"Viera, pertemuan keluarga ini bermaksud untuk menjodohkanmu dengan Ian." Kalimat itu terus terngiang di kepala Viera, membuatnya merasa bagai tersambar petir di siang bolong. Bagaimana bisa orang tuanya, Robert Hanske dan Tiara Hanske, memutuskan untuk menjodohkannya dengan Ian, guru matematika killer di sekolahnya?
“Oh My God? Bagaimana bisa takdir indahnya harus berakhir tragis seperti ini. Tuhan, apakah Engkau sangat tega menguji anak manis nan cantik sepertiku ini?. Akankah aku kuat menghadapi cobaan ini?” Viera bertanya-tanya dalam hati.
Mereka tengah berada di sebuah restoran Prancis mewah di tengah kota, tempat pertemuan rutin keluarga mereka dan keluarga Ian, Toni Gunawan dan Citra Gunawan, diadakan. Suasana restoran yang elegan dengan dekorasi interior bergaya Eropa abad pertengahan itu tak mampu mengalihkan pikiran Viera dari kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Papa dan Mamanya.
Jujur saja, Viera, masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin mereka tega menjodohkannya, yang bahkan masih duduk di bangku kelas 12 SMA, dengan Berlian Gunawan, guru matematika yang sangat killer di sekolahnya? Dia bahkan sering mendapat nilai buruk di mata pelajarannya.
Sebenarnya Viera sangat ingin menolak perjodohan ini, tapi bagaimana mungkin dia bisa menolak kedua orang tuanya yang sangat menyayanginya dan selalu mengabulkan semua permintaannya? Semua barang mewah yang dimilikinya saat ini, mulai dari ponsel terbaru, tas branded, hingga mobil sport sebagai hadiah ulang tahunnya, adalah hasil dari kemurahan hati mereka. Mereka tak pernah sekalipun berkata "tidak" padanya.
"Viera, kami melakukan ini untuk membangun bisnis besar yang sedang kami kembangkan bersama dengan Pak Toni, Papa Ian," ujar Papanya, Robert Hanske, berusaha menjelaskan.
"Kami percaya kalian berdua akan saling melengkapi dan membawa kesuksesan bagi perusahaan kita," tambah Mama Ian, Citra Gunawan, dengan nada optimis.
"Tapi, Pa… Ma. Aku masih baru saja naik kelas 12 SMA. Bukankah ini terlalu buru-buru? Dan juga, Pak Ian adalah guru baru di sekolahku. Bagaimana nanti jika satu sekolah heboh dengan hubungan kami?" Viera mencoba membujuk kedua orang tuanya.
“Sayang, dengarkan Papa. Kami melakukan ini untuk kebaikanmu. Kami tahu apa yang terbaik untukmu dan Ian.” Ujar Papanya sambil mengelus rambut panjang yang sengaja Viera blow di bagian ujungnya.
“Dan juga, kalian bisa merahasiakan hubungan kalian hingga lulus nanti. Pernikahan kalian akan digelar setelah Viera lulus nanti. Sekalian kalian bisa mengenal satu sama lain.” tambah Papa Ian.
“Apa? Demi kebaikanku? Sepertinya hanya untuk kebaikan bisnis Papaku dan Papa Ian saja. Oh Tuhan, kenapa aku harus terjebak dalam situasi yang rumit ini? Aku ingin tahun terakhirku di SMA ini kujalani dengan penuh suka cita bersama teman-temanku.” Tentu saja Viera hanya bergumam dalam hati. Mana mungkin ia berani berkata begitu kepada orang tuanya.
Memang Viera tidak pernah berpikiran untuk pacaran sebelumnya. Kasih sayang dari Papanya sepertinya sudah sangat cukup, hingga Viera memutuskan untuk tidak pacaran.
Meskipun wajah Ian juga bisa dibilang super duper ganteng. Tapi, Viera sama sekali tidak tertarik dengannya. Cara bicaranya, cara berjalannya, semua yang ada pada dirinya Viera tidak suka sama sekali.
Saat pengumuman perjodohan itu selesai, Viera segera beranjak dari tempat duduk dan berjalan cepat menuju toilet.
"Ya Tuhan, apa-apaan ini?" gumamnya sambil membuka pintu toilet.
Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan ekspresi frustasi. "Kenapa harus Ian? Kenapa?"
Viera merapikan gaun navy yang ia kenakan, mencoba menenangkan dirinya. "Ini tidak adil! Aku masih muda, masih ingin menikmati masa SMA-ku bersama dengan teman-teman!"
Ia berbicara pada bayangannya sendiri, "Bagaimana mungkin Papa dan Mama bisa setega ini? Dan sekarang mereka menjodohkanku dengan Ian?"
Menghela napas panjang, Viera bergumam, "Oh Tuhan, apakah ini cobaan untukku? Akankah aku sanggup menghadapi masa depan yang super seram ini?"
Ia merapikan rambutnya, berbicara pada diri sendiri, "Aku bahkan selalu dapat nilai jelek di matematika. Dan sekarang aku harus menikah dengan guru matematika yang sangat kubenci? Ini mustahil!"
Tiba-tiba, Viera tertawa getir, "Ini benar-benar seperti cerita drama murahan. Aku tidak percaya ini nyata!"
Ia menyentuh pipinya di cermin, "Apa aku terlihat sekacau yang kurasakan sekarang?"
Kemudian, dengan suara lirih, "Semoga ada jalan keluar dari semua ini."
Setelah beberapa menit, Viera keluar dari toilet dan berjalan kembali ke ruang VIP restoran itu. Betapa kagetnya Viera saat melihat sosok Ian berdiri tepat di depan pintu toilet. Dia memandang Viera dengan tatapan datar, persis seperti saat dia mengajar di kelas. Viera hanya bisa menatapnya dengan sebal. Tidak hanya di sekolah, sekarang Viera pun akan terus bersama dengannya selamanya. Bagaimana mungkin?
"Sedang apa kau di sini?" Viera bertanya ketus.
Ian tersenyum tipis, "Hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
"Baik-baik saja? Kau pikir aku baik-baik saja setelah mendengar kabar gila ini?" Viera membalas dengan nada sarkastis.
"Aku tahu ini sulit," Ian berkata pelan. "Tapi kita bisa mencoba saling mengenal."
Viera mendengus, "Mencoba? Kau guru matematikaku yang selalu memberiku nilai jelek. Bagaimana mungkin kita bisa saling mengenal?"
"Nilai matematika bukan segalanya, Viera," Ian membalas dengan tenang. "Mungkin kita bisa memulai dengan sikap terbuka."
Viera memutar bola matanya, "Terbuka? Ini sama sekali tidak adil!"
“Bukankah kita akan menjadi keluarga?” kata Ian dengan wajah yang tentu saja sangat datar.
Viera menatapnya kesal, "Semoga saja kau tidak seburuk yang kupikirkan."
Ian hanya tersenyum tipis, "Kita lihat saja nanti."
Dengan berat hati, Viera kembali ke meja. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Xaviera Hanske, termasuk murid paling beruntung di High International School (HIS). Setiap hari, ia diantar oleh sopir pribadinya, Pak Mamad, menggunakan mobil Alvard putih keluaran terbaru yang baru saja dibeli oleh Papanya."Pak Mamad, tolong parkir dekat pintu masuk ya," perintah Viera sambil merapikan rambutnya di cermin mobil.Pak Mamad tersenyum, "Baik, Nona Viera."Saat turun dari mobil Alvard putih keluaran terbaru, Viera langsung disambut oleh sahabatnya, Renna dan Fanny."Hai, teman-teman akuuu!" sapa Viera riang.Renna tertawa, "Mobil barumu lagi-lagi bikin iri nih!"Fanny menimpali, "Kalian ini selalu saja begitu. Kita kan sama-sama punya mobil bagus.""Bukan soal mobil, tapi gaya hidupnya!" Renna mencubit lengan Fanny. Mereka bertiga tertawa.Saat ini, Viera duduk di bangku kelas 12 SMA. Ia bersahabat dengan dua orang gadis cantik bernama Renna Rennatta dan Fanny Winata. Mereka bertiga bersahabat sejak masuk sekolah ini. Renna dan Fanny juga terlahir dari keluarga kaya r
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Viera menghela napas panjang sambil membereskan buku-buku di atas meja. Renna dan Fanny sudah pamit duluan karena ada les piano dan les bahasa Mandarin. Dengan langkah gontai, Viera berjalan menuju ruang guru.Suasana ruang guru sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa guru yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Viera menuju meja Ian yang terletak di pojok ruangan. Dia sedang serius memandangi layar laptop."Permisi, Pak," sapa Viera pelan.Ian mengalihkan pandangannya dari laptop. "Duduk," perintahnya singkat sambil menunjuk kursi di depan mejanya.Viera duduk dengan canggung. Ian mengambil beberapa lembar kertas dari map berwarna biru. Kertas-kertas itu adalah hasil ulangan matematika kelas kami minggu lalu."Lihat nilai kamu," Ian menyodorkan kertas ulangan Viera. Angka merah besar tertera di sudut kanan atas. 45. "Ini sudah yang keberapa kalinya kamu dapat nilai di bawah KKM?""Maaf, Pak..." hanya itu yang bisa Viera ucapkan."Kamu ini sudah kel
Baru saja Viera akan melangkah menuju parkiran, ponselnya berdering. Nama "Pak Mamad" tertera di layar."Halo, Pak Mamad? Kenapa belum sampai? Aku sudah di parkiran nih. Pak Mamad di mana?" tanya Viera langsung."Maaf, Non Viera. Saya harus menjemput Nyonya Tiara dulu. Ada urusan mendadak di tempat arisan. Ini saya sudah dalam perjalanan menuju lokasi Nyonya," jelas Pak Mamad dengan nada menyesal."Hah? Kok gitu sih, Pak? Mama kan bisa bawa mobil sendiri atau minta Pak Abdul aja yang nganter!" protesnya kesal. "Pak Mamad kan sopir khusus untukku!""Maaf, Non. Ini perintah langsung dari Nyonya Tiara...""Ya udah!" Viera memutus panggilan dengan kesal.Di tempat parkir yang mulai sepi, Viera mengomel sendirian. "Mama tuh ya, selalu aja seenaknya. Pak Mamad kan sopir pribadiku. Kalau ada acara mendadak harusnya mama bawa mobil sendiri aja atau nyuruh Pak Abdul kan bisa!""Belum pulang?"Suara dingin itu mengagetkan Viera. Ian berdiri tak jauh darinya, kunci mobil di tangannya."Pak Mamad
Viera melangkah gontai memasuki rumah mewah bergaya modern yang sudah ia tinggali sejak lahir. Rumah sebesar istana ini terasa begitu sepi. Papa Viera masih di kantor, sementara Mamanya entah sedang arisan di mana."Selamat sore, Non Viera," sapa Bi Suti yang sedang membersihkan ruang tamu."Sore, Bi," jawab Viera lesu."Mau Bi Suti buatkan minum atau cemilan?" tawar Bi Inah yang baru keluar dari dapur."Nanti aja, Bi. Aku mau mandi dulu."Di rumah ini, mereka hanya tinggal bertujuh. Viera, Papanya, Mamanya, dua pembantu setia mereka—Bi Suti dan Bi Inah—serta dua sopir, Pak Abdul dan Pak Mamad. Bi Suti dan Bi Inah mengurus segala keperluan rumah tangga, dari bersih-bersih hingga memasak.Pak Abdul sebenarnya sopir pribadi Papa Viera, tapi karena Papanya lebih suka menyetir sendiri mobil BMUU mewahnya, Pak Abdul lebih sering mengantar Mamanya. Sementara Pak Mamad khusus mengantar Viera ke sekolah atau kemanapun ia pergi.Sebenarnya, Viera sudah punya mobil sendiri, Lamborghina sport ke
Suara deru mobil memasuki salah satu rumah di Emerald Valley Residence. Mobil BMUU hitam itu berhenti tepat di depan pintu masuk rumah mewah itu. Tepat pukul enam malam, Papa Viera pulang dari kantornya. Saat hendak masuk, ia menoleh ke segala arah di ruang tamu.Biasanya, ada yang menyambutnya dengan ceria dan segera memeluknya saat masuk ke ruang tamu. Tapi, hari ini mengapa tidak ada suara ceria yang menyambutnya.Segera, Papa Viera bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Ia mengira bahwa Viera belum kembali dari sekolah.Malam itu, suasana ruang makan keluarga Viera terasa berbeda dari biasanya. Aroma masakan Bi Inah dan Bi Suti yang sedang menata hidangan di meja makan tidak mampu mencairkan ketegangan yang menyelimuti.Papa Viera yang baru selesai mandi dan berganti pakaian sudah duduk di kursinya, sementara Mama duduk di sampingnya dengan raut wajah cemas. Ia sudah mendengar cerita dari Istrinya itu tentang apa yang terjadi pada Viera."Non Vier
"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.Ding!Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix."Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar me
Jantung Viera seakan berhenti berdetak saat melihat Ian melangkah masuk ke dalam Kafe Kini Kopi. Yang membuat dirinya semakin kaget adalah kehadiran seorang wanita cantik di samping Ian.Wanita itu terlihat sangat anggun dengan blazer cream dan rok pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam legam tergerai rapi, make up-nya natural namun memancarkan kedewasaan yang membuat Viera merasa begitu kecil.Felix yang menyadari kehadiran Ian langsung berdiri. "Selamat pagi, Pak Ian," sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Ian.Mau tidak mau, Viera juga harus berdiri dan melakukan hal yang sama. "Selamat pagi, Pak," ucapnya pelan sambil mencium tangan calon suaminya itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat dari Felix dan semua orang di sekolahnya."Pagi, Felix… Viera," jawab Ian datar seperti biasa.Felix kemudian menyalami wanita yang bersama Ian. Viera mengikuti, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi tanda tanya. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat b
Viera kembali ke mejanya dengan langkah berat. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat pasi. Felix yang sedari tadi memperhatikan, langsung menyadari perubahan pada raut wajah gadis di hadapannya itu."Viera, kamu sakit? Kok pucat banget?" tanya Felix dengan nada khawatir.Viera hanya menggeleng lemah, tidak sanggup mengeluarkan suara. Pikirannya masih berkecamuk dengan kata-kata Ian yang begitu misterius.Felix menutup buku matematika di hadapannya. "Kayaknya kita udah kebanyakan belajar deh. Otakmu perlu refreshing," ia tersenyum hangat. "Gimana kalau kita nonton? Kebetulan ada film bagus yang baru rilis.""Boleh," jawab Viera cepat, terlalu cepat malah. Apa saja, asal bisa keluar dari kafe ini, menjauh dari Ian dan wanita misterius itu.Mereka bergegas membereskan buku-buku dan meninggalkan kafe. Viera bahkan tidak menoleh ke arah meja Ian saat mereka lewat. Di parkiran, Felix menyerahkan helm cadangan untuk Viera kenakan."Aku selalu bawa helm cadangan, just in case," Felix
Viera memeriksa kembali semua jawabannya, memastikan tidak ada yang terlewat. Setelah yakin, dia menekan tombol "Kirim" dan menunggu sistem memproses jawabannya. Layar berkedip sejenak, kemudian muncul pesan konfirmasi bahwa ujiannya telah berhasil disimpan dan terkirim.Viera menghela napas lega, melepas headset, dan bersandar di kursinya. Satu ujian telah selesai, masih ada beberapa lagi yang menunggu. Tapi setidaknya, yang pertama telah dilewati dengan baik.Setelah waktu ujian habis, para siswa diizinkan meninggalkan ruangan. Viera bertemu dengan Renna dan Fanny di koridor."Gimana?" tanya Fanny, wajahnya terlihat lelah tapi puas."Tidak buruk," jawab Viera. "Bagaimana dengan kalian?""Soal nomor 35 hampir bikin gue menangis," keluh Renna. "Tapi sisanya oke."Mereka berjalan bersama menuju kantin untuk makan siang sebelum kembali untuk ujian Bahasa Indonesia di sesi siang. Di tengah jalan, Viera merasakan ponselnya bergetar. Pesan dari Ian."Semoga ujian pertamamu lancar. Percaya
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah satu minggu istirahat dan persiapan intensif, ujian akhir resmi di SMA Internasional Nusantara dimulai. Berbeda dengan sekolah konvensional, sekolah mereka menggunakan sistem ujian berbasis komputer—salah satu keunggulan dari sekolah internasional yang sering dibanggakan oleh kepala sekolah di setiap kesempatan. Pagi itu, Viera tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Koridor-koridor masih sepi, hanya ada beberapa siswa yang tampak sama gugupnya dengan dirinya, membawa buku dan catatan untuk dibaca sekali lagi sebelum ujian dimulai. "Pagi, Ra!" sapa Renna yang berlari kecil mendekatinya. "Siap untuk hari ini?" Viera tersenyum tipis. "Sebisa mungkin. Bagaimana denganmu?" "Rasanya seperti otak mau meledak," keluh Renna sambil memegang kepalanya secara dramatis. "Terlalu banyak yang harus diingat." "Kalian berdua terlalu tegang," Fanny muncul dari belakang, menepuk bahu kedua temannya. "Ini cuma ujian, bukan akhir dunia." "Kata seseo
Mereka menghabiskan sisa waktu mereka berbicara tentang hal-hal yang lebih ringan—bagaimana ujian simulasi berjalan, buku baru yang Ian baca, film yang ingin ditonton Viera. Mencoba untuk tidak tenggelam dalam kekhawatiran tentang masa depan, mencoba untuk hidup dalam momen ini.Ketika waktu berpisah tiba, Ian tidak menawarkan untuk mengantar Viera pulang seperti biasanya. Mereka berdua tahu bahwa untuk saat ini, mereka harus lebih berhati-hati."Jaga dirimu," kata Ian saat mereka berdiri di depan kafe. "Fokus pada ujianmu. Setelah itu...""Setelah itu, kita akan mencari jalan," Viera melanjutkan kalimat Ian.Ian tersenyum, matanya memancarkan kelembutan dan janji. "Ya. Kita akan mencari jalan."Mereka berpisah tanpa sentuhan, tanpa bisikan, hanya dengan tatapan yang menyimpan ribuan kata tak terucap. Viera berjalan pulang sendiri, hatinya berat tapi tekadnya kuat.Dia tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah. Sudah sejak awal dia menyadarinya. Tapi dia juga tahu bahwa bebe
Balasan Ian datang beberapa detik kemudian. "Tidak ada masalah. Hanya ingin berbicara. Kafe biasa, jam 4?" "Oke. Sampai bertemu nanti." Viera memasukkan ponselnya ke saku, perasaan was-was aneh menyelimuti hatinya. Meskipun Ian bilang tidak ada masalah, ada sesuatu dalam perkataannya yang terasa... berbeda. Atau mungkin itu hanya kekhawatirannya saja? *** Kafe Masa Lalu terlihat lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena hari Jumat, atau mungkin karena banyak siswa yang merayakan berakhirnya ujian simulasi. Viera duduk di sudut yang sedikit terpisah, tempat favorit mereka, segelas matcha latte di hadapannya. Ian terlambat sepuluh menit, hal yang sangat tidak biasa untuk seseorang yang selalu tepat waktu seperti dirinya. Ketika akhirnya dia muncul, wajahnya terlihat sedikit pucat dan ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya. "Maaf membuatmu menunggu," katanya, duduk di hadapan Viera. "Rapat guru berlangsung lebih lama dari yang kukira." "Tidak apa-apa," Viera tersenyum ke
Hari-hari berlalu dengan cepat dalam rutinitas ujian simulasi yang melelahkan. Setiap pagi, Viera bangun dengan kecemasan yang sama—apakah dia cukup belajar, apakah dia siap, apakah dia akan mengecewakan dirinya sendiri, orang tuanya, atau Ian. Setiap malam, dia tertidur dengan kelelahan yang sama—otaknya penuh dengan rumus, teori, dan fakta-fakta yang harus diingat.Tapi hari ini berbeda. Hari ini adalah hari terakhir ujian simulasi, dan atmosfer di sekolah terasa lebih ringan. Meski masih ada ketegangan, ada juga harapan—ujian simulasi akan berakhir, dan mereka akan punya waktu singkat untuk bernapas sebelum ujian sesungguhnya dimulai."Loe kelihatan lebih segar," komentar Renna saat mereka berjalan bersama di koridor sekolah menuju kelas terakhir—Bahasa Inggris.Viera tersenyum kecil. "Gue rasa karena ini hari terakhir. Dan Bahasa Inggris selalu menjadi pelajaran favorit gue.""Bukan karena semalam loe dapat telepon dari Pak guru matematika?" goda Fanny yang berjalan di sisi lain V
"Tapi kamu menyukai guru matematika itu," balas Ian, dan Viera bisa membayangkan senyuman kecil di wajahnya saat mengetik pesan itu."Ya," Viera mengetik, tersenyum pada dirinya sendiri. "Sangat.""Tidurlah, Viera. Besok akan jadi hari yang panjang.""Oke. Selamat malam.""Selamat malam. Mimpi indah."Viera meletakkan ponselnya, mematikan lampu tidur, dan menarik selimut hingga menutupi dagunya. Di luar, angin malam berbisik di antara dedaunan, menciptakan melodi tidur yang lembut dan menenangkan.Besok adalah ujian simulasi. Lalu ujian sebenarnya. Lalu kelulusan. Lalu...Dalam kegelapan kamarnya, di bawah bintang-bintang plastik yang memudar, Viera memejamkan mata. Untuk saat ini, dia akan mengikuti saran Ian. Tidak berpikir terlalu jauh.Besok adalah besok. Hari ini, setidaknya, dunianya sedikit lebih utuh dari kemarin.***Kelas terasa hening meski dipenuhi oleh puluhan siswa. Hanya suara goresan pensil di atas kertas dan sesekali desahan frustrasi yang terdengar. Ujian simulasi ma
Viera mengangguk, mengeratkan genggamannya pada tangan Ian. "Langkah demi langkah."Mereka berdiam dalam keheningan yang nyaman untuk beberapa saat, menikmati kedekatan yang jarang bisa mereka rasakan di tempat umum."Kamu harus masuk," akhirnya Ian berkata. "Sudah malam."Viera menghela napas, tidak ingin momen itu berakhir, tapi tahu bahwa Ian benar. "Ya, aku tahu."Sebelum keluar dari mobil, Viera berbalik dan menatap Ian. "Terima kasih untuk hari ini. Untuk... membuat duniaku sedikit lebih utuh."Ian tersenyum, matanya berkilau di bawah cahaya temaram. "Terima kasih kembali. Untuk membiarkanku masuk ke dalamnya."Dengan satu anggukan terakhir, Viera keluar dari mobil dan berjalan pulang. Langkahnya terasa ringan, seolah beban yang selama ini dia pikul sedikit terangkat. Di belakangnya, mobil Ian menunggu sampai dia berbelok menuju rumahnya sebelum perlahan melaju pergi, membawa serta bayangan-bayangan yang kini terasa lebih jelas, lebih nyata, dalam kehidupan Viera.Sesampainya di
Dengan itu, suasana canggung mulai mencair. Ian ternyata tidak hanya ahli matematika, tapi juga memiliki pemahaman yang baik tentang ekonomi. Dia menjelaskan konsep-konsep sulit dengan cara yang mudah dipahami, menggunakan contoh-contoh dari kehidupan nyata. "Jadi, rumusnya bisa dikerjakan seperti ini seperti ini," Ian menulis rumus sederhana di kertas. Viera memperhatikan dengan kagum bagaimana teman-temannya perlahan-lahan mulai nyaman dibimbing oleh Ian. Fanny bahkan sudah berani bercanda, sementara Renna menunjukkan ketertarikannya dengan rumus yang mudah dihafal. Sesi belajar itu berlangsung sampai malam. Ketika akhirnya mereka memutuskan untuk pulang, Viera merasakan campuran emosi yang aneh—bangga melihat Ian berinteraksi baik dengan teman-temannya, tapi juga sedikit cemas. Seolah dua dunianya yang terpisah kini mulai bertabrakan. "Terima kasih untuk bantuannya, Pak Ian," Fanny berkata saat mereka berpisah di depan kafe. "Kamu—maksudku Anda—guru yang hebat." Ian tersenyum
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa, ujian akhir hampir tiba. Viera dan teman-temannya tenggelam dalam buku-buku pelajaran dan kertas-kertas latihan. Kafe-kafe di sekitar sekolah penuh dengan siswa kelas dua belas yang belajar kelompok, menyesap kopi berlebihan, dan saling bertukar rumus dan catatan."Aku tidak bisa mengingat semua rumus ini," keluh Fanny, menutup buku fisikanya dengan frustasi. "Terlalu banyak.""Buat diagram dulu," saran Renna, yang dengan tenang membuat kartu-kartu kecil berisi poin-poin penting. "Lebih mudah mengingat secara visual."Viera mengangguk, tapi matanya terasa berat. Dia sudah belajar sejak pagi, dan hari sudah menjelang sore. Cangkir kopi ketiganya nyaris kosong."Kalian tahu," Viera berkata sambil meregangkan tubuhnya, "Ian sebenarnya punya metode bagus untuk mengingat rumus-rumus."Ada keheningan canggung sejenak sebelum Fanny tertawa kecil. "Viera, loe gak mau tanya gitu metode tunanganmu buat mengingat rumus?"Viera memutar matanya, tapi tidak