ini menyangkut masa depan anak-anak."
Pagi itu, Viera dan Mamanya berjalan beriringan memasuki gedung sekolah. Langkah mereka mantap menuju ruang guru, meskipun jantung Viera berdegup kencang.Di sepanjang koridor, beberapa siswa berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Viera bisa mendengar samar-samar nama Reggina dan Ian disebut-sebut. Ia menundukkan kepala, mencoba mengabaikan tatapan menghakimi dari teman-temannya. Mama yang menyadari hal itu langsung menggenggam tangannya erat, memberinya kekuatan."Kamu tidak sendirian," bisik Mama sambil tersenyum meyakinkan.Viera membalas genggaman tangan Mamanya. Dalam hati, ia bersyukur memiliki ibu yang selalu mendukungnya. Bahkan di saat-saat terberatnya seperti ini."Selamat pagi, Bu," sapa Pak Darto begitu mereka memasuki ruangannya. "Silakan duduk."
Di dalam mobil, Viera memandang kosong ke luar jendela. Matanya masih terasa panas setelah dimarahi Pak Darto. Getaran ponsel di sakunya membuat ia tersentak - nama Ian muncul di layar."Halo," Viera menjawab dengan suara pelan."Aku dengar kamu mencontek saat try out Kimia," suara Ian terdengar dingin, lebih dingin dari biasanya."Ian, aku tidak—""Kenapa?" potong Ian. "Kenapa kau melakukan hal yang paling aku benci, Viera?""Aku tidak mencontek!" Viera berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh Pak Mamad. "Aku yakin ini perbuatan Reggina. Dia—""Jangan menuduh orang lain, Viera," Ian mendengus. "Contekan itu ada di mejamu. Dan kamu tahu prosedurnya - sebelum
Minggu ini, seluruh siswa kelas 12 disibukkan dengan try out untuk persiapan ujian kelulusan. Pagi itu, suasana kelas terasa tegang saat try out Kimia berlangsung. Viera duduk di bangkunya dengan tenang, sesekali mengetuk-ngetuk pensil ke meja sambil berpikir. Soal-soal di hadapannya tidak terlalu sulit berkat persiapannya yang matang selama seminggu terakhir.Pak Darto, guru yang terkenal dengan kedisiplinannya yang ketat, berjalan mengawasi dengan langkah berat. Kacamatanya yang tebal menambah kesan serius pada wajahnya yang kaku. Suara sepatunya yang berketuk di lantai membuat beberapa siswa merasa was-was."Ingat, waktu tinggal 30 menit lagi," suara berat Pak Darto memecah keheningan.Viera tetap fokus pada pekerjaannya, tidak menyadari Pak Darto yang kini berhenti di samping mejanya. Guru senior itu mengerutkan
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya sesi bimbel sore itu. Viera membereskan bukunya dengan tenang, sementara Renna dan Fanny masih menggerutu tentang kejadian pagi tadi."Gila ya si cabe gatal itu," Renna mendengus kesal sambil memasukkan buku ke dalam tasnya. "Sok banget sih dia. Mentang-mentang rambutnya di-blow tiap hari.""Iya! Udah gitu pake acara bawa-bawa nama Pak Ian segala," Fanny menimpali. "Padahal dia sendiri yang ganjen sama Pak Ian."Viera hanya tersenyum mendengar ocehan kedua sahabatnya. "Udah, biarin aja. Nanti juga capek sendiri."Belum sempat mereka melangkah keluar kelas, sosok Reggina muncul di ambang pintu, diapit oleh Daisy dan Ingrid - duo tak terpisahkan yang selalu mengekorinya kemanapun. Daisy dengan rambut pirang platin
Keesokan harinya, Viera melangkah memasuki kelas dengan langkah berat. Meski kepalanya sudah tidak sakit, namun hatinya masih was-was menghadapi bisik-bisik yang tak kunjung reda. Ia duduk di bangkunya seperti biasa, mengeluarkan buku pelajaran sambil sesekali melirik sekeliling."Wah, wah... si anak rajin sudah datang rupanya," suara sinis itu membuat Viera mendongak. Reggina, gadis populer itu berdiri di depan mejanya dengan tangan terlipat di dada. Rambut panjangnya yang dicat coklat keemasan terlihat berkilau, hasil blow di salon mahal langganannya.Riasan wajahnya lebih tebal dari siswi lain - dengan eye shadow kecoklatan dan lipstik merah muda yang mencolok. Jam tangan Cartier berkilau di pergelangan tangannya, senada dengan kalung berlian yang selalu ia pamerkan. Tak heran banyak yang menyebutnya 'Princess' sekolah, mengingat ayahnya adalah salah satu pe
Pagi itu, Viera memandang keluar jendela mobil Pak Mamad yang melaju pelan memasuki gerbang sekolah. Perasaannya campur aduk - antara lega bisa kembali ke sekolah dan gelisah menghadapi gosip yang mungkin beredar. Kepalanya sudah tidak pusing lagi, tapi memori tentang perhatian Ian kemarin masih terasa hangat di benaknya."Sudah merasa baikan, Non?" tanya Pak Mamad sambil menghentikan mobil di depan gedung sekolah."Sudah jauh lebih baik, Pak. Terima kasih," jawab Viera sambil tersenyum, lalu turun dari mobil dengan hati-hati.Belum sempat Viera melangkah jauh, suara familiar menyambutnya dengan penuh semangat. "Vieraaaa!" Renna dan Fanny berlari kecil menghampirinya, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran sekaligus kelegaan."Ya Ampun, loe benar-benar sudah sembuh?" tanya F
"Viera, pertemuan keluarga ini bermaksud untuk menjodohkanmu dengan Ian." Kalimat itu terus terngiang di kepala Viera, membuatnya merasa bagai tersambar petir di siang bolong. Bagaimana bisa orang tuanya, Robert Hanske dan Tiara Hanske, memutuskan untuk menjodohkannya dengan Ian, guru matematika killer di sekolahnya?“Oh My God? Bagaimana bisa takdir indahnya harus berakhir tragis seperti ini. Tuhan, apakah Engkau sangat tega menguji anak manis nan cantik sepertiku ini?. Akankah aku kuat menghadapi cobaan ini?” Viera bertanya-tanya dalam hati.Mereka tengah berada di sebuah restoran Prancis mewah di tengah kota, tempat pertemuan rutin keluarga mereka dan keluarga Ian, Toni Gunawan dan Citra Gunawan, diadakan. Suasana restoran yang elegan dengan dekorasi interior bergaya Eropa abad pertengahan itu tak mampu mengalihkan pikiran Viera dari kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Papa dan Mamanya.Jujur saja, Viera, masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mung...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen