Baru saja Viera akan melangkah menuju parkiran, ponselnya berdering. Nama "Pak Mamad" tertera di layar.
"Halo, Pak Mamad? Kenapa belum sampai? Aku sudah di parkiran nih. Pak Mamad di mana?" tanya Viera langsung.
"Maaf, Non Viera. Saya harus menjemput Nyonya Tiara dulu. Ada urusan mendadak di tempat arisan. Ini saya sudah dalam perjalanan menuju lokasi Nyonya," jelas Pak Mamad dengan nada menyesal.
"Hah? Kok gitu sih, Pak? Mama kan bisa bawa mobil sendiri atau minta Pak Abdul aja yang nganter!" protesnya kesal. "Pak Mamad kan sopir khusus untukku!"
"Maaf, Non. Ini perintah langsung dari Nyonya Tiara..."
"Ya udah!" Viera memutus panggilan dengan kesal.
Di tempat parkir yang mulai sepi, Viera mengomel sendirian. "Mama tuh ya, selalu aja seenaknya. Pak Mamad kan sopir pribadiku. Kalau ada acara mendadak harusnya mama bawa mobil sendiri aja atau nyuruh Pak Abdul kan bisa!"
"Belum pulang?"
Suara dingin itu mengagetkan Viera. Ian berdiri tak jauh darinya, kunci mobil di tangannya.
"Pak Mamad harus jemput mama dulu," jawab Viera singkat.
"Oh." Ian hanya merespon seperti itu. "Kalau gitu saya pulang duluan."
Viera melongo melihat calon suaminya itu berjalan begitu saja menuju mobilnya. Mobil Innovasi hitam itu meluncur meninggalkan area parkir sekolah.
"Dasar pria tidak peka!" umpat Viera dalam hati. "Aku ini calon istrimu, tapi ditinggal begitu aja. Minimal nawarin pulang bareng kek! Payah banget sih jadi cowok."
Dengan kesal, Viera memutuskan untuk memesan taksi online. Baru saja akan memilih lokasi tujuan, seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Lho, Viera? Kok masih di sini?" sapa Felix. Dia sudah berganti pakaian, tidak lagi memakai seragam basket.
"Pak Mamad harus jemput mama dulu ke tempat arisan," jelas Viera. "Ini baru mau pesan taksi online."
"Taksi online?" Felix mengerutkan dahi. "Gak usah. Bareng aku aja. Kebetulan aku bawa motor hari ini."
"Eh, gak usah, Lix. Nanti ngerepotin..."
"Santai aja kali. Aku juga selalu bawa helm cadangan kok, siapa tahu aku harus mengantarmu pulang" Felix menunjuk motor sport Kawasaku hijau metalik yang terparkir tak jauh dari mereka berdua. "Lagian bahaya cewek cantik pulang sendirian sore-sore gini."
Viera tersipu mendengar kata 'cantik' yang meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Beneran gak papa?"
"Iya, udah yuk!" Felix menyerahkan helm cadangan pada Viera. "Rumah kamu masih di Emerald Valley Residence kan?"
Viera mengangguk sambil memakai helm. Felix sudah lebih dulu menaiki motornya.
"Pegangan yang erat ya," ujarnya sambil menstarter motor.
Sepanjang perjalanan, Vierau bisa mencium aroma maskulin dari tubuh Felix. Padahal dia baru saja selesai latihan basket, tapi wangi parfumnya masih tercium jelas. Sesekali dia mengajak Viera mengobrol, menanyakan aktivitasnya hari ini atau membahas pelajaran.
Tak terasa, mereka sudah sampai di depan rumah Viera. Ia turun dari motor dan mengembalikan helm pada Felix.
"Thanks ya, Lix. Kamu udah mau nganter aku pulang," ucap Viera tulus.
"No problem!" Felix tersenyum. "Besok jadi kan belajar bareng?"
"Jadi dong!"
"Oke, nanti aku chat ya. Masuk gih, udah sore."
Viera melambaikan tangan pada Felix yang mulai menjalankan motornya. Entah kenapa, ada perasaan hangat yang menyelimuti hatinya. Felix begitu perhatian dan gentle, sangat berbeda dengan Ian yang dingin dan kaku.
“Kenapa gue gak dijodohin sama loe aja sih, Lix. Pasti gue langsung menerima dengan sepenuh jiwa dan raga tanpa ada keraguan di dalam diri gue.” gumam Viera.
Tapi sekali lagi, Viera harus menepis perasaan ini. Viera dan Felix tidak akan pernah bisa bersama. Takdirnya adalah menikah dengan Ian, meski itu artinya ia harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
Viera melangkah gontai memasuki rumah mewah bergaya modern yang sudah ia tinggali sejak lahir. Rumah sebesar istana ini terasa begitu sepi. Papa Viera masih di kantor, sementara Mamanya entah sedang arisan di mana."Selamat sore, Non Viera," sapa Bi Suti yang sedang membersihkan ruang tamu."Sore, Bi," jawab Viera lesu."Mau Bi Suti buatkan minum atau cemilan?" tawar Bi Inah yang baru keluar dari dapur."Nanti aja, Bi. Aku mau mandi dulu."Di rumah ini, mereka hanya tinggal bertujuh. Viera, Papanya, Mamanya, dua pembantu setia mereka—Bi Suti dan Bi Inah—serta dua sopir, Pak Abdul dan Pak Mamad. Bi Suti dan Bi Inah mengurus segala keperluan rumah tangga, dari bersih-bersih hingga memasak.Pak Abdul sebenarnya sopir pribadi Papa Viera, tapi karena Papanya lebih suka menyetir sendiri mobil BMUU mewahnya, Pak Abdul lebih sering mengantar Mamanya. Sementara Pak Mamad khusus mengantar Viera ke sekolah atau kemanapun ia pergi.Sebenarnya, Viera sudah punya mobil sendiri, Lamborghina sport ke
Suara deru mobil memasuki salah satu rumah di Emerald Valley Residence. Mobil BMUU hitam itu berhenti tepat di depan pintu masuk rumah mewah itu. Tepat pukul enam malam, Papa Viera pulang dari kantornya. Saat hendak masuk, ia menoleh ke segala arah di ruang tamu.Biasanya, ada yang menyambutnya dengan ceria dan segera memeluknya saat masuk ke ruang tamu. Tapi, hari ini mengapa tidak ada suara ceria yang menyambutnya.Segera, Papa Viera bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Ia mengira bahwa Viera belum kembali dari sekolah.Malam itu, suasana ruang makan keluarga Viera terasa berbeda dari biasanya. Aroma masakan Bi Inah dan Bi Suti yang sedang menata hidangan di meja makan tidak mampu mencairkan ketegangan yang menyelimuti.Papa Viera yang baru selesai mandi dan berganti pakaian sudah duduk di kursinya, sementara Mama duduk di sampingnya dengan raut wajah cemas. Ia sudah mendengar cerita dari Istrinya itu tentang apa yang terjadi pada Viera."Non Vier
"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.Ding!Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix."Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar me
Jantung Viera seakan berhenti berdetak saat melihat Ian melangkah masuk ke dalam Kafe Kini Kopi. Yang membuat dirinya semakin kaget adalah kehadiran seorang wanita cantik di samping Ian.Wanita itu terlihat sangat anggun dengan blazer cream dan rok pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam legam tergerai rapi, make up-nya natural namun memancarkan kedewasaan yang membuat Viera merasa begitu kecil.Felix yang menyadari kehadiran Ian langsung berdiri. "Selamat pagi, Pak Ian," sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Ian.Mau tidak mau, Viera juga harus berdiri dan melakukan hal yang sama. "Selamat pagi, Pak," ucapnya pelan sambil mencium tangan calon suaminya itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat dari Felix dan semua orang di sekolahnya."Pagi, Felix… Viera," jawab Ian datar seperti biasa.Felix kemudian menyalami wanita yang bersama Ian. Viera mengikuti, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi tanda tanya. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat b
Viera kembali ke mejanya dengan langkah berat. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat pasi. Felix yang sedari tadi memperhatikan, langsung menyadari perubahan pada raut wajah gadis di hadapannya itu."Viera, kamu sakit? Kok pucat banget?" tanya Felix dengan nada khawatir.Viera hanya menggeleng lemah, tidak sanggup mengeluarkan suara. Pikirannya masih berkecamuk dengan kata-kata Ian yang begitu misterius.Felix menutup buku matematika di hadapannya. "Kayaknya kita udah kebanyakan belajar deh. Otakmu perlu refreshing," ia tersenyum hangat. "Gimana kalau kita nonton? Kebetulan ada film bagus yang baru rilis.""Boleh," jawab Viera cepat, terlalu cepat malah. Apa saja, asal bisa keluar dari kafe ini, menjauh dari Ian dan wanita misterius itu.Mereka bergegas membereskan buku-buku dan meninggalkan kafe. Viera bahkan tidak menoleh ke arah meja Ian saat mereka lewat. Di parkiran, Felix menyerahkan helm cadangan untuk Viera kenakan."Aku selalu bawa helm cadangan, just in case," Felix
Jalanan Kota yang macet membuat perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Ketika Viera akhirnya sampai di rumah, jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Gadis itu segera berlari ke kamarnya, membuka lemari dengan tergesa-gesa. Waktu yang tersisa hanya dua setengah jam sebelum makan malam dengan keluarga Ian."Ya ampun, kenapa harus mendadak sih?" gerutunya sambil memilah-milah gaun yang tergantung rapi di lemari.Setelah mandi secepat kilat, Viera berdiri di depan cermin, mengamati deretan gaun yang ia letakkan di atas tempat tidur. Tangannya terhenti pada sebuah gaun biru muda selutut dengan detail punggung terbuka yang simple namun elegan.Viera tersenyum puas—pilihannya sempurna untuk acara makan malam formal. Sepasang heels berwarna senada dengan tinggi 5 cm melengkapi penampilannya, memberikan kesan dewasa tanpa berlebihan.Di depan meja rias, Viera mulai menata rambutnya. Dengan telaten, ia mem-blow bagian ujung rambutnya hingga terlihat bervolume dan me
Mobil Ian berhenti di depan sebuah restoran mewah bergaya klasik Eropa. Lampu-lampu kristal yang menggantung di sepanjang pintu masuk memberikan kesan mewah dan elegan. Sebelum turun dari mobil, Ian menahan tangan Viera."Tunggu," ujarnya pelan. "Ingat apa yang kita latihan tadi?"Viera mengangguk lemah. "Bergandengan tangan...""Bagus. Ayo."Ian keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Viera—sebuah gestur yang membuat beberapa pengunjung restoran melirik ke arah mereka. Viera menarik napas dalam-dalam sebelum menyambut uluran tangan Ian. Jemari mereka bertaut, dan entah mengapa, kali ini terasa lebih natural dibanding di mobil tadi."Orang tuaku sudah menunggu di ruang VIP," Ian berbisik sambil menuntun Viera memasuki restoran.Seorang pelayan mengantar mereka ke lantai dua, menuju sebuah ruangan privat dengan pintu kayu berukir indah. Sebelum membuka pintu, Ian mengeratkan genggamannya pada tangan Viera."Kau siap?""Tidak," jawab Viera jujur. "Tapi apa kau peduli pada pilihanku
Ian tersadar lebih dulu. Ia berdehem pelan dan segera menarik diri, kembali ke posisi normalnya di belakang kemudi. Tanpa berkata apa-apa, ia menjalankan mobil, membelah keheningan malam Jakarta.Viera merasakan jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Selama 17 tahun hidupnya, tak pernah ada laki-laki yang berada sedekat itu dengannya—bahkan Felix sekalipun. Ia mencuri pandang ke arah Ian yang tetap fokus menyetir dengan wajah datarnya yang biasa.'Bagaimana dia bisa setenang itu?' batin Viera kesal, tangannya meremas ujung gaunnya.Perjalanan pulang dilalui dalam diam. Tidak ada obrolan, tidak ada gandengan tangan seperti tadi—hanya suara mesin mobil dan degup jantung Viera yang entah mengapa tak kunjung normal.Pukul setengah sepuluh, mobil Ian a
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa, ujian akhir hampir tiba. Viera dan teman-temannya tenggelam dalam buku-buku pelajaran dan kertas-kertas latihan. Kafe-kafe di sekitar sekolah penuh dengan siswa kelas dua belas yang belajar kelompok, menyesap kopi berlebihan, dan saling bertukar rumus dan catatan."Aku tidak bisa mengingat semua rumus ini," keluh Fanny, menutup buku fisikanya dengan frustasi. "Terlalu banyak.""Buat diagram dulu," saran Renna, yang dengan tenang membuat kartu-kartu kecil berisi poin-poin penting. "Lebih mudah mengingat secara visual."Viera mengangguk, tapi matanya terasa berat. Dia sudah belajar sejak pagi, dan hari sudah menjelang sore. Cangkir kopi ketiganya nyaris kosong."Kalian tahu," Viera berkata sambil meregangkan tubuhnya, "Ian sebenarnya punya metode bagus untuk mengingat rumus-rumus."Ada keheningan canggung sejenak sebelum Fanny tertawa kecil. "Viera, loe gak mau tanya gitu metode tunanganmu buat mengingat rumus?"Viera memutar matanya, tapi tidak
Seminggu berlalu dengan cepat. Viera dan Felix tetap pergi ke open house fakultas komunikasi, tapi suasananya tidak sama lagi. Ada jarak yang tidak terkatakan di antara mereka—sebuah tembok transparan yang tidak bisa ditembus oleh candaan atau obrolan ringan."Ini laboratorium multimedia mereka," Felix menjelaskan sambil menunjuk sebuah ruangan besar dengan peralatan canggih. "Katanya mahasiswa bisa menggunakannya untuk proyek-proyek mereka."Viera mengangguk, matanya berbinar melihat fasilitas kampus yang luar biasa. "Ini keren sekali. Aku bisa membayangkan berkuliah di sini."Felix tersenyum tipis, untuk pertama kalinya hari itu. "Kamu akan cocok di sini, Viera. Kamu selalu punya bakat bercerita."Ada ketulusan dalam kata-kata Felix yang membuat Viera merasa sedikit lebih baik. Mungkin persahabatan mereka tidak hancur sepenuhnya—hanya membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan realitas baru."Terima kasih, Felix," Viera tersenyum tulus. "Sungguh, terima kasih untuk semuanya."
Malam itu, Viera tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar antara Ian, Felix, dan masa depannya yang semakin kompleks. Dia mengambil ponselnya, memeriksa pesan terakhir dari Ian. Ada kehangatan aneh yang muncul saat membaca kembali percakapan mereka—percakapan yang jauh dari romantis, tapi penuh dengan kejujuran dan pengertian."Aku bingung, Ian," Viera akhirnya mengetik pesan baru. "Bagaimana menurutmu cara terbaik untuk memberitahu teman-temanku yang lain tentang... kita?"Balasan Ian tidak langsung datang. Viera membayangkan pemuda itu mungkin sedang bekerja atau bahkan sudah tidur. Tapi lima menit kemudian, ponselnya bergetar."Apa yang membuatmu tidak tenang, Viera?"Viera tersenyum kecil. Lagi-lagi, Ian dan kebiasaannya untuk langsung ke inti masalah."Felix, dia mengundangku ke open house fakultas komunikasi. Aku hampir saja keceplosan menyebut namamu. Dan... aku merasa... usaha Felix mendekatiku semakin besar."Ada jeda lama sebelum Ian membalas. Viera hampir bisa merasakan
Semakin malam, percakapan mereka semakin dalam. Ian bercerita tentang tekanan yang dirasakannya sebagai putra tunggal, tentang bagaimana dia kadang merasa terjebak dalam ekspektasi keluarga. Viera membagikan kekhawatirannya tentang masa depan, tentang mimpinya yang kadang terasa terlalu besar untuk diwujudkan."Kadang aku bertanya-tanya bagaimana rasanya hidup tanpa rencana yang sudah diatur," tulis Ian di suatu titik. "Bebas memilih jalan sendiri.""Aku juga," balas Viera. "Tapi mungkin tidak ada yang benar-benar bebas? Semua orang punya batasan dan tantangannya masing-masing.""Bijaksana sekali untuk gadis tujuh belas tahun," balas Ian, dan Viera bisa membayangkan senyum kecil di wajahnya saat mengetik itu."Aku hampir delapan belas, tau," Viera membalas, tersenyum pada dirinya sendiri. "Lagipula, umur hanya angka.""Memang. Tapi pengalaman bukan sekadar angka."Ada kebenaran dalam kata-kata Ian yang tidak bisa Viera bantah. Meski merasa dewasa dan siap menghadapi dunia, dia tau bah
"Apa... apa yang membuat Mama akhirnya mencintai Papa?" tanyanya penasaran.Mama terlihat melamun sejenak, matanya menerawang ke masa lalu. Ada senyum kecil yang bermain di sudut bibirnya."Kesabaran," Mama akhirnya menjawab. "Papa sangat sabar. Dia tidak pernah memaksa Mama untuk mencintainya, tapi dia selalu ada. Selalu mendukung. Dan, ya, dia ternyata sangat romantis dengan caranya sendiri."Viera tersenyum, membayangkan Papanya yang selalu terlihat tegas dan disiplin bisa bersikap romantis. "Romantis bagaimana, Ma?""Ah, banyak hal kecil. Mengingat tanggal-tanggal penting, memperhatikan apa yang Mama suka dan tidak suka, selalu membawakan oleh-oleh ketika pulang kerja..." Mama terkekeh. "Yang paling Mama ingat, saat Mama sakit, Papa rela tidak tidur semalaman hanya untuk mengompres Mama. Padahal besoknya dia ada rapat penting."Ada kehangatan yang menyebar di dada Viera mendengar cerita itu. Mungkinkah dia dan Ian juga bisa membangun kedekatan seperti itu suatu hari nanti?"Ma, me
"Kita bisa mencobanya," Viera berbisik. "Melanjutkan rencana pernikahan, tapi dengan catatan kita akan saling terbuka, saling mendukung karier dan mimpi masing-masing." Ian tersenyum, "Bukan sekadar merger bisnis, tapi partnership sejati." Keputusan itu tidak datang dengan drama atau ledakan emosi. Justru sebaliknya—dengan ketenangan dan pengertian yang mendalam. Mereka memutuskan untuk tetap melanjutkan pernikahan, tapi dengan komitmen untuk selalu berkomunikasi, untuk selalu memberikan ruang bagi pertumbuhan masing-masing. Ketika Viera pulang ke rumah malam itu, ada ketenangan aneh yang menyelimutinya. Mama—yang sepertinya selalu bisa membaca gerak-gerik putrinya—menunggu di ruang keluarga. "Bagaimana?" tanya Mama langsung, tanpa basa-basi. Viera duduk di samping Mama, merasa letih namun tenang. "Viera dan Ian memutuskan untuk tetap melanjutkan pernikahan." Mata Mama berbinar penuh tanya. "Coba sini cerita sama Mama." Dan Viera menceritakan semuanya—percakapan dengan Ian, ket
Kata itu—cinta—terasa berat dan asing di antara mereka. Ian tampak tidak nyaman, jari-jarinya mengetuk pelan sisi cangkir kopinya. "Cinta itu... rumit, Viera," dia akhirnya menjawab diplomatik. "Aku menyayangimu, menghormatimu. Aku yakin kita bisa membangun kehidupan yang baik bersama. Bukankah itu bentuk cinta juga?" Ada kejujuran dalam kata-kata Ian yang membuat hati Viera terasa sakit sekaligus lega. Setidaknya Ian tidak berpura-pura merasakan sesuatu yang tidak dia rasakan. "Mungkin," Viera menjawab pelan. "Tapi apakah itu cukup untuk kita? Apa kamu tidak pernah bertanya-tanya bagaimana rasanya... jatuh cinta? Benar-benar jatuh cinta?" Ian menghela napas panjang, untuk pertama kalinya topeng profesionalnya sedikit retak. "Tentu saja aku pernah. Aku bukan robot, Viera." "Lalu? Apa kamu tidak ingin merasakan itu sebelum berkomitmen untuk seumur hidup?" "Tidak semua orang punya kemewahan itu," Ian menjawab, ada nada getir dalam suaranya. "Kita punya tanggung jawab, kita punya ek
setidaknya mencoba belajar, karena pikirannya terus melayang ke pertemuan sore nanti. Jam demi jam berlalu dengan lambat, hingga akhirnya jam di ponselnya menunjukkan pukul 3:30 sore. Viera berdiri di depan cermin, memandang refleksi dirinya. Gadis tujuh belas tahun yang berdiri di persimpangan hidup. Dia mengenakan gaun biru muda sederhana. "Kamu siap?" Mama bertanya dari ambang pintu. Viera berbalik, tersenyum tipis. "Entahlah, Ma. Viera bahkan tidak tau apa yang akan Viera katakan pada Ian." Mama menghampirinya, merapikan rambut Viera yang sedikit berantakan. "Katakan yang ada di hatimu, sayang. Dengan jujur, tapi juga dengan bijak." "Dan jika itu melukai banyak orang?" "Kadang kita harus melukai beberapa orang untuk menghindari luka yang lebih besar di masa depan," Mama menjawab bijak. "Lebih baik jujur sekarang daripada hidup dalam kebohongan seumur hidup." Viera mengangguk, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Terima kasih, Ma." Dengan hati yang ma
"Viera?" Suara Mama terdengar dari balik pintu, diikuti ketukan lembut. "Kamu sudah bangun? Sarapan sudah siap.""Iya, Ma. Sebentar lagi Viera turun," jawabnya, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi.Di meja makan, suasana terasa lebih hening dari biasanya. Papa sibuk dengan tabletnya, sesekali mengerutkan dahi membaca berita pagi. Mama dengan telaten menuangkan teh ke cangkir Papa sebelum duduk di sampingnya. Rutinitas pagi yang begitu familiar bagi Viera, namun entah mengapa pagi ini terasa berbeda."Viera akan bertemu Ian sore ini," Viera berkata pelan setelah menyesap susu hangatnya.Papa mengalihkan pandangan dari tabletnya. "Oh? Ada acara apa?""Tidak ada acara khusus," Viera menjawab, mengaduk-aduk bubur di mangkuknya tanpa nafsu. "Hanya... ingin bicara.""Tentang pernikahan?" tanya Papa, ekspresinya cerah. "Bagus. Kalian memang perlu lebih banyak waktu berdua untuk membicarakan detail-detail penting."Viera mengangguk lemah, tidak mengoreksi asumsi Papa. Ekor matan