"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.
Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.
Ding!
Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix.
"Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."
Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar menanti esok hari.
Keesokan paginya, aura Viera berubah 180 derajat. Ia turun untuk sarapan dengan wajah berseri-seri, berbeda sekali dengan semalam yang murung dan penuh kesedihan. Papa dan Mama saling berpandangan, heran melihat perubahan mood putri mereka.
"Ada apa nih? Kok kelihatannya senang sekali, Sayang?" tanya Papa sambil menyesap kopi hitamnya.
"Viera mau ke Kafe Kini Kopi, Pa. Mau mengerjakan tugas dengan teman," jawab Viera riang.
"Oh, boleh. Tapi nanti Pak Mamad yang antar ya?"
"Iya, Pa," Viera mengangguk patuh.
Setelah Papa berangkat ke kantor dan Mama pergi ke acara sosialita di restoran tengah kota, Viera bergegas kembali ke kamarnya. Ia membongkar isi lemarinya, bingung memilih pakaian yang tepat. Setelah hampir setengah jam mencoba berbagai outfit, pilihannya jatuh pada dress pendek selutut tanpa lengan berwarna pink dengan motif bunga-bunga kecil. Ia menata rambutnya dalam gaya kuncir kuda, membiarkan poninya teratur membingkai wajahnya.
Jam di dinding menunjukkan pukul 09.45 ketika Viera akhirnya turun menemui Pak Mamad di garasi rumahnya. Sopir setia keluarganya itu sudah siap dengan mobil Alvard Putih di halaman depan. Lima belas menit kemudian, mereka tiba di Kafe Kini Kopi.
"Pak Mamad pulang saja dulu. Nanti kalau Viera mau pulang, Viera telepon," ujar Viera sebelum turun dari mobil.
Begitu memasuki kafe, mata Viera langsung tertuju pada sosok Felix yang duduk di pojok ruangan. Beberapa buku matematika sudah tertata rapi di atas meja. Felix tampak santai namun tetap tampan dengan kaos kasual dan celana jeans panjang.
"Hai Felix," sapa Viera dengan senyum manis.
Felix mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. "Hai Viera! Akhirnya datang juga. Aku udah siapain beberapa soal nih yang mirip sama yang kemarin."
"Aduh, aku jadi nggak enak. Kamu sampai nyiapin segala," Viera duduk di kursi di hadapan Felix.
"Santai aja. Namanya juga belajar bareng," Felix membuka buku catatannya. "Oh ya, mau pesen minum dulu? Biar fokus belajarnya."
"Boleh. Aku Green Tea Latte aja deh."
Felix memanggil pelayan dan memesan minuman untuk mereka berdua. Setelah pelayan datang mengantar pesanan, mereka mulai fokus pada pelajaran.
"Nah, kemarin kamu bilang bingung sama soal yang ini kan?" Felix menunjuk salah satu soal di buku. "Coba kamu kerjain dulu, nanti aku bantu kalau ada yang susah."
Viera mengerutkan kening, mencoba mengerjakan soal tersebut. "Hmm... jadi ini... turunannya y = x² + 3x - 2... berarti... 2x + 3?"
"Nah, betul!" Felix tersenyum bangga. "Tuh kan bisa. Kamu sebenernya pinter, cuma kurang percaya diri aja."
Viera tersipu mendengar pujian Felix. "Ah, biasa aja. Ini juga gara-gara kamu yang ngajarin. Pak Ian jelasinnya bikin pusing."
"Ya makanya, kalau ada yang nggak ngerti langsung tanya aja sama aku," Felix menatap Viera, membuat gadis itu salah tingkah. "Eh, ngomong-ngomong... rambutmu hari ini beda ya? Cocok deh dikuncir gitu."
"Masa sih?" Viera refleks memegang rambutnya, jantungnya berdebar kencang. "Cuma dikuncir biasa kok."
"Tapi beneran cocok. Jadi keliatan..." Felix terdiam sejenak, seperti mencari kata yang tepat. "...manis."
Wajah Viera memerah. Ia buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Eh, lanjut ke soal berikutnya deh. Yang ini nih, aku masih bingung cara nyelesainnya."
Felix terkekeh melihat tingkah Viera yang salah tingkah. "Oke, oke. Jadi gini, kalau soal kayak gini, pertama kita harus..."
Mereka melanjutkan belajar dengan serius. Felix menjelaskan dengan sabar setiap soal yang tidak Viera pahami, sesekali diselingi candaan ringan yang membuat suasana tidak tegang.
