BAB 3 - Keresahan

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Viera menghela napas panjang sambil membereskan buku-buku di atas meja. Renna dan Fanny sudah pamit duluan karena ada les piano dan les bahasa Mandarin. Dengan langkah gontai, Viera berjalan menuju ruang guru.

Suasana ruang guru sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa guru yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Viera menuju meja Ian yang terletak di pojok ruangan. Dia sedang serius memandangi layar laptop.

"Permisi, Pak," sapa Viera pelan.

Ian mengalihkan pandangannya dari laptop. "Duduk," perintahnya singkat sambil menunjuk kursi di depan mejanya.

Viera duduk dengan canggung. Ian mengambil beberapa lembar kertas dari map berwarna biru. Kertas-kertas itu adalah hasil ulangan matematika kelas kami minggu lalu.

"Lihat nilai kamu," Ian menyodorkan kertas ulangan Viera. Angka merah besar tertera di sudut kanan atas. 45. "Ini sudah yang keberapa kalinya kamu dapat nilai di bawah KKM?"

"Maaf, Pak..." hanya itu yang bisa Viera ucapkan.

"Kamu ini sudah kelas 12. Tahun depan ada ujian kelulusan. Kalau nilai matematika kamu terus-terusan seperti ini, saya khawatir kamu tidak bisa lulus dengan nilai yang bagus."

Viera mengangguk lemah. Memang benar, matematika adalah kelemahannyau sejak dulu. Tapi entah kenapa, semenjak tahu akan dijodohkan dengan Ian, nilai matematikanya malah semakin anjlok.

"Kamu harus lebih sering belajar. Jangan hanya mengandalkan les privat. Di kelas juga harus fokus," Ian terus berbicara dengan nada monotonnya yang khas.

Pikiran Viera melayang pada pertemuan lalu dengan keluarga Ian. Saat itu, dengan santainya dia menyetujui perjodohan ini tanpa mempertimbangkan perasaan Viera. Seolah-olah pernikahan hanya sebuah transaksi bisnis. Sejak saat itu, sikap Ian pada Viera di sekolah malah semakin dingin.

"Xaviera?" panggilan Ian membuyarkan lamunan Viera. "Kamu mendengarkan apa yang saya jelaskan?"

"I-iya, Pak. Saya mengerti."

"Kalau begitu coba jelaskan kembali apa yang saya katakan tadi."

Viera terdiam. Jelas ia tidak mendengarkan penjelasannya karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

Ian menghela napas. "Fokus, Viera. Jangan melamun terus. Mulai minggu depan, saya akan memberikan soal tambahan untukmu. Kerjakan dengan serius."

"Baik, Pak," jawab Vierra lesu.

Setelah mendapat 'ceramah' selama hampir satu jam, akhirnya Viera diperbolehkan keluar dari ruang guru. Rasanya seperti baru saja ia menjalani interogasi. “Kenapa dia tidak bisa bersikap lebih lembut? Bukankah sebentar lagi kami akan menikah? Aku ini calon istrimu.” Gumamnya.

Saat berjalan kembali ke kelas untuk mengambil tas, Viera melihat Felix sedang berdiri di depan loker. Dia masih mengenakan seragam basket, sepertinya baru selesai latihan. Rambut hitamnya yang basah oleh keringat justru membuatnya terlihat semakin tampan.

"Hey, Viera!" sapanya dengan senyum menawan. "Baru selesai konsultasi sama Pak Ian?"

"Iya, nih. Nilai matematikaku jelek lagi," jawab Viera sambil tersenyum kecut.

"Mau aku ajarin? Kebetulan besok weekend. Kita bisa belajar bareng di perpustakaan kota."

Tawaran yang menggiurkan. Felix memang terkenal pintar dalam semua mata pelajaran, termasuk matematika. Dia selalu masuk lima besar paralel. Selain itu, dia juga kapten tim basket sekolah. Tidak heran kalau banyak siswi yang naksir padanya.

Viera dan Felix memang cukup dekat sejak sekelas di kelas 12 ini. Felix sering membantunya mengerjakan PR atau meminjamkan catatan. Kadang mereka juga mengobrol santai di kantin atau perpustakaan. Banyak yang mengira mereka pacaran, padahal hubungan mereka murni pertemanan.

"Boleh juga tuh. Thanks ya, Lix. Kamu emang yang terbaik!" ucap Viera tulus.

Felix mengacak rambutnya pelan. "Anything for you, Viera."

Entah kenapa, gesture sederhana itu membuat jantung Viera berdebar. Ia buru-buru menepis perasaan aneh yang mulai muncul. “Tidak, aku tidak boleh punya perasaan pada Felix. Sebentar lagi aku akan menikah dengan Ian, meskipun itu bukan keinginanku.”

"Aku duluan ya, Lix. Pak Mamad udah nunggu di parkiran," pamit Viera.

"Oke. Hati-hati ya. Besok aku chat soal jadwal belajar barengnya."

Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, Viera tidak bisa berhenti memikirkan Felix. Andai saja ia dijodohkan dengan orang seperti Felix, mungkin Viera tidak akan sekesal ini. Tapi takdir berkata lain. Ia harus menikah dengan guru matematika yang bahkan tidak pernah menunjukkan sedikitpun kehangatan padanya.