Xaviera Hanske, termasuk murid paling beruntung di High International School (HIS). Setiap hari, ia diantar oleh sopir pribadinya, Pak Mamad, menggunakan mobil Alvard putih keluaran terbaru yang baru saja dibeli oleh Papanya.
"Pak Mamad, tolong parkir dekat pintu masuk ya," perintah Viera sambil merapikan rambutnya di cermin mobil.
Pak Mamad tersenyum, "Baik, Nona Viera."
Saat turun dari mobil Alvard putih keluaran terbaru, Viera langsung disambut oleh sahabatnya, Renna dan Fanny.
"Hai, teman-teman akuuu!" sapa Viera riang.
Renna tertawa, "Mobil barumu lagi-lagi bikin iri nih!"
Fanny menimpali, "Kalian ini selalu saja begitu. Kita kan sama-sama punya mobil bagus."
"Bukan soal mobil, tapi gaya hidupnya!" Renna mencubit lengan Fanny. Mereka bertiga tertawa.
Saat ini, Viera duduk di bangku kelas 12 SMA. Ia bersahabat dengan dua orang gadis cantik bernama Renna Rennatta dan Fanny Winata. Mereka bertiga bersahabat sejak masuk sekolah ini.
Renna dan Fanny juga terlahir dari keluarga kaya raya. Ayah Renna adalah seorang CEO di perusahaan IT, sedangkan Ayah Fanny adalah CEO di perusahaan pariwisata. Keluarga mereka cukup akrab, Papa Viera, Papa Renna, dan Papa Fanny sering berkumpul membicarakan bisnis.
Papa Viera, pemilik bisnis IT yang cukup terkenal di Jakarta, dan cukup berkembang pesat. Sedangkan Mamanya, memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, meskipun begitu ia tetap menjadi sosialita kelas atas dan bersahabat dengan Mama Renna dan Mama Fanny.
***
“Bestie, gue udah laper nih.” ucapa Viera pada Renna dan Fanny. Mereka sedang duduk di bangku masing-masing.
“Perut doang yang loe pikirin.” Ujar Renna sambil menjitak pelan kepala Viera.
“Iya nih. loe tuh ya. Makan paling banyak, tapi badan loe gak bisa gemuk. Cacingan loe ya?” ejek Fanny.
“Gak tau, nih. Kayaknya gue lagi stres deh akhir-akhir ini. Makanya gampang laper.” kata Viera sambil mengelus kepala yang dijitak Renna.
Renna memegang pundaknya “Loe tuh stres mikirin apa sih, Ra? Bokap loe kaya raya sejagad raya. Tapi loe masih bisa stres. Kayaknya ada yang gak beres deh sama kepala loe.”
Viera memutuskan untuk merahasiakan perjodohannya dengan Ian. Ia tidak ingin sahabatnya tahu soal ini. “Mungkin karena kita udah masuk kelas 12 kali, ya. Jadi gue parno sama kelulusan nanti.”
“Halah, kita belum ada 1 semester, Ra. Udah bingung aja loe.” ucap Fanny.
“Pak Ian selalu kasih nilai jelek ke gue. Kayaknya dia punya dendam ke gue deh. Gue takut nanti nilai gue jelek pas lulus.” ujar Viera kesal.
“Itu loe nya aja yang bego, Ra. Meskipun Pak Ian killer, tapi gue selalu terpesona dengan ketampanannya yang hakiki. Muda, tampan, pinter. Idaman banget deh pokoknya.” Renna nunjukin muka genitnya ke Viera dan Fanny.
“Najis banget sih loe, Ren. Gak ada tampan-tampannya itu orang. Di bawah standar malah.” ujar Vera geregetan dengan Renna.
“Heh, Ra. Kayaknya mata loe minusnya udah parah, deh. Orang tampan kayak oppa-oppa Korea gitu dibilang di bawah standar.” tambah Fanny.
“Loe gak tau aja sih sifat aslinya.” Viera hampir saja keceplosan.
“Emang loe tau?” ucap Renna dan Fanny bebarengan
Viera menghela napas panjang, tak ingin menjawab pertanyaan kedua sahabatnya itu. Memang benar, Viera tahu sifat asli Ian lebih dari siapapun di sekolah ini. Tapi bagaimana mungkin Viera bisa cerita pada mereka kalau ia dijodohkan dengan guru matematika yang terkenal killer itu?
"Ya gue tau lah. Dia kan sering banget marahin gue di kelas. Udah gitu, nilai gue selalu dia kasih yang paling rendah. Padahal jawaban gue gak beda jauh sama yang lain," Viera berkilah sambil memainkan pensil di tangan.
"Iya sih, Ra. Gue notice juga dia emang suka banget nyindir-nyindir loe di kelas," ucap Fanny sambil menopang dagu. "Tapi ya wajar aja kali. Loe emang paling payah di matematika."
Renna mengangguk setuju. "Betul banget tuh. Lagian ya Ra, mungkin aja dia perhatian sama loe makanya keras sama loe. Biar loe lebih giat belajar gitu."
Viera bergumam di dalam hatinya, "Perhatian? Ya ampun, kalau mereka tahu yang sebenarnya. Ian memang perhatian, tapi bukan dalam konteks guru-murid seperti yang mereka bayangkan. Sejak Papa mengumumkan perjodohan kami seminggu lalu, hidupku berubah 180 derajat."
"Udah deh, jangan bahas dia mulu. Gue laper nih. Ke kantin yuk!" ajak Viera mengalihkan pembicaraan.
Mereka bertiga berjalan menuju kantin sambil bergosip tentang hal-hal random. Sepanjang koridor, beberapa siswa menyapa mereka dengan ramah. Maklum, mereka bertiga memang terkenal sebagai trio populer di sekolah. Selain karena latar belakang keluarga mereka yang sama-sama dari kalangan atas, mereka juga aktif dalam berbagai kegiatan sekolah.
Tiba-tiba langkah Viera terhenti saat melihat sosok yang paling ingin ia hindari akhir-akhir ini. Ian sedang berjalan dari arah berlawanan, membawa setumpuk berkas di tangannya. Jantung Viera langsung berdegup kencang.
"Selamat siang, Pak Ian!" sapa Renna dengan nada centil yang membuat Viera mual.
Ian tersenyum tipis. "Siang." Matanya kemudian beralih pada Viera. "Viera, nanti sepulang sekolah ke ruangan saya. Ada yang perlu dibicarakan soal nilai ulangan minggu lalu."
Viera mengangguk lemah. "Baik, Pak."
Setelah Ian berlalu, Renna langsung mencubit lengan Viera. "Ciee yang disuruh ke ruangan guru ganteng!"
"Apaan sih!" protes Viera kesal.
"Jangan-jangan dia naksir loe lagi, Ra," goda Fanny.
Kalau saja mereka tahu bahwa setelah lulus nanti, guru yang mereka bilang ganteng itu akan menjadi suami Viera. Ya, Papa dan Mama Ian ternyata adalah sahabat lama Papa-Mama Viera. Mereka sudah merencanakan perjodohan ini sejak lama, tapi baru mengumumkannya seminggu lalu.
Di kantin, Viera berusaha menikmati makanannya sambil mendengarkan celotehan Renna dan Fanny. Tapi pikirannya melayang pada pertemuan nanti sore dengan Ian. Apa lagi yang akan Ian bicarakan? Viera merasa sudah cukup stress dengan situasi ini.
"Ra, loe kenapa sih? Dari tadi bengong mulu," tegur Fanny.
"Gak papa kok. Cuma kepikiran nilai ulangan aja," dusta Viera.
"Tenang aja kali. Paling-paling dia cuma mau ngasih les tambahan. Lumayan kan bisa berduaan sama guru ganteng," goda Renna lagi.
"Menurut loe, apa sih yang mau dibahas Pak Ian nanti?" gumam Viera lebih pada dirinya sendiri.
Renna mendengar, "Mungkin dia mau bantuin loe, Ra. Loe kan sering dapat nilai jelek di pelajaran matematika."
"Bener juga sih," balas Viera sarkastis.
Viera hanya bisa tersenyum kecut. Andai mereka tahu bahwa setiap pertemuan pribadinya dengan Ian selalu berakhir dengan perdebatan. Ian memang tampan dan pintar, tapi sikapnya yang dingin dan kaku membuat Viera frustasi. Bagaimana mungkin Viera bisa menikah dengan orang seperti itu?
Bel masuk berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Mereka bertiga kembali ke kelas, tapi pikiran Viera masih dipenuhi bayangan pertemuan nanti sore dengan Ian. Sepertinya, hari-hari Viera ke depan akan semakin rumit.
Dalam hati, Viera bertanya-tanya, "Bagaimana aku bisa menikah dengan orang seperti dia? Tidakkah orangtuaku sadar betapa tidak cocoknya kami?"
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Viera menghela napas panjang sambil membereskan buku-buku di atas meja. Renna dan Fanny sudah pamit duluan karena ada les piano dan les bahasa Mandarin. Dengan langkah gontai, Viera berjalan menuju ruang guru.Suasana ruang guru sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa guru yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Viera menuju meja Ian yang terletak di pojok ruangan. Dia sedang serius memandangi layar laptop."Permisi, Pak," sapa Viera pelan.Ian mengalihkan pandangannya dari laptop. "Duduk," perintahnya singkat sambil menunjuk kursi di depan mejanya.Viera duduk dengan canggung. Ian mengambil beberapa lembar kertas dari map berwarna biru. Kertas-kertas itu adalah hasil ulangan matematika kelas kami minggu lalu."Lihat nilai kamu," Ian menyodorkan kertas ulangan Viera. Angka merah besar tertera di sudut kanan atas. 45. "Ini sudah yang keberapa kalinya kamu dapat nilai di bawah KKM?""Maaf, Pak..." hanya itu yang bisa Viera ucapkan."Kamu ini sudah kel
Baru saja Viera akan melangkah menuju parkiran, ponselnya berdering. Nama "Pak Mamad" tertera di layar."Halo, Pak Mamad? Kenapa belum sampai? Aku sudah di parkiran nih. Pak Mamad di mana?" tanya Viera langsung."Maaf, Non Viera. Saya harus menjemput Nyonya Tiara dulu. Ada urusan mendadak di tempat arisan. Ini saya sudah dalam perjalanan menuju lokasi Nyonya," jelas Pak Mamad dengan nada menyesal."Hah? Kok gitu sih, Pak? Mama kan bisa bawa mobil sendiri atau minta Pak Abdul aja yang nganter!" protesnya kesal. "Pak Mamad kan sopir khusus untukku!""Maaf, Non. Ini perintah langsung dari Nyonya Tiara...""Ya udah!" Viera memutus panggilan dengan kesal.Di tempat parkir yang mulai sepi, Viera mengomel sendirian. "Mama tuh ya, selalu aja seenaknya. Pak Mamad kan sopir pribadiku. Kalau ada acara mendadak harusnya mama bawa mobil sendiri aja atau nyuruh Pak Abdul kan bisa!""Belum pulang?"Suara dingin itu mengagetkan Viera. Ian berdiri tak jauh darinya, kunci mobil di tangannya."Pak Mamad
Viera melangkah gontai memasuki rumah mewah bergaya modern yang sudah ia tinggali sejak lahir. Rumah sebesar istana ini terasa begitu sepi. Papa Viera masih di kantor, sementara Mamanya entah sedang arisan di mana."Selamat sore, Non Viera," sapa Bi Suti yang sedang membersihkan ruang tamu."Sore, Bi," jawab Viera lesu."Mau Bi Suti buatkan minum atau cemilan?" tawar Bi Inah yang baru keluar dari dapur."Nanti aja, Bi. Aku mau mandi dulu."Di rumah ini, mereka hanya tinggal bertujuh. Viera, Papanya, Mamanya, dua pembantu setia mereka—Bi Suti dan Bi Inah—serta dua sopir, Pak Abdul dan Pak Mamad. Bi Suti dan Bi Inah mengurus segala keperluan rumah tangga, dari bersih-bersih hingga memasak.Pak Abdul sebenarnya sopir pribadi Papa Viera, tapi karena Papanya lebih suka menyetir sendiri mobil BMUU mewahnya, Pak Abdul lebih sering mengantar Mamanya. Sementara Pak Mamad khusus mengantar Viera ke sekolah atau kemanapun ia pergi.Sebenarnya, Viera sudah punya mobil sendiri, Lamborghina sport ke
Suara deru mobil memasuki salah satu rumah di Emerald Valley Residence. Mobil BMUU hitam itu berhenti tepat di depan pintu masuk rumah mewah itu. Tepat pukul enam malam, Papa Viera pulang dari kantornya. Saat hendak masuk, ia menoleh ke segala arah di ruang tamu.Biasanya, ada yang menyambutnya dengan ceria dan segera memeluknya saat masuk ke ruang tamu. Tapi, hari ini mengapa tidak ada suara ceria yang menyambutnya.Segera, Papa Viera bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Ia mengira bahwa Viera belum kembali dari sekolah.Malam itu, suasana ruang makan keluarga Viera terasa berbeda dari biasanya. Aroma masakan Bi Inah dan Bi Suti yang sedang menata hidangan di meja makan tidak mampu mencairkan ketegangan yang menyelimuti.Papa Viera yang baru selesai mandi dan berganti pakaian sudah duduk di kursinya, sementara Mama duduk di sampingnya dengan raut wajah cemas. Ia sudah mendengar cerita dari Istrinya itu tentang apa yang terjadi pada Viera."Non Vier
"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.Ding!Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix."Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar me
Jantung Viera seakan berhenti berdetak saat melihat Ian melangkah masuk ke dalam Kafe Kini Kopi. Yang membuat dirinya semakin kaget adalah kehadiran seorang wanita cantik di samping Ian.Wanita itu terlihat sangat anggun dengan blazer cream dan rok pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam legam tergerai rapi, make up-nya natural namun memancarkan kedewasaan yang membuat Viera merasa begitu kecil.Felix yang menyadari kehadiran Ian langsung berdiri. "Selamat pagi, Pak Ian," sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Ian.Mau tidak mau, Viera juga harus berdiri dan melakukan hal yang sama. "Selamat pagi, Pak," ucapnya pelan sambil mencium tangan calon suaminya itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat dari Felix dan semua orang di sekolahnya."Pagi, Felix… Viera," jawab Ian datar seperti biasa.Felix kemudian menyalami wanita yang bersama Ian. Viera mengikuti, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi tanda tanya. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat b
Viera kembali ke mejanya dengan langkah berat. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat pasi. Felix yang sedari tadi memperhatikan, langsung menyadari perubahan pada raut wajah gadis di hadapannya itu."Viera, kamu sakit? Kok pucat banget?" tanya Felix dengan nada khawatir.Viera hanya menggeleng lemah, tidak sanggup mengeluarkan suara. Pikirannya masih berkecamuk dengan kata-kata Ian yang begitu misterius.Felix menutup buku matematika di hadapannya. "Kayaknya kita udah kebanyakan belajar deh. Otakmu perlu refreshing," ia tersenyum hangat. "Gimana kalau kita nonton? Kebetulan ada film bagus yang baru rilis.""Boleh," jawab Viera cepat, terlalu cepat malah. Apa saja, asal bisa keluar dari kafe ini, menjauh dari Ian dan wanita misterius itu.Mereka bergegas membereskan buku-buku dan meninggalkan kafe. Viera bahkan tidak menoleh ke arah meja Ian saat mereka lewat. Di parkiran, Felix menyerahkan helm cadangan untuk Viera kenakan."Aku selalu bawa helm cadangan, just in case," Felix
Jalanan Kota yang macet membuat perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Ketika Viera akhirnya sampai di rumah, jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Gadis itu segera berlari ke kamarnya, membuka lemari dengan tergesa-gesa. Waktu yang tersisa hanya dua setengah jam sebelum makan malam dengan keluarga Ian."Ya ampun, kenapa harus mendadak sih?" gerutunya sambil memilah-milah gaun yang tergantung rapi di lemari.Setelah mandi secepat kilat, Viera berdiri di depan cermin, mengamati deretan gaun yang ia letakkan di atas tempat tidur. Tangannya terhenti pada sebuah gaun biru muda selutut dengan detail punggung terbuka yang simple namun elegan.Viera tersenyum puas—pilihannya sempurna untuk acara makan malam formal. Sepasang heels berwarna senada dengan tinggi 5 cm melengkapi penampilannya, memberikan kesan dewasa tanpa berlebihan.Di depan meja rias, Viera mulai menata rambutnya. Dengan telaten, ia mem-blow bagian ujung rambutnya hingga terlihat bervolume dan me
"Aduh, gimana nih?" keluh Viera pada Renna dan Fanny saat ia ingat bahwa setelah pelajaran Matematika usai, akan ada pelajaran olahraga. "Gue nggak bawa baju olahraga. Kesiangan sih tadi pagi."Renna mengerutkan keningnya. "Terus loe mau gimana? Pak Dani kan terkenal tegas soal aturan seragam olahraga.""Iya, minggu lalu aja ada yang lupa bawa sepatu olahraga, disuruh lari keliling lapangan lima kali," tambah Fanny sambil mengambil baju olahraganya di tas.Viera menghela napas panjang. "Kayaknya gue bakal izin aja deh. Bilang sakit kepala atau apa gitu.""Yakin?" tanya Renna dengan nada khawatir. "Bohong itu nggak baik lho.""Gue tau, tapi daripada dihukum? Lagian cuma sekali ini kok," jawab Viera meyakinkan temannya.
Suasana kelas begitu hening ketika Ian mulai menjelaskan materi matematika di depan kelas. Papan tulis putih dipenuhi dengan rumus-rumus dan angka-angka yang dituliskan dengan rapi oleh tangan tegasnya. Semua murid mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap detail penjelasan yang diberikan oleh guru muda itu. Namun tidak dengan Viera.Pikirannya melayang entah kemana, tatapannya kosong ke arah jendela. Sesekali ia mencoret-coret bukunya tanpa arti, sementara penjelasan Ian hanya lewat begitu saja di telinganya. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tanpa ia sadari, sepasang mata tajam Ian telah menangkap gelagat tidak fokusnya sejak tadi."Nona Viera," suara tegas Ian memecah lamunannya. "Bisa tolong jelaskan kembali apa yang baru saja saya terangkan?"Seisi kelas mendadak sunyi. Viera terkesiap, matanya membu
Sinar matahari yang menerobos celah tirai kamar Viera tidak mampu membangunkannya dari tidur lelap. Berulang kali mamanya mengetuk pintu kamar dan mencoba menelepon, namun Viera masih terbuai dalam dunia mimpinya. Pintu kamar yang terkunci membuat mamanya tidak bisa masuk untuk membangunkannya secara langsung."Viera! Bangun, Sayang! Sudah jam setengah tujuh!" teriak mamanya sambil mengetuk pintu kamar Viera dari luar kamar, suaranya penuh kekhawatiran.Setelah beberapa saat, mata Viera akhirnya terbuka perlahan. Begitu melihat jam digital di meja nakasnya menunjukkan pukul 06.30, matanya langsung terbelalak lebar. Jantungnya berdegup kencang menyadari bahwa ia hanya punya waktu setengah jam untuk sampai ke sekolah jika tidak ingin terlambat."Oh My God, kenapa aku bisa kesiangan?!" rutuknya sambil melompat dari tem
Ian tersadar lebih dulu. Ia berdehem pelan dan segera menarik diri, kembali ke posisi normalnya di belakang kemudi. Tanpa berkata apa-apa, ia menjalankan mobil, membelah keheningan malam Jakarta.Viera merasakan jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Selama 17 tahun hidupnya, tak pernah ada laki-laki yang berada sedekat itu dengannya—bahkan Felix sekalipun. Ia mencuri pandang ke arah Ian yang tetap fokus menyetir dengan wajah datarnya yang biasa.'Bagaimana dia bisa setenang itu?' batin Viera kesal, tangannya meremas ujung gaunnya.Perjalanan pulang dilalui dalam diam. Tidak ada obrolan, tidak ada gandengan tangan seperti tadi—hanya suara mesin mobil dan degup jantung Viera yang entah mengapa tak kunjung normal.Pukul setengah sepuluh, mobil Ian a
Mobil Ian berhenti di depan sebuah restoran mewah bergaya klasik Eropa. Lampu-lampu kristal yang menggantung di sepanjang pintu masuk memberikan kesan mewah dan elegan. Sebelum turun dari mobil, Ian menahan tangan Viera."Tunggu," ujarnya pelan. "Ingat apa yang kita latihan tadi?"Viera mengangguk lemah. "Bergandengan tangan...""Bagus. Ayo."Ian keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Viera—sebuah gestur yang membuat beberapa pengunjung restoran melirik ke arah mereka. Viera menarik napas dalam-dalam sebelum menyambut uluran tangan Ian. Jemari mereka bertaut, dan entah mengapa, kali ini terasa lebih natural dibanding di mobil tadi."Orang tuaku sudah menunggu di ruang VIP," Ian berbisik sambil menuntun Viera memasuki restoran.Seorang pelayan mengantar mereka ke lantai dua, menuju sebuah ruangan privat dengan pintu kayu berukir indah. Sebelum membuka pintu, Ian mengeratkan genggamannya pada tangan Viera."Kau siap?""Tidak," jawab Viera jujur. "Tapi apa kau peduli pada pilihanku
Jalanan Kota yang macet membuat perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Ketika Viera akhirnya sampai di rumah, jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Gadis itu segera berlari ke kamarnya, membuka lemari dengan tergesa-gesa. Waktu yang tersisa hanya dua setengah jam sebelum makan malam dengan keluarga Ian."Ya ampun, kenapa harus mendadak sih?" gerutunya sambil memilah-milah gaun yang tergantung rapi di lemari.Setelah mandi secepat kilat, Viera berdiri di depan cermin, mengamati deretan gaun yang ia letakkan di atas tempat tidur. Tangannya terhenti pada sebuah gaun biru muda selutut dengan detail punggung terbuka yang simple namun elegan.Viera tersenyum puas—pilihannya sempurna untuk acara makan malam formal. Sepasang heels berwarna senada dengan tinggi 5 cm melengkapi penampilannya, memberikan kesan dewasa tanpa berlebihan.Di depan meja rias, Viera mulai menata rambutnya. Dengan telaten, ia mem-blow bagian ujung rambutnya hingga terlihat bervolume dan me
Viera kembali ke mejanya dengan langkah berat. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat pasi. Felix yang sedari tadi memperhatikan, langsung menyadari perubahan pada raut wajah gadis di hadapannya itu."Viera, kamu sakit? Kok pucat banget?" tanya Felix dengan nada khawatir.Viera hanya menggeleng lemah, tidak sanggup mengeluarkan suara. Pikirannya masih berkecamuk dengan kata-kata Ian yang begitu misterius.Felix menutup buku matematika di hadapannya. "Kayaknya kita udah kebanyakan belajar deh. Otakmu perlu refreshing," ia tersenyum hangat. "Gimana kalau kita nonton? Kebetulan ada film bagus yang baru rilis.""Boleh," jawab Viera cepat, terlalu cepat malah. Apa saja, asal bisa keluar dari kafe ini, menjauh dari Ian dan wanita misterius itu.Mereka bergegas membereskan buku-buku dan meninggalkan kafe. Viera bahkan tidak menoleh ke arah meja Ian saat mereka lewat. Di parkiran, Felix menyerahkan helm cadangan untuk Viera kenakan."Aku selalu bawa helm cadangan, just in case," Felix
Jantung Viera seakan berhenti berdetak saat melihat Ian melangkah masuk ke dalam Kafe Kini Kopi. Yang membuat dirinya semakin kaget adalah kehadiran seorang wanita cantik di samping Ian.Wanita itu terlihat sangat anggun dengan blazer cream dan rok pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam legam tergerai rapi, make up-nya natural namun memancarkan kedewasaan yang membuat Viera merasa begitu kecil.Felix yang menyadari kehadiran Ian langsung berdiri. "Selamat pagi, Pak Ian," sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Ian.Mau tidak mau, Viera juga harus berdiri dan melakukan hal yang sama. "Selamat pagi, Pak," ucapnya pelan sambil mencium tangan calon suaminya itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat dari Felix dan semua orang di sekolahnya."Pagi, Felix… Viera," jawab Ian datar seperti biasa.Felix kemudian menyalami wanita yang bersama Ian. Viera mengikuti, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi tanda tanya. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat b
"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.Ding!Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix."Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar me