Xaviera Hanske, termasuk murid paling beruntung di High International School (HIS). Setiap hari, ia diantar oleh sopir pribadinya, Pak Mamad, menggunakan mobil Alvard putih keluaran terbaru yang baru saja dibeli oleh Papanya.
"Pak Mamad, tolong parkir dekat pintu masuk ya," perintah Viera sambil merapikan rambutnya di cermin mobil.
Pak Mamad tersenyum, "Baik, Nona Viera."
Saat turun dari mobil Alvard putih keluaran terbaru, Viera langsung disambut oleh sahabatnya, Renna dan Fanny.
"Hai, teman-teman akuuu!" sapa Viera riang.
Renna tertawa, "Mobil barumu lagi-lagi bikin iri nih!"
Fanny menimpali, "Kalian ini selalu saja begitu. Kita kan sama-sama punya mobil bagus."
"Bukan soal mobil, tapi gaya hidupnya!" Renna mencubit lengan Fanny. Mereka bertiga tertawa.
Saat ini, Viera duduk di bangku kelas 12 SMA. Ia bersahabat dengan dua orang gadis cantik bernama Renna Rennatta dan Fanny Winata. Mereka bertiga bersahabat sejak masuk sekolah ini.
Renna dan Fanny juga terlahir dari keluarga kaya raya. Ayah Renna adalah seorang CEO di perusahaan IT, sedangkan Ayah Fanny adalah CEO di perusahaan pariwisata. Keluarga mereka cukup akrab, Papa Viera, Papa Renna, dan Papa Fanny sering berkumpul membicarakan bisnis.
Papa Viera, pemilik bisnis IT yang cukup terkenal di Jakarta, dan cukup berkembang pesat. Sedangkan Mamanya, memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, meskipun begitu ia tetap menjadi sosialita kelas atas dan bersahabat dengan Mama Renna dan Mama Fanny.
***
“Bestie, gue udah laper nih.” ucapa Viera pada Renna dan Fanny. Mereka sedang duduk di bangku masing-masing.
“Perut doang yang loe pikirin.” Ujar Renna sambil menjitak pelan kepala Viera.
“Iya nih. loe tuh ya. Makan paling banyak, tapi badan loe gak bisa gemuk. Cacingan loe ya?” ejek Fanny.
“Gak tau, nih. Kayaknya gue lagi stres deh akhir-akhir ini. Makanya gampang laper.” kata Viera sambil mengelus kepala yang dijitak Renna.
Renna memegang pundaknya “Loe tuh stres mikirin apa sih, Ra? Bokap loe kaya raya sejagad raya. Tapi loe masih bisa stres. Kayaknya ada yang gak beres deh sama kepala loe.”
Viera memutuskan untuk merahasiakan perjodohannya dengan Ian. Ia tidak ingin sahabatnya tahu soal ini. “Mungkin karena kita udah masuk kelas 12 kali, ya. Jadi gue parno sama kelulusan nanti.”
“Halah, kita belum ada 1 semester, Ra. Udah bingung aja loe.” ucap Fanny.
“Pak Ian selalu kasih nilai jelek ke gue. Kayaknya dia punya dendam ke gue deh. Gue takut nanti nilai gue jelek pas lulus.” ujar Viera kesal.
“Itu loe nya aja yang bego, Ra. Meskipun Pak Ian killer, tapi gue selalu terpesona dengan ketampanannya yang hakiki. Muda, tampan, pinter. Idaman banget deh pokoknya.” Renna nunjukin muka genitnya ke Viera dan Fanny.
“Najis banget sih loe, Ren. Gak ada tampan-tampannya itu orang. Di bawah standar malah.” ujar Vera geregetan dengan Renna.
“Heh, Ra. Kayaknya mata loe minusnya udah parah, deh. Orang tampan kayak oppa-oppa Korea gitu dibilang di bawah standar.” tambah Fanny.
“Loe gak tau aja sih sifat aslinya.” Viera hampir saja keceplosan.
“Emang loe tau?” ucap Renna dan Fanny bebarengan
Viera menghela napas panjang, tak ingin menjawab pertanyaan kedua sahabatnya itu. Memang benar, Viera tahu sifat asli Ian lebih dari siapapun di sekolah ini. Tapi bagaimana mungkin Viera bisa cerita pada mereka kalau ia dijodohkan dengan guru matematika yang terkenal killer itu?
"Ya gue tau lah. Dia kan sering banget marahin gue di kelas. Udah gitu, nilai gue selalu dia kasih yang paling rendah. Padahal jawaban gue gak beda jauh sama yang lain," Viera berkilah sambil memainkan pensil di tangan.
"Iya sih, Ra. Gue notice juga dia emang suka banget nyindir-nyindir loe di kelas," ucap Fanny sambil menopang dagu. "Tapi ya wajar aja kali. Loe emang paling payah di matematika."
Renna mengangguk setuju. "Betul banget tuh. Lagian ya Ra, mungkin aja dia perhatian sama loe makanya keras sama loe. Biar loe lebih giat belajar gitu."
Viera bergumam di dalam hatinya, "Perhatian? Ya ampun, kalau mereka tahu yang sebenarnya. Ian memang perhatian, tapi bukan dalam konteks guru-murid seperti yang mereka bayangkan. Sejak Papa mengumumkan perjodohan kami seminggu lalu, hidupku berubah 180 derajat."
"Udah deh, jangan bahas dia mulu. Gue laper nih. Ke kantin yuk!" ajak Viera mengalihkan pembicaraan.
Mereka bertiga berjalan menuju kantin sambil bergosip tentang hal-hal random. Sepanjang koridor, beberapa siswa menyapa mereka dengan ramah. Maklum, mereka bertiga memang terkenal sebagai trio populer di sekolah. Selain karena latar belakang keluarga mereka yang sama-sama dari kalangan atas, mereka juga aktif dalam berbagai kegiatan sekolah.
Tiba-tiba langkah Viera terhenti saat melihat sosok yang paling ingin ia hindari akhir-akhir ini. Ian sedang berjalan dari arah berlawanan, membawa setumpuk berkas di tangannya. Jantung Viera langsung berdegup kencang.
"Selamat siang, Pak Ian!" sapa Renna dengan nada centil yang membuat Viera mual.
Ian tersenyum tipis. "Siang." Matanya kemudian beralih pada Viera. "Viera, nanti sepulang sekolah ke ruangan saya. Ada yang perlu dibicarakan soal nilai ulangan minggu lalu."
Viera mengangguk lemah. "Baik, Pak."
Setelah Ian berlalu, Renna langsung mencubit lengan Viera. "Ciee yang disuruh ke ruangan guru ganteng!"
"Apaan sih!" protes Viera kesal.
"Jangan-jangan dia naksir loe lagi, Ra," goda Fanny.
Kalau saja mereka tahu bahwa setelah lulus nanti, guru yang mereka bilang ganteng itu akan menjadi suami Viera. Ya, Papa dan Mama Ian ternyata adalah sahabat lama Papa-Mama Viera. Mereka sudah merencanakan perjodohan ini sejak lama, tapi baru mengumumkannya seminggu lalu.
Di kantin, Viera berusaha menikmati makanannya sambil mendengarkan celotehan Renna dan Fanny. Tapi pikirannya melayang pada pertemuan nanti sore dengan Ian. Apa lagi yang akan Ian bicarakan? Viera merasa sudah cukup stress dengan situasi ini.
"Ra, loe kenapa sih? Dari tadi bengong mulu," tegur Fanny.
"Gak papa kok. Cuma kepikiran nilai ulangan aja," dusta Viera.
"Tenang aja kali. Paling-paling dia cuma mau ngasih les tambahan. Lumayan kan bisa berduaan sama guru ganteng," goda Renna lagi.
"Menurut loe, apa sih yang mau dibahas Pak Ian nanti?" gumam Viera lebih pada dirinya sendiri.
Renna mendengar, "Mungkin dia mau bantuin loe, Ra. Loe kan sering dapat nilai jelek di pelajaran matematika."
"Bener juga sih," balas Viera sarkastis.
Viera hanya bisa tersenyum kecut. Andai mereka tahu bahwa setiap pertemuan pribadinya dengan Ian selalu berakhir dengan perdebatan. Ian memang tampan dan pintar, tapi sikapnya yang dingin dan kaku membuat Viera frustasi. Bagaimana mungkin Viera bisa menikah dengan orang seperti itu?
Bel masuk berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Mereka bertiga kembali ke kelas, tapi pikiran Viera masih dipenuhi bayangan pertemuan nanti sore dengan Ian. Sepertinya, hari-hari Viera ke depan akan semakin rumit.
Dalam hati, Viera bertanya-tanya, "Bagaimana aku bisa menikah dengan orang seperti dia? Tidakkah orangtuaku sadar betapa tidak cocoknya kami?"
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Viera menghela napas panjang sambil membereskan buku-buku di atas meja. Renna dan Fanny sudah pamit duluan karena ada les piano dan les bahasa Mandarin. Dengan langkah gontai, Viera berjalan menuju ruang guru.Suasana ruang guru sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa guru yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Viera menuju meja Ian yang terletak di pojok ruangan. Dia sedang serius memandangi layar laptop."Permisi, Pak," sapa Viera pelan.Ian mengalihkan pandangannya dari laptop. "Duduk," perintahnya singkat sambil menunjuk kursi di depan mejanya.Viera duduk dengan canggung. Ian mengambil beberapa lembar kertas dari map berwarna biru. Kertas-kertas itu adalah hasil ulangan matematika kelas kami minggu lalu."Lihat nilai kamu," Ian menyodorkan kertas ulangan Viera. Angka merah besar tertera di sudut kanan atas. 45. "Ini sudah yang keberapa kalinya kamu dapat nilai di bawah KKM?""Maaf, Pak..." hanya itu yang bisa Viera ucapkan."Kamu ini sudah kel
Baru saja Viera akan melangkah menuju parkiran, ponselnya berdering. Nama "Pak Mamad" tertera di layar."Halo, Pak Mamad? Kenapa belum sampai? Aku sudah di parkiran nih. Pak Mamad di mana?" tanya Viera langsung."Maaf, Non Viera. Saya harus menjemput Nyonya Tiara dulu. Ada urusan mendadak di tempat arisan. Ini saya sudah dalam perjalanan menuju lokasi Nyonya," jelas Pak Mamad dengan nada menyesal."Hah? Kok gitu sih, Pak? Mama kan bisa bawa mobil sendiri atau minta Pak Abdul aja yang nganter!" protesnya kesal. "Pak Mamad kan sopir khusus untukku!""Maaf, Non. Ini perintah langsung dari Nyonya Tiara...""Ya udah!" Viera memutus panggilan dengan kesal.Di tempat parkir yang mulai sepi, Viera mengomel sendirian. "Mama tuh ya, selalu aja seenaknya. Pak Mamad kan sopir pribadiku. Kalau ada acara mendadak harusnya mama bawa mobil sendiri aja atau nyuruh Pak Abdul kan bisa!""Belum pulang?"Suara dingin itu mengagetkan Viera. Ian berdiri tak jauh darinya, kunci mobil di tangannya."Pak Mamad
Viera melangkah gontai memasuki rumah mewah bergaya modern yang sudah ia tinggali sejak lahir. Rumah sebesar istana ini terasa begitu sepi. Papa Viera masih di kantor, sementara Mamanya entah sedang arisan di mana."Selamat sore, Non Viera," sapa Bi Suti yang sedang membersihkan ruang tamu."Sore, Bi," jawab Viera lesu."Mau Bi Suti buatkan minum atau cemilan?" tawar Bi Inah yang baru keluar dari dapur."Nanti aja, Bi. Aku mau mandi dulu."Di rumah ini, mereka hanya tinggal bertujuh. Viera, Papanya, Mamanya, dua pembantu setia mereka—Bi Suti dan Bi Inah—serta dua sopir, Pak Abdul dan Pak Mamad. Bi Suti dan Bi Inah mengurus segala keperluan rumah tangga, dari bersih-bersih hingga memasak.Pak Abdul sebenarnya sopir pribadi Papa Viera, tapi karena Papanya lebih suka menyetir sendiri mobil BMUU mewahnya, Pak Abdul lebih sering mengantar Mamanya. Sementara Pak Mamad khusus mengantar Viera ke sekolah atau kemanapun ia pergi.Sebenarnya, Viera sudah punya mobil sendiri, Lamborghina sport ke
Suara deru mobil memasuki salah satu rumah di Emerald Valley Residence. Mobil BMUU hitam itu berhenti tepat di depan pintu masuk rumah mewah itu. Tepat pukul enam malam, Papa Viera pulang dari kantornya. Saat hendak masuk, ia menoleh ke segala arah di ruang tamu.Biasanya, ada yang menyambutnya dengan ceria dan segera memeluknya saat masuk ke ruang tamu. Tapi, hari ini mengapa tidak ada suara ceria yang menyambutnya.Segera, Papa Viera bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Ia mengira bahwa Viera belum kembali dari sekolah.Malam itu, suasana ruang makan keluarga Viera terasa berbeda dari biasanya. Aroma masakan Bi Inah dan Bi Suti yang sedang menata hidangan di meja makan tidak mampu mencairkan ketegangan yang menyelimuti.Papa Viera yang baru selesai mandi dan berganti pakaian sudah duduk di kursinya, sementara Mama duduk di sampingnya dengan raut wajah cemas. Ia sudah mendengar cerita dari Istrinya itu tentang apa yang terjadi pada Viera."Non Vier