"Felix," panggil Viera di sela-sela mengerjakan soal.
"Hmm?"
"Makasih ya, udah mau ngajarin aku. Padahal pasti banyak yang lebih penting yang bisa kamu lakuin di hari Minggu gini."
Felix menggeleng pelan. "Nggak ada yang lebih penting kok. Lagian..." ia menatap Viera lekat-lekat, "...aku seneng bisa bantuin kamu."
Viera menunduk, menyembunyikan senyumnya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Felix yang kembali fokus menjelaskan rumus-rumus matematika. Ada sesuatu dalam cara Felix menjelaskan yang membuat Viera betah berlama-lama belajar dengannya. Mungkin karena kesabarannya, atau mungkin juga karena...
Waktu berlalu begitu cepat. Viera merasa otaknya mulai bisa mencerna materi yang Felix ajarkan. Namun keasyikan mereka terganggu ketika pintu kafe terbuka. Viera mengangkat wajahnya dan seketika membeku. Matanya melebar melihat sosok yang baru saja masuk.
Di sana, dengan setelan jas rapi dan tatapan dinginnya yang khas, berdiri Ian - calon suaminya. Dan yang membuat Viera semakin terkejut, Ian tidak sendirian. Di sampingnya berdiri seorang gadis cantik yang terlihat sangat akrab dengannya.
Jantung Viera seakan berhenti berdetak saat melihat Ian melangkah masuk ke dalam Kafe Kini Kopi. Yang membuat dirinya semakin kaget adalah kehadiran seorang wanita cantik di samping Ian.Wanita itu terlihat sangat anggun dengan blazer cream dan rok pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam legam tergerai rapi, make up-nya natural namun memancarkan kedewasaan yang membuat Viera merasa begitu kecil.Felix yang menyadari kehadiran Ian langsung berdiri. "Selamat pagi, Pak Ian," sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Ian.Mau tidak mau, Viera juga harus berdiri dan melakukan hal yang sama. "Selamat pagi, Pak," ucapnya pelan sambil mencium tangan calon suaminya itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat dari Felix dan semua orang di sekolahnya."Pagi, Felix… Viera," jawab Ian datar seperti biasa.Felix kemudian menyalami wanita yang bersama Ian. Viera mengikuti, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi tanda tanya. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat b
Viera kembali ke mejanya dengan langkah berat. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat pasi. Felix yang sedari tadi memperhatikan, langsung menyadari perubahan pada raut wajah gadis di hadapannya itu."Viera, kamu sakit? Kok pucat banget?" tanya Felix dengan nada khawatir.Viera hanya menggeleng lemah, tidak sanggup mengeluarkan suara. Pikirannya masih berkecamuk dengan kata-kata Ian yang begitu misterius.Felix menutup buku matematika di hadapannya. "Kayaknya kita udah kebanyakan belajar deh. Otakmu perlu refreshing," ia tersenyum hangat. "Gimana kalau kita nonton? Kebetulan ada film bagus yang baru rilis.""Boleh," jawab Viera cepat, terlalu cepat malah. Apa saja, asal bisa keluar dari kafe ini, menjauh dari Ian dan wanita misterius itu.Mereka bergegas membereskan buku-buku dan meninggalkan kafe. Viera bahkan tidak menoleh ke arah meja Ian saat mereka lewat. Di parkiran, Felix menyerahkan helm cadangan untuk Viera kenakan."Aku selalu bawa helm cadangan, just in case," Felix
Jalanan Kota yang macet membuat perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Ketika Viera akhirnya sampai di rumah, jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Gadis itu segera berlari ke kamarnya, membuka lemari dengan tergesa-gesa. Waktu yang tersisa hanya dua setengah jam sebelum makan malam dengan keluarga Ian."Ya ampun, kenapa harus mendadak sih?" gerutunya sambil memilah-milah gaun yang tergantung rapi di lemari.Setelah mandi secepat kilat, Viera berdiri di depan cermin, mengamati deretan gaun yang ia letakkan di atas tempat tidur. Tangannya terhenti pada sebuah gaun biru muda selutut dengan detail punggung terbuka yang simple namun elegan.Viera tersenyum puas—pilihannya sempurna untuk acara makan malam formal. Sepasang heels berwarna senada dengan tinggi 5 cm melengkapi penampilannya, memberikan kesan dewasa tanpa berlebihan.Di depan meja rias, Viera mulai menata rambutnya. Dengan telaten, ia mem-blow bagian ujung rambutnya hingga terlihat bervolume dan me
Mobil Ian berhenti di depan sebuah restoran mewah bergaya klasik Eropa. Lampu-lampu kristal yang menggantung di sepanjang pintu masuk memberikan kesan mewah dan elegan. Sebelum turun dari mobil, Ian menahan tangan Viera."Tunggu," ujarnya pelan. "Ingat apa yang kita latihan tadi?"Viera mengangguk lemah. "Bergandengan tangan...""Bagus. Ayo."Ian keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Viera—sebuah gestur yang membuat beberapa pengunjung restoran melirik ke arah mereka. Viera menarik napas dalam-dalam sebelum menyambut uluran tangan Ian. Jemari mereka bertaut, dan entah mengapa, kali ini terasa lebih natural dibanding di mobil tadi."Orang tuaku sudah menunggu di ruang VIP," Ian berbisik sambil menuntun Viera memasuki restoran.Seorang pelayan mengantar mereka ke lantai dua, menuju sebuah ruangan privat dengan pintu kayu berukir indah. Sebelum membuka pintu, Ian mengeratkan genggamannya pada tangan Viera."Kau siap?""Tidak," jawab Viera jujur. "Tapi apa kau peduli pada pilihanku
Ian tersadar lebih dulu. Ia berdehem pelan dan segera menarik diri, kembali ke posisi normalnya di belakang kemudi. Tanpa berkata apa-apa, ia menjalankan mobil, membelah keheningan malam Jakarta.Viera merasakan jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Selama 17 tahun hidupnya, tak pernah ada laki-laki yang berada sedekat itu dengannya—bahkan Felix sekalipun. Ia mencuri pandang ke arah Ian yang tetap fokus menyetir dengan wajah datarnya yang biasa.'Bagaimana dia bisa setenang itu?' batin Viera kesal, tangannya meremas ujung gaunnya.Perjalanan pulang dilalui dalam diam. Tidak ada obrolan, tidak ada gandengan tangan seperti tadi—hanya suara mesin mobil dan degup jantung Viera yang entah mengapa tak kunjung normal.Pukul setengah sepuluh, mobil Ian a
Sinar matahari yang menerobos celah tirai kamar Viera tidak mampu membangunkannya dari tidur lelap. Berulang kali mamanya mengetuk pintu kamar dan mencoba menelepon, namun Viera masih terbuai dalam dunia mimpinya. Pintu kamar yang terkunci membuat mamanya tidak bisa masuk untuk membangunkannya secara langsung."Viera! Bangun, Sayang! Sudah jam setengah tujuh!" teriak mamanya sambil mengetuk pintu kamar Viera dari luar kamar, suaranya penuh kekhawatiran.Setelah beberapa saat, mata Viera akhirnya terbuka perlahan. Begitu melihat jam digital di meja nakasnya menunjukkan pukul 06.30, matanya langsung terbelalak lebar. Jantungnya berdegup kencang menyadari bahwa ia hanya punya waktu setengah jam untuk sampai ke sekolah jika tidak ingin terlambat."Oh My God, kenapa aku bisa kesiangan?!" rutuknya sambil melompat dari tem
Suasana kelas begitu hening ketika Ian mulai menjelaskan materi matematika di depan kelas. Papan tulis putih dipenuhi dengan rumus-rumus dan angka-angka yang dituliskan dengan rapi oleh tangan tegasnya. Semua murid mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap detail penjelasan yang diberikan oleh guru muda itu. Namun tidak dengan Viera.Pikirannya melayang entah kemana, tatapannya kosong ke arah jendela. Sesekali ia mencoret-coret bukunya tanpa arti, sementara penjelasan Ian hanya lewat begitu saja di telinganya. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tanpa ia sadari, sepasang mata tajam Ian telah menangkap gelagat tidak fokusnya sejak tadi."Nona Viera," suara tegas Ian memecah lamunannya. "Bisa tolong jelaskan kembali apa yang baru saja saya terangkan?"Seisi kelas mendadak sunyi. Viera terkesiap, matanya membu
"Aduh, gimana nih?" keluh Viera pada Renna dan Fanny saat ia ingat bahwa setelah pelajaran Matematika usai, akan ada pelajaran olahraga. "Gue nggak bawa baju olahraga. Kesiangan sih tadi pagi."Renna mengerutkan keningnya. "Terus loe mau gimana? Pak Dani kan terkenal tegas soal aturan seragam olahraga.""Iya, minggu lalu aja ada yang lupa bawa sepatu olahraga, disuruh lari keliling lapangan lima kali," tambah Fanny sambil mengambil baju olahraganya di tas.Viera menghela napas panjang. "Kayaknya gue bakal izin aja deh. Bilang sakit kepala atau apa gitu.""Yakin?" tanya Renna dengan nada khawatir. "Bohong itu nggak baik lho.""Gue tau, tapi daripada dihukum? Lagian cuma sekali ini kok," jawab Viera meyakinkan temannya.
"Aduh, gimana nih?" keluh Viera pada Renna dan Fanny saat ia ingat bahwa setelah pelajaran Matematika usai, akan ada pelajaran olahraga. "Gue nggak bawa baju olahraga. Kesiangan sih tadi pagi."Renna mengerutkan keningnya. "Terus loe mau gimana? Pak Dani kan terkenal tegas soal aturan seragam olahraga.""Iya, minggu lalu aja ada yang lupa bawa sepatu olahraga, disuruh lari keliling lapangan lima kali," tambah Fanny sambil mengambil baju olahraganya di tas.Viera menghela napas panjang. "Kayaknya gue bakal izin aja deh. Bilang sakit kepala atau apa gitu.""Yakin?" tanya Renna dengan nada khawatir. "Bohong itu nggak baik lho.""Gue tau, tapi daripada dihukum? Lagian cuma sekali ini kok," jawab Viera meyakinkan temannya.
Suasana kelas begitu hening ketika Ian mulai menjelaskan materi matematika di depan kelas. Papan tulis putih dipenuhi dengan rumus-rumus dan angka-angka yang dituliskan dengan rapi oleh tangan tegasnya. Semua murid mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap detail penjelasan yang diberikan oleh guru muda itu. Namun tidak dengan Viera.Pikirannya melayang entah kemana, tatapannya kosong ke arah jendela. Sesekali ia mencoret-coret bukunya tanpa arti, sementara penjelasan Ian hanya lewat begitu saja di telinganya. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tanpa ia sadari, sepasang mata tajam Ian telah menangkap gelagat tidak fokusnya sejak tadi."Nona Viera," suara tegas Ian memecah lamunannya. "Bisa tolong jelaskan kembali apa yang baru saja saya terangkan?"Seisi kelas mendadak sunyi. Viera terkesiap, matanya membu
Sinar matahari yang menerobos celah tirai kamar Viera tidak mampu membangunkannya dari tidur lelap. Berulang kali mamanya mengetuk pintu kamar dan mencoba menelepon, namun Viera masih terbuai dalam dunia mimpinya. Pintu kamar yang terkunci membuat mamanya tidak bisa masuk untuk membangunkannya secara langsung."Viera! Bangun, Sayang! Sudah jam setengah tujuh!" teriak mamanya sambil mengetuk pintu kamar Viera dari luar kamar, suaranya penuh kekhawatiran.Setelah beberapa saat, mata Viera akhirnya terbuka perlahan. Begitu melihat jam digital di meja nakasnya menunjukkan pukul 06.30, matanya langsung terbelalak lebar. Jantungnya berdegup kencang menyadari bahwa ia hanya punya waktu setengah jam untuk sampai ke sekolah jika tidak ingin terlambat."Oh My God, kenapa aku bisa kesiangan?!" rutuknya sambil melompat dari tem
Ian tersadar lebih dulu. Ia berdehem pelan dan segera menarik diri, kembali ke posisi normalnya di belakang kemudi. Tanpa berkata apa-apa, ia menjalankan mobil, membelah keheningan malam Jakarta.Viera merasakan jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Selama 17 tahun hidupnya, tak pernah ada laki-laki yang berada sedekat itu dengannya—bahkan Felix sekalipun. Ia mencuri pandang ke arah Ian yang tetap fokus menyetir dengan wajah datarnya yang biasa.'Bagaimana dia bisa setenang itu?' batin Viera kesal, tangannya meremas ujung gaunnya.Perjalanan pulang dilalui dalam diam. Tidak ada obrolan, tidak ada gandengan tangan seperti tadi—hanya suara mesin mobil dan degup jantung Viera yang entah mengapa tak kunjung normal.Pukul setengah sepuluh, mobil Ian a
Mobil Ian berhenti di depan sebuah restoran mewah bergaya klasik Eropa. Lampu-lampu kristal yang menggantung di sepanjang pintu masuk memberikan kesan mewah dan elegan. Sebelum turun dari mobil, Ian menahan tangan Viera."Tunggu," ujarnya pelan. "Ingat apa yang kita latihan tadi?"Viera mengangguk lemah. "Bergandengan tangan...""Bagus. Ayo."Ian keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Viera—sebuah gestur yang membuat beberapa pengunjung restoran melirik ke arah mereka. Viera menarik napas dalam-dalam sebelum menyambut uluran tangan Ian. Jemari mereka bertaut, dan entah mengapa, kali ini terasa lebih natural dibanding di mobil tadi."Orang tuaku sudah menunggu di ruang VIP," Ian berbisik sambil menuntun Viera memasuki restoran.Seorang pelayan mengantar mereka ke lantai dua, menuju sebuah ruangan privat dengan pintu kayu berukir indah. Sebelum membuka pintu, Ian mengeratkan genggamannya pada tangan Viera."Kau siap?""Tidak," jawab Viera jujur. "Tapi apa kau peduli pada pilihanku
Jalanan Kota yang macet membuat perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Ketika Viera akhirnya sampai di rumah, jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Gadis itu segera berlari ke kamarnya, membuka lemari dengan tergesa-gesa. Waktu yang tersisa hanya dua setengah jam sebelum makan malam dengan keluarga Ian."Ya ampun, kenapa harus mendadak sih?" gerutunya sambil memilah-milah gaun yang tergantung rapi di lemari.Setelah mandi secepat kilat, Viera berdiri di depan cermin, mengamati deretan gaun yang ia letakkan di atas tempat tidur. Tangannya terhenti pada sebuah gaun biru muda selutut dengan detail punggung terbuka yang simple namun elegan.Viera tersenyum puas—pilihannya sempurna untuk acara makan malam formal. Sepasang heels berwarna senada dengan tinggi 5 cm melengkapi penampilannya, memberikan kesan dewasa tanpa berlebihan.Di depan meja rias, Viera mulai menata rambutnya. Dengan telaten, ia mem-blow bagian ujung rambutnya hingga terlihat bervolume dan me
Viera kembali ke mejanya dengan langkah berat. Wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat pasi. Felix yang sedari tadi memperhatikan, langsung menyadari perubahan pada raut wajah gadis di hadapannya itu."Viera, kamu sakit? Kok pucat banget?" tanya Felix dengan nada khawatir.Viera hanya menggeleng lemah, tidak sanggup mengeluarkan suara. Pikirannya masih berkecamuk dengan kata-kata Ian yang begitu misterius.Felix menutup buku matematika di hadapannya. "Kayaknya kita udah kebanyakan belajar deh. Otakmu perlu refreshing," ia tersenyum hangat. "Gimana kalau kita nonton? Kebetulan ada film bagus yang baru rilis.""Boleh," jawab Viera cepat, terlalu cepat malah. Apa saja, asal bisa keluar dari kafe ini, menjauh dari Ian dan wanita misterius itu.Mereka bergegas membereskan buku-buku dan meninggalkan kafe. Viera bahkan tidak menoleh ke arah meja Ian saat mereka lewat. Di parkiran, Felix menyerahkan helm cadangan untuk Viera kenakan."Aku selalu bawa helm cadangan, just in case," Felix
Jantung Viera seakan berhenti berdetak saat melihat Ian melangkah masuk ke dalam Kafe Kini Kopi. Yang membuat dirinya semakin kaget adalah kehadiran seorang wanita cantik di samping Ian.Wanita itu terlihat sangat anggun dengan blazer cream dan rok pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam legam tergerai rapi, make up-nya natural namun memancarkan kedewasaan yang membuat Viera merasa begitu kecil.Felix yang menyadari kehadiran Ian langsung berdiri. "Selamat pagi, Pak Ian," sapanya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mencium tangan Ian.Mau tidak mau, Viera juga harus berdiri dan melakukan hal yang sama. "Selamat pagi, Pak," ucapnya pelan sambil mencium tangan calon suaminya itu, sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat dari Felix dan semua orang di sekolahnya."Pagi, Felix… Viera," jawab Ian datar seperti biasa.Felix kemudian menyalami wanita yang bersama Ian. Viera mengikuti, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi tanda tanya. Siapa wanita ini? Mengapa ia terlihat b
"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.Ding!Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix."Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar me