"Viera, pertemuan keluarga ini bermaksud untuk menjodohkanmu dengan Ian." Kalimat itu terus terngiang di kepala Viera, membuatnya merasa bagai tersambar petir di siang bolong. Bagaimana bisa orang tuanya, Robert Hanske dan Tiara Hanske, memutuskan untuk menjodohkannya dengan Ian, guru matematika killer di sekolahnya?
“Oh My God? Bagaimana bisa takdir indahnya harus berakhir tragis seperti ini. Tuhan, apakah Engkau sangat tega menguji anak manis nan cantik sepertiku ini?. Akankah aku kuat menghadapi cobaan ini?” Viera bertanya-tanya dalam hati.
Mereka tengah berada di sebuah restoran Prancis mewah di tengah kota, tempat pertemuan rutin keluarga mereka dan keluarga Ian, Toni Gunawan dan Citra Gunawan, diadakan. Suasana restoran yang elegan dengan dekorasi interior bergaya Eropa abad pertengahan itu tak mampu mengalihkan pikiran Viera dari kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Papa dan Mamanya.
Jujur saja, Viera, masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin mereka tega menjodohkannya, yang bahkan masih duduk di bangku kelas 12 SMA, dengan Berlian Gunawan, guru matematika yang sangat killer di sekolahnya? Dia bahkan sering mendapat nilai buruk di mata pelajarannya.
Sebenarnya Viera sangat ingin menolak perjodohan ini, tapi bagaimana mungkin dia bisa menolak kedua orang tuanya yang sangat menyayanginya dan selalu mengabulkan semua permintaannya? Semua barang mewah yang dimilikinya saat ini, mulai dari ponsel terbaru, tas branded, hingga mobil sport sebagai hadiah ulang tahunnya, adalah hasil dari kemurahan hati mereka. Mereka tak pernah sekalipun berkata "tidak" padanya.
"Viera, kami melakukan ini untuk membangun bisnis besar yang sedang kami kembangkan bersama dengan Pak Toni, Papa Ian," ujar Papanya, Robert Hanske, berusaha menjelaskan.
"Kami percaya kalian berdua akan saling melengkapi dan membawa kesuksesan bagi perusahaan kita," tambah Mama Ian, Citra Gunawan, dengan nada optimis.
"Tapi, Pa… Ma. Aku masih baru saja naik kelas 12 SMA. Bukankah ini terlalu buru-buru? Dan juga, Pak Ian adalah guru baru di sekolahku. Bagaimana nanti jika satu sekolah heboh dengan hubungan kami?" Viera mencoba membujuk kedua orang tuanya.
“Sayang, dengarkan Papa. Kami melakukan ini untuk kebaikanmu. Kami tahu apa yang terbaik untukmu dan Ian.” Ujar Papanya sambil mengelus rambut panjang yang sengaja Viera blow di bagian ujungnya.
“Dan juga, kalian bisa merahasiakan hubungan kalian hingga lulus nanti. Pernikahan kalian akan digelar setelah Viera lulus nanti. Sekalian kalian bisa mengenal satu sama lain.” tambah Papa Ian.
“Apa? Demi kebaikanku? Sepertinya hanya untuk kebaikan bisnis Papaku dan Papa Ian saja. Oh Tuhan, kenapa aku harus terjebak dalam situasi yang rumit ini? Aku ingin tahun terakhirku di SMA ini kujalani dengan penuh suka cita bersama teman-temanku.” Tentu saja Viera hanya bergumam dalam hati. Mana mungkin ia berani berkata begitu kepada orang tuanya.
Memang Viera tidak pernah berpikiran untuk pacaran sebelumnya. Kasih sayang dari Papanya sepertinya sudah sangat cukup, hingga Viera memutuskan untuk tidak pacaran.
Meskipun wajah Ian juga bisa dibilang super duper ganteng. Tapi, Viera sama sekali tidak tertarik dengannya. Cara bicaranya, cara berjalannya, semua yang ada pada dirinya Viera tidak suka sama sekali.
Saat pengumuman perjodohan itu selesai, Viera segera beranjak dari tempat duduk dan berjalan cepat menuju toilet.
"Ya Tuhan, apa-apaan ini?" gumamnya sambil membuka pintu toilet.
Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan ekspresi frustasi. "Kenapa harus Ian? Kenapa?"
Viera merapikan gaun navy yang ia kenakan, mencoba menenangkan dirinya. "Ini tidak adil! Aku masih muda, masih ingin menikmati masa SMA-ku bersama dengan teman-teman!"
Ia berbicara pada bayangannya sendiri, "Bagaimana mungkin Papa dan Mama bisa setega ini? Dan sekarang mereka menjodohkanku dengan Ian?"
Menghela napas panjang, Viera bergumam, "Oh Tuhan, apakah ini cobaan untukku? Akankah aku sanggup menghadapi masa depan yang super seram ini?"
Ia merapikan rambutnya, berbicara pada diri sendiri, "Aku bahkan selalu dapat nilai jelek di matematika. Dan sekarang aku harus menikah dengan guru matematika yang sangat kubenci? Ini mustahil!"
Tiba-tiba, Viera tertawa getir, "Ini benar-benar seperti cerita drama murahan. Aku tidak percaya ini nyata!"
Ia menyentuh pipinya di cermin, "Apa aku terlihat sekacau yang kurasakan sekarang?"
Kemudian, dengan suara lirih, "Semoga ada jalan keluar dari semua ini."
Setelah beberapa menit, Viera keluar dari toilet dan berjalan kembali ke ruang VIP restoran itu. Betapa kagetnya Viera saat melihat sosok Ian berdiri tepat di depan pintu toilet. Dia memandang Viera dengan tatapan datar, persis seperti saat dia mengajar di kelas. Viera hanya bisa menatapnya dengan sebal. Tidak hanya di sekolah, sekarang Viera pun akan terus bersama dengannya selamanya. Bagaimana mungkin?
"Sedang apa kau di sini?" Viera bertanya ketus.
Ian tersenyum tipis, "Hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
"Baik-baik saja? Kau pikir aku baik-baik saja setelah mendengar kabar gila ini?" Viera membalas dengan nada sarkastis.
"Aku tahu ini sulit," Ian berkata pelan. "Tapi kita bisa mencoba saling mengenal."
Viera mendengus, "Mencoba? Kau guru matematikaku yang selalu memberiku nilai jelek. Bagaimana mungkin kita bisa saling mengenal?"
"Nilai matematika bukan segalanya, Viera," Ian membalas dengan tenang. "Mungkin kita bisa memulai dengan sikap terbuka."
Viera memutar bola matanya, "Terbuka? Ini sama sekali tidak adil!"
“Bukankah kita akan menjadi keluarga?” kata Ian dengan wajah yang tentu saja sangat datar.
Viera menatapnya kesal, "Semoga saja kau tidak seburuk yang kupikirkan."
Ian hanya tersenyum tipis, "Kita lihat saja nanti."
Dengan berat hati, Viera kembali ke meja. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Xaviera Hanske, termasuk murid paling beruntung di High International School (HIS). Setiap hari, ia diantar oleh sopir pribadinya, Pak Mamad, menggunakan mobil Alvard putih keluaran terbaru yang baru saja dibeli oleh Papanya."Pak Mamad, tolong parkir dekat pintu masuk ya," perintah Viera sambil merapikan rambutnya di cermin mobil.Pak Mamad tersenyum, "Baik, Nona Viera."Saat turun dari mobil Alvard putih keluaran terbaru, Viera langsung disambut oleh sahabatnya, Renna dan Fanny."Hai, teman-teman akuuu!" sapa Viera riang.Renna tertawa, "Mobil barumu lagi-lagi bikin iri nih!"Fanny menimpali, "Kalian ini selalu saja begitu. Kita kan sama-sama punya mobil bagus.""Bukan soal mobil, tapi gaya hidupnya!" Renna mencubit lengan Fanny. Mereka bertiga tertawa.Saat ini, Viera duduk di bangku kelas 12 SMA. Ia bersahabat dengan dua orang gadis cantik bernama Renna Rennatta dan Fanny Winata. Mereka bertiga bersahabat sejak masuk sekolah ini. Renna dan Fanny juga terlahir dari keluarga kaya r
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Viera menghela napas panjang sambil membereskan buku-buku di atas meja. Renna dan Fanny sudah pamit duluan karena ada les piano dan les bahasa Mandarin. Dengan langkah gontai, Viera berjalan menuju ruang guru.Suasana ruang guru sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa guru yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Viera menuju meja Ian yang terletak di pojok ruangan. Dia sedang serius memandangi layar laptop."Permisi, Pak," sapa Viera pelan.Ian mengalihkan pandangannya dari laptop. "Duduk," perintahnya singkat sambil menunjuk kursi di depan mejanya.Viera duduk dengan canggung. Ian mengambil beberapa lembar kertas dari map berwarna biru. Kertas-kertas itu adalah hasil ulangan matematika kelas kami minggu lalu."Lihat nilai kamu," Ian menyodorkan kertas ulangan Viera. Angka merah besar tertera di sudut kanan atas. 45. "Ini sudah yang keberapa kalinya kamu dapat nilai di bawah KKM?""Maaf, Pak..." hanya itu yang bisa Viera ucapkan."Kamu ini sudah kel
Baru saja Viera akan melangkah menuju parkiran, ponselnya berdering. Nama "Pak Mamad" tertera di layar."Halo, Pak Mamad? Kenapa belum sampai? Aku sudah di parkiran nih. Pak Mamad di mana?" tanya Viera langsung."Maaf, Non Viera. Saya harus menjemput Nyonya Tiara dulu. Ada urusan mendadak di tempat arisan. Ini saya sudah dalam perjalanan menuju lokasi Nyonya," jelas Pak Mamad dengan nada menyesal."Hah? Kok gitu sih, Pak? Mama kan bisa bawa mobil sendiri atau minta Pak Abdul aja yang nganter!" protesnya kesal. "Pak Mamad kan sopir khusus untukku!""Maaf, Non. Ini perintah langsung dari Nyonya Tiara...""Ya udah!" Viera memutus panggilan dengan kesal.Di tempat parkir yang mulai sepi, Viera mengomel sendirian. "Mama tuh ya, selalu aja seenaknya. Pak Mamad kan sopir pribadiku. Kalau ada acara mendadak harusnya mama bawa mobil sendiri aja atau nyuruh Pak Abdul kan bisa!""Belum pulang?"Suara dingin itu mengagetkan Viera. Ian berdiri tak jauh darinya, kunci mobil di tangannya."Pak Mamad
Viera melangkah gontai memasuki rumah mewah bergaya modern yang sudah ia tinggali sejak lahir. Rumah sebesar istana ini terasa begitu sepi. Papa Viera masih di kantor, sementara Mamanya entah sedang arisan di mana."Selamat sore, Non Viera," sapa Bi Suti yang sedang membersihkan ruang tamu."Sore, Bi," jawab Viera lesu."Mau Bi Suti buatkan minum atau cemilan?" tawar Bi Inah yang baru keluar dari dapur."Nanti aja, Bi. Aku mau mandi dulu."Di rumah ini, mereka hanya tinggal bertujuh. Viera, Papanya, Mamanya, dua pembantu setia mereka—Bi Suti dan Bi Inah—serta dua sopir, Pak Abdul dan Pak Mamad. Bi Suti dan Bi Inah mengurus segala keperluan rumah tangga, dari bersih-bersih hingga memasak.Pak Abdul sebenarnya sopir pribadi Papa Viera, tapi karena Papanya lebih suka menyetir sendiri mobil BMUU mewahnya, Pak Abdul lebih sering mengantar Mamanya. Sementara Pak Mamad khusus mengantar Viera ke sekolah atau kemanapun ia pergi.Sebenarnya, Viera sudah punya mobil sendiri, Lamborghina sport ke
Suara deru mobil memasuki salah satu rumah di Emerald Valley Residence. Mobil BMUU hitam itu berhenti tepat di depan pintu masuk rumah mewah itu. Tepat pukul enam malam, Papa Viera pulang dari kantornya. Saat hendak masuk, ia menoleh ke segala arah di ruang tamu.Biasanya, ada yang menyambutnya dengan ceria dan segera memeluknya saat masuk ke ruang tamu. Tapi, hari ini mengapa tidak ada suara ceria yang menyambutnya.Segera, Papa Viera bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Ia mengira bahwa Viera belum kembali dari sekolah.Malam itu, suasana ruang makan keluarga Viera terasa berbeda dari biasanya. Aroma masakan Bi Inah dan Bi Suti yang sedang menata hidangan di meja makan tidak mampu mencairkan ketegangan yang menyelimuti.Papa Viera yang baru selesai mandi dan berganti pakaian sudah duduk di kursinya, sementara Mama duduk di sampingnya dengan raut wajah cemas. Ia sudah mendengar cerita dari Istrinya itu tentang apa yang terjadi pada Viera."Non Vier
"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.Ding!Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix."Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar me
Jantung Viera seakan berhenti berdetak saat melihat Ian melangkah masuk ke dalam Kafe Kini Kopi. Yang membuat dirinya semakin kaget adalah kehadiran seorang wanita cantik di samping Ian.Wanita itu terlihat sangat anggun dengan blazer cream dan rok pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam legam tergerai rapi, make up-nya natural namun memancarkan kedewasaan yang membuat Viera merasa begitu kecil.Felix yang menyadari kehadiran Ian langsung berdiri. "Selamat pagi, Pak Ian," sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Ian.Mau tidak mau, Viera juga harus berdiri dan melakukan hal yang sama. "Selamat pagi, Pak," ucapnya pelan sambil mencium tangan calon suaminya itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat dari Felix dan semua orang di sekolahnya."Pagi, Felix… Viera," jawab Ian datar seperti biasa.Felix kemudian menyalami wanita yang bersama Ian. Viera mengikuti, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi tanda tanya. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat b
Viera kembali ke mejanya dengan langkah berat. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat pasi. Felix yang sedari tadi memperhatikan, langsung menyadari perubahan pada raut wajah gadis di hadapannya itu."Viera, kamu sakit? Kok pucat banget?" tanya Felix dengan nada khawatir.Viera hanya menggeleng lemah, tidak sanggup mengeluarkan suara. Pikirannya masih berkecamuk dengan kata-kata Ian yang begitu misterius.Felix menutup buku matematika di hadapannya. "Kayaknya kita udah kebanyakan belajar deh. Otakmu perlu refreshing," ia tersenyum hangat. "Gimana kalau kita nonton? Kebetulan ada film bagus yang baru rilis.""Boleh," jawab Viera cepat, terlalu cepat malah. Apa saja, asal bisa keluar dari kafe ini, menjauh dari Ian dan wanita misterius itu.Mereka bergegas membereskan buku-buku dan meninggalkan kafe. Viera bahkan tidak menoleh ke arah meja Ian saat mereka lewat. Di parkiran, Felix menyerahkan helm cadangan untuk Viera kenakan."Aku selalu bawa helm cadangan, just in case," Felix
"Jadi..." Ian memecah keheningan setelah tawa mereka mereda. "Kamu masih marah sama aku?"Viera menghela napas panjang, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan setelah bangun tidur. "Menurut Tuan Ian bagaimana?""Aku tau aku salah," Ian bergeser sedikit lebih dekat. "Aku harusnya percaya sama kamu. Harusnya aku nggak langsung marah-marah waktu itu.""Kamu tau nggak sih rasanya dituduh nyontek?" Viera menatap Ian dengan mata berkaca-kaca. "Apalagi sama orang terdekat. Aku kira kamu yang paling tau aku kayak gimana."Ian mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Viera dengan lembut. "Iya, aku tau. Makanya aku minta maaf. Aku... aku cuma takut dengan masa depanmu.""Maksudnya?""
Setelah kepulangan Mama, Viera kembali ke kelasnya dengan perasaan lebih ringan. Renna dan Fanny yang sudah menunggunya langsung menghampiri. Dengan suara pelan, Viera menceritakan semua yang terjadi di ruang kepala sekolah, termasuk pengakuan Pak Karyo tentang keterlibatan Reggina."Tuh kan, gue bilang juga apa," Renna memeluk Viera erat. "Loe nggak mungkin ngelakuin hal kayak itu."Fanny ikut memeluk dari sisi lain. "Kita selalu percaya sama loe, Ra. Tapi ngomong-ngomong, Reggina nggak masuk hari ini.""Mungkin dia udah tau kalo bakal ketahuan," Felix tiba-tiba muncul dan bergabung dalam pembicaraan. "Aku juga nggak pernah percaya kalo kamu nyontek, Ra. Nggak masuk akal aja."Meski kebenaran sudah terungkap, Viera masih bisa mendengar bisik-bisik di sekitarnya. Beberap
"Dan kalau kita lihat rekaman hari berikutnya..." Mama meminta staf IT memindahkan ke rekaman hari selanjutnya. "Reggina memberikan amplop pada Pak Karyo."Wajah Pak Darto memucat. Tanpa diminta, ia segera menelepon Pak Karyo.Beberapa menit kemudian, Pak Karyo masuk ke ruangan dengan wajah tertunduk, kedua tangannya saling meremas dengan gugup."Pak Karyo," Pak Darto memulai dengan suara tegas, "bisa jelaskan kenapa Reggina memberikan amplop kepada Bapak?"Pak Karyo terdiam sejenak, keringat mulai membasahi dahinya. "Sa-saya..." suaranya bergetar."Pak Karyo," Mama Viera berkata lembut, ada empati dalam suaranya, "tolong ceritakan yang sebenarnya. Ini menyangkut masa depan anak-anak."
Pagi itu, Viera dan Mamanya berjalan beriringan memasuki gedung sekolah. Langkah mereka mantap menuju ruang guru, meskipun jantung Viera berdegup kencang.Di sepanjang koridor, beberapa siswa berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Viera bisa mendengar samar-samar nama Reggina dan Ian disebut-sebut. Ia menundukkan kepala, mencoba mengabaikan tatapan menghakimi dari teman-temannya. Mama yang menyadari hal itu langsung menggenggam tangannya erat, memberinya kekuatan."Kamu tidak sendirian," bisik Mama sambil tersenyum meyakinkan.Viera membalas genggaman tangan Mamanya. Dalam hati, ia bersyukur memiliki ibu yang selalu mendukungnya. Bahkan di saat-saat terberatnya seperti ini."Selamat pagi, Bu," sapa Pak Darto begitu mereka memasuki ruangannya. "Silakan duduk."
Di dalam mobil, Viera memandang kosong ke luar jendela. Matanya masih terasa panas setelah dimarahi Pak Darto. Getaran ponsel di sakunya membuat ia tersentak - nama Ian muncul di layar."Halo," Viera menjawab dengan suara pelan."Aku dengar kamu mencontek saat try out Kimia," suara Ian terdengar dingin, lebih dingin dari biasanya."Ian, aku tidak—""Kenapa?" potong Ian. "Kenapa kau melakukan hal yang paling aku benci, Viera?""Aku tidak mencontek!" Viera berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh Pak Mamad. "Aku yakin ini perbuatan Reggina. Dia—""Jangan menuduh orang lain, Viera," Ian mendengus. "Contekan itu ada di mejamu. Dan kamu tahu prosedurnya - sebelum
Minggu ini, seluruh siswa kelas 12 disibukkan dengan try out untuk persiapan ujian kelulusan. Pagi itu, suasana kelas terasa tegang saat try out Kimia berlangsung. Viera duduk di bangkunya dengan tenang, sesekali mengetuk-ngetuk pensil ke meja sambil berpikir. Soal-soal di hadapannya tidak terlalu sulit berkat persiapannya yang matang selama seminggu terakhir.Pak Darto, guru yang terkenal dengan kedisiplinannya yang ketat, berjalan mengawasi dengan langkah berat. Kacamatanya yang tebal menambah kesan serius pada wajahnya yang kaku. Suara sepatunya yang berketuk di lantai membuat beberapa siswa merasa was-was."Ingat, waktu tinggal 30 menit lagi," suara berat Pak Darto memecah keheningan.Viera tetap fokus pada pekerjaannya, tidak menyadari Pak Darto yang kini berhenti di samping mejanya. Guru senior itu mengerutkan
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya sesi bimbel sore itu. Viera membereskan bukunya dengan tenang, sementara Renna dan Fanny masih menggerutu tentang kejadian pagi tadi."Gila ya si cabe gatal itu," Renna mendengus kesal sambil memasukkan buku ke dalam tasnya. "Sok banget sih dia. Mentang-mentang rambutnya di-blow tiap hari.""Iya! Udah gitu pake acara bawa-bawa nama Pak Ian segala," Fanny menimpali. "Padahal dia sendiri yang ganjen sama Pak Ian."Viera hanya tersenyum mendengar ocehan kedua sahabatnya. "Udah, biarin aja. Nanti juga capek sendiri."Belum sempat mereka melangkah keluar kelas, sosok Reggina muncul di ambang pintu, diapit oleh Daisy dan Ingrid - duo tak terpisahkan yang selalu mengekorinya kemanapun. Daisy dengan rambut pirang platin
Keesokan harinya, Viera melangkah memasuki kelas dengan langkah berat. Meski kepalanya sudah tidak sakit, namun hatinya masih was-was menghadapi bisik-bisik yang tak kunjung reda. Ia duduk di bangkunya seperti biasa, mengeluarkan buku pelajaran sambil sesekali melirik sekeliling."Wah, wah... si anak rajin sudah datang rupanya," suara sinis itu membuat Viera mendongak. Reggina, gadis populer itu berdiri di depan mejanya dengan tangan terlipat di dada. Rambut panjangnya yang dicat coklat keemasan terlihat berkilau, hasil blow di salon mahal langganannya.Riasan wajahnya lebih tebal dari siswi lain - dengan eye shadow kecoklatan dan lipstik merah muda yang mencolok. Jam tangan Cartier berkilau di pergelangan tangannya, senada dengan kalung berlian yang selalu ia pamerkan. Tak heran banyak yang menyebutnya 'Princess' sekolah, mengingat ayahnya adalah salah satu pe
Pagi itu, Viera memandang keluar jendela mobil Pak Mamad yang melaju pelan memasuki gerbang sekolah. Perasaannya campur aduk - antara lega bisa kembali ke sekolah dan gelisah menghadapi gosip yang mungkin beredar. Kepalanya sudah tidak pusing lagi, tapi memori tentang perhatian Ian kemarin masih terasa hangat di benaknya."Sudah merasa baikan, Non?" tanya Pak Mamad sambil menghentikan mobil di depan gedung sekolah."Sudah jauh lebih baik, Pak. Terima kasih," jawab Viera sambil tersenyum, lalu turun dari mobil dengan hati-hati.Belum sempat Viera melangkah jauh, suara familiar menyambutnya dengan penuh semangat. "Vieraaaa!" Renna dan Fanny berlari kecil menghampirinya, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran sekaligus kelegaan."Ya Ampun, loe benar-benar sudah sembuh?" tanya F