"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.Ding!Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix."Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar me
Jantung Viera seakan berhenti berdetak saat melihat Ian melangkah masuk ke dalam Kafe Kini Kopi. Yang membuat dirinya semakin kaget adalah kehadiran seorang wanita cantik di samping Ian.Wanita itu terlihat sangat anggun dengan blazer cream dan rok pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam legam tergerai rapi, make up-nya natural namun memancarkan kedewasaan yang membuat Viera merasa begitu kecil.Felix yang menyadari kehadiran Ian langsung berdiri. "Selamat pagi, Pak Ian," sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Ian.Mau tidak mau, Viera juga harus berdiri dan melakukan hal yang sama. "Selamat pagi, Pak," ucapnya pelan sambil mencium tangan calon suaminya itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat dari Felix dan semua orang di sekolahnya."Pagi, Felix… Viera," jawab Ian datar seperti biasa.Felix kemudian menyalami wanita yang bersama Ian. Viera mengikuti, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi tanda tanya. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat b
Viera kembali ke mejanya dengan langkah berat. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat pasi. Felix yang sedari tadi memperhatikan, langsung menyadari perubahan pada raut wajah gadis di hadapannya itu."Viera, kamu sakit? Kok pucat banget?" tanya Felix dengan nada khawatir.Viera hanya menggeleng lemah, tidak sanggup mengeluarkan suara. Pikirannya masih berkecamuk dengan kata-kata Ian yang begitu misterius.Felix menutup buku matematika di hadapannya. "Kayaknya kita udah kebanyakan belajar deh. Otakmu perlu refreshing," ia tersenyum hangat. "Gimana kalau kita nonton? Kebetulan ada film bagus yang baru rilis.""Boleh," jawab Viera cepat, terlalu cepat malah. Apa saja, asal bisa keluar dari kafe ini, menjauh dari Ian dan wanita misterius itu.Mereka bergegas membereskan buku-buku dan meninggalkan kafe. Viera bahkan tidak menoleh ke arah meja Ian saat mereka lewat. Di parkiran, Felix menyerahkan helm cadangan untuk Viera kenakan."Aku selalu bawa helm cadangan, just in case," Felix
Jalanan Kota yang macet membuat perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Ketika Viera akhirnya sampai di rumah, jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Gadis itu segera berlari ke kamarnya, membuka lemari dengan tergesa-gesa. Waktu yang tersisa hanya dua setengah jam sebelum makan malam dengan keluarga Ian."Ya ampun, kenapa harus mendadak sih?" gerutunya sambil memilah-milah gaun yang tergantung rapi di lemari.Setelah mandi secepat kilat, Viera berdiri di depan cermin, mengamati deretan gaun yang ia letakkan di atas tempat tidur. Tangannya terhenti pada sebuah gaun biru muda selutut dengan detail punggung terbuka yang simple namun elegan.Viera tersenyum puas—pilihannya sempurna untuk acara makan malam formal. Sepasang heels berwarna senada dengan tinggi 5 cm melengkapi penampilannya, memberikan kesan dewasa tanpa berlebihan.Di depan meja rias, Viera mulai menata rambutnya. Dengan telaten, ia mem-blow bagian ujung rambutnya hingga terlihat bervolume dan me
"Jadi..." Ian memecah keheningan setelah tawa mereka mereda. "Kamu masih marah sama aku?"Viera menghela napas panjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan setelah bangun tidur. "Menurut Tuan Ian bagaimana?""Aku tau aku salah," Ian bergeser sedikit lebih dekat. "Aku harusnya percaya sama kamu. Harusnya aku nggak langsung marah-marah waktu itu.""Kamu tau nggak sih rasanya dituduh nyontek?" Viera menatap Ian dengan mata berkaca-kaca. "Apalagi sama orang terdekat. Aku kira kamu yang paling tau aku kayak gimana."Ian mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Viera dengan lembut. "Iya, aku tau. Makanya aku minta maaf. Aku... aku cuma takut dengan masa depanmu.""Maksudnya?""
Setelah kepulangan Mama, Viera kembali ke kelasnya dengan perasaan lebih ringan. Renna dan Fanny yang sudah menunggunya langsung menghampiri. Dengan suara pelan, Viera menceritakan semua yang terjadi di ruang kepala sekolah, termasuk pengakuan Pak Karyo tentang keterlibatan Reggina."Tuh kan, gue bilang juga apa," Renna memeluk Viera erat. "Loe nggak mungkin ngelakuin hal kayak itu."Fanny ikut memeluk dari sisi lain. "Kita selalu percaya sama loe, Ra. Tapi ngomong-ngomong, Reggina nggak masuk hari ini.""Mungkin dia udah tau kalo bakal ketahuan," Felix tiba-tiba muncul dan bergabung dalam pembicaraan. "Aku juga nggak pernah percaya kalo kamu nyontek, Ra. Nggak masuk akal aja."Meski kebenaran sudah terungkap, Viera masih bisa mendengar bisik-bisik di sekitarnya. Beberap
"Dan kalau kita lihat rekaman hari berikutnya..." Mama meminta staf IT memindahkan ke rekaman hari selanjutnya. "Reggina memberikan amplop pada Pak Karyo."Wajah Pak Darto memucat. Tanpa diminta, ia segera menelepon Pak Karyo.Beberapa menit kemudian, Pak Karyo masuk ke ruangan dengan wajah tertunduk, kedua tangannya saling meremas dengan gugup."Pak Karyo," Pak Darto memulai dengan suara tegas, "bisa jelaskan kenapa Reggina memberikan amplop kepada Bapak?"Pak Karyo terdiam sejenak, keringat mulai membasahi dahinya. "Sa-saya..." suaranya bergetar."Pak Karyo," Mama Viera berkata lembut, ada empati dalam suaranya, "tolong ceritakan yang sebenarnya. Ini menyangkut masa depan anak-anak."
Pagi itu, Viera dan Mamanya berjalan beriringan memasuki gedung sekolah. Langkah mereka mantap menuju ruang guru, meskipun jantung Viera berdegup kencang.Di sepanjang koridor, beberapa siswa berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Viera bisa mendengar samar-samar nama Reggina dan Ian disebut-sebut. Ia menundukkan kepala, mencoba mengabaikan tatapan menghakimi dari teman-temannya. Mama yang menyadari hal itu langsung menggenggam tangannya erat, memberinya kekuatan."Kamu tidak sendirian," bisik Mama sambil tersenyum meyakinkan.Viera membalas genggaman tangan Mamanya. Dalam hati, ia bersyukur memiliki ibu yang selalu mendukungnya. Bahkan di saat-saat terberatnya seperti ini."Selamat pagi, Bu," sapa Pak Darto begitu mereka memasuki ruangannya. "Silakan duduk."
Di dalam mobil, Viera memandang kosong ke luar jendela. Matanya masih terasa panas setelah dimarahi Pak Darto. Getaran ponsel di sakunya membuat ia tersentak - nama Ian muncul di layar."Halo," Viera menjawab dengan suara pelan."Aku dengar kamu mencontek saat try out Kimia," suara Ian terdengar dingin, lebih dingin dari biasanya."Ian, aku tidak—""Kenapa?" potong Ian. "Kenapa kau melakukan hal yang paling aku benci, Viera?""Aku tidak mencontek!" Viera berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh Pak Mamad. "Aku yakin ini perbuatan Reggina. Dia—""Jangan menuduh orang lain, Viera," Ian mendengus. "Contekan itu ada di mejamu. Dan kamu tahu prosedurnya - sebelum
Minggu ini, seluruh siswa kelas 12 disibukkan dengan try out untuk persiapan ujian kelulusan. Pagi itu, suasana kelas terasa tegang saat try out Kimia berlangsung. Viera duduk di bangkunya dengan tenang, sesekali mengetuk-ngetuk pensil ke meja sambil berpikir. Soal-soal di hadapannya tidak terlalu sulit berkat persiapannya yang matang selama seminggu terakhir.Pak Darto, guru yang terkenal dengan kedisiplinannya yang ketat, berjalan mengawasi dengan langkah berat. Kacamatanya yang tebal menambah kesan serius pada wajahnya yang kaku. Suara sepatunya yang berketuk di lantai membuat beberapa siswa merasa was-was."Ingat, waktu tinggal 30 menit lagi," suara berat Pak Darto memecah keheningan.Viera tetap fokus pada pekerjaannya, tidak menyadari Pak Darto yang kini berhenti di samping mejanya. Guru senior itu mengerutkan
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya sesi bimbel sore itu. Viera membereskan bukunya dengan tenang, sementara Renna dan Fanny masih menggerutu tentang kejadian pagi tadi."Gila ya si cabe gatal itu," Renna mendengus kesal sambil memasukkan buku ke dalam tasnya. "Sok banget sih dia. Mentang-mentang rambutnya di-blow tiap hari.""Iya! Udah gitu pake acara bawa-bawa nama Pak Ian segala," Fanny menimpali. "Padahal dia sendiri yang ganjen sama Pak Ian."Viera hanya tersenyum mendengar ocehan kedua sahabatnya. "Udah, biarin aja. Nanti juga capek sendiri."Belum sempat mereka melangkah keluar kelas, sosok Reggina muncul di ambang pintu, diapit oleh Daisy dan Ingrid - duo tak terpisahkan yang selalu mengekorinya kemanapun. Daisy dengan rambut pirang platin
Keesokan harinya, Viera melangkah memasuki kelas dengan langkah berat. Meski kepalanya sudah tidak sakit, namun hatinya masih was-was menghadapi bisik-bisik yang tak kunjung reda. Ia duduk di bangkunya seperti biasa, mengeluarkan buku pelajaran sambil sesekali melirik sekeliling."Wah, wah... si anak rajin sudah datang rupanya," suara sinis itu membuat Viera mendongak. Reggina, gadis populer itu berdiri di depan mejanya dengan tangan terlipat di dada. Rambut panjangnya yang dicat coklat keemasan terlihat berkilau, hasil blow di salon mahal langganannya.Riasan wajahnya lebih tebal dari siswi lain - dengan eye shadow kecoklatan dan lipstik merah muda yang mencolok. Jam tangan Cartier berkilau di pergelangan tangannya, senada dengan kalung berlian yang selalu ia pamerkan. Tak heran banyak yang menyebutnya 'Princess' sekolah, mengingat ayahnya adalah salah satu pe
Pagi itu, Viera memandang keluar jendela mobil Pak Mamad yang melaju pelan memasuki gerbang sekolah. Perasaannya campur aduk - antara lega bisa kembali ke sekolah dan gelisah menghadapi gosip yang mungkin beredar. Kepalanya sudah tidak pusing lagi, tapi memori tentang perhatian Ian kemarin masih terasa hangat di benaknya."Sudah merasa baikan, Non?" tanya Pak Mamad sambil menghentikan mobil di depan gedung sekolah."Sudah jauh lebih baik, Pak. Terima kasih," jawab Viera sambil tersenyum, lalu turun dari mobil dengan hati-hati.Belum sempat Viera melangkah jauh, suara familiar menyambutnya dengan penuh semangat. "Vieraaaa!" Renna dan Fanny berlari kecil menghampirinya, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran sekaligus kelegaan."Ya Ampun, loe benar-benar sudah sembuh?" tanya F