"Viera, pertemuan keluarga ini bermaksud untuk menjodohkanmu dengan Ian." Kalimat itu terus terngiang di kepala Viera, membuatnya merasa bagai tersambar petir di siang bolong. Bagaimana bisa orang tuanya, Robert Hanske dan Tiara Hanske, memutuskan untuk menjodohkannya dengan Ian, guru matematika killer di sekolahnya?
“Oh My God? Bagaimana bisa takdir indahnya harus berakhir tragis seperti ini. Tuhan, apakah Engkau sangat tega menguji anak manis nan cantik sepertiku ini?. Akankah aku kuat menghadapi cobaan ini?” Viera bertanya-tanya dalam hati.
Mereka tengah berada di sebuah restoran Prancis mewah di tengah kota, tempat pertemuan rutin keluarga mereka dan keluarga Ian, Toni Gunawan dan Citra Gunawan, diadakan. Suasana restoran yang elegan dengan dekorasi interior bergaya Eropa abad pertengahan itu tak mampu mengalihkan pikiran Viera dari kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Papa dan Mamanya.
Jujur saja, Viera, masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin mereka tega menjodohkannya, yang bahkan masih duduk di bangku kelas 12 SMA, dengan Berlian Gunawan, guru matematika yang sangat killer di sekolahnya? Dia bahkan sering mendapat nilai buruk di mata pelajarannya.
Sebenarnya Viera sangat ingin menolak perjodohan ini, tapi bagaimana mungkin dia bisa menolak kedua orang tuanya yang sangat menyayanginya dan selalu mengabulkan semua permintaannya? Semua barang mewah yang dimilikinya saat ini, mulai dari ponsel terbaru, tas branded, hingga mobil sport sebagai hadiah ulang tahunnya, adalah hasil dari kemurahan hati mereka. Mereka tak pernah sekalipun berkata "tidak" padanya.
"Viera, kami melakukan ini untuk membangun bisnis besar yang sedang kami kembangkan bersama dengan Pak Toni, Papa Ian," ujar Papanya, Robert Hanske, berusaha menjelaskan.
"Kami percaya kalian berdua akan saling melengkapi dan membawa kesuksesan bagi perusahaan kita," tambah Mama Ian, Citra Gunawan, dengan nada optimis.
"Tapi, Pa… Ma. Aku masih baru saja naik kelas 12 SMA. Bukankah ini terlalu buru-buru? Dan juga, Pak Ian adalah guru baru di sekolahku. Bagaimana nanti jika satu sekolah heboh dengan hubungan kami?" Viera mencoba membujuk kedua orang tuanya.
“Sayang, dengarkan Papa. Kami melakukan ini untuk kebaikanmu. Kami tahu apa yang terbaik untukmu dan Ian.” Ujar Papanya sambil mengelus rambut panjang yang sengaja Viera blow di bagian ujungnya.
“Dan juga, kalian bisa merahasiakan hubungan kalian hingga lulus nanti. Pernikahan kalian akan digelar setelah Viera lulus nanti. Sekalian kalian bisa mengenal satu sama lain.” tambah Papa Ian.
“Apa? Demi kebaikanku? Sepertinya hanya untuk kebaikan bisnis Papaku dan Papa Ian saja. Oh Tuhan, kenapa aku harus terjebak dalam situasi yang rumit ini? Aku ingin tahun terakhirku di SMA ini kujalani dengan penuh suka cita bersama teman-temanku.” Tentu saja Viera hanya bergumam dalam hati. Mana mungkin ia berani berkata begitu kepada orang tuanya.
Memang Viera tidak pernah berpikiran untuk pacaran sebelumnya. Kasih sayang dari Papanya sepertinya sudah sangat cukup, hingga Viera memutuskan untuk tidak pacaran.
Meskipun wajah Ian juga bisa dibilang super duper ganteng. Tapi, Viera sama sekali tidak tertarik dengannya. Cara bicaranya, cara berjalannya, semua yang ada pada dirinya Viera tidak suka sama sekali.
Saat pengumuman perjodohan itu selesai, Viera segera beranjak dari tempat duduk dan berjalan cepat menuju toilet.
"Ya Tuhan, apa-apaan ini?" gumamnya sambil membuka pintu toilet.
Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan ekspresi frustasi. "Kenapa harus Ian? Kenapa?"
Viera merapikan gaun navy yang ia kenakan, mencoba menenangkan dirinya. "Ini tidak adil! Aku masih muda, masih ingin menikmati masa SMA-ku bersama dengan teman-teman!"
Ia berbicara pada bayangannya sendiri, "Bagaimana mungkin Papa dan Mama bisa setega ini? Dan sekarang mereka menjodohkanku dengan Ian?"
Menghela napas panjang, Viera bergumam, "Oh Tuhan, apakah ini cobaan untukku? Akankah aku sanggup menghadapi masa depan yang super seram ini?"
Ia merapikan rambutnya, berbicara pada diri sendiri, "Aku bahkan selalu dapat nilai jelek di matematika. Dan sekarang aku harus menikah dengan guru matematika yang sangat kubenci? Ini mustahil!"
Tiba-tiba, Viera tertawa getir, "Ini benar-benar seperti cerita drama murahan. Aku tidak percaya ini nyata!"
Ia menyentuh pipinya di cermin, "Apa aku terlihat sekacau yang kurasakan sekarang?"
Kemudian, dengan suara lirih, "Semoga ada jalan keluar dari semua ini."
Setelah beberapa menit, Viera keluar dari toilet dan berjalan kembali ke ruang VIP restoran itu. Betapa kagetnya Viera saat melihat sosok Ian berdiri tepat di depan pintu toilet. Dia memandang Viera dengan tatapan datar, persis seperti saat dia mengajar di kelas. Viera hanya bisa menatapnya dengan sebal. Tidak hanya di sekolah, sekarang Viera pun akan terus bersama dengannya selamanya. Bagaimana mungkin?
"Sedang apa kau di sini?" Viera bertanya ketus.
Ian tersenyum tipis, "Hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
"Baik-baik saja? Kau pikir aku baik-baik saja setelah mendengar kabar gila ini?" Viera membalas dengan nada sarkastis.
"Aku tahu ini sulit," Ian berkata pelan. "Tapi kita bisa mencoba saling mengenal."
Viera mendengus, "Mencoba? Kau guru matematikaku yang selalu memberiku nilai jelek. Bagaimana mungkin kita bisa saling mengenal?"
"Nilai matematika bukan segalanya, Viera," Ian membalas dengan tenang. "Mungkin kita bisa memulai dengan sikap terbuka."
Viera memutar bola matanya, "Terbuka? Ini sama sekali tidak adil!"
“Bukankah kita akan menjadi keluarga?” kata Ian dengan wajah yang tentu saja sangat datar.
Viera menatapnya kesal, "Semoga saja kau tidak seburuk yang kupikirkan."
Ian hanya tersenyum tipis, "Kita lihat saja nanti."
Dengan berat hati, Viera kembali ke meja. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Xaviera Hanske, termasuk murid paling beruntung di High International School (HIS). Setiap hari, ia diantar oleh sopir pribadinya, Pak Mamad, menggunakan mobil Alvard putih keluaran terbaru yang baru saja dibeli oleh Papanya."Pak Mamad, tolong parkir dekat pintu masuk ya," perintah Viera sambil merapikan rambutnya di cermin mobil.Pak Mamad tersenyum, "Baik, Nona Viera."Saat turun dari mobil Alvard putih keluaran terbaru, Viera langsung disambut oleh sahabatnya, Renna dan Fanny."Hai, teman-teman akuuu!" sapa Viera riang.Renna tertawa, "Mobil barumu lagi-lagi bikin iri nih!"Fanny menimpali, "Kalian ini selalu saja begitu. Kita kan sama-sama punya mobil bagus.""Bukan soal mobil, tapi gaya hidupnya!" Renna mencubit lengan Fanny. Mereka bertiga tertawa.Saat ini, Viera duduk di bangku kelas 12 SMA. Ia bersahabat dengan dua orang gadis cantik bernama Renna Rennatta dan Fanny Winata. Mereka bertiga bersahabat sejak masuk sekolah ini. Renna dan Fanny juga terlahir dari keluarga kaya r
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Viera menghela napas panjang sambil membereskan buku-buku di atas meja. Renna dan Fanny sudah pamit duluan karena ada les piano dan les bahasa Mandarin. Dengan langkah gontai, Viera berjalan menuju ruang guru.Suasana ruang guru sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa guru yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Viera menuju meja Ian yang terletak di pojok ruangan. Dia sedang serius memandangi layar laptop."Permisi, Pak," sapa Viera pelan.Ian mengalihkan pandangannya dari laptop. "Duduk," perintahnya singkat sambil menunjuk kursi di depan mejanya.Viera duduk dengan canggung. Ian mengambil beberapa lembar kertas dari map berwarna biru. Kertas-kertas itu adalah hasil ulangan matematika kelas kami minggu lalu."Lihat nilai kamu," Ian menyodorkan kertas ulangan Viera. Angka merah besar tertera di sudut kanan atas. 45. "Ini sudah yang keberapa kalinya kamu dapat nilai di bawah KKM?""Maaf, Pak..." hanya itu yang bisa Viera ucapkan."Kamu ini sudah kel
Baru saja Viera akan melangkah menuju parkiran, ponselnya berdering. Nama "Pak Mamad" tertera di layar."Halo, Pak Mamad? Kenapa belum sampai? Aku sudah di parkiran nih. Pak Mamad di mana?" tanya Viera langsung."Maaf, Non Viera. Saya harus menjemput Nyonya Tiara dulu. Ada urusan mendadak di tempat arisan. Ini saya sudah dalam perjalanan menuju lokasi Nyonya," jelas Pak Mamad dengan nada menyesal."Hah? Kok gitu sih, Pak? Mama kan bisa bawa mobil sendiri atau minta Pak Abdul aja yang nganter!" protesnya kesal. "Pak Mamad kan sopir khusus untukku!""Maaf, Non. Ini perintah langsung dari Nyonya Tiara...""Ya udah!" Viera memutus panggilan dengan kesal.Di tempat parkir yang mulai sepi, Viera mengomel sendirian. "Mama tuh ya, selalu aja seenaknya. Pak Mamad kan sopir pribadiku. Kalau ada acara mendadak harusnya mama bawa mobil sendiri aja atau nyuruh Pak Abdul kan bisa!""Belum pulang?"Suara dingin itu mengagetkan Viera. Ian berdiri tak jauh darinya, kunci mobil di tangannya."Pak Mamad
Viera melangkah gontai memasuki rumah mewah bergaya modern yang sudah ia tinggali sejak lahir. Rumah sebesar istana ini terasa begitu sepi. Papa Viera masih di kantor, sementara Mamanya entah sedang arisan di mana."Selamat sore, Non Viera," sapa Bi Suti yang sedang membersihkan ruang tamu."Sore, Bi," jawab Viera lesu."Mau Bi Suti buatkan minum atau cemilan?" tawar Bi Inah yang baru keluar dari dapur."Nanti aja, Bi. Aku mau mandi dulu."Di rumah ini, mereka hanya tinggal bertujuh. Viera, Papanya, Mamanya, dua pembantu setia mereka—Bi Suti dan Bi Inah—serta dua sopir, Pak Abdul dan Pak Mamad. Bi Suti dan Bi Inah mengurus segala keperluan rumah tangga, dari bersih-bersih hingga memasak.Pak Abdul sebenarnya sopir pribadi Papa Viera, tapi karena Papanya lebih suka menyetir sendiri mobil BMUU mewahnya, Pak Abdul lebih sering mengantar Mamanya. Sementara Pak Mamad khusus mengantar Viera ke sekolah atau kemanapun ia pergi.Sebenarnya, Viera sudah punya mobil sendiri, Lamborghina sport ke
Suara deru mobil memasuki salah satu rumah di Emerald Valley Residence. Mobil BMUU hitam itu berhenti tepat di depan pintu masuk rumah mewah itu. Tepat pukul enam malam, Papa Viera pulang dari kantornya. Saat hendak masuk, ia menoleh ke segala arah di ruang tamu.Biasanya, ada yang menyambutnya dengan ceria dan segera memeluknya saat masuk ke ruang tamu. Tapi, hari ini mengapa tidak ada suara ceria yang menyambutnya.Segera, Papa Viera bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Ia mengira bahwa Viera belum kembali dari sekolah.Malam itu, suasana ruang makan keluarga Viera terasa berbeda dari biasanya. Aroma masakan Bi Inah dan Bi Suti yang sedang menata hidangan di meja makan tidak mampu mencairkan ketegangan yang menyelimuti.Papa Viera yang baru selesai mandi dan berganti pakaian sudah duduk di kursinya, sementara Mama duduk di sampingnya dengan raut wajah cemas. Ia sudah mendengar cerita dari Istrinya itu tentang apa yang terjadi pada Viera."Non Vier
"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.Ding!Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix."Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar me
Jantung Viera seakan berhenti berdetak saat melihat Ian melangkah masuk ke dalam Kafe Kini Kopi. Yang membuat dirinya semakin kaget adalah kehadiran seorang wanita cantik di samping Ian.Wanita itu terlihat sangat anggun dengan blazer cream dan rok pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam legam tergerai rapi, make up-nya natural namun memancarkan kedewasaan yang membuat Viera merasa begitu kecil.Felix yang menyadari kehadiran Ian langsung berdiri. "Selamat pagi, Pak Ian," sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Ian.Mau tidak mau, Viera juga harus berdiri dan melakukan hal yang sama. "Selamat pagi, Pak," ucapnya pelan sambil mencium tangan calon suaminya itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat dari Felix dan semua orang di sekolahnya."Pagi, Felix… Viera," jawab Ian datar seperti biasa.Felix kemudian menyalami wanita yang bersama Ian. Viera mengikuti, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi tanda tanya. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat b
Viera kembali ke mejanya dengan langkah berat. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat pasi. Felix yang sedari tadi memperhatikan, langsung menyadari perubahan pada raut wajah gadis di hadapannya itu."Viera, kamu sakit? Kok pucat banget?" tanya Felix dengan nada khawatir.Viera hanya menggeleng lemah, tidak sanggup mengeluarkan suara. Pikirannya masih berkecamuk dengan kata-kata Ian yang begitu misterius.Felix menutup buku matematika di hadapannya. "Kayaknya kita udah kebanyakan belajar deh. Otakmu perlu refreshing," ia tersenyum hangat. "Gimana kalau kita nonton? Kebetulan ada film bagus yang baru rilis.""Boleh," jawab Viera cepat, terlalu cepat malah. Apa saja, asal bisa keluar dari kafe ini, menjauh dari Ian dan wanita misterius itu.Mereka bergegas membereskan buku-buku dan meninggalkan kafe. Viera bahkan tidak menoleh ke arah meja Ian saat mereka lewat. Di parkiran, Felix menyerahkan helm cadangan untuk Viera kenakan."Aku selalu bawa helm cadangan, just in case," Felix
Di kedai es krim, Viera menyendok es krim vanilanya perlahan, sesekali mencuri pandang ke arah Ian yang duduk di hadapannya."Ada yang mengganggumu?" tanya Ian, menangkap kegelisahan di mata Viera."Tadi..." Viera meletakkan sendoknya, "saat di kantin, Fanny sepertinya sudah mulai curiga. Dia... dia selalu bisa membaca situasi dengan baik."Ian mengangguk pelan. "Dia memang sangat perhatian padamu.""Aku merasa bersalah," Viera berbisik, matanya mulai berkaca-kaca. "Mereka selalu ada untukku. Bahkan saat aku kehilangan ingatan, mereka yang menceritakan ulang setiap detail hidupku. Tapi sekarang... aku malah menyembunyikan sesuatu sebesar ini dari mereka.""Hey," Ian mengulurkan tangannya, nyaris menyentuh tangan Viera sebelum teringat mereka masih di tempat umum. "Kamu tidak perlu merasa bersalah. Ini... ini bukan sesuatu yang mudah untuk dibagi.""Tapi sampai kapan?" Viera menatap es krimnya yang mulai mencair. "Sampai kapan kita harus bersembunyi seperti ini?"Ian terdiam sejenak, m
Langit sudah mulai memerah saat Viera mengendap-endap ke parkiran belakang sekolah. Koridor-koridor sudah sepi, hanya tersisa beberapa siswa yang masih mengikuti kegiatan klub. Ian sudah menunggu di mobilnya, seperti yang mereka sepakati sebelumnya. "Maaf lama," Viera berbisik saat masuk ke mobil. "Tadi harus mastiin dulu Renna udah pulang." Ian tersenyum, menyalakan mesin mobil. "Tidak apa-apa. Kamu yakin tidak ada yang lihat?" Viera mengangguk, meski ada keraguan samar yang menggelayut di dadanya. Dia tidak menyadari sosok Fanny yang berdiri di balik pilar, mengamati dengan mata melebar saat mobil Ian mulai bergerak meninggalkan area parkir. Sementara itu di dalam mobil Fanny. "Pak Man, Bisa ikuti mobil itu? Yang Innovasi Hitam itu." Sopir paruh baya itu mengernyit heran. "Nona Fanny yakin? Bukannya itu mobil guru matematika..." "Please," Fanny memotong dengan nada mendesak. "Ini penting." Di mobil Ian, Viera mulai merasa rileks. Dia menyandarkan kepalanya ke jok, merasakan ke
Bel istirahat berbunyi seperti penyelamat bagi Viera. Dia menghembuskan napas yang tanpa sadar ditahannya selama dua jam pelajaran matematika itu. "Oke, sampai di sini dulu," Ian mengumumkan, membereskan bukunya. "Jangan lupa kerjakan latihan halaman 45." Saat Ian melangkah keluar kelas, Viera bisa merasakan tatapannya yang sekilas tertuju padanya. Tatapan yang membuat jantungnya melompat, meski hanya sepersekian detik. "Ra," Fanny mendadak sudah berdiri di samping mejanya, "ke kantin, yuk?" Ada sesuatu dalam nada suara Fanny yang membuat Viera gelisah. "Ah... gue..." dia melirik tasnya, mencari-cari alasan. "Ayolah!" Renna menarik tangannya dengan antusias. "Gue laper banget nih setelah dipaksa mikir limit tadi." Viera tidak punya pilihan selain mengikuti kedua sahabatnya. Mereka berjalan menyusuri koridor yang ramai, dengan Renna yang terus mengoceh tentang betapa sulitnya pelajaran hari ini. "Tapi aneh ya," Renna tiba-tiba menoleh pada Viera, "tumben banget loeu nggak
"Viera!" Suara familiar Renna membuatnya tersentak dari lamunannya. Sahabatnya itu berlari kecil menghampirinya, dengan Fanny yang mengikuti dengan langkah lebih tenang di belakang. "Tumben agak siang?" Renna mengaitkan lengannya dengan lengan Viera, gestur yang sudah menjadi kebiasaan mereka. "Biasanya loe sudah nunggu di depan gerbang." Viera merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Memori tentang sore kemarin masih begitu segar di benaknya. "Ah... iya, tadi bangun agak telat." Fanny, dengan kepekaannya yang biasa, menatap Viera dengan seksama. "Loe... kelihatan berbeda hari ini." "Berbeda?" Viera mencoba tertawa, meski suaranya terdengar sedikit bergetar. "Berbeda gimana?" "Entahlah," Fanny mengangkat bahu, tapi matanya masih menatap penuh selidik. "Kayak... ada sesuatu yang berbeda." Renna mengangguk antusias. "Iya! Gue juga ngerasa gitu. Loe... kayak lagi happy banget?" Viera menggigit bibirnya, merasakan rona hangat mulai merambat di pipinya. Tepat saat itu, sosok Ian
Viera mengeratkan genggamannya pada pembatas buku di tangannya, mendadak teringat pada dua sosok yang selama ini selalu ada di sampingnya. Renna dan Fanny - sahabatnya sejak SMA yang selalu mendukungnya tanpa syarat, bahkan saat dia kehilangan ingatannya."Ian..." Viera mendongak, menatap pria yang kini menjadi guru matematikanya itu. "Bagaimana dengan Renna dan Fanny?"Ada jeda sejenak sebelum Ian menjawab, seolah dia juga baru tersadar akan kompleksitas situasi mereka. Memang, hubungan guru dan murid ini bukanlah sesuatu yang sederhana untuk dijelaskan, bahkan pada sahabat terdekat sekalipun."Mereka... pasti akan mengerti," Ian akhirnya berkata, meski ada keraguan tipis dalam suaranya. "Mereka sahabatmu yang paling dekat, kan?"Viera menggigit bibirnya, mengingat baga
Viera menatap pembatas buku di tangannya, jemarinya menelusuri permukaan bunga yang telah diawetkan itu dengan hati-hati. Ada sesuatu yang menggelitik dalam dadanya - perasaan hangat yang familiar sekaligus asing, seperti menemukan potongan puzzle yang telah lama hilang."Masih ingat waktu kita pertama kali menemukan bunga-bunga ini?" tanya Ian, suaranya lembut seperti angin sore yang membelai dedaunan di atas mereka.Viera mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada pembatas buku itu. Memori-memori yang sempat terkubur perlahan mengapung ke permukaan - musim panas yang panjang, tawa yang riang, dan janji-janji kecil yang terucap di bawah pohon mangga ini."Waktu itu kamu bilang bunganya seperti bintang yang jatuh ke bumi," Viera tersenyum kecil, mengingat kata-kata polos mereka di masa kecil. "Dan aku percaya begi
Viera terdiam, matanya berkaca-kaca menatap tulisan di halaman terakhir buku itu. Tangannya sedikit bergetar saat menyentuh kertas yang menguning, merasakan tekstur dari janji masa kecil mereka."Kamu..." suara Viera tercekat, "kamu benar-benar menyebalkan, Ian."Ian mengerjap bingung, "Eh?""Menciumku di bawah meja guru, membuatku cemburu pada adikmu sendiri, dan sekarang..." Viera mengangkat wajahnya, ada air mata yang mulai jatuh di pipinya, "sekarang kamu mengungkapkan perasaanmu dengan cara yang begitu... begitu sempurna."Ian tersenyum lembut, tangannya bergerak mengusap air mata di pipi Viera. "Maaf membuatmu menunggu lama.""Bodoh," Viera memukul dada Ian pelan. "Kamu yang menunggu lebih lama. Bahkan saat aku lupa, ka
"IAAANN!" Viera berteriak tertahan, tapi yang tersisa hanya gema langkah kaki Ian yang semakin menjauh dan aroma mint samar yang masih tertinggal di udara. Dia menyentuh bibirnya lagi, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."Dasar menyebalkan," gumamnya, tapi ada senyum kecil yang tak bisa dia tahan. Dia bersandar pada meja guru, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih tidak beraturan.Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang terjatuh dari buku Ian - selembar kertas yang terlipat rapi. Tangannya bergerak mengambil kertas itu. Seharusnya dia tidak membukanya, tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan hal itu.Di dalamnya, ada tulisan tangan yang rapi: "Untuk adikku tersayang, Terima kasih sudah membantu kakak selama ini. Kamu benar - aku harus lebih berani mengungkapkan perasaanku pad
Tanpa pikir panjang, Viera beranjak dari kursinya. Kakinya melangkah cepat menyusuri koridor, mencari sosok Ian yang baru saja menghilang di balik pintu perpustakaan. Ada sesuatu yang mendorongnya - entah keberanian yang tiba-tiba muncul atau rasa frustasi yang sudah mencapai batasnya.Ruang guru. Tentu saja - Ian selalu ke sana setelah jam pelajaran usai. Viera mempercepat langkahnya, jantungnya berdegup kencang bukan hanya karena berlari kecil, tapi juga karena kata-kata yang sudah menumpuk di ujung lidahnya.Ruangan itu sepi ketika dia masuk. Hanya ada Ian yang sedang membereskan berkas-berkasnya. "Ian," panggilnya, suaranya sedikit terengah. "Tentang yang tadi-"Suara langkah kaki di koridor membuat kata-katanya terputus. Tanpa berpikir, tubuhnya bergerak secara naluriah - bersembunyi di bawah meja Ian. Posisi y