Viera melangkah gontai memasuki rumah mewah bergaya modern yang sudah ia tinggali sejak lahir. Rumah sebesar istana ini terasa begitu sepi. Papa Viera masih di kantor, sementara Mamanya entah sedang arisan di mana.
"Selamat sore, Non Viera," sapa Bi Suti yang sedang membersihkan ruang tamu.
"Sore, Bi," jawab Viera lesu.
"Mau Bi Suti buatkan minum atau cemilan?" tawar Bi Inah yang baru keluar dari dapur.
"Nanti aja, Bi. Aku mau mandi dulu."
Di rumah ini, mereka hanya tinggal bertujuh. Viera, Papanya, Mamanya, dua pembantu setia mereka—Bi Suti dan Bi Inah—serta dua sopir, Pak Abdul dan Pak Mamad. Bi Suti dan Bi Inah mengurus segala keperluan rumah tangga, dari bersih-bersih hingga memasak.
Pak Abdul sebenarnya sopir pribadi Papa Viera, tapi karena Papanya lebih suka menyetir sendiri mobil BMUU mewahnya, Pak Abdul lebih sering mengantar Mamanya. Sementara Pak Mamad khusus mengantar Viera ke sekolah atau kemanapun ia pergi.
Sebenarnya, Viera sudah punya mobil sendiri, Lamborghina sport keluaran terbaru hadiah ulang tahun ke-17 dari Papanya bulan Mei lalu. Tapi Papanya tidak mengizinkannya membawa mobil ke sekolah karena menurutnya terlalu mencolok.
Sesampainya di kamar, Viera langsung menuju kamar mandi pribadinya di lantai dua. Air hangat yang mengucur dari shower sedikit menenangkan pikirannya yang kusut. Setelah berganti pakaian, ia merebahkan diri di kasur king size-nya yang empuk.
Pikirannya melayang pada kejadian tadi. Felix yang dengan gentle mengantarnya pulang, sangat berbeda dengan Ian yang bahkan tidak menawarinya tumpangan. Tanpa sadar, ia tersenyum membayangkan besok akan bertemu Felix untuk belajar bersama.
Tok tok tok!
"Viera sayang," suara Mamanya terdengar dari balik pintu.
"Masuk aja, Ma."
Mamanya masuk dengan anggunnya. Dress branded berwarna navy blue membalut tubuhnya yang masih terlihat awet muda di usia 40-an.
"Tadi pulang naik apa? Maaf ya Mama pinjam Pak Mamad mendadak."
"Diantar Felix," jawab Viera ketus.
"Felix yang anak basket itu?" Mama duduk di tepi tempat tidur Viera.
"Iya, Ma. Dia nganter pake motor."
"Lho, kenapa gak pulang bareng Ian aja?"
Viera mendengus kesal. "Ian tuh ya Ma, cuek banget! Dia ninggalin aku gitu aja di sekolah. Gak nawarin pulang bareng sama sekali. Padahal dia tau aku gak ada yang jemput."
"Mungkin dia ada keperluan lain, sayang. Kan gak mungkin dia sengaja ninggalin kamu."
"Mama kok malah belain dia sih?" protes Viera sambil bangun dari posisi tidur. "Dia itu calon suamiku lho, Ma. Sama calon istri aja cuek gini, apalagi nanti kalau udah nikah!"
"Viera, Ian itu orang baik. Dia cuma belum terbiasa sama situasi ini. Kamu juga harus ngertiin posisi dia."
"Ngertiin dia terus! Mama gak pernah mikirin perasaan Viera!" Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Viera bahkan gak pernah dimintai pendapat soal perjodohan ini. Semuanya diputusin sepihak!"
"Sayang..." Mama mencoba meraih tangan Viera tapi ia menepisnya.
"Mama keluar aja. Viera mau sendiri."
Mamanya menghela napas panjang sebelum akhirnya beranjak keluar dari kamar Viera. Begitu pintu tertutup, air matanya tumpah. Ia lelah dengan semua ini. Lelah berpura-pura baik-baik saja di depan semua orang.
Felix muncul di benaknya lagi. “Andai saja aku bebas memilih, mungkin aku akan memilih pemuda sepertinya. Yang perhatian, pengertian, dan bisa membuatku nyaman. Bukan pria dingin dan kaku seperti Ian yang bahkan tidak pernah tersenyum padaku.”
Tapi takdir berkata lain. Viera terlahir di keluarga yang masih memegang teguh tradisi perjodohan. Papa dan Mamanya yakin Ian adalah pilihan terbaik untuk Viera. Mereka bilang Ian bisa membimbingnyamenjadi wanita yang lebih baik.
Yang mereka tidak tahu, setiap malam Viera menangis dalam diam. Menangisi masa depannya yang sudah diatur tanpa mempertimbangkan kebahagiaannya sendiri.
Suara deru mobil memasuki salah satu rumah di Emerald Valley Residence. Mobil BMUU hitam itu berhenti tepat di depan pintu masuk rumah mewah itu. Tepat pukul enam malam, Papa Viera pulang dari kantornya. Saat hendak masuk, ia menoleh ke segala arah di ruang tamu.Biasanya, ada yang menyambutnya dengan ceria dan segera memeluknya saat masuk ke ruang tamu. Tapi, hari ini mengapa tidak ada suara ceria yang menyambutnya.Segera, Papa Viera bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Ia mengira bahwa Viera belum kembali dari sekolah.Malam itu, suasana ruang makan keluarga Viera terasa berbeda dari biasanya. Aroma masakan Bi Inah dan Bi Suti yang sedang menata hidangan di meja makan tidak mampu mencairkan ketegangan yang menyelimuti.Papa Viera yang baru selesai mandi dan berganti pakaian sudah duduk di kursinya, sementara Mama duduk di sampingnya dengan raut wajah cemas. Ia sudah mendengar cerita dari Istrinya itu tentang apa yang terjadi pada Viera."Non Vier
"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.Ding!Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix."Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar me
Jantung Viera seakan berhenti berdetak saat melihat Ian melangkah masuk ke dalam Kafe Kini Kopi. Yang membuat dirinya semakin kaget adalah kehadiran seorang wanita cantik di samping Ian.Wanita itu terlihat sangat anggun dengan blazer cream dan rok pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam legam tergerai rapi, make up-nya natural namun memancarkan kedewasaan yang membuat Viera merasa begitu kecil.Felix yang menyadari kehadiran Ian langsung berdiri. "Selamat pagi, Pak Ian," sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Ian.Mau tidak mau, Viera juga harus berdiri dan melakukan hal yang sama. "Selamat pagi, Pak," ucapnya pelan sambil mencium tangan calon suaminya itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat dari Felix dan semua orang di sekolahnya."Pagi, Felix… Viera," jawab Ian datar seperti biasa.Felix kemudian menyalami wanita yang bersama Ian. Viera mengikuti, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi tanda tanya. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat b
Viera kembali ke mejanya dengan langkah berat. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat pasi. Felix yang sedari tadi memperhatikan, langsung menyadari perubahan pada raut wajah gadis di hadapannya itu."Viera, kamu sakit? Kok pucat banget?" tanya Felix dengan nada khawatir.Viera hanya menggeleng lemah, tidak sanggup mengeluarkan suara. Pikirannya masih berkecamuk dengan kata-kata Ian yang begitu misterius.Felix menutup buku matematika di hadapannya. "Kayaknya kita udah kebanyakan belajar deh. Otakmu perlu refreshing," ia tersenyum hangat. "Gimana kalau kita nonton? Kebetulan ada film bagus yang baru rilis.""Boleh," jawab Viera cepat, terlalu cepat malah. Apa saja, asal bisa keluar dari kafe ini, menjauh dari Ian dan wanita misterius itu.Mereka bergegas membereskan buku-buku dan meninggalkan kafe. Viera bahkan tidak menoleh ke arah meja Ian saat mereka lewat. Di parkiran, Felix menyerahkan helm cadangan untuk Viera kenakan."Aku selalu bawa helm cadangan, just in case," Felix
Jalanan Kota yang macet membuat perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Ketika Viera akhirnya sampai di rumah, jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Gadis itu segera berlari ke kamarnya, membuka lemari dengan tergesa-gesa. Waktu yang tersisa hanya dua setengah jam sebelum makan malam dengan keluarga Ian."Ya ampun, kenapa harus mendadak sih?" gerutunya sambil memilah-milah gaun yang tergantung rapi di lemari.Setelah mandi secepat kilat, Viera berdiri di depan cermin, mengamati deretan gaun yang ia letakkan di atas tempat tidur. Tangannya terhenti pada sebuah gaun biru muda selutut dengan detail punggung terbuka yang simple namun elegan.Viera tersenyum puas—pilihannya sempurna untuk acara makan malam formal. Sepasang heels berwarna senada dengan tinggi 5 cm melengkapi penampilannya, memberikan kesan dewasa tanpa berlebihan.Di depan meja rias, Viera mulai menata rambutnya. Dengan telaten, ia mem-blow bagian ujung rambutnya hingga terlihat bervolume dan me
Mobil Ian berhenti di depan sebuah restoran mewah bergaya klasik Eropa. Lampu-lampu kristal yang menggantung di sepanjang pintu masuk memberikan kesan mewah dan elegan. Sebelum turun dari mobil, Ian menahan tangan Viera."Tunggu," ujarnya pelan. "Ingat apa yang kita latihan tadi?"Viera mengangguk lemah. "Bergandengan tangan...""Bagus. Ayo."Ian keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Viera—sebuah gestur yang membuat beberapa pengunjung restoran melirik ke arah mereka. Viera menarik napas dalam-dalam sebelum menyambut uluran tangan Ian. Jemari mereka bertaut, dan entah mengapa, kali ini terasa lebih natural dibanding di mobil tadi."Orang tuaku sudah menunggu di ruang VIP," Ian berbisik sambil menuntun Viera memasuki restoran.Seorang pelayan mengantar mereka ke lantai dua, menuju sebuah ruangan privat dengan pintu kayu berukir indah. Sebelum membuka pintu, Ian mengeratkan genggamannya pada tangan Viera."Kau siap?""Tidak," jawab Viera jujur. "Tapi apa kau peduli pada pilihanku
Ian tersadar lebih dulu. Ia berdehem pelan dan segera menarik diri, kembali ke posisi normalnya di belakang kemudi. Tanpa berkata apa-apa, ia menjalankan mobil, membelah keheningan malam Jakarta.Viera merasakan jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Selama 17 tahun hidupnya, tak pernah ada laki-laki yang berada sedekat itu dengannya—bahkan Felix sekalipun. Ia mencuri pandang ke arah Ian yang tetap fokus menyetir dengan wajah datarnya yang biasa.'Bagaimana dia bisa setenang itu?' batin Viera kesal, tangannya meremas ujung gaunnya.Perjalanan pulang dilalui dalam diam. Tidak ada obrolan, tidak ada gandengan tangan seperti tadi—hanya suara mesin mobil dan degup jantung Viera yang entah mengapa tak kunjung normal.Pukul setengah sepuluh, mobil Ian a
Sinar matahari yang menerobos celah tirai kamar Viera tidak mampu membangunkannya dari tidur lelap. Berulang kali mamanya mengetuk pintu kamar dan mencoba menelepon, namun Viera masih terbuai dalam dunia mimpinya. Pintu kamar yang terkunci membuat mamanya tidak bisa masuk untuk membangunkannya secara langsung."Viera! Bangun, Sayang! Sudah jam setengah tujuh!" teriak mamanya sambil mengetuk pintu kamar Viera dari luar kamar, suaranya penuh kekhawatiran.Setelah beberapa saat, mata Viera akhirnya terbuka perlahan. Begitu melihat jam digital di meja nakasnya menunjukkan pukul 06.30, matanya langsung terbelalak lebar. Jantungnya berdegup kencang menyadari bahwa ia hanya punya waktu setengah jam untuk sampai ke sekolah jika tidak ingin terlambat."Oh My God, kenapa aku bisa kesiangan?!" rutuknya sambil melompat dari tem
"Jadi..." Ian memecah keheningan setelah tawa mereka mereda. "Kamu masih marah sama aku?"Viera menghela napas panjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan setelah bangun tidur. "Menurut Tuan Ian bagaimana?""Aku tau aku salah," Ian bergeser sedikit lebih dekat. "Aku harusnya percaya sama kamu. Harusnya aku nggak langsung marah-marah waktu itu.""Kamu tau nggak sih rasanya dituduh nyontek?" Viera menatap Ian dengan mata berkaca-kaca. "Apalagi sama orang terdekat. Aku kira kamu yang paling tau aku kayak gimana."Ian mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Viera dengan lembut. "Iya, aku tau. Makanya aku minta maaf. Aku... aku cuma takut dengan masa depanmu.""Maksudnya?""
Setelah kepulangan Mama, Viera kembali ke kelasnya dengan perasaan lebih ringan. Renna dan Fanny yang sudah menunggunya langsung menghampiri. Dengan suara pelan, Viera menceritakan semua yang terjadi di ruang kepala sekolah, termasuk pengakuan Pak Karyo tentang keterlibatan Reggina."Tuh kan, gue bilang juga apa," Renna memeluk Viera erat. "Loe nggak mungkin ngelakuin hal kayak itu."Fanny ikut memeluk dari sisi lain. "Kita selalu percaya sama loe, Ra. Tapi ngomong-ngomong, Reggina nggak masuk hari ini.""Mungkin dia udah tau kalo bakal ketahuan," Felix tiba-tiba muncul dan bergabung dalam pembicaraan. "Aku juga nggak pernah percaya kalo kamu nyontek, Ra. Nggak masuk akal aja."Meski kebenaran sudah terungkap, Viera masih bisa mendengar bisik-bisik di sekitarnya. Beberap
"Dan kalau kita lihat rekaman hari berikutnya..." Mama meminta staf IT memindahkan ke rekaman hari selanjutnya. "Reggina memberikan amplop pada Pak Karyo."Wajah Pak Darto memucat. Tanpa diminta, ia segera menelepon Pak Karyo.Beberapa menit kemudian, Pak Karyo masuk ke ruangan dengan wajah tertunduk, kedua tangannya saling meremas dengan gugup."Pak Karyo," Pak Darto memulai dengan suara tegas, "bisa jelaskan kenapa Reggina memberikan amplop kepada Bapak?"Pak Karyo terdiam sejenak, keringat mulai membasahi dahinya. "Sa-saya..." suaranya bergetar."Pak Karyo," Mama Viera berkata lembut, ada empati dalam suaranya, "tolong ceritakan yang sebenarnya. Ini menyangkut masa depan anak-anak."
Pagi itu, Viera dan Mamanya berjalan beriringan memasuki gedung sekolah. Langkah mereka mantap menuju ruang guru, meskipun jantung Viera berdegup kencang.Di sepanjang koridor, beberapa siswa berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Viera bisa mendengar samar-samar nama Reggina dan Ian disebut-sebut. Ia menundukkan kepala, mencoba mengabaikan tatapan menghakimi dari teman-temannya. Mama yang menyadari hal itu langsung menggenggam tangannya erat, memberinya kekuatan."Kamu tidak sendirian," bisik Mama sambil tersenyum meyakinkan.Viera membalas genggaman tangan Mamanya. Dalam hati, ia bersyukur memiliki ibu yang selalu mendukungnya. Bahkan di saat-saat terberatnya seperti ini."Selamat pagi, Bu," sapa Pak Darto begitu mereka memasuki ruangannya. "Silakan duduk."
Di dalam mobil, Viera memandang kosong ke luar jendela. Matanya masih terasa panas setelah dimarahi Pak Darto. Getaran ponsel di sakunya membuat ia tersentak - nama Ian muncul di layar."Halo," Viera menjawab dengan suara pelan."Aku dengar kamu mencontek saat try out Kimia," suara Ian terdengar dingin, lebih dingin dari biasanya."Ian, aku tidak—""Kenapa?" potong Ian. "Kenapa kau melakukan hal yang paling aku benci, Viera?""Aku tidak mencontek!" Viera berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh Pak Mamad. "Aku yakin ini perbuatan Reggina. Dia—""Jangan menuduh orang lain, Viera," Ian mendengus. "Contekan itu ada di mejamu. Dan kamu tahu prosedurnya - sebelum
Minggu ini, seluruh siswa kelas 12 disibukkan dengan try out untuk persiapan ujian kelulusan. Pagi itu, suasana kelas terasa tegang saat try out Kimia berlangsung. Viera duduk di bangkunya dengan tenang, sesekali mengetuk-ngetuk pensil ke meja sambil berpikir. Soal-soal di hadapannya tidak terlalu sulit berkat persiapannya yang matang selama seminggu terakhir.Pak Darto, guru yang terkenal dengan kedisiplinannya yang ketat, berjalan mengawasi dengan langkah berat. Kacamatanya yang tebal menambah kesan serius pada wajahnya yang kaku. Suara sepatunya yang berketuk di lantai membuat beberapa siswa merasa was-was."Ingat, waktu tinggal 30 menit lagi," suara berat Pak Darto memecah keheningan.Viera tetap fokus pada pekerjaannya, tidak menyadari Pak Darto yang kini berhenti di samping mejanya. Guru senior itu mengerutkan
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya sesi bimbel sore itu. Viera membereskan bukunya dengan tenang, sementara Renna dan Fanny masih menggerutu tentang kejadian pagi tadi."Gila ya si cabe gatal itu," Renna mendengus kesal sambil memasukkan buku ke dalam tasnya. "Sok banget sih dia. Mentang-mentang rambutnya di-blow tiap hari.""Iya! Udah gitu pake acara bawa-bawa nama Pak Ian segala," Fanny menimpali. "Padahal dia sendiri yang ganjen sama Pak Ian."Viera hanya tersenyum mendengar ocehan kedua sahabatnya. "Udah, biarin aja. Nanti juga capek sendiri."Belum sempat mereka melangkah keluar kelas, sosok Reggina muncul di ambang pintu, diapit oleh Daisy dan Ingrid - duo tak terpisahkan yang selalu mengekorinya kemanapun. Daisy dengan rambut pirang platin
Keesokan harinya, Viera melangkah memasuki kelas dengan langkah berat. Meski kepalanya sudah tidak sakit, namun hatinya masih was-was menghadapi bisik-bisik yang tak kunjung reda. Ia duduk di bangkunya seperti biasa, mengeluarkan buku pelajaran sambil sesekali melirik sekeliling."Wah, wah... si anak rajin sudah datang rupanya," suara sinis itu membuat Viera mendongak. Reggina, gadis populer itu berdiri di depan mejanya dengan tangan terlipat di dada. Rambut panjangnya yang dicat coklat keemasan terlihat berkilau, hasil blow di salon mahal langganannya.Riasan wajahnya lebih tebal dari siswi lain - dengan eye shadow kecoklatan dan lipstik merah muda yang mencolok. Jam tangan Cartier berkilau di pergelangan tangannya, senada dengan kalung berlian yang selalu ia pamerkan. Tak heran banyak yang menyebutnya 'Princess' sekolah, mengingat ayahnya adalah salah satu pe
Pagi itu, Viera memandang keluar jendela mobil Pak Mamad yang melaju pelan memasuki gerbang sekolah. Perasaannya campur aduk - antara lega bisa kembali ke sekolah dan gelisah menghadapi gosip yang mungkin beredar. Kepalanya sudah tidak pusing lagi, tapi memori tentang perhatian Ian kemarin masih terasa hangat di benaknya."Sudah merasa baikan, Non?" tanya Pak Mamad sambil menghentikan mobil di depan gedung sekolah."Sudah jauh lebih baik, Pak. Terima kasih," jawab Viera sambil tersenyum, lalu turun dari mobil dengan hati-hati.Belum sempat Viera melangkah jauh, suara familiar menyambutnya dengan penuh semangat. "Vieraaaa!" Renna dan Fanny berlari kecil menghampirinya, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran sekaligus kelegaan."Ya Ampun, loe benar-benar sudah sembuh?" tanya